Banjirembun.com - Depopulasi adalah pengurangan atau penyusutan jumlah individu baik secara sengaja, didesain, dan faktor rekayasa oleh manusia maupun terjadi dengan alami. Dalam kajian biologi depopulasi sangat lumrah terjadi. Baik itu pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Bahkan, lantaran ada depopulasi yang ekstrim dan terus menerus berakhir kepunahan.
Ada sebagian ahli mengatakan bahwa punahnya kawanan dinosaurus pada puluhan juta tahun silam tidak langsung lenyap tatkala dihantam meteor. Melainkan sebagian besar ada yang mati dampak dari tumbukan tersebut. Namun, sebagian lain masih hidup kendati lambat laun mengalami kematian silih berganti karena cuaca dan iklim yang tak bersahabat.
Depopulasi adalah fitrah (bawaan). Suatu hal yang tidak dapat dihindari. Sudah berulang kali terjadi. Kalau tidak "dilakukan" pada zaman sekarang pasti masa akan datang ada juga. Sebab, di era-era terdahulu pun depopulasi beriringan dan bersahutan sambut menyambut sampai kini. Baik melalui peperangan, bencana alam, perubahan iklim, wabah (pandemi), hingga pemburuan terhadap hewan tertentu.
Dalam konteks depopulasi manusia prosesnya juga hampir sama dengan depopulasi makhluk hidup lain. Sebagaimana binatang dan tanaman, manusia juga memiliki batas ambang jumlahnya. Bumi ini punya daya tampung serta batas kelayakan dihuni manusia maksimal 9-10 miliar orang atau lebih sedikit. Di mana, sekarang ini jumlah manusia berada di kisaran 7,85 miliar.
Jika angka batas di atas terjadi maka bumi bakal mengalami kekacauan. Muncul pemanasan global yang parah. Hutan sepenuhnya jadi "mini" direbut pemukiman. Terdapat krisis pangan, air minum, sosial, hingga politik yang luar biasa mengerikan. Alhasil yang ada cuma pemandangan mengenaskan akibat kelaparan sampai kemiskinan massal.
Berdasarkan laju tumbuh populasi manusia di masa lalu (pertumbuhan eksponensial), diprediksi hanya perlu waktu 100 tahun saja supaya pendudukan manusia menembus angka 10-12 milliar. Artinya, di awal abad 22 nanti bumi sudah amat tak mampu menampung manusia lagi. Tentu itu sangat mengkhawatirkan bagi peradaban manusia. Terutama bagi yang peduli pada generasi berikutnya.
Jalan keluar yang dilakukan tidak lain yaitu mengurangi jumlah manusia secara dramatis. Harus dilaksanakan secara cepat, efektif, efisien, terstruktur, sistematis, dan masif. Pertanyaannya manakah cara yang tepat untuk menekan populasi manusia sebagaimana yang disebutkan di awal artikel ini. Terlebih sekarang ini taraf dan kualitas hidup manusia jauh lebih unggul di banding masa dulu.
Baca juga: Arti Terstruktur, Sistematis, dan Masif Disertai Contohnya
Kasus Depopulasi yang Merugikan Negara
Penurunan angka kelahiran di sejumlah negara seperti China, Singapura, Jepang, dan negara lain justru membuat negara rugi. Mereka mengalami krisis bayi sehingga merasakan dampak mengerikan. Mereka cemas jumlah penduduk usia produktif berkurang. Turunnya pertumbuhan kelahiran secara besar-besaran terbukti sebuah negara mengalami krisis SDM.
Sebaliknya, negara yang punya bonus demografi seperti Indonesia memiliki generasi muda melimpah. Jika potensi tersebut tidak mengalami "kerusakan" akibat narkotika dan pergaulan bebas maka bukan mustahil negara ini mengalami kemajuan pesat. Ditambahi dengan keseriusan pemerintah dalam mengkader para penerus bangsa.
