Banjirembun.com - Status miskin maupun kaya merupakan hal relatif, subjektif, dan temporal. Tergantung pada siapa yang memandang, kapan saat melihat, dan di mana lokasinya. Meski standar atau tolok ukur batas terendah penghasilan bisa ditetapkan, nyatanya unsur "keberkahan" tetap beda.
Artinya, kemiskinan serta kekayaan jangan dihitung berdasarkan pada berapa minimal besar pendapatan duit perbulan. Sebab, seratus ribu rupiah di satu daerah tidak cukup untuk hidup tiga hari. Sedang, di daerah lain bisa dipakai satu pekan lebih.
Dengan nominal uang segitu orang kampung bisa memanfaatkannya untuk beli bahan pangan mentah. Malahan sebagian sudah tercukupi dengan memetik di kebun, ladang, atau sawah. Lantas dimasak sendiri. Tanpa perlu pusing memikirkan menu aneh-aneh.
Menurut masyarakat kota barangkali seseorang telah memenuhi kriteria sehingga layak disebut sebagai orang miskin. Namun, nyatanya meski dianggap miskin sebagian uang hasil jerih payahnya mampu dikirimkan kepada keluarganya di desa guna bertahan hidup secara layak.
Perbedaan Orang Miskin Kota dengan Miskin Desa
Walau hidup sederhana penuh kesahajaan dan keterbatasan fasilitas, faktanya mayoritas warga desa apalagi di daerah "dalam" tak terlalu pusing dengan gaji bulanan. Kebutuhan hidup mereka ditopang hasil panen pertanian dan peternakan.
Berbeda dengan orang miskin kota. Lahan subur yang sempit membuat mereka harus bekerja "menghindari tanah" agar memperoleh uang. Entah itu dengan cara ikut perintah atasan atau juragan maupun bekerja mandiri dengan cara berdagang serta menjual jasa.
Menjadi pemulung sejatinya bentuk dari berdagang. Mengumpulkan barang rongsok lalu dijual kepada pengepul. Begitu pula tukang jahit, tukang pijat, kuli, tukang kebun, asisten rumah tangga (pembantu), atau semacamnya merupakan penjual jasa atau keterampilan.
Intinya, untuk makan mereka butuh uang. Tidak bisa menggantungkan ke hasil pangan bumi. Gagal mendapatkan penghasilan risiko lapar makin meningkat. Alhasil, jalan yang ditempuh berhutang. Bahkan, cara terekstrim dengan berbuat kriminal.
Orang miskin kota lebih rentan terkena depresi akibat beban kerja dan persaingan gaya hidup yang ketat. Itulah yang menjadi faktor mudahnya terjadi pergesekan dan benturan antar sesama. Setiap terjadi keributan ujung-ujungnya masalah kekuasaan "bisnis" dan harta.
Adapun konflik dan kekerasan yang terjadi pada orang miskin desa bukan disebabkan uang. Melainkan harga diri, kekeluargaan, dan kehormatan kerap jadi penyulut terjadi tindak pidana. Sekali lagi, itu bukanlah semata-mata demi kekayaan.
Baca juga: 5 Jenis Perbuatan Serakah yang Dilakukan Hanya Oleh Orang Kaya
Kalau ada orang miskin desa rebutan akses perairan atau lebih parah rebutan batas lahan, itu bukan serta merta disebut rebutan benda dunia. Melainkan, keberanian orang lain yang telah mengusik martabat hak kepemilikan yang mendasari saling menyerang.
Entah di mana pun tempatnya hampir semua rakyat miskin jadi komoditas bagi para bangsawan, pejabat, dan konglomerat. Tenaga mereka diperah untuk menghasilkan kekayaan. Perilaku mereka dikendalikan oleh para majikan. Serta suara politik mereka dieksploitasi birokrat haus kekuasaan.
Untungnya, sekarang ini zaman telah berubah. Kemiskinan bagi penduduk kota belum tentu selaras dengan kebodohan atau ketidaktahuan. Dengan adanya internet membikin siapapun, termasuk kaum miskin, mampu memiliki sumber daya untuk melawan. Tak ada lagi sekat dan tempat bersembunyi dari serangan mereka.
Boleh dikatakan, sama-sama miskin antara orang desa dan kota ternyata nasibnya beda. Orang miskin kota punya posisi dan nilai tawar lebih di bidang pergerakan laju ekonomi. Sedangkan orang miskin desa memiliki daya tarik politik. Baik saat pemilu, pilkada, hingga pilkades. Sama-sama "diperas" tapi jumlah upahnya terjadi kesenjangan.
Perbedaan lain antara orang miskin desa dan orang miskin kota adalah masalah peluang merubah nasib. Masyarakat miskin kota lebih berkesempatan besar meningkatkan pendapatan berlipat-lipat ketimbang masyarakat miskin desa. Hal tersebut bukan cuma ditentukan oleh karakter budaya yang berbeda.
|
Ilustrasi kontrakan orang desa yang merantau |
Sebuah kenyataan tak terbantah, sarana dan prasarana di perkotaan lebih mendukung untuk mencapai impian. Contoh mudahnya yaitu akses internet yang lancar dan murah. Dengan fasilitas tersebut wawasan, pengalaman, pengetahuan, dan ilmu-ilmu dapat diserap banyak tanpa batas.
Diakui atau tidak, generasi muda yang ingin benar-benar hidup mandiri memang harus merantau ke kota. Kendati demikian, sebagaimana potensi yang menggiurkan di kehidupan kota juga harus diperhatikan risiko yang tak kalah mengerikan.
Baca juga: Tak Perlu Merantau ke Kota, ini 5 Jenis Usaha yang Menggiurkan di Pedesaan
Peluang besar berbanding lurus dengan tantangan berat yang menghadang. Jangan memikirkan yang enak-enak semata. Namun perhitungkan pula ancaman-ancaman yang dapat merusak keimanan serta mengganggu kesehatan jiwa dan raga.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Perbedaan Orang Miskin Kota dengan Kaum Miskin Desa"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*