Banjirembun.com - Aset tanah saja ataupun disertai bangunan di atasnya yang dimiliki dengan tujuan bisnis alias mencari keuntungan sejatinya pantas disebut properti. Sedangkan, tanah atau bangunan yang dibeli untuk dipakai sendiri hingga umur menua lantas diwariskan/dihibahkan lebih pas disebut harta peninggalan, rumah tinggal, atau semacamnya.
Tulisan ini lebih khusus ditujukan kepada pelaku investasi atau pebisnis properti yang ingin memperoleh keuntungan gede berlipat-lipat dari hasil memilikinya. Entah dengan cara menyewakan maupun mengambil selisih harga sebesar-besarnya antara harga saat membeli dengan waktu menjualnya. Jadi, kenaikan harga tiap tahun diharapkan bukan cuma recehan.
Alasan kenaikan harga properti tidak pesat tiap tahunnya:
1. Membeli Properti Dengan Harga Tak Wajar
Prinsip bisnis atau dagang adalah memperoleh, memproduksi, atau menciptakan barang yang biayanya serendah-rendahnya lantas menjualnya dengan harga setinggi-tingginya. Oleh sebab itu, dalam proses kulakan alias pengadaan barang mesti dilakukan secara jeli dan melakukan seleksi. Jangan asal ambil.
Begitu pula saat memburu properti, harga yang ditawarkan penjual harus wajar. Yakni, antara kondisi riil atau fakta di lapangan selaras dengan banderol yang ditetapkan. Artinya, harga yang ada bukan akibat hasil "gorengan" atau permainan dari mafia tanah. Di mana, ada kerja sama komplotan. Kerapkali meliputi bandar, makelar, "mata-mata", sampai pejabat nakal.
Baca juga: 3 Contoh Taktik Licik Mafia Jual-beli Tanah dalam Mendekte Harga Pasar Properti
Kenaikan tertinggi yang masih layak ditoleransi yaitu 30-50 persen dari harga pasaran. Dengan catatan harga pasar atau standar itu dalam keadaan normal. Bukan setelah digoreng beberapa kali oleh mafia jual-beli tanah hingga harganya mencapai puncak level jenuh. Dalam artian, sudah mustahil ada yang mau lagi membelinya di atas itu, walaupun sudah "digoreng".
Harga properti tinggi sebaiknya dipakai untuk kegiatan berwirausaha. Setidaknya disewakan. Bukan dengan dianggurkan begitu saja. Jalan terakhir ialah dipakai sendiri untuk tempat singgah beristirahat bersama keluarga setelah capek bekerja seharian. Apapun dalihnya, ongkos properti mahal bakal sulit meraih keuntungan di atas 5% tiap tahunnya.
Misalnya, Fulan pada tahun 2022 membeli tanah kaveling milik pribadi berlegalitas SHM di perkampungan (lingkungan ladang dan sawah mepet pemukiman). Ukurannya 100 m² dengan harga 150 juta atau 1,5 juta/m². Padahal, harga pasaran tanah di sana mentok cuma 300 ribu permeter persegi. Nah, tentu Fulan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan di masa mendatang akan kesulitan.
Diperkirakan, dalam 5 tahun ke depan dengan sejumlah faktor pendukung membuat harga pasaran tanah di kampung itu meningkat pesat jadi 750 ribu/m². Artinya, terjadi kenaikan harga 150%. Sangat sulit bagi Fulan menaikkan harga dengan persentase sama senilai 3,75 juta/m². Barangkali dijual 1,8-an juta permeter masih memungkinkan. Namun, butuh iklan/promosi gencar.
2. Beli di Kawasan Padat
Area padat, umumnya angka jual properti sudah bengkak. Tanah dihargai antara 5 juta hingga melebihi 20 juta permeternya. Dampaknya, bila dihitung nominal persennya maka untuk kenaikan pertahun di atas 7% dari harga beli amatlah susah. Berbeda dengan kawasan pinggiran yang potensi naiknya lebih 20%. Malahan, bukan omong kosong mampu tembus ratusan persen dalam setahun.
Contohnya, Fulanah punya uang 1 miliar. Dia bingung mau investasi di kota kecil atau pilih di desa. Dengan duit segitu ia mampu mempunyai tanah seluas 100 m² (10 juta permeter) di pusat keramaian. Adapun di desa bisa mendapatkan lahan 5.000 m² (200 ribu permeter). Berhubung dia orang sibuk akhirnya memutuskan investasi di pedesaan.
Fulanah berfikir uang 1 miliar bakal sulit meningkat ketika aset properti itu hanya berupa tanah menganggur di kota. Semestinya dibangun ruko atau rumah kos dulu agar nilai jualnya meningkat tajam. Serta pula bisa disewakan perbulan/pertahun. Sayangnya, selain butuh uang tambahan untuk membangunnya terdapat risiko lainnya berupa menambah kesibukan dan beban pikiran.
