Banjirembun.com - Bisnis bakar uang adalah usaha mencari keuntungan finansial dengan cara mengalokasikan anggaran khusus untuk diberikan secara cuma-cuma pada konsumen dalam bentuk non tunai. Pemberian tersebut kadang disertai persyaratan tertentu. Namun, ada juga yang tanpa embel-embel apapun.
Dalam menerapkan taktik bakar duit menjadikan sebuah pusat usaha apapun jenisnya pasti mengalami rugi. Jika pada satu produk yang dipasarkan omsetnya lebih tinggi dari "modal" untuk kulakan maka bukanlah disebut bakar-bakar uang. Melainkan lebih pantas dikatakan sedang beriklan, promosi, "investasi" branding, atau perilaku pemasaran yang normal lainnya.
Umumnya dana untuk praktik bakar uang tersebut disalurkan pada pelanggan dalam wujud meliputi fasilitas gratis ongkos jasa kirim, diskon atau potongan harga, hadiah deposit uang elektronik yang tak bisa dicairkan (kupon, poin, koin, atau voucher), bonus produk (barang dan makanan), dan lain-lain. Intinya, pemberian tersebut didesain agar konsumen "ketagihan".
Subsidi alias bantuan yang diberikan oleh pebisnis semata-mata bukan tujuan sosial atau kemanusiaan. Melainkan cuma ingin merangsang pasar agar lebih bergeliat dalam aktivitas jual-beli atau bertransaksi di bisnis milik mereka secara konsisten. Sebab, kalau tidak "bakar duit" justru berakibat mengancam ketahanan atau eksistensi usaha kepunyaan mereka.
Faktanya, strategi bakar uang tidak cuma dilakukan oleh aplikasi di ponsel yang sedang merajalela sekarang ini. Pabrik, minimarket, rumah makan, sampai toko juga kerap melakukan bakar duit. Baik dalam jangka pendek maupun berperiode panjang. Serta berlaku pada satu sektor maupun sejumlah sektor produk. Ujung-ujungnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menguasai pasar atau memonopoli.
|
Contoh aplikasi di ponsel |
Kendati harus diakui, tetaplah enggak boleh terlalu buruk sangka pada perusahaan manapun yang melakukan bakar duit. Tidak semua dari mereka memiliki target bakar uang demi mencapai ke tahap monopoli pasar. Barangkali dari kelima target di bawah ini, mungkin tujuan yang ingin diraih hanya terfokus pada level nomor tiga atau empat.
Beberapa tujuan bakar-bakar uang di antaranya sebagai berikut:
1. Mendapatkan Perhatian Masyarakat
Pada awalnya bisnis bakar duit sangat memanjakan, menolong, dan "menyembah" para konsumen. Pebisnis rela melakukan itu supaya pandangan mata masyarakat tertuju pada mereka. Menjadi bahan pembicaraan, disanjung, mendapat puja-puji, hingga difavoritkan para konsumen. Dengan kata lain, banyak kalangan yang mulai penasaran.
Target pertama dalam tahap-tahap bisnis bakar uang yaitu dikenal dulu oleh masyarakat. Contohnya bakar duit diterapkan pada produk berasal dari negara yang terlanjur dikenal berkualitas buruk dan gemar memalsukan. Tentu stigma (cap) banyak orang pada semua produk bersumber dari sana langsung dikatakan jelek. Terutama oleh konsumen yang fanatik terhadap produksi bangsa lain.
Nah, untuk mematahkan cara pandang negatif seperti di atas dibutuhkan perlakuan khusus. Misalnya, ada produk telepon merk Oddol yang kalah pamor dari merk Samzun telah melakukan trik bakar uang. Menjual harga telepon sangat murah dibanding pesaing. Serta memberikan "persenan" pada setiap unit yang berhasil dijual oleh toko telepon dan salesnya.
Demi meraup bonus segede-gedenya gerai telepon memerintahkan sales atau karyawannya mengunggulkan telepon bermerk Oddol. Tatkala ada pengunjung toko menanyakan keberadaan dan spesifikasi merk Samzun wajib "dipersulit". Bahkan, menggiring opini yang terkesan seakan-akan merk Oddol lebih bagus dari brand Samzun.
2. Produk, Fasilitas, dan Layanan Dikenal Masyarakat
Memperkenalkan produk, fasilitas, dan layanan sangatlah penting dilakukan oleh para perintis maupun pengusaha yang mulai meredup bisnisnya. Mereka harus sadar diri untuk segera memperluas pasar agar jangkauan pelanggan lebih beragam dan banyak. Salah satu langkahnya melalui bakar uang dengan maksud biar dikenal dan "diakui" keberadaannya.
Pengusaha memberikan kesempatan konsumen untuk merasakan sendiri pengalaman menggunakan produk, fasilitas, dan layanan mereka. Barangkali harga produk di sebuah toko boleh sama dengan pesaingnya. Akan tetapi fasilitas tokonya bersih, rapi, dan ada AC. Ditambah pelayanan yang ramah, cekatan, dan transparan (ada struk).
Lebih sadis lagi di toko tersebut ada sejumlah merk tertentu yang harganya sengaja dijual murah. Antara biaya untuk kulakan barang dengan perolehan profit yang diterima dari barang itu tak seimbang. Dengan kata lain mengalami rugi. Itu belum termasuk dihitung biaya operasional menggaji karyawan serta risiko kerusakan maupun kehilangan barang karena dicuri.
3. Membiasakan Masyarakat
Semenjak pengalaman pertama memakai produk telah membuat para pelanggan terpuaskan, tentulah peluang untuk datang kembali atau manfaatkannya lagi lebih besar. Apalagi ternyata harga masih tetap murah, mendapat bonus, atau masih jadi tren (fenomena lazim). Seakan ada yang kurang ketika tidak memakai produk atau mendatangi pusat bisnis tersebut.
Mungkin saja calon konsumen enggan berkunjung atau menggunakan produk tertentu lantaran takut biayanya mahal, ribet, atau sungkan. Akhirnya toko jadi sepi. Padahal, suasana ramai di lokasi bisnis atau banyaknya penggunaan produk milik perusahaan tertentu sangatlah dibutuhkan. Toko atau warung makan yang ramai bakal menciptakan magnet tersendiri bagi calon konsumen lain.
Setelah sekali atau dua kali datang ke toko serta memakai produk tertentu, pada akhirnya lama kelamaan masyarakat sudah terbiasa. Bukan suatu hal tabu, rendah diri, atau bikin canggung lagi tatkala membeli produk tersebut. Malahan ada rasa bangga saat bisa memilikinya atau mengunjungi minimarket yang selama ini "dihindari".
4. Membuat Masyarakat Fanatik
Saat konsumen sudah percaya dan "bangga" memakai produk tertentu potensi merekomendasikan atau menyebarkan pada orang lain makin meningkat. Dengan begitu, pihak perusahaan mendapatkan keuntungan berupa promosi gratis yang dilakukan pelanggan. Artinya, strategi marketing "dari mulut ke mulut" telah diterapkan.
Sesudah merasakan sendiri bagaimana pengalaman menggunakan produk, fasilitas, dan layanan membikin konsumen jadi fanatik. Alhasil, meski harganya normal atau ekstrimnya lebih mahal sedikit dari para pesaing tidak membuat pelanggan "ngambek" lantas berpaling. Kecuali yang balik badan sebagian kecil saja. Di mana, kategorinya masih wajar.
Sebagaimana diketahui, membangun fanatisme masyarakat di era internet sekarang ini sangat sulit. Hal itu disebabkan oleh gampangnya mereka dalam mendapatkan informasi. Diperparah dengan semakin banyaknya para pesaing yang juga memasarkan produk mereka di dunia maya. Pada akhirnya, melalui bakar duit diharapkan muncul jiwa fanatik.
5. Membunuh Pesaing
Para pesaing yang akan merintis dibuat layu sebelum tunasnya bersemi. Begitu pula pesaing yang sudah lama bertengger ditembak jatuh agar tak ada posisi lagi di hati masyarakat. Itulah kejahatan tersedis dalam dunia bisnis. Kendati demikian, jangan memahami bahwa posisi konsumen diuntungkan. Justru, kedudukannya dipandang tak lebih dari sapi perah.
Dengan terbunuhnya para pesaing membuat satu perusahaan atau gabungan dua perusahaan yang berkongkalikong (kerja sama) sanggup memonopoli pasar. Target mereka menenggelamkan perusahaan ketiga, keempat, dan seterusnya dari peredaran publik. Pada akhirnya masyarakat hanya mengenal dua merk besar. Sedang merk lainnya dianggap "pelengkap".
Baca juga: Arti Istilah Alamak dan Kongkalikong Beserta Asal-usulnya
Sebagai renungan saja, pikirkan sejenak sebelum menjawab pertanyaan di bawah.
1. Sebutkan dua merk/brand minimarket apa yang paling banyak berdiri di pinggir jalan?
2. Sebutkan dua merk sepeda motor jenis matik/autometic yang paling banyak ditemukan di jalan raya?
Dari jawaban dua pertanyaan di atas sangat wajar seandainya terdapat pihak yang bertanya-tanya "Mengapa kedua merk tersebut menguasai pasar?". Patut curiga ada permainan atau kesepakatan di belakang yang membuat persaingan dua perusahaan itu "ditiadakan". Seharusnya harga didekte oleh hukum ekonomi tapi yang terjadi ditetapkan oleh kesepakatan 2 merk dagang.
Pantaslah dikatakan konsumen pihak yang dirugikan. Seharusnya bisa beli sepeda motor dengan harga "normal" tetapi nyatanya kedua perusahaan sepakat menjual produk masing-masing lebih tinggi. Mau memilih merk lain sudah terlanjur fanatik. Fakta lainnya, perusahaan pesaing terpaksa menghentikan produksi jenis sepeda motor matik yang kalah dalam persaingan.
Perilaku monopoli selanjutnya konon pernah terjadi yaitu di sekitar tahun 2000-an di kala krisis ekonomi masih berlangsung. Yakni, pabrik pakan ayam memproduksi makanan ternak yang harga perkarungnya teramat murah. Bukan lagi tidak mendapatkan laba. Melainkan mengalami rugi. Dengan kata lain, membakar uang untuk membunuh pesaing.
Pada waktu itu banyak peternak ayam yang beralih pada pakan ternak murah di atas. Mereka tak menyadari keputusan tersebut telah "membunuh" pabrik pakan yang selama ini sudah menjadi langganan. Setelah pabrik itu bangkrut, pabrik pakan yang menjual pakan murah itu tiba-tiba menaikkan harga sangat tinggi. Tak sebanding dengan harga telur atau daging ayam yang dijual peternak.
Nahasnya lagi, setelah banyak peternak yang tumbang berguguran secara ajaib lalu berdirilah peternakan ayam berkapasitas besar di mana-mana. Usut punya usut ternyata pemilik peternakan ayam kelas kakap itu merupakan kroni dari perusahaan pabrik pakan yang melakukan bakar uang tadi. Sedangkan, peternak kecil yang bangkrut sangat kesulitan untuk memulai bisnis kembali.
Sadar atau tak sadar, konsumen telah mendukung praktik monopoli. Bukan didasarkan fanatisme semata atau tak ingin mengeluarkan uang lebih besar lantaran mahal. Lebih dari itu, seakan malu atau risih ketika membeli produk lain. Dianggap ketinggalan zaman, norak, miskin, atau stigma tak bagus lainnya. Sejatinya, yang patut dijuluki "terbelakang" ialah mereka yang jadi sapi perah pebisnis rakus alias serakah.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Tahapan Memanipulasi Pikiran Konsumen dari Praktik Bisnis "Bakar Uang""
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*