Banjirembun.com - Perilaku pamer di zaman digital sekarang ini bukan hanya dilakukan tatkala sedang reuni, bertamu/berkunjung, menjamu tamu, bekerja, berbelanja, hingga dikala berwisata. Lebih dari itu, sikap pamer begitu mudah dilakukan oleh siapapun di media sosial. Baik itu secara terang-terangan tanpa "disaring" dulu maupun ada yang secara elegan bermain "halus". Boleh dikatakan, bagi sebagian pihak pamer menjadi kebutuhan jiwa.
Adapun orang yang masih malu-malu memamerkan sesuatu, terkait tubuhnya maupun apa-apa yang dipunyai, biasanya ditandai akun medsosnya selalu sering ganti foto profil. Ada juga yang posting status dengan membikin kesan seolah-olah tetap sesuai etika dan kewajaran. Namun, nyatanya niat dan tujuannya untuk pamer. Dengan sudah bertindak seperti itu, seakan hati menjadi terpuaskan. Rasanya ada yang kurang saat belum pamer.
Salah satu penyebab seseorang pamer ialah lantaran jiwanya masih labil. Belum menemukan jati diri, tak memiliki prinsip hidup yang kokoh, dan lupa pada ajaran agama maupun moralitas kehidupan sosial. Akibatnya, terus-menerus haus terhadap pengakuan dan penilaian dari orang lain. Sebab, menganggap pamer sebagai langkah tepat dalam menapaki strata sosial tertinggi. Menjadikan unjuk harta dan kecantikan tubuh sebagai tolok ukur "kemajuan".
Memang diakui tak semua hal tentang pamer merupakan perilaku tabu sekaligus memalukan. Terkadang seseorang melakukan pamer memanglah demi pekerjaan, agar memperoleh penghasilan, dan promosi diri. Bagaimana pihak-pihak terkait tertarik mau menggunakan jasa keahlian dan hasil produk karya seseorang ketika tidak diumumkan atau dipamerkan pada khalayak publik. Itulah fungsi dari adanya "pameran".
|
Ilustrasi orang yang pamer tentang dirinya telah diakui oleh pihak Google dan namanya terkenal di internet, itu semata-mata dilakukan supaya memperoleh penghasilan uang |
Dari sini sudah dipahami bahwa sebuah tindakan dapat diartikan mengandung potensi sifat pamer atau tidak bukan perkara gampang. Alasannya, niat pamer tersebut letaknya di hati. Oleh sebab itu, hindari gampang memvonis perilaku tertentu dikatakan sebagai pamer. Bisa jadi niatnya untuk mengimbangi dan membela diri agar terhindar dari fitnah. Bahkan, diterapkan demi memudahkan dalam mempengaruhi maupun "menaklukkan" lawan bicara.
Diakui atau tidak, masyarakat negara berkembang seperti Indonesia ini masih banyak yang menganut "peradaban kaleng". Yakni, lebih mengagungkan tampilan daripada kualitas pikiran dan kebeningan hatinya. Pembicara atau pemateri yang bawa kendaraan mewah jauh lebih disanjung hebat ketimbang yang pakai motor lama. Begitu pula kolega, mitra, atau klien bakal lebih dihormati saat tampak posisinya di levelnya kaum berada.
Baca juga: Peradaban Kaleng, Seorang Tokoh Agama Dituntut Tampil Mewah
Bagi yang sering suka pamer di media sosial maupun dunia nyata, silakan simak baik-baik dampak buruknya:
1. Merusak Sendi-sendi Kehidupan
Naluri bawaan manusia adalah menyukai persaingan. Tanpa adanya saling mendahului rasanya hidup kurang menggairahkan. Sayangnya, bukannya berlomba-lomba dalam urusan kebaikan dan kebahagiaan hati justru beradu terkait masalah duniawi semata. Lebih membanggakan kesuksesan materi ketimbang kesejahteraan jiwa dan raga. Parahnya, rela sakit demi duit serta punya tampilan tubuh yang menawan.
Pamer telah merusak sendi-sendi kehidupan yang sudah damai dan tenteram. Banyak kesalahpahaman terjadi karena satu saja adanya perilaku pamer. Maksud hati cuma ingin "memameri" satu orang tertentu, malah banyak orang yang tersinggung dan terganggu. Akhirnya, timbul konflik batin. Muncul prasangka buruk. Makin parah lagi hubungan jadi renggang serba canggung tak seperti masa silam.
Banyak orang yang dikenal maupun tak kenal menjadi iri, dengki, atau hasad gara-gara melihat perilaku orang pamer. Nahasnya, untuk mengimbangi supaya juga bisa ikutan pamer langkah nista alias hina diterapkan. Sebut saja meliputi menipu, mencuri, korupsi, mengkredit, sampai berhutang. Padahal, sejatinya setelah menuruti nafsu tersebut belum tentu juga mendapatkan kebahagiaan sejati.
