Banjirembun.com - Masa bodoh dia menganggap aku sampah atau apalah itu yang sepedan alias menyetarainya. Apalagi cuma menganggap tak kenal padaku. Tentu, itu mah aku anggap angin berlalu. Jangankan didiamkan, dicaci maki penuh amarah ditambah penghinaan pun aku telah siap. Intinya, aku harus bertemu. Titik.
Aku hanya ingin mengakhiri ketidakwarasanku selama 17 tahun ini dengan cara berjumpa mantanku. Lebih tepatnya, mantan gebetan alias incaran pasangan di pelaminan. Jangan buruk sangka! Tujuanku bertemu sekadar ingin memenuhi gejolak hati. Demi memastikan dengan panca indera sendiri bagaimana dia di masa lalu menganggapku?
Aku harus segera menyelesaikan kekacauan hati ini. Sebuah kegelisahan yang dimulai dari sekitar tahun 2005 hingga masa kini. Di mana, selama 17 tahun hingga kini aku memendam dan menahan. 17 tahun aku tersiksa penasaran serta penuh rasa salah-sesal pada diriku pribadi. 17 tahun aku berjuang merelakan. Akhirnya, aku putuskan menyerah saja.
Aku sudah tak sanggup lagi menipu diri sendiri. Aku tidak mau hati dan pikiranku tiba-tiba nanti teringat dia kembali. Aku wajib menghentikan kegilaan ini. Tidak bisa ditawar atau ditunda lagi. Mau enggak mau, aku kudu memaksakan diri menemuinya. Ditegaskan kembali, aku tak peduli seperti apa responnya. Terpenting ketemu dulu. Tanpa maksud CLBK sedikit pun.
Aku ogah terus-terusan mengorbankan perasaanku. Membakar diri dengan dalih tak ingin mengganggunya. Sebab, ternyata gegara berupaya gigih menghindarinya justru makin menyiksa. Membuat luka batin tambah menganga lebar. Terbukti, ketika berada di momen teringat dia berakibat kerap muncul kegalauan, kebingungan, sampai bentuk gangguan hati lainnya.
Sejujurnya, semenjak terjadi kesalahpahaman dengannya kala itu, aku ingin merantau ke Kalimantan. Menjauhi kota kelahiran yaitu Kediri supaya bisa melupakan dia. Begitu pula aku hidup di Kota Malang sekarang ini, salah satunya tentu pula guna melarikan diri dari kenangan masa lalu. Sebab, aku merasa tersiksa apabila menetap tinggal di sana.
|
Ilustrasi Kecamatan Pakis Kabupaten Malang sebagai tempat melarikan diri dari masa lalu |
Padahal, semua yang terjadi di masa lalu merupakan kesalahpahaman. Namun, sebagai lelaki memang semestinya aku dituntut merasa bersalah. Bagaimanapun wanita selalu benar. Sedang sebagai pria aku yang salah. Baik menyalahi diri sendiri lantaran keliru melangkah maupun menzaliminya karena apa penyebabnya entah mana kutahu. Aku tak tahu kenapa harus "dipersalahkan".
Mungkin, jika rencana perjumpaan tersebut berhasil maka aku sudah siap saat itu untuk terakhir kalinya. Asal, seluruhnya telah terjawab. Tanpa ada lagi situasi mengambang penuh ketidakpastian. Oleh sebab itu, penuh harap dengan bertemu dengannya bisa tercapai kepastiannya seperti apa. Hasilnya, meski tak mengenakkan jiwa dan bikin sakit hati harus siap diterima.
Sekali lagi, aku harus bertemu dengan mantanku. Walau mendapat caci maki penuh marah. Itu jauh lebih bikin lega ketimbang tanpa dituntaskan sehingga terus menggantung. Bikin menganggu jiwa. Mendingan hati tersayat ketika menemuinya. Daripada hampir tiap hari diiris-iris oleh kenangan di masa lalu tatkala mengingat wajahnya.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "17 Tahun Menahan untuk Menghindar Akhirnya Menyerah, Kuputuskan Saja Bertemu Mantan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*