Diasumsikan, uang satu miliar yang diendapkan di kota yang diwujudkan dalam bentuk kaveling kenaikan harganya mungkin maksimal 10% pertahun. Sedangkan di kampung, nilai kenaikan tanahnya bisa 20% lebih. Tentunya, lokasi maupun kondisi tanah yang dibeli tersebut berkualitas. Meski di daerah pinggiran, aset properti tersebut kelasnya "premium" atau istimewa.
Item kedua ini juga berlaku saat beli hunian atau kaveling di area perumahan. Terlebih lagi yang masih tergolong baru alias proyek berjalan belum rampung. Rumah seharga 700 juta ke atas untuk balik modal saja atau harga jualnya setara saat beli dibutuhkan waktu 2-5 tahun. Itupun, mesti ada sedikit pemolesan agar tampak kinclong. Begitu pula kavlingnya hampir bernasib sama.
Mau memaksakan jual di waktu tak tepat bakal sulit laku. Kecuali harga diturunkan drastis. Bagaimanapun, investasi di perumahan yang baru dirintis, sekalipun itu berada di kawasan pinggiran jauh dari kota, jika ukuran kapasitasnya besar terdiri ribuan unit rumah maka hampir dipastikan bukan tempat ideal untuk investasi. Alasannya detail sudah dijelaskan di artikel lain di situs Banjir Embun.
Perlu ditekankan bahwa segala pernyataan di atas merupakan keadaan pada umumnya. Ketika ada situasi khusus yang unik tak boleh serta-merta diikuti jejaknya. Misalnya ada konsumen yang punya uang banyak tapi buta masalah properti, kebelet punya rumah, hingga objek yang dijual cocok di hati sangat mungkin harga yang tinggi pun tetap dia beli.
3. Ukuran Lahan atau Bangunan Tidak Tepat
Dalam berinvestasi properti dibutuhkan strategi. Hindari merasa punya uang, kemudian beli begitu saja tanpa mempertimbangkan dahulu. Salah satunya tentang apakah ukurannya telah tepat. Sebab, membeli properti wajib diadakan penakaran. Apakah luasnya sesuai dengan kebutuhan bisnis dan kemampuan untuk mengelolanya.
Kalau kenyataannya masih belajar di dunia properti, apalagi baru pertama kali beli, disarankan investasi tanah kaveling. Ukurannya 60 m² yang lokasinya jauh dari kota. Dengan harga kisaran 1 jutaan permeter persegi. Rasakan dan nikmati dulu sensasi atau feel memiliki tanah atas nama sendiri. Tentu, kelak tak boleh berharap cepat-cepat untung besar dari hasil laba penjualan.
|
Aset properti di pinggiran Kota Malang (sumber gambar dari Google Earth) |
Membeli tanah ukuran kecil seperti kaveling biasanya harga permeter sudah mahal. Oleh sebab itu, bila ingin mendapatkan harga murah maka dianjurkan membeli lahan dengan luas minimal 1000 m². Dengan begitu, penjual akan memberikan harga "grosir" atau borongan. Akibatnya, akan jauh lebih murah daripada beli satu petak mungil. Perlu dicatat, resep ini makin "manjur" pada wilayah pinggiran.
Bagaimanapun, jual-beli properti itu bersifat unik. Barangkali ia bisa diukur, dikalkulasikan, atau disimpulkan dari berbagai informasi yang telah dikumpulkan. Akan tetapi terkadang hitung-hitungan di atas kertas berbeda di lapangan. Ambil kasus sebagai pelajaran, terlanjur bangun rumah kos ukuran besar ternyata justru menyebabkan tak diminati konsumen lantaran terkesan seperti lingkungan "pasar".
Baca juga: 5 Alasan Tanah Kaveling Harga Permeter Persegi Lebih Mahal Daripada Lahan Luas
Pengalaman lain yang patut direnungkan, ukuran properti yang dijual janganlah ditujukan berdasarkan standar pemodal atau pebisnis properti. Sebab, seorang pemakai atau "konsumen akhir" terkadang tak begitu memikirkan untung-rugi. Terpenting bagi mereka legalitas aman, tak ada risiko penipuan, harganya mampu dibeli, ukuran cocok, dan karakter properti yang ingin dimiliki sesuai hatinya.
Ambil sebuah kisah nyata. Ada arsitek yang pinjam uang Rp. 650.000.000 di bank untuk beli kaveling di perumahan dengan ukuran 300 m² (lebar 12 × panjang 25). Lantas dia membagi lahan itu menjadi dua. Setelahnya, dibangunlah rumah yang penampilannya cantik. Masing-masing rumah yang ditingkat 2 lantai tersebut berukuran tanah 150 m² (6×25) terjual 800-an juta.
Intinya, lepas kepemilikan properti pada orang tepat agar harganya "menggila". Konsekuensinya, gunakan strategi penjualan properti sebagaimana layaknya pebisnis. Bukan seperti masyarakat awam yang terima warisan berupa aset properti. Lalu, tergiur rupiah besar atau lebih miris butuh anggaran mendesak sehingga menjual properti peninggalan keluarga pada bandar atau pemodal.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "3 Penyebab Kenaikan Harga Aset Properti yang Baru Dibeli Pertahunnya Hanya Receh"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*