Banjirembun.com - Pembeli adalah raja. Itulah pepatah yang cukup terkenal. Sayangnya, tak semua raja punya wawasan dan pengalaman mumpuni. Alhasil, amat mungkin dibodohi dan dimanfaatkan orang jahat. Terutama oleh para mafia properti.
Terkadang sales atau marketing tanah dan rumah, baru mau antusias melayani pembeli tatkala ada peluang untung besar. Terlihat pembeli berpenampilan kaya dan terlihat serius mau beli, baru melayani sepenuh hati. Di dalam otak isinya cuma ingin dapat uang.
Motivasi penjual, seles, marketing, atau broker yang cuma berorientasi duit berpotensi menyakitkan hati pembeli. Lebih baik tinggalkan dan jauhi penjual seperti ini. Mental yang mereka miliki mirip seperti "babu". Hanya ramah pada orang berduit.
Baca juga: 5 Sikap Karyawan Toko ini Menunjukkan Mental Babu
Lebih parah lagi, demi meraup pundi rupiah mereka melakukan penipuan. Tidak ada niat serius untuk melakukan transaksi secara terbuka. Ada yang ditutupi, terutama ketika tahu calon konsumen tersebut masih buta dan tak ada pengalaman di bidang properti.
Hati-hati pada tipu muslihat para pencari uang dari hasil jual-beli properti. Baik itu penjual sendiri alias pemilik barang, sales, maupun perantara (blantik) semuanya patut diwaspadai. Mereka terkadang menggunakan pendekatan ilmu kejiwaan (psikologi) untuk mengelabuhi pembeli.
Misalnya, ada rumah yang dijual oleh pemiliknya seharga 225 juta. Lalu terdapat makelar yang telah sepakat dengan penjual tersebut bahwa boleh mark up (menggelembungkan harga). Lantas, dia mematok harga 255 juta pada calon pembeli. Di mana, angka tersebut cuma untuk mengamankan posisi tawar.
Padahal, target keuntungan yang ingin diraih yaitu 20 juta alias terjual 245 juta. Seapes-apesnya dapat selisih harga 15 juta sudah lumayan. Mengetahui hal seperti itu, seharusnya tak perlu heran tentang ada karyawan agen properti maupun mediator serabutan sekalipun punya penghasilan besar.
Fungsi memasang angka 255 juta adalah sebagai antisipasi saat pembeli menawar harga. Hal itu agar nominal yang disebutkan peminat tak mendekati harga asli. Sebab, umumnya sangat jarang jual beli properti dengan harga nett (tak bisa ditawar) bakal ditunggangi perantara.
Kemudian, dengan begitu polosnya pembeli menawarnya senilai 245 juta. Nilai itu membuat broker dapat untung 20 juta. Berhubung dia masih berkesempatan dapat laba lebih gede, dengan tega dia bersikap yang mengesankan tak butuh. Dia menampilkan diri seakan belum tertarik dengan jumlah tersebut.
Dengan rasa santai tanpa dosa belantik atau perantara itu berkata "Baik Bu, saya komunikasikan dulu pada pemiliknya, semoga harga yang Ibu sebutkan bisa disetujui." Bila broker langsung merespon "Baik Bu, kapan bisa saya pertemukan dengan pemilik rumah untuk membicarakan cara pembayarannya?" maka ceritanya lain.
|
Ilustrasi rumah yang dijual |
Tatkala harga tersebut seketika diterima si agen properti, kemungkinan yang terjadi pembeli malah terkaget. Dia akan menyesal menawar 245 juta, semestinya ditawar lebih kecil dari itu. Dia berpikir bahwa angka tersebut masih memberikan keuntungan besar bagi agen tak resmi di bidang properti yang jadi perantaranya.
Kemungkinan lain, pembeli tidak jadi beli disebabkan takut tertipu. Dia curiga pada belantik, kenapa begitu gampangnya langsung deal dengan harga yang ditawarkan. Dengan menggunakan dalih tertentu dia memutuskan batal beli. Sebab, baginya si broker tampak ingin segera uang ditransfer. Takutnya setelah uang ditransfer ke pemilik rumah, proses balik nama dipersulit.
Baca juga: Trik Broker, Agen, Makelar, atau Sales dalam Menghadapi 5 Karakter Konsumen Seperti ini
Sebagai strategi, model komunikasi "licik" dilakukan oleh broker untuk memanipulasi psikis konsumen. Supaya korban setelah deal nanti tidak merasa rugi dan menyesal, akhirnya dibuatlah kesan bahwa keuntungan yang diperoleh mediator sangat kecil. Di sisi lain, pembeli juga merasa "menang" dan berbuat cerdas lantaran telah sukses menawar.
Di kemudian hari, karena beberapa lama tak menghubungi (sengaja dilakukan untuk tarik ulur dan memberi kesan tak butuh), itu dilakukan sambil menunggu pembeli memberi kabar dulu, makelar tersebut akhirnya menyerah. Dia memberi informasi tindak lanjut terkait diskusi sebelumnya.
Perantara itu berkata "Mohon maaf Bu, untuk harga yang Ibu sebutkan belum cocok. Barangkali untuk jalan tengahnya 247,5 juta sudah sangat menyenangkan bagi kami."
Berhubung emak-emak di atas lagi punya uang serta memang lagi ngebet alias kebelet beli rumah, alhasil terjadi kesepakatan harga 247,5 juta. Ibu-ibu itu merasa puas telah berhasil punya rumah dengan harga yang menurutnya murah. Nyatanya, dia merogoh kocek 22,5 juta hanya untuk komisi broker.
Lebih ironis, setelah deal si makelar tidak memasang muka gembira sama sekali. Tak menunjukkan wajah kemenangan. Hanya menyodorkan senyum kecil. Tujuannya sudah jelas yaitu ingin membuat hati pembeli tidak kesal akibat merasa sudah dibodohi dan dizalimi. Justru seolah-olah si perantara yang "dirugikan" akibat dapat persenan sedikit.
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari kasus jual-beli properti di atas adalah hindari fanatik pada incaran rumah tertentu sehingga harus segera bisa dimiliki. Lebih baik cari pandangan lain sebagai perbandingan. Hal itu salah satunya agar pembeli tidak tersandera makelar serta selalu ikut arus permainan, seperti sapi dicucuk hidungnya.
TOP
BalasHapusIni benar-benar ilmu "Emas", terima kasih banyak
BalasHapus