Banjirembun.com - Hindari mencoba-coba diet tanpa pendamping atau pembimbing yang ahli di bidang kesehatan. Baik itu tujuan dietnya untuk menjaga kesehatan, terapi penyakit tertentu, maupun ingin mengurangi berat badan agar tak obesitas.
Apapun itu jenis, model, atau bentuk perlakuan diet yang diterapkan tetaplah hati-hati. Terlebih lagi diet yang dilakukan amat ketat hingga mengarah ekstrim. Risiko yang didapat bukan cuma gejala gangguan kesehatan tetapi ancaman kehilangan nyawa.
Hanya bermodal dari bacaan dan video di media sosial tak akan pernah cukup jadi bekal. Ingatlah bahwa tubuh bukan sebagai ajang coba-coba. Barangkali, dalam masalah lain bolehlah belajar yang sumbernya dari internet. Namun, untuk kesehatan wajib disertai dokter.
Pakar kesehatan sangat dibutuhkan dalam mencegah, merawat, dan mengatasi keluhan di badan. Alih-alih diet makin membuat sehat, justru ujungnya petaka terkena penyakit parah. Di mana, berakibat bibit atau potensi penyakit yang selama ini masih "tidur" tiba-tiba terbangun.
Pengalaman Pribadi Diet Ekstrim yang Berujung Celaka
Tujuan saya diet adalah berhemat karena ada rencana beli rumah secara lunas. Ditambah setelah berhasil punya rumah berdampak tabungan uang semakin menipis. Padahal sebelumnya saya selalu punya simpanan uang berjumlah lumayan untuk jaga-jaga.
Saya punya hitung-hitungan sendiri agar bisa menyesuaikan antara penghasilan bulanan dengan kemampuan beli rumah. Namun apa boleh buat, meski sudah dibantu dan disokong orang tua supaya memiliki rumah, nyatanya risiko berstatus "miskin" tetap di depan mata.
Selain untuk cadangan atau mengantisipasi hal tak terduga, tabungan tersebut juga dianggarkan sebagai biaya pembangunan dapur atau sisi belakang rumah. Sebab, developer memang menjual hunian tanpa dapur. Pembeli sendiri yang merenovasi bagian belakang rumah maupun depannya.
Kenyataan berkata lain. Uang yang disisihkan tersebut habis digunakan membiayai pengobatan yang nilainya tidak bisa dibilang kecil. Terutama sejumlah obat dan suplemen yang harganya bikin berkidik. Sedikit demi sedikit duit simpanan tergerus ludes dipakai terapi dan pengobatan.
Berbagai aneka macam herbal, suplemen, dan obat yang sudah banyak saya beli. Fungsinya meredam gejolak autoimun. Sedangkan yang lain berguna mengatasi gejala sakit yang dialami. Sebab, fokus menghilangkan gejala yang muncul belum cukup ketika autoimunnya diabaikan.
Baca juga: Inilah Penyebab-penyebab Saya Terkena Gejala Autoimun
Tujuan lain saya diet yaitu ingin menerapkan hidup sehat di masa pandemi. Sebelum "negara api" tersebut menyerang berat badan saya 115 Kg. Nah, lantaran menerapkan diet autoimun di kala pandemi membuat berat badan saya turun menjadi 95 Kg kurang 6 bulan.
Perlu diketahui saya sudah biasa beli herbal di marketplace (pasar online). Bukan diniatkan untuk diet. Melainkan langkah antisipasi saja ketika ada gejala flu. Sebelum pandemi, saya terbiasa ke mantri (perawat pria yang buka praktik) atau dokter setahun dua kali disebabkan terserang flu.
|
Salah satu dari puluhan herbal yang saya beli di marketplace |
Singkat cerita puncak penurunan bobot tubuh saya mentok di 74 Kg. Maklum saja, saya sering menimbang menggunakan timbangan besar khusus manusia di apotek. Saya tidak ingin punya "penyakit" tambahan berupa kegemukan alias lemak di tubuh setelah sebelumnya terindikasi autoimun.
Menurut bacaan yang saya temui memiliki berat badan berlebihan berisiko mudah terserang penyakit. Bahkan, obesitas menjadi penyebab keparahan pasien covid alias jadi kormobid (penyakit penyerta). Tentu itu bikin dag dig dug untuk saya yang terlalu fobia pada situasi pandemi.
Sontak saja saya bertanya pada dokter "Apakah gejala penyakit yang saya alami ada hubungan dengan penurunan berat badan? Sebab saya melakukan diet vegan dok". Ternyata berdasar perhitungan dokter saraf yang saya temui itu, bobot tersebut masih ideal dengan tinggi badan 167 cm. Intinya, dia terkesan menampik.
Jadi, ceritanya saya ada gangguan saraf. Lantas langsung konsultasi pada dokter spesialis saraf. Barangkali semestinya saya datang dulu ke dokter umum. Sangat mungkin langsung dapat solusi. Ketimbang dokter spesialis yang patut dicurigai "mengeksploitasi" pasien "gugup" apalagi kondisi sepi saat pandemi.
Gejala yang saya alami berlangsung sangat lama. Dari gejala skala sedang di akhir februari lalu tiba-tiba memberat di awal maret hingga kini belum sembuh. Masih ada ketidaknyamanan saat berkendara sepeda motor. Serta masih mengalami kondisi yang perlu penanganan secara telaten.
Akhir kata, saya tak ingin berandai-andai. Seandainya tidak ada pandemi. Andaikan saya melaksanakan diet tepat. Serta perandaian lainnya. Semoga saja ini menjadi penyebab saya mendapatkan rahmat Allah SWT. Dosa-dosa terampuni lantas penyakit yang saya derita ini diganti dengan kebahagiaan sejati.
Nilai penting yang dapat saya ambil dari peristiwa di atas ialah "Manusia boleh berencana, tapi tetap ingat Allah SWT sudah menuliskan takdir di lauh mahfud". Tamat.
Disclaimer: Tulisan tentang cerita diet yang berujung penyakit parah ini hanya bersifat memberi wawasan tentang dunia kesehatan. Tidak dapat dijadikan rujukan maupun "alat pembenar" dari prasangka sebelumnya. Oleh sebab itu, guna mendapatkan kesimpulan utuh diperlukan membaca artikel-artikel lain tentang topik atau pembahasan terkait.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Diet Super Ketat yang Saya Lakukan Berakibat Kena Penyakit Parah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*