Kalau sudah begitu siapakah yang akan mengambil peran depopulasi supaya ancaman ledakan penduduk bumi tidak terjadi? Perlu diketahui bahwa skenario ampuh untuk mengurangi jumlah manusia ada 3 yaitu pandemi, perang, dan bencana alam hebat. Di mana, pandemi butuh waktu 3 tahunan untuk memusnahkan setidaknya 3 hingga 500 juta manusia.
Sedangkan, perang besar yang sekelas perang dunia III nanti memerlukan waktu 1 tahunan melumatkan manusia berjumlah lebih dari 100 juta. Adapun bencana alam skala global hanya perlu waktu satu hari atau satu malam untuk melenyapkan setidaknya ratusan ribu manusia (total setahun bisa lebih banyak). Tentu, ketiga cara tersebut terbilang mengerikan dan sadis.
Perlu diketahui, pandemi Covid-19 yang masih terjadi hingga sekarang ini ditengarai merupakan bagian dari program depopulasi. Kendati kasus kematian akibat Covid-19 sejauh ini "cuma" 5,39 juta jiwa ternyata itu sudah dipandang cukup untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Ditambah lagi bukti-bukti di lapangan banyak kasus meninggal dunia akibat wabah yang tak tercatat.
Hal yang mencurigakan lain yaitu sasaran depopulasi dari hasil rekayasa biasanya menyasar orang-orang sepuh, berpenyakit (comorbid), tidak cerdas (terbelakang mental), orang-orang yang tak produktif, pecandu narkoba, pengangguran, orang-orang miskin, hingga orang-orang yang mengalami jenis kesulitan hidup lainnya. Daripada terus dipertahankan lebih baik dihilangkan agar tak jadi ganjalan.
Cara-cara di atas dalam jangka pendek merugikan negara. Warga yang kehilangan keluarga tercinta banyak yang mengalami depresi. Terjadi "jeda" untuk duka cita. Belum lagi dampak pada kehidupan sosial secara luas. Akan tetapi para pendukung depopulasi meyakini justru peradaban bakal cepat bangkit. Ibarat hutan yang dibakar, sesudahnya akan muncul kehidupan baru
Depopulasi yang Dianggap Populis (Populer) dan Manusiawi
Ada dua cara yang lebih "manusiawi" dan tak menyakitkan. Yakni, membuat manusia mandul. Salah satu caranya adalah mencampuri produk-produk pangan industri dan pertanian dengan bahan-bahan tertentu sehingga bikin mandul. Cara lain yaitu merubah mental dan jiwa manusia supaya mereka enggan memiliki anak (childfree). Bahkan enggan menikah.
Tidak perlu paksaan apalagi "meracuni" minuman dan makanan. Cukup menggiring manusia pada tren atau budaya anti anak dan anti nikah. Dengan salah satu dalih dan "bumbu" bahwa melahirkan akan berakibat buruk pada bentuk tubuh perempuan. Begitu pula pernikahan cuma menganggu kebebasan.
Pendapat lain mengatakan bahwa propaganda dan kampanye LGBTQ atau homoseksual seperti lesbi dan gay bagian dari program depopulasi. Akan tetapi nyatanya banyak penyuka sesama jenis pilih menikah secara normal. Bahkan, mempunyai anak. Sebab, mereka menyembunyikan diri dengan tetap menikah agar tak terkucil.
Mekanisme depopulasi tanpa paksaan tersebut dipandang paling menghormati manusia. Dibanding melalui penyebaran penyakit menular, perang, pembantaian massal, maupun bencana alam "buatan" seperti radiasi nuklir. Sayangnya, cara tersebut butuh waktu lama. Sangat sulit menyadarkan dan membuat manusia untuk rela tak punya anak. Apalagi agama melarangnya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Skenario Depopulasi Umat Manusia Secara Alami Maupun dari Hasil Rekayasa"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*