Banjirembun.com - Penjual tanah dan rumah pribadi (milik perorangan) tak sedikit yang mengeluhkan dagangannya tak laku-laku. Padahal, menurut mereka harga jualnya murah. Serta merasa yakin betul tanah atau rumahnya punya kelebihan-kelebihan dibandingkan milik orang lain.
Intinya, penjual terlalu percaya diri dan berharap banyak lantaran sudah berkorban besar dengan melakukan berbagai hal untuk tanah dan rumah yang dijual. Ditambah, menurut perasaan dan kenangan tertanam di jiwanya, tanah maupun rumah miliknya ada unsur berkesan yang tak terlupakan.
Sejatinya, pembeli tak akan peduli pada bagaimana nilai memori yang terkenang indah di masa lalunya terkait pada objek properti. Serta, tak melihat kesulitan maupun berapa biaya yang telah dikeluarkan oleh penjual dalam merawat hingga merenovasi aset properti yang dijual.
Jangan menjadi manusia seperti "katak dalam tempurung". Menganggap sudah melakukan berbagai hal tetapi nyatanya apa-apa yang diperbuat masih kalah jauh dari banyak orang. Alhasil, mengira orang lain juga ikut menyukai tanah dan rumah yang dijual dengan kadar rasanya sama dengan dia.
Selain terlalu dominan dalam melibatkan perasaan yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain mengapa tanah dan rumah sulit terjual. Di antaranya sebagai berikut:
1. Pengumuman, Iklan, atau Promosi Kurang Greget
Hanya mengandalkan informasi penjualan dari mulut ke mulut bukanlah langkah tepat. Di zaman digital ini, memanfaatkan internet untuk memasarkan tanah dan rumah sangatlah lumrah. Baik itu melalui media sosial, masuk aplikasi pasang iklan berbayar (contohnya Google Ads), hingga website atau situs jual-beli properti.
Tak boleh lupa pasang pamflet, banner, atau spanduk yang cukup mencolok di sekitaran atau langsung tepat pada lokasi properti yang dijual. Gunakan warna, bentuk huruf, dan pemilihan kata tepat dalam promosi. Hindari sifat malu atau gengsi karena takut dibilang "tega" jual warisan atau lagi butuh uang.
Dalam mengukur keberhasilan memasang iklan caranya adalah dievaluasi. Apa sudah banyak yang menghubungi nomor ponsel yang dicantumkan? Kalau masih sedikit dan jarang yang menghubungi berarti penyebaran iklan kurang banyak. Bisa juga disebabkan metodenya keliru dan target "pembaca" iklan salah sasaran.
Menjual tanah luas yang angka rupiahnya gede dengan menjual tanah ukuran kecil apalagi kaveling, tentu karakter calon konsumen yang dibidik berbeda. Tanah yang berukuran luas fokuskan iklan pada orang-orang berduit seperti peternak ayam kapasitas raksasa, pemilik pabrik/gudang, sampai investor kelas kakap.
Penjual tanah dan rumah yang berharap banyak pada "pertolongan" makelar atau perantara malahan kadang berdampak tanah dan rumah lama terjual. Mau berkilah apapun, namanya mediator properti pasti cari uang. Ditambah lagi, posisi mereka tidak jelas. Apakah memihak penjual atau pembeli? Bagi mereka harus cepat laku, biar duit segera "cair".
2. Cara Komunikasi Transaksi yang Buruk
Walau anti alias menghindari makelar, tetapi janganlah lisan salah mengucap tatkala berdiskusi dengan mereka. Barangkali justru perantara tersebut memang niat benar-benar ingin membantu tanpa meminta penjual mengurangi harga. Setiap ada yang menghubungi atau bertamu layani dengan penuh kejantanan tapi tetap sopan.
Kekeliruan fatal dalam berkata-kata dapat menyakitkan hati. Kalau itu terjadi, langsung atau tak langsung serta dalam jangka cepat atau lambat, dampak negatif bakal didapat. Setidak-tidaknya, tanah dan rumah tersebut bakal di-blacklist oleh para makelar. Akhirnya, saat ada orang yang ingin beli "dihalang-halangi" oleh mereka.
Hal yang sama juga, cegah diri menyakiti tetangga atau orang-orang di sekitar objek properti yang dijual. Mungkin saja calon pembeli saat survei lapangan bertanya-tanya pada mereka. Terkadang orang yang ditanya itu tiba-tiba berubah jadi makelar dadakan. Berupaya melibatkan diri dalam transaksi supaya dapat persenan.
Baca juga: 3 Pengalaman Pribadi Saat Tanya-tanya Malah Ketemu Broker atau Makelar Dadakan
Lebih diutamakan yaitu tatkala transaksi dengan calon pembeli juga harus benar-benar profesional. Jauhi membedakan (apalagi harganya beda) satu peminat tanah atau rumah dengan peminat lain. Sebab, bisa jadi mereka satu komplotan yang sedang "mengetes ombak". Intinya, tetap jaga kewarasan demi mampu bertahan dalam proses penjualan.
Poin terakhir ialah calon pembeli yang nampaknya miskin, tak serius mau beli, dan banyak bertanya barangkali itulah yang benar-benar ingin serta mampu membeli lunas tanpa tempo. Sebaliknya, jangan terperdaya pada pembawa kendaraan mewah. Ketimbang menyesal karena terlalu berharap lebih, yang pada akhirnya berujung pembeli "necis" itu menawar murah atau mau beli dengan syarat mencicil.
3. Tanah dan Rumah Tidak Di-upgrade
Upgrade atau peningkatan merupakan komponen penting yang direkomendasikan untuk diterapkan dalam jual beli tanah dan rumah. Baik itu dari kualitas maupun kuantitasnya. Bisa jadi, peminat objek properti yang dijual jumlah orang yang datang meninjau lahan sedikit karena kondisi barangnya tak menarik untuk dimiliki.
Guna meningkatkan kualitas tanah dan rumah, langkahnya ialah melalui merubah legalitasnya. Awalnya Sertifikat Hak Milik (SHM) masih atas nama almarhum orang tua lantas diubah jadi nama penjual (ahli waris). Awalnya suratnya masih girik (belum sertifikat) dan masih Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) ditingkatkan ke SHM.
Biaya perubahan dan peningkatan status di atas secara resmi dengan mengajukan sendiri ke kantor BPN tidaklah mahal. Kalau pun mau "dititipkan" biayanya sekitar 1 hingga 5 juta. Efek positif yang didapat harga properti mampu naik tajam. Bahkan, walau terkesan mahal sangat mungkin terjual ekstra kilat.
Sedangkan upgrade kuantitas tanah dan rumah caranya yaitu memastikan lahan dalam keadaan bersih dari rumput atau tumbuhan liar lainnya. Jika dipandang perlu maka lakukan "permak" atau poles sewajarnya. Misalnya lahan diuruk dan diratakan. Lantas rumah dicat ulang dengan warna berbeda dari sebelumnya.
Item berikutnya yang sayang diabaikan di antaranya meliputi lahan yang statusnya "hijau" dan "basah" (hanya dikhususkan untuk persawahan) terapkanlah "pengeringan" tanah. Hal itu supaya status tanah sesuai aturan sehingga boleh dibangun rumah di atasnya. Tanah "kuning" dan "kering" umumnya berharga tinggi.
|
Lahan hijau untuk persawahan |
Terakhir yang patut dicoba ialah memecah sertifikat tanah menjadi beberapa petak. Kalau memungkinkan hingga ukuran kaveling. Yakni, antara 60-250 m². Harga permeter tanah kavling jauh lebih "silau" dibandingkan lahan luas. Terkait cara jual beli kaveling milik perorangan silakan baca tulisan tersebut di situs Banjir Embun ini.
4. Tanah dan Rumah Berada di Zona Merah
Kawasan zona merah adalah wilayah tertentu yang harga jualnya rendah dan banyak dijauhi investor properti. Disebabkan tingkat kriminal tinggi, pusat polusi, rawan bencana alam, hingga hal-hal lainnya yang berisiko parah pada kesehatan, keamanan, maupun kenyamanan. Misalnya ada tower SUTET dan menara BTS.
Tanah dan rumah yang berada di zona merah atau hitam amat sulit laku. Meski harganya terlewat murah belum tentu mudah terjual. Orang-orang kaya raya akan berpikir ulang sebelum memutuskan beli properti di sana. Menurut mereka lebih baik pilih lokasi lainnya yang aman dan berpotensi jelas.
Ada peraturan dari negara bahwa setiap individu dibatasi haknya dalam memiliki tanah dari segi luas dan jumlah bidang/petak lahan. Untuk lahan "kering" setiap orang maksimal hanya boleh memiliki 5 Sertifikat Hak Milik. Di mana, luas maksimal 5.000 m². Adapun lahan "basah" ketentuannya berbeda lagi.
Kendati demikian, tetaplah waspada. Patut dicurigai suatu kawasan memang didesain atau diciptakan menjadi zona merah oleh mafia jual-beli tanah. Dengan tujuan pemilik tanah mau menjual dengan harga murah. Setelah banyak tanah mereka kuasai, kemudian dibangunlah pusat perumahan mewah.
Baca juga: 3 Contoh Taktik Licik Mafia Jual-beli Tanah dalam Mendekte Harga Pasar Properti
5. Harga Jauh di Atas Pasaran
Harga murah atau mahal merupakan sesuatu yang relatif. Menurut orang lain harga mahal, tapi di tangan orang tepat dan berduit harga yang ditawarkan bisa dianggap murah. Mungkin inilah yang dimaksud dengan membeli tanah dan rumah ibarat mencari jodoh. Kalau sudah ketemu yang cocok pasti dipermudah.
Harga jual yang terlalu "berani" menyebabkan dijahui makelar. Apalagi penjualnya tetap ngotot mempertahankan. Memang betul pemilik tanah atau rumah berhak pasang banderol berapapun. Namun, siapkan hati menghadapi omongan masyarakat. Serta tentunya bersiaplah properti akan lama terpinang oleh pembeli.
Dalam dunia properti tidak ada harga pasti. Peluang harga berubah dalam jangka pendek sangat mungkin terjadi. Oleh sebab itu, saat transaksi atau diskusi dengan makelar maupun pembeli tekankan dan ingatkan pada mereka bahwa sebelum ada pemberian uang tanda jadi (pengikat) atau DP harga bisa dinaikkan sewaktu-waktu.
Strategi transaksi di atas lebih "berguna" daripada langsung pasang harga setinggi-tingginya lalu menunggu ada yang nego atau menawar. Manfaat selanjutnya agar penjual terhindar dari para calon pembeli yang plin plan. Yakni, bolak-balik menawar harga dari yang awalnya rendah lantas di lain hari ditambah dikit demi sedikit angka penawarannya yang tentu mengganggu.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Penyebab Tanah dan Rumah yang Dijual Sulit Laku"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*