Banjirembun.com - Sungguh bikin heran. Masih saja ada generasi muda sampai yang sudah dewasa ikut meremehkan seorang petani. Meskipun itu, nyatanya lahan pertanian yang digarap milik petani sendiri. Padahal, merendahkan profesi "hanya sebagai petani" yang punya lahan sendiri sama saja artinya menyepelekan penjual nasi lalapan di bangunan miliknya pribadi. Di mana, kios tersebut terletak di jalur lalu lintas ramai.
Walau sebenarnya, warung tegal hingga pedagang lalapan sekalipun, yang lapaknya mengontrak atau sewa di jalur padat, keuntungan yang mereka dapatkan sangat besar. Mampu untuk bangun rumah megah di kampung. Bahkan, mereka sanggup membuka lapangan kerja. Nasib yang tak jauh beda juga terjadi pada petani. Di area subur, lumrah ditemui rumah-rumah mewah yang dipunyai oleh juragan tanah. Serta, tampak gampang menguliahkan anak-anaknya.
Mau pekerjaannya apapun itu, kalau dia yang mempunyai tanah di tempat usahanya untuk berpijak, berarti dia sejatinya tuan tanah di negeri sendiri. Sebaliknya, sekeren apapun kerjanya kalau "berdiri" di atas milik orang lain barangkali boleh disebut "menumpang". Pihak penumpang, cepat atau lambat pasti akan pergi. Sebab, dia tidak mempunyai hak memiliki. Hanya hak "menguasai" untuk sementara waktu.
Lagi pula, wajib disadari bahwa daerah yang sekarang ini ramai, baik itu di perkotaan maupun di pinggirannya, dulu merupakan area persawahan dan ladang. Paling tidak berupa rawa, ilalang, tanaman "serabutan" yang bersifat asal bisa tumbuh, atau umumnya tanah terbuka lainnya. Kini, wilayah-wilayah seperti itu sudah banyak yang beralih fungsi. Tentu harga jualnya melonjak berkali-kali lipat. Bahkan, di kota-kota kecil pun sama seperti itu.
Kandungan moral dari kalimat pembukaan di atas yaitu hindari mudah menjual tanah, terlebih lagi langsung melepaskan dalam ukuran besar tanpa dipecah dulu ke ukuran kecil, kepada mafia jual-beli tanah atau pada siapapun saja. Ketimbang di kemudian hari penuh penyesalan. Oleh sebab itu, sebagai "penyemangat" dalam mempertahankan kepemilikan, berikut ini keuntungan memiliki tanah luas di pedesaan:
1. Dikelola Secara Mandiri
Maksud kata dikelola dengan mandiri di sini bukan berarti semua dikerjakan sendiri secara fisik. Bahkan, barangkali pemilik tanah tidak usah pegang alat pertanian apapun kecuali untuk "basa-basi". Supaya terlihat merakyat. Cukup "mandor" (penghimpun atau pemimpin pekerja) dan buruh tani yang turun tangan. Dengan begitu, seluruh strategi pengelolaan di bawah kendali penuh pemilik lahan.
Mekanisme dan besaran perolehan duitnya tergantung pada lokasi dan jenis tanaman apa yang dieksploitasi. Hal-hal selanjutnya yang perlu diketahui ialah kemahiran negoisasi penjualan produk pertanian, berapa lama periode dalam sekali panen (3-4 bulanan atau 1 tahunan), angka upah buruh tani, pola distribusi hasil panen, pemupukan, memberantas hama, pengairan, sampai dengan perawatan-perawatan pendukung.
Selain untuk sawah, tanah luas di pedesaan dapat pula untuk peternakan level raksasa dan perkebunan yang tanamannya berumur lama. Sayangnya, bila memang murni ingin terjun langsung di dunia pertanian dan peternakan maka disarankan tempat tinggalnya tak jauh dari lokasi lahan yang dipunyai. Bagaimanapun, bertani itu butuh keuletan. Intinya, fokus bertani hanya mudah dijalankan oleh orang pintar dan serius.
2. Dijual dengan Strategi Pecah Sertipikat
Sekarang ini lahan pertanian, terutama sawah yang teririgasi setahun penuh serta ladang atau perkebunan kering, semakin mengecil luasannya. Disebabkan, lahan dicaplok oleh pengusaha developer perumahan kelas teri hingga kakap. Serta faktor lain, umumnya akibat membengkaknya populasi manusia. Belum lagi seperti tanah untuk dijadikan peternakan, pemukiman, dan pusat bisnis pribadi.
Di masa depan, kebutuhan tanah pertanian bakal terus meningkat. Mustahil, pemerintah bakal mudah membuka hutan menjadi lahan garapan publik demi memenuhi kebutuhan lumbung pangan. Akhirnya, yang terjadi kawasan pertanian menjadi langka. Jumlah petaninya pun semakin sedikit. Hukum ekonomi otomatis berlaku. Ringkasnya, suatu saat tanah pertanian pasti banyak yang mencari, ingin membeli, atau sekadar menyewanya.
Target sasaran pembeli ladang atau sawah luas di pedesaan adalah para TKW (Tenaga Kerja Wanita) di luar negeri. Mereka beli sawah alasannya untuk orang tuanya agar jadi sumber penghasilan. Dengan begitu orang tuanya ada lahan untuk bertani. Mungkin pula untuk aset simpanan. Dipikir-pikir daripada uangnya menganggur, lebih bijak dipakai beli tanah. Saat pulang kampung nanti baru di atasnya dibangun rumah tinggal.
Nah, dalam tulisan-tulisan di situs Banjir Embun sudah kerap disinggung terkait alasan mengapa harga tanah kecil lebih mahal permeter perseginya daripada tanah luas. Juga telah diterangkan secara gamblang tentang langkah pemecahan sertifikat tanah. Lebih lengkapnya silakan buka atau copy-paste ke kotak browser tautan berikut https://www.banjirembun.com/search/label/Properti. Di sana, tersedia melimpah bacaan berkualitas di bidang properti.
3. Kerja Sama Bisnis
Sistem kerja sama dalam pertanian umumnya berupa bagi hasil. Ada yang hasil panennya dibagi 60% untuk penggarap dan 40% pemilik lahan. Terdapat juga 75%:25%. Semuanya tergantung kesepakatan antara pemilik tanah dengan yang mengelola secara "lepas". Kadang, pembagian hasilnya bukan berupa uang hasil transaksi penjualan. Akan tetapi, masih berwujud "barang" mentah belum terjual atau produk nyata dari pengolahan lahan.
Model kerja sama di atas biasanya teramat memanjakan tuan tanah. Tak perlu mengeluarkan uang sepeserpun dari awal hingga akhir. Keperluan biaya-biaya untuk pembelian bibit/benih tanaman hingga proses pemanenan, seluruhnya jadi kewajiban penggarap. Juragan tanah cuma menyediakan tempat garapan. Sedangkan, modal lainnya menjadi kewajiban pihak pengelola.
Dari sini semestinya dapat dipahami bahwa dibandingkan aset properti lain, mempunyai tanah merupakan yang paling menjanjikan. Tidak berlebihan, dikatakan kepemilikan tanah sebagai satu-satunya investasi terbaik. Apalagi ketika ukurannya sangat luas. Andai tak sanggup mengelola sendiri semuanya, toh sebagiannya bisa dikerjasamakan. Hitung-hitung sambil membantu perekonomian masyarakat sekitar.
|
Tanah luas di pedesaan (sumber gambar Google Maps) |
4. Disewakan
Keuntungan menyewakan tanah adalah menerima uang sewa saat itu juga tanpa perlu menunggu lama setelah kesepakatan terjadi. Dengan kata lain, berapa pun nominal penjualan hasil panen yang didapat penyewa tak ada sangkut paut lagi dengan yang punya tanah. Alhasil, stigma buruk sering muncul pada orang yang menyewakan tanah. Dianggap sedang butuh uang cepat sehingga memilih jalan "pintas". Padahal, boleh jadi orangnya sibuk di luar kota.
Durasi atau masa persewaan bukan mengacu pada waktu di kalender. Melainkan, umumnya akad sewa langsung putus seketika saat panen sudah dituntaskan semua. Namun, seringkali pula jangka sewanya tak menutup kemungkinan sangat lama. Malah bertahun-tahun. Kendati demikian, transaksi sewa dinyatakan selesai tetaplah menunggu hasil panennya di periode panen paling akhir.
Perlu ditekankan, kesalahan dan kekalahan investasi tanah bukan terkait kehilangan atau turunnya nilai tanah. Hampir mustahil, angka jual tanah di lokasi normal semakin bertambah umur justru turun. Cepat atau lambat, selisih antara harga pembelian dengan harga di kala penjualan pasti besar. Maknanya, walau lahan disewakan murah sekalipun, juragan yang baru saja beli tanah berpotensi untung besar di masa depan.
5. Harga Tanah Konsisten Naik
Harus diakui persentase kenaikan harga tanah berukuran luas di pedesaan sangat kecil. Kurang lebih antara 3-5% pertahun. Jangankan dibandingkan tanah di kota, dengan tanah ukuran kecil (apalagi kaveling) sesama di perkampungan pun masih kalah pesat. Bisa dibilang, penjualan lahan ukuran luas amat pelik. Butuh pendekatan khusus agar mudah terjual dengan harga mahal. Salah satunya dengan strategi memecah sertifikat.
Teruntuk pemilik tanah luas di desa tak usah berkecil hati. Termasuk pula bimbang tergesa segera menjual tanah dengan tujuan dijadikan tabungan deposito maupun investasi emas. Sungguh, keuntungan menahan kepemilikan tanah disertai mengelolanya, jauh lebih menyilaukan ketimbang dirubah ke dalam bentuk investasi lain. Apapun dalihnya, investasi tanah tak akan terkalahkan dan tergantikan.
Hitung-hitungan kasarnya begini. Luas tanah 7.000 m² dihargai 1,4 miliar. Tatkala dijual lantas didepositokan, bunga setiap bulan yang diraih sekitar 4,6 juta (sudah dipotong pajak). Adapun saat tanah itu tetap dimiliki harganya konsisten terus naik. Malahan, di lokasi tertentu peningkatan harga lebih dari yang diperoleh bunga deposito. Itu belum ditambahi dari uang hasil panen pertanian. Tentu makin bikin giur.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Keuntungan Punya Tanah Luas di Pedesaan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*