Embun pagi di hari ini terasa beda. Tetes demi tetes air jernih dari alam itu berjatuhan dari daun, dahan, dan rerumputan. Ditambah pancaran sinar matahari yang masih meredup malu. Gisel merasa itu semua tak dapat menghibur hati yang pilu.
Di penghujung mata menatap bukan setetes embun pagi yang nampak terlihat. Namun, kumpulan tetesan air mata dan tetes keringat. Bagaimana tidak, rencana mudik tahun ini gagal total. Bahkan hingga awal tahun depan belum jelas jadinya.
Gisel rindu keluarga di desa. Kangen ketiga adik yang butuh bimbingan kakaknya. Kiriman paket dan uang ke kampung memang sedikit jadi pelipur lara. Akan tetapi itu masih kurang memuaskan. Hati ini masih ingin berjumpa mereka semua.
Tak hanya itu. Ternyata lelaki yang pernah mendekati dan memberi harapan sudah punya tunangan. Padahal Gisel sudah sepenuh hati padanya. Agar dia bisa jadi imam dan pendukung visi-misi hidup ini. Bikin menangis deras pastinya.
Belum lagi teman-teman chat di whatsapp dan aplikasi lainnya yang begitu tak pengertian. Menganggap Gisel seperti mainan. Memberlakukan begitu seenaknya sendiri. Tanpa peduli bagaimana kondisi hati dan nasib ini. Tambah mewek.
Gisel sadar hanyalah blogger atau pengelola situs pribadi yang amatiran. Hanya promosi sana-sini demi situs ini tambah ramai. Meski seperti itu, hasil yang didapat tak seberapa. Itupun juga penghasilannya masih harus dibagi-bagi.
Sebagai pejuang jodoh untuk nikah dan pejuang receh, Gisel tak patah arang. Boleh saja menangis dan sedih tapi itu tak akan lama. Boleh saja lelah karena kerja keras siang malam bekerja cari uang. Akan tetapi itu semua dilakukan penuh cinta.
Rasa sayang Gisel pada keluarga tak tergantikan. Bahkan untