Banjirembun.com - Saya adalah penyandang gejala autoimun. Saya sama sekali tak bangga punya gangguan kesehatan tersebut. Sebab, itu bukanlah hal keren. Apalagi sifatnya yang masih penuh misteri sehingga dijuluki penyakit seribu wajah.
Dalam kasus parah, penyakit autoimun ada yang mampu menyebabkan dampak sangat mematikan. Minimal membuat lumpuh (cacat) dan perlu perawatan intensif di ICU beberapa pekan. Itu biasanya terjadi ketika diagnosa autoimun telat disadari oleh pasien.
Serta ada pula yang "cuma" menimbulkan gejala aneh di tubuh yang di luar kebiasaan sehingga bikin tak nyaman. Akan tetapi lantaran faktor badan (gen), lingkungan, dan pola makan sehat membuat gejala autoimun mudah diatasi.
Banyak yang mengatakan autoimun tidak dapat disembuhkan. Artinya, pengidap bakal terus menyandangnya seumur hidup. Kendati demikian, tiap-tiap pasien punya karakter berbeda. Mulai dari gejala, penyebab, hingga cara mengendalikannya.
Malahan, barangkali beberapa penderita sama sekali belum pernah berobat ke dokter Spesialis Penyakit Dalam. Cukup ditangani secara autodidak dengan melakukan baca artikel, tonton video di YouTube, serta ikut grup/komunitas para penyintas autoimun.
Kisah Saya Pribadi Mengatasi Gejala Autoimun
Entah saya memiliki sakit autoimun kategori apa. Sebab, jenis penyakit tersebut sangat banyak. Lebih dari 80 macam atau bahkan ratusan. Gejala autoimun baru saya rasakan saat awal pandemi di tahun 2020 sekitar bulan Juli. Yakni, gara-gara setelah berjemur matahari.
Pada waktu itu saya sangat sering memanggang tubuh di bawah terik matahari. Antara jam 10 pagi sampai 2 siang. Durasinya minimal 20 menit. Seringnya 35 menitan. Saya tahu persis durasinya soalnya melihat jam di ponsel. Tentu baju dan penutup kaki saya buka.
Nah, setelah beberapa kali berjemur muncul reaksi di tubuh. Tidak bersamaan tapi saling menyusul seakan anteri menyerang tubuh. Diawali dulu dengan jantung berdetak kencang dalam jumlah lebih dari 100 per menit.
Lantas disusul dengan ruam di kulit perut. Bersisik, mengkilat, dan kering. Kemudian dilanjutkan dengan gejala hipertiroid. Di antaranya meliputi tremor (getar) di tangan, mata melotot, radang sendi ringan, hingga gejala ringan lain.
Dari itu saya mulai menyadari dan curiga sudah kena autoimun. Sejujurnya, saya belum pernah periksakan diri ke dokter. Akan tetapi setelah menerapkan pola makan sehat dengan cara diet khusus autoimun gejala tersebut mereda.
Untuk menjinakkan gejala autoimun yang menurut saya belum cukup mengganggu yaitu saya menghindari makanan tertentu. Misalnya santapan mengandung MSG (micin), gula, garam, tomat, terong, cabai, nasi, gluten, tepung-tepungan, susu, minyak goreng, dan lain-lain.
Baca juga: 5 Manfaat Mengukus Tomat Sebelum Disambal
Tidak hanya menghindari asupan tertentu. Guna memenuhi gizi serta membantu percepatan remisi (pengurangan) gejala autoimun, saya juga mengonsumsi makanan khusus. Salah satunya yaitu makan kembang kol kukus yang tawar alias tanpa bumbu. Lalu tumis pare dan tumis daun pepaya tanpa MSG.
Alhamdulillah, gejala autoimun sangat cepat hilang. Hingga pada akhirnya tragedi di Desember 2021 terjadi. Saya terlena maupun terperdaya dengan keyakinan diri bahwa saya tidak terkena autoimun. Akhirnya, pola makan tidak terkontrol. Menu diet saya ubah walau menabrak protokol autoimun.
Saya memang melakukan diet vegan. Yakni, cuma makan sayur tanpa nasi dan daging. Nahasnya, saya lengah. Saya sungguh amat sering buat sambal tomat yang tentu di dalamnya ada cabai, gula, garam, dan bawang. Porsi sambalnya jumbo sebagai bumbu sayuran kukus.
Tidak cuma itu. Guna gonta-ganti menu agar tak bosan saya menyelingi dengan kukusan jagung. Ternyata, saya baru tahu kalau palawija tersebut dapat menimbulkan flare (ledakan di tubuh) sehingga muncul gejala autoimun. Serta menu khusus diet lainnya. Salah satunya cokelat hitam (dark chocolate couverture cube).
Saya dalam satu hari terkadang hanya makan kacang hijau rebus 1/4 Kg. Tanpa santan dan tanpa gula alias tawar. Di lain waktu dalam satu hari bisa makan kukusan kacang tanah serta edaname kukus dalam porsi besar. Sebab, diet saya targetnya turun berat badan. Bukan diet khusus autoimun.
Dengan begitu berani dan percaya diri saya menyantap kuliner yang sebelumnya saya cegah. Minimal saya kurangi yang dimakan dalam jumlah sedikit bahkan amat jarang. Akan tetapi berhubung targetnya menurunkan berat badan, semuanya saya tabrak. Sambal kacang (bumbu pecel) tidak saya gunakan lagi. Diganti sambel tomat.
