Banjirembun.com - Fanatisme pada keyakinan, kepercayaan, prinsip, atau pun pilihan hidup boleh-boleh saja. Kendati demikian sepatutnya tak membuat seseorang jadi buta (gelap mata), diskriminatif, intoleran, hingga rasis. Sebab, sebuah kebenaran yang sejati sekalipun akan menjadi berbahaya ketika dipahami dengan cara beda.
Sebuah nilai yang luhur, idealis, dan mapan dapat dijadikan sumber pembenar untuk melakukan kejahatan bagi sesama. Bahkan, nilai-nilai keagamaan juga tak luput dari pengaruh nafsu duniawi dari para pengikutnya. Alhasil yang terjadi teks ajaran agama ditafsirkan dan dimaknai penuh ambisi. Ujung-ujungnya terjadilah terorisme atas nama agama.
Mungkin saja paham yang meneguhkan hati tersebut memang benar dan cocok di suatu tempat dan waktu. Namun, tidak begitu relevan digunakan di tempat lain. Oleh sebab itu, siapa pun tak boleh berbuat tidak adil kepada siapapun termasuk pada orang yang beda keyakinan hidupnya. Sebagaimana kisah nyata berikut yang dapat menjadi pelajaran.
Di sebuah negara terdapat seorang ilmuwan hebat, luar biasa, dan kepakaran di bidangnya diakui dunia. Encernya otak tersebut didukung dengan postur tubuh yang gagah, bicaranya berwibawa, sampai gerak-geriknya bijaksana. Intinya, sesuatu yang menjadi jati diri seorang pria ada semua pada sosoknya.
Dia tidak mau tunduk pada siapa saja. Termasuk pada atasannya yang menjadi pejabat tinggi di negerinya. Sebaliknya, dia tak menyukai ada orang yang merendahkan diri termasuk jalan merunduk di depannya. Padahal kebudayaan dari sukunya sopan santun seperti itu sudah biasanya.
Perlu diketahui bahwa pemikirannya ke arah "kiri", komunis, atau sosialis. Fanatiknya pada marxisme begitu melekat berkat bacaan dan diskusinya. Dia melawan pada semua bentuk sistem, birokrasi, hingga struktur yang merendahkan harkat kemanusiaan. Menurutnya agama bukan masalah penting. Beragama atau tidak baginya tetap wajib berbuat adil dan baik.
Marxis (sumber gambar) |
Secara resmi dan tercantum di KTP agamanya ialah Islam. Namun, sepanjang hidupnya tak pernah sholat sama sekali. Apalagi ibadah lainnya. Dia tak pernah beramal baik pada sesama manusia karena diniatkan untuk Tuhan. Melainkan dia suka berbuat baik sebatas karena nilai kemanusiaan. Tidak lebih dari tugas dan tanggung jawab sebagai manusia.
Berbeda dengan kebanyakan orang-orang komunis ekstrim. Dia tidak membenci sama sekali pada Islam maupun para pemeluknya. Dia tak risih pada para pengguna jilbab lebar, berjenggot, dan bercelana cingkrang. Dia tidak pernah memandang seseorang dari tampilan fisik. Tak segan akan membela siapapun kalau memang pantas dilindungi.
Sikapnya objektif, jiwanya bebas, serta perilakunya suportif. Baginya berlaku adil dan tegaknya keadilan merupakan harga mati. Bahkan dia sanggup melawan siapapun. Sebaliknya, mau pula membela siapapun. Sikap seperti itulah yang disukai oleh banyak orang. Akan tetapi bagi orang yang picik tetap mengatakan bahwa dia "ular berkepala dua", munafik, dan plin-plan.
Beranjak usia melewati 75 tahun pada akhirnya tubuh kuatnya mulai melemah. Kebiasaan naik gunung di usia senja sudah tak lagi dilakukan. Ditambah di ujung usia dia terkena stroke. Lisan yang biasanya tegas menggema kini akhirnya terbata-bata kembali seperti saat anak-anak. Begitu juga tubuhnya kembali tak bisa berjalan dan cuma di atas kursi roda.
Hal yang patut disyukuri yaitu saat di akhir hidupnya. Barangkali Allah SWT sayang padanya. Allah Maha Tahu apa yang tersimpan di dada manusia dan perbuatannya seperti apa. Melalui perantara seorang ahli herbal Islami, Allah tuntun dia kembali ke fitrahnya. Memeluk agama Islam secara utuh. Kalimat pertama yang diajarkan ahli herbal itu adalah syahadat.
Dengan penuh kemantapan dan harapan dia berulang kali mengucapkan kalimat syahadat. Selain untuk membetulkan bacaan, barangkali dia juga ingin memastikan bahwa syahadatnya akan benar-benar diterima Allah SWT. Lantas dia diajari melakukan gerakan shalat untuk pertama kali yang mungkin sudah puluhan tahun tidak dikerjakan.
Tak lama setelah itu, dia meninggal dunia. Semoga dengan bekal syahadat, taubat, dan shalat sudah cukup baginya untuk mendapat ampunan-Nya. Dia memang pernah menjadi kafir. Tapi dia tidak pernah memusuhi agama Allah SWT. Dia tak pernah memusuhi hamba-Nya. Malah yang terjadi sering membelanya atas nama keadilan.
Begitu pula Allah SWT tak akan memusuhinya. Berkat rahmat-Nya dia mendapat hidayah. Dengan Keadilan-Nya nyawanya ditarik dalam keadaan baik. Sayangnya, justru orang-orang yang mengerjakan sholat yang terkadang malah memusuhi hamba-hamba Allah SWT yang beda organisasi dengannya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sebuah Kisah Nyata, Orang Komunis yang Berbuat Adil pada Umat Islam Akhirnya dapat Hidayah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*