Baca juga: Hutangmu Menunjukkan Seberapa Besar Harga Dirimu
Individu mengalami kehilangan rasa syukur, qonaah, dan sabar salah satu pemicunya yaitu adanya tingkah pamer yang baru saja dilihat. Akibatnya, psikis jadi goyah. Selera hidup menjadi rendah. Menganggap kehidupan ini sebuah tragedi yang menyajikan ketidakadilan semata. Sebaliknya pula, malah terpacu untuk "membalas" dengan cara meninggalkan ajaran agama atau idealitas yang selama ini dipegang erat.
2. Merugikan Pihak Si Tukang Pamer
Pamer itu bikin ketagihan. Tanpa ada maksud melebih-lebihkan, pernyataan tersebut sungguh benar adanya. Bayangkan saja, setelah pamer sesuatu kemudian di lain waktu ada yang bertanya "Loh, kemana punyamu itu?". Tentunya, akan ada rasa khawatir dalam diri karena takut dianggap jatuh bangkrut atau telah terjadi sesuatu. Alhasil, si tukang pamer bakal mempertahankan citra dirinya. Salah satunya dengan membual penuh bohong.
Takdir orang siapa tahu. Kadang di atas tetapi mungkin di lain kesempatan berada di bawah. Nah, saat roda berputar yang tak sesuai harapan itulah kerap membuat kewalahan. Sekonyong-konyong langsung menghilang seketika bagaikan ditelan bumi. Takut nasib buruknya diketahui banyak orang. Tragisnya, hendak minta bantuan pada orang-orang terdekat pun enggan. Lantaran gengsinya terlalu tinggi.
Pamer mengakibatkan perbuatan penuh kemunafikan. Berpura-pura tampil mempesona. Faktanya, itu hasil dari menzalimi saudaranya. Serta menampakkan sesuatu yang tidak sebagaimana aslinya. Demi unjuk diri nekat menyewa barang hingga berhutang uang. Mirisnya, mulut licin berbohong dengan dalih untuk menutupi kelemahan diri. Dia ingin selalu tampil sempurna dibanding yang lainnya.
Risiko perilaku pamer selanjutnya adalah haus pujian dan perhatian dari orang lain. Jiwanya menjadi gusar tatkala tak dipuji dan diperhatikan. Menurutnya, dengan pamer sesuatu bikin dirinya mendapatkan status kehidupan yang setara dan layak untuk berdampingan bersama. Singkat kata, dia begitu minder kalau tidak pamer. Itulah akibatnya dari cara pandang sempit bagaikan katak dalam tempurung.
Orang yang pamer salah satu faktornya karena hidupnya terpenjara oleh jalan pikirannya sendiri. Beralasan, akibat tertekan oleh keadaan sehingga membolehkan untuk melawan dengan langkah pamer tubuh, pekerjaan, dan harta. Serta, berargumen bahwa masa lalunya kelam oleh karena itu bukan hal salah pilih pamer untuk membalik keadaan. Memberikan bukti-bukti pada masa lalunya telah mengalami perubahan yang drastis.
Kenyataannya, beban hidup seperti itu tak hanya dialami dirinya saja. Banyak orang menderita dan menghadapi masalah tapi memilih menggunakan cara bijak. Tak sedikit pula manusia mengalami siksaan batin tapi pilih mencegah memendam dendam. Sebaliknya, saat berhasil meninggalkan terbang tinggi orang-orang di masa lampau bakal menghindari sifat takabur. Mencegah timbul anggapan semua yang telah dia capai karena kepintaran dan disebabkan kerja kerasnya.
Orang yang punya niat pamer sesuatu, lama kelamaan tumbuh akhlak yang dipenuhi ujub dan sombong dalam diri. Menilai selain dirinya berada di bawah. Dia tak menyadari bahwa di atas langit masih ada langit. Lagi pula terdapat banyak orang yang kualitas dan kuantitas harta melebihi miliknya. Akan tetapi lebih memilih menghindari atau mencegah diketahui publik. Bagaikan peribahasa "diam-diam menghanyutkan".
Bagi orang yang menolak untuk pamer tubuh maupun harta, bahagia bukan ketika mengalahkan orang lain. Namun, saat mampu mengalahkan gejolak dalam dirinya. Lebih memutuskan berlomba-lomba menjaga hati dan iman daripada bersaing dalam urusan fana. Di mana, pekerjaan yang digeluti bukan untuk dibanggakan. Sebab, menurutnya semua profesi itu sama hakikatnya. Terpenting bermanfaat bagi umat. Bukan hanya berguna bagi diri pribadi, keluarga, dan kelompoknya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Akibat Buruk Perilaku Pamer Kesempurnaan Tubuh, Pekerjaan Mapan, dan Harta Melimpah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*