Ditambah lagi tubuh saya diforsir berakibat pada kondisi kecapekan dan stres. Mengurusi pembelian rumah di perumahan. Termasuk juga sebelumnya mondar-mandir cari hunian di perumahan mana yang cocok untuk saya miliki. Jarak tempuh lumayan jauh. Hampir setiap hari 3-6 jam berkendara di siang bolong.
Baca juga: Pengalaman Pribadi Beli Rumah Murah 150 Juta, Sangat Dekat Kota Malang
Alhasil, muncul gejala baru berupa gangguan saraf di punggung bagian atas dan leher. Sebenarnya gejala itu sudah menyerang 3 bulanan lalu. Lantaran sangat ringan membuat saya abai. Baru setelah cukup berat saya baca-baca lagi artikel. Saat itu saya belum menyadari terkena gejala autoimun.
Ada bacaan terpercaya dari sejumlah situs kesehatan yang menyatakan bahwa penyebab gangguan saraf salah satunya diet ketat vegetarian. Langsung saja saya hentikan diet. Serta merta konsumsi gula pasir, nasi, mie ayam, soto daging, nasi padang, hingga yogurt. Bebas tanpa batas semua dilibas.
Dari artikel itu saya mendapati bahwa vitamin E dan suplemen vitamin B kompleks (B1, B6, dan B12) sangat baik untuk saraf. Serta diet vegan rentan kekurangan vitamin B12. Akan tetapi setelah saya minum tak ada tanda-tanda mereda. Pada saat itu saya masih percaya diri gejala bakal hilang sendiri.
Kengerian terjadi. Gejala semakin menyakitkan. Punggung atas terasa nyeri dan panas. Saya menyerah. Memutuskan ke rumah sakit menuju poli saraf. Ternyata saya cuma diberi obat lambung, anti kejang, dan anti nyeri. Setelah obat habis rasa nyeri justru makin parah.
|
Ilustrasi resep dokter saraf |
Waktu itu saya sudah berpikir aneh-aneh. Mengira saya terserang ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis). Sebuah penyakit saraf yang mematikan. Bahkan, kemungkinan peluang hidup sangat kecil. Lebih dari separuh pengidapnya meninggal dengan cepat.
Tentunya saya juga mengira terkena penyakit mematikan atau berakibat fatal lain yang terkait saraf. Salah satu contohnya seperti tumor dan kanker. Syukurnya saya cepat tanggap. Setelah menerima kondisi dan kenyataan, pencerahan datang juga. Saya mulai ingat lagi tentang gejala autoimun yang saya alami.
Saya baru ngeh terkena gejala autoimun setelah baca-baca tulisan kembali di internet. Di mana, beberapa jenis gangguan saraf bisa pula disebabkan autoimun. Kemudian, saya mulai lagi dari nol menerapkan protokol kesehatan autoimun.
Saya mulai menjalankan diet khusus autoimun. Pilih-pilih makanan. Menjalani intermittent fasting. Banyak minum air putih. Serta minum suplemen vitamin D3. Di mana, dosisnya terus saya tingkatkan setiap harinya hingga gejala benar-benar terkendali. Disertai pula minum suplemen simbiotik berupa kapsul.
Sampai kini gejala autoimun sudah mulai agak terkendali. Meski naik turun bersyukurnya tren positif terjadi. Tubuh saya masih sangat sensitif. Salah makan sedikit gejala mencoba muncul kembali. Semoga segera sehat lagi supaya bisa beraktivitas menulis dan buat konten YouTube seperti dulu.
Inilah yang menjadi alasan saya selama pandemi menghindari sinar matahari, belum melakukan vaksin, mematuhi protokol secara ketat, tidak pernah naik transportasi umum, maupun melakukan tindakan penuh risiko lainnya. Hingga kini belum periksa ke dokter Spesialis Penyakit Dalam lantaran uang sudah terkuras untuk keperluan lain.
Saya sudah menulis sejumlah artikel tentang autoimun di website Banjir Embun ini. Terutama di akhir bulan Maret 2022. Silakan kalian baca supaya dapat manfaat. Ada banyak hal penting yang bisa ditemukan di sana. Semoga kita semua senantiasa diberikan kesehatan. Aamiin.
Disclaimer: Saya tidak mengatakan diri sebagai penyandang autoimun. Sebab, saya belum ke dokter spesialis Penyakit Dalam dan tes di laboratorium untuk tahu pasti terkena autoimun. Tapi saya mau bertanggung jawab mengatakan bahwa saya punya gejala autoimun. Penyakit autoimun itu nyata. Akan tetapi untuk mengetahui seseorang terkena autoimun atau tidak harus melakukan tes darah di laboratorium. Dalam kasus tertentu diperlukan tes lanjutan guna mengetahui jenis autoimun apa yang diderita pasien. Hal itu, supaya tepat dalam penanganan. Periksakan diri ke dokter Spesialis Penyakit Dalam atau lebih spesifik dokter ahli autoimun saat curiga terkena autoimun. Bagaimanapun mereka memiliki otoritas dan kapasitas mumpuni. Sehat memang mahal. Oleh sebab itu, jagalah kesehatan.
Semoga segera dberikn kesembuhan dan kesehatan agar bs beraktifitas normal kembali
BalasHapusAamiin
Hapus