Banjirembun.com - Pesantren merupakan jenis pendidikan keagamaan Islam yang paling berwibawa, murni, otonom, mandiri, dan tumbuh dari kalangan bawah. Dikehendaki, didukung, dan dibangun oleh masyarakat sekitar hingga para perangkat desa.
Tokoh pertama yang berperan mendirikan pesantren biasanya adalah Kiai yang juga menjadi pembina atau pemilik lembaga sosial Islam tersebut. Bertujuan untuk mempersiapkan generasi Muslim yang anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam.
Mengelola pesantren itu tidaklah mudah. Apalagi ketika di masa-masa awal peresmiannya jumlah santrinya tak kunjung meningkat. Ketika salah niat dalam mendirikan sekolah berbasis Islam tentu akan menjadi tertekan lantaran merasa gagal menjadi manfaat bagi banyak orang.
Berikut ini adalah kisah Kiai yang sukses membangun pesantren:
Barangkali jumlah santri baru 12 orang. Sampai hampir tujuh bulan jumlahnya tidak bertambah juga. Apalagi saat kondisi panen di kebun, ladang, atau sawah jumlahnya kian menyusut. Lantaran diperintahkan orang tua ikut membantu. Pulang dulu meninggalkan bilik pesantren.
Bukannya nelangsa, merasa kalah, berpikiran telah gagal, atau yang semacamnya. Kiai muda itu lebih memilih ikhlas, ridho, dan sabar pada ketentuan Allah SWT. Sembari terus berdoa disertai berfikir dan mencari jalan keluar agar keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Akhirnya dikit demi sedikit calon santri berdatangan. Mendatangi bidang tanah milik Kiai tampan yang cukup luas untuk dijadikan bilik-bilik tempat tidur bagi santri. Jumlahnya terus bertambah dari puluhan hingga ratusan. Akibatnya lahan rindang pohon bambu itu penuh bilik.
Masjid yang merupakan bagian dari wakaf orang tuanya pun ikut ramai. Dulu untuk jamaah salat Duhur pun yang datang tidak sampai sampai satu saf (baris). Kini Masjid tersebut penuh. Terutama saat ada jadwal ngaji (pelajaran) di waktu mendekati salat.
Para santri mayoritas dari penduduk setempat dan sekitarnya. Sebagian dari luar kampung yang agak jauh. Para santrinya punya semangat dan jiwa militan tinggi. Apalagi di sana tidak diajarkan tentang ilmu agama semata. Melainkan ilmu umum sekaligus praktiknya juga.
Santri diajari bercocok tanam, beternak, menjadi tukang bangunan, hingga membuat kerajinan tangan yang bernilai jual. Materi pelajaran yang diajarkan pun tidak rumit, sederhana, dan mudah dipahami. Namun, tetap menggunakan rujukan kitab-kitab Islami.
Penyampaian materi semitematik. Artinya tidak terlalu fokus pada temanya tapi juga diimbuhi motivasi, inspirasi, serta candaan ringan. Menghindari topik pembicaraan yang menimbulkan perpecahan umat. Intinya tidak memberatkan para santri dari segi keilmuan maupun keuangan.
Pesantren tradisional (sumber gambar)
Musim panen bukan lagi menjadi masalah jumlah santri menurun. Justru orang tua merasa senang santri diajari ilmu-ilmu yang penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu perubahan akhlak anaknya jauh lebih baik dari sebelumnya.
Kini Masjid telah direnovasi menjadi lebih besar. Tidak kalah dengan tempat ibadah yang ada di kota-kota besar. Supaya para jamaah salat merasa nyaman dan kakinya ringan beranjak ke Masjid. Peran masyarakat sangat besar dalam pembangunan ulang itu.
Merintis pesantren itu sangat sulit. Perlu perjuangan, keikhlasan, kesabaran, keseriusan, kecerdasan, kedermawanan, dan waktu yang tidak sedikit. Sebab untuk mengumpulkan para santri tidaklah cukup mengiming-imingi surga saja mesti ada bukti nyata.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Mendirikan dan Mengembangkan Pesantren Butuh Proses, Tidak Langsung Besar"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*