Banjirembun.com - Menjadi tuan tanah yang punya lahan minimal 1 hektar (10.000 m²) mungkin jadi impian banyak orang. Entah itu dengan cara menerima warisan tanah maupun beli sendiri dari hasil jerih payah. Salah satu alasannya, memiliki tanah luas merupakan bentuk investasi paling potensial. Di mana, uang yang "ditanam" dalam bentuk tanah dianggap paling aman.
Strategi meraih kuntungan dengan mempunyai tanah luas bukan cuma lewat langkah mendapatkan capital gain. Yakni, selisih harga yang gede antara saat beli dengan di waktu menjualnya. Lebih dari itu, tanah tersebut mampu dijadikan tempat bercocok tanam. Sebut saja dijadikan ladang, sawah, perkebunan, hingga peternakan skala besar.
Sayangnya, terkadang perkiraan di atas bisa meleset. Bukannya mendatangkan rupiah, memiliki tanah luas di pedesaan justru memperoleh kerugian. Hal tersebut terutama terjadi bagi penerima warisan. Serta bisa juga dialami oleh pengusaha atau wiraswasta yang butuh uang sehingga tak ada jalan lain lagi kecuali menjual tanah luas yang dimiliki.
Berikut ini tiga kerugian punya tanah luas di perkampungan:
1. Sulit Menjualnya
Kenaikan harga tanah di pedesaan sangat kecil pertahunnya. Apalagi tanah yang statusnya "persawahan". Barangkali kenaikan setiap tahun tidak melebihi 5%. Kalaupun dihargai agak tinggi akan berdampak sulit laku. Penjualan tanah yang menyulitkan bukan cuma karena jarang orang yang mencari tanah di kampung. Faktor lain adalah tanah luas butuh mengeluarkan anggaran besar.
Tanah kecil di pinggiran jauh dari kota ukuran 2.500 m² dihargai 500 juta. Dengan kata lain, permeter persegi dibanderol 200 ribu. Nah, ada tanah seluas 7.000 m². Padahal, "hanya" seharga 150 ribu/m² atau totalnya 1,05 miliar tetapi sulit terjual. Hal tersebut dikarenakan jarang sekali orang punya uang 1 miliar. Kendati ada, umumnya dipakai atau dialokasikan untuk keperluan selain pembelian tanah. Misalnya, sebagai modal bisnis.
|
Tanah luas di perkampungan daerah Kediri bagian selatan ( sumber gambar dari Google Earth) |
Agar ukuran jadi kecil sehingga mudah terjual perlu pemecahan sertifikat tanah. Sedangkan proses pemecahan sertipikat sendiri pada praktiknya butuh waktu dan biaya ekstra. Begitu pula, ketika tanah luas yang didapat ternyata hasil waris. Masih diperlukan proses "turun waris" yang berakibat tambahan anggaran makin bengkak. Lebih lengkapnya silakan baca Cara Memecah Sertifikat Tanah Hasil Hibah, Turun Waris, dan Bertujuan untuk Bisnis Tanah Kaveling Perorangan.
2. Sulit Merubah Status
Tanah luas minimal 5.000 m² di desa sangat jarang statusnya kuning, kering, atau yang kerap disebut tanah pekarangan atau perkampungan. Bahkan, yang luasnya di bawah itu statusnya tanah hijau atau basah masih teramat banyak. Yakni, tanah khusus persawahan atau non perumahan/pemukiman. Artinya, di atasnya tidak boleh didirikan bangunan.
Lebih mengerikan yaitu tanah persawahan hanya boleh dibeli oleh warga satu wilayah (sekecamatan) sesuai letak objek lahan itu berada. Barangkali maksudnya supaya dalam mengelola sawah, ladang, atau kebun biar mudah. Ketika yang membeli penduduk jauh mengakibatkan tanah terbengkalai alias menganggur. Apalagi, pembelinya orang kaya yang sibuk.
Harga tanah sawah tentu nilainya lebih murah ketimbang tanah pekarangan. Hendak merubah status tanah dari persawahan menjadi tanah perkampungan faktanya "terancam" sulit. Sebab, pemerintah punya perencanaan tata ruang. Mana saja area yang wajib dijaga statusnya demi stabilitas ketahanan pangan. Serta, wilayah mana yang dimudahkan untuk pembukaan lahan bagi pemukiman baru.
3. Lokasi Tak Strategis
Umumnya tanah di desa lokasinya tak strategis. Kalaupun letaknya potensial pasti sudah terpecah-pecah menjadi ukuran kecil. Malahan ukuran lahan yang gede sudah dibeli oleh developer perumahan, dijadikan pabrik, hingga pergudangan. Tentu saja harga permeter teramat mahal. Untuk memilikinya hanya mampu dilakukan pemodal, bandar, atau investor kelas kakap.
Risiko memiliki lahan luas yang lokasinya tak strategis yaitu biaya pajak tetap ada (ketika ditotal tinggi) tapi tanahnya kurang menghasilkan. Dimanfaatkan untuk ladang tebu maupun sawah palawija tak sembarangan dalam mengelola. Dibutuhkan perhatian tersendiri. Kalau ingin terbebas dari beban, salah satu caranya disewakan. Bisa juga dengan sistem kerja sama bagi hasil.
Ketika dipakai untuk pertanian atau perkebunan pun dalam pengangkutan hasil panen cukup sulit. Selain jalan sempit maupun berdebu belum aspal, faktanya pula masih makadam (jalan "ditanami" susunan batu rapi sebagai persiapan aspal yang biasanya waktu pengaspalan masih lama). Alhasil, kendaraan angkut serta buruh tani tentu kesulitan dalam mengaksesnya.
Disclaimer: Status legalitas tanah di atas yaitu SHM (Sertipikat Hak Milik). Kendati SHGB (Sertipikat Hak Guna Bangunan) pun merupakan sertipikat "murni" yang begitu mudah ditingkatkan ke SHM. Status tanah di atas ialah tanah yang dimiliki/dikuasai penuh alias permanen. Bukan tanah yang dimiliki sementara (hak pakai) sehingga legalitasnya berupa SHGU (Sertipikat Hak Guna Usaha) atau yang semacamnya.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
90% seseorang yg akan beli tanah di pedesaan jarang yg tidak punya rencana atas tanah tsb...
BalasHapusUmumnya utk pertanian dan perkebunan, jarang pula dia akan tinggal disitu...
Asal tahu saja, tanah bekas galian pertambangan mineral pun banyak yg cari, utk diusahakan jadi perkebunan, dan hasilnya bisa ratusan kali lipat dari harga tanah yg murah (Rp.20juta per hektar)...
Terbayangkah sudah ?
Terima kasih masukannya, sejujurnya tulisan di atas Jawa sentris, di mana jarang sekali pertambangan di Jawa, selain itu lahan di sana juga mulai menyempit...
Hapus