Banjirembun.com - Tak perlu heran saat mata memandang orang kaya maupun individu yang "ngotot" tampil mewah tapi nyatanya masih doyan receh. Lebih mirisnya, mereka kerja mati-matian bagaikan kuda pacuan yang lari kencang demi ambisi kemenangan. Barangkali, menganggap duit sebagai entitas segala-galanya dalam meraih bahagia.
Buat apa kaya raya kalau dalam mengusahakannya melalui langkah gadaikan agama, mengubur moralitas kehidupan, dan bertaruh diri dengan cara diam-diam melawan hukum. Sungguh, cepat atau lambat sebuah kebahagiaan pasti didapatkan oleh semua individu. Meski, sekalipun tanpa punya harta berlimpah. Oleh sebab itu, carilah kebahagiaan sejati dengan benar.
Baca juga: Inilah Satu-satunya Cara yang Mampu Membahagiakan Orang Beriman
Bukan hanya disebabkan oleh kekeliruan dalam memandang dunia. Faktor pemicu orang berduit masih saja doyan receh dan tetap "nekat" kerja mati-matian dikarenakan berikut:
1. Khawatir Nasib Masa Depan Keturunannya
Manusia yang panjang angan-angannya, kadang tak cuma memikirkan keadaan dirinya kelak di masa tua. Jauh lebih ekstrim, justru nasib kehidupan anak-anak dan cucunya ikut pula "dikendalikan". Entah tujuannya memang murni untuk membahagiakan mereka atau faktor nafsu pribadi supaya dikenal sebagai sosok yang sukses "mendidik" keturunannya.
Untuk mewujudkan kehidupan sejahtera anak turunnya tersebut rela memungut receh serta kerja keras banting tulang. Padahal, sebenarnya kondisi keuangan sangat mapan. Bahkan, bisa dibilang digit nominalnya di rekening berlebihan bagai nomor ponsel. Namun, tetap saja tak menurunkan ambisi. Bagaimanapun, boleh saja bekerja sampai tua renta, tetapi tak segitunya juga dong.
|
Ilustrasi recehan yabg jadi rebutan (gambar dari koleksi pribadi) |
2. Sifat Rakus dan Pelit
Alasan selanjutnya seseorang doyan recehan maupun kerja mati-matian karena adanya sifat pelit serta tamak alias rakus. Pola kepribadian tersebut barangkali sudah terbentuk sejak usia dini. Baik yang didapat dari hasil pola asuh secara langsung maupun punya trauma masa lalu yang dikompensasikan berupa bakhil dan kerakusan. Di mana, jiwa individualis itu baginya sangat wajar dan normal.
Orang berkarakter buruk seperti di atas tak bakal memberikan kesempatan pihak lain mengambil jatahnya. Termasuk jatah pekerjaan sekalipun. Semua ingin dikerjakan sendiri dari hulu ke hilir. Kalaupun melibatkan karyawan, wajib "ditekan" dan dituntut untuk mampu menghasilkan uang sebesar-besarnya. Baginya karyawan dianggap mesin pencetak duit.
3. Terlilit Hutang atau Tanggungan Cicilan Bulanan
Jangan salah, walau terlihat rumah hingga kendaraannya mewah barangkali itu hasil kredit. Apalagi bisnis yang tengah dijalani, sangat besar terkait erat modalnya diperoleh dengan metode berhutang. Tentu, umumnya cicilan perbulan itu berbunga dan wajib dibayar sesuai jadwal. Kalau ada ketelatan bayar risikonya teramat fatal. Sungguh miris memang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada artikel sebelumnya berjudul Hutangmu Menunjukkan Seberapa Besar Harga Dirimu yang menguraikan tentang dampak buruk hutang. Di sinilah dijumpai ada titik temu. Yakni, demi membayar angsuran bulanan rela berbuat apa saja. Setidaknya, salah satunya melakukan penghematan yang penuh siksaan. Recehan saja dianggap berlian.
4. Termakan Iklan dan Propaganda
Propaganda dari paham ideologi tertentu menyatakan bahwa uang dan kepemilikan pribadi merupakan segalanya. Siapa yang punya modal besar dianggap punya peluang masuk ke bagian jajaran penguasa perekonomian. Kendatipun, modal itu didapat hasil berhutang. Akibatnya, terjadilah pola pikir saling menjatuhkan dan menerkam bagai serigala.
Begitu juga iklan-iklan yang bertebaran di pinggiran jalan, televisi, sampai dijejalkan di internet. Tampilan produk yang dikenalkan itu mempengaruhi masyarakat untuk ikut-ikutan memiliki. Alasannya, sekedar agar tak dibilang ketinggalan zaman. Serta, tentunya bisa dipamerkan pada orang-orang di sekitarnya. Boleh disimpulkan, hasutan propaganda dan iklan dampaknya lebih mengerikan ketimbang hipnotis.
5. Persaingan Semu
Diakui bahwasanya suatu persaingan memang mampu bikin adrenalin, semangat, dan gairah untuk bertahan hidup semakin tinggi. Sayangnya, bukannya berlomba-lomba dalam urusan kebaikan dan kebahagiaan hati yang sejati, malahan yang ada persaingan semu. Misalnya, bersaing dalam urusan materi duniawi semata. Tanpa diimbangi dengan saling "balapan" dalam bersedekah.
Ditambah, ego yang tak mau kalah dengan sesama, membikin makin semangat untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Kemudian, ketika dirasa tepat akhirnya membeli barang-barang level atas demi ditunjukkan pada publik. Kalau tidak begitu, saling susul menyusul rebutan status sebagai orang paling kaya di negara. Dari awalnya di urutan 49 berambisi terdongkrak ke nomor 25.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Penyebab Orang Berduit Masih Doyan Memungut Recehan dan Kerja Mati-matian"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*