Banjirembun.com - Dari sekian banyak faktor penentu harga tanah, salah satu yang kerap luput disadari banyak orang adalah ukurannya. Semakin kecil luas tanah di pinggir jalan raya semakin mahal harga permeternya. Selisih harga bisa naik hingga 100-200% harga pasaran. Bahkan, dalam kasus tertentu tembus 5 kali lipat.
Sayangnya, sebagaimana yang pernah diuaraikan pada tulisan di sini, untuk memecah lahan menjadi tanah kaveling milik perorangan (bukan PT/perusahaan) ada ketentuan tersendiri. Namun, itu sejatinya masih jauh lebih mudah diterapkan. Selengkapnya silakan buka tautan berikut https://www.banjirembun.com/search/label/Properti.
Perlu diperjelas lebih dulu. Pembahasan artikel ini bukan tentang tanah kaveling di sebuah perumahan yang sudah terbangun banyak rumah dan kehidupan sosialnya telah mapan. Melainkan tanah kaveling di daerah pinggiran, penyokong pusat aktivitas area perkotaan. Malahan, mungkin jaraknya bisa lebih jauh lagi sehingga suasana masih asri.
Sebagai informasi, dimensi atau ukuran ideal dari kaveling minimal 60 m². Di mana, lebar muka 6 m lalu panjang ke belakang 10 m. Akan tetapi faktanya, banyak yang menjual di bawah itu. Umumnya 40 m² dan 50 m². Lebih parah lagi ada yang menjual 30-35 m². Di mana, luas tersebut jauh dari kata "layak" untuk dibangun rumah tipe standar.
Kenapa harga tanah kavling lebih mahal?
1. Diperlukan Pemecahan Lahan
Memecah sertipikat lahan yang luas sehingga terbagi-bagi menjadi ukuran kaveling tentunya butuh waktu dan biaya. Serta ada ketetapan dari pemerintah terkait hal tersebut. Salah satunya, individu dibatasi memiliki SHM (Sertipikat Hak Milik) tanah kuning/kering lebih dari 5 bidang atau petak tanah.
Belum lagi dalam misi memuluskan izin pembebasan sebagian lahan milik pribadi yang dirubah menjadi fasilitas umum. Misalnya, digunakan sebagai jalan atau gang di dalam area tanah kaveling. Lantas pengurusan merubah lahan hijau/basah menjadi lahan permukiman. Dengan begitu, pemilik kaveling kelak dapat langsung mengajukan PBG/IMB.
|
Ilustrasi sebidang tanah yang potensial dikaveling |
2. Konsekuensi dari Logika Dagang
Logika ekonomi yang lumrah ditemukan yaitu "harga retail/eceran lebih mahal ketimbang harga grosir". Dengan kata lain, membeli dengan jumlah banyak akan lebih murah dibandingkan beli sedikit. Uniknya, meski harga eceran lebih mahal dari "borongan" nyatanya tetap laris manis. Apalagi tatkala itu barang kebutuhan sehari-hari.
Ukuran tanah yang kecil tentunya membuat harganya dapat disesuaikan dengan angka rupiah yang ada di dompet pembeli. Misalnya, tanah seluas 1.000 m² harganya 300 juta atau 300 ribu/m². Nah, saat dipotong-potong harga permeter persegi menjadi 650 ribu. Artinya, luas kaveling 100 m² dihargai 65 juta. Dengan begitu, harga tanah lebih terjangkau untuk dibeli.
Cukup dengan uang 65 juta saja sudah "berstatus" punya tanah. Walau ukuran mungil, setidaknya sudah punya tanah daripada sama sekali benar-benar "hampa". Tanpa perlu lagi terbebani mengumpulkan 300 juta terlebih dulu supaya mampu memiliki tanah. Inilah barangkali yang disebut dengan istilah "semua berkesempatan punya tanah".
3. Menyesuaikan Kebutuhan Pembeli
Lebih penting dari sekedar hitungan angka duit, kenyataannya luas tanah yang diidamkan itu sesuai kebutuhan. Tidak terlalu luas serta tidak kekecilan. Buat apa beli tanah luas tapi tidak sempat mengelola sendiri. Lebih baik beli ukuran secukupnya sesuai takaran kebutuhan. Agar uang sisanya bisa dianggarkan ke sektor lain.
Tanah yang kecil menimbulkan kesan ekslusif, langka, dan mudah dirawat. Bagaimanapun, sebidang tanah sifatnya unik. Dalam artian, tidak ada satupun yang sanggup saling menyamai satu sama lain. Berbeda halnya dengan kendaraan yang bisa diduplikat atau digandakan. Intinya, di muka bumi ini tidak ada satu titik tanah yang sama. Hanya ada di satu tempat dan tidak ada lagi di lainnya.
Sebagai bonusnya, tanah kaveling dapat dimanfaatkan sebagai sarana belajar. Yakni, bagi pemula yang belum pernah sama sekali melakukan transaksi jual-beli properti. Nahasnya, perlu diakui dari semua jenis penipuan di dunia properti, pada bidang bisnis tanah kavelinglah yang paling banyak makan korban. Sasarannya terutama orang awam yang punya duit tapi minim wawasan properti.
4. Penjual Melakukan Promosi
Tanpa disertai promosi cerdas, sebuah lahan kaveling sulit laku. Cuma mengandalkan "titip" jual maupun promosi dari mulut ke mulut bikin buang-buang waktu semata. Masih mending ketika dengan cara itu harga jual sesuai perencanaan. Risikonya, yang terjadi banyak yang menawar dengan harga yang jauh rendah di bawah patokan.
Di era digital ini banyak sekali sarana promosi atau iklan berbayar di media sosial. Salah satunya melalui Google Ads. Dengan cara itu, pembaca brosur jual kaveling langsung tertuju pada para peminat tanah. Alhasil, risiko dianggap sebagai iklan "sampah" menjadi terminimalisir. Sebab, yang membaca dan melihatnya merupakan penyuka atau pencari kaveling.
Belum lagi jika melibatkan agen marketing atau karyawan, serta cetak brosur maupun pasang baliho, maka biayanya makin membengkak. Ditambah keterlibatan makelar yang barangkali bagi hasil, komisi, atau persenan yang diminta cukup besar. Semuanya wajib dipikirkan masak-masak agar pengeluaran yang dilakukan tidak melebihi pemasukan.
5. Biaya Merapikan Lahan
Lahan luas yang masih mentah butuh dimatangkan dulu agar siap dijual. Bukan melulu fokus soal perizinan atau legalitas. Lebih dari itu pula jangan ketinggalan mengolah fisik tanah. Caranya dengan merapikan tanah. Hal itu, guna lebih terlihat cantik dan menarik. Contohnya, memasang patok pembatas di masing-masing sudut kaveling.
Tentunya sebelum diberi patok atau kadang batas lebih "dipertegas" dengan bentuk pondasi semi permanen, permukaan tanah diratakan dan dibersihkan lebih dulu. Malahan bagusnya harus ditinggikan alias diuruk. Ada juga yang diberi paving dan dibangun saluran air. Prinsipnya, semakin banyak uang yang dikeluarkan penjual untuk memoles kaveling semakin mahal harganya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Alasan Tanah Kaveling Harga Permeter Persegi Lebih Mahal Daripada Lahan Luas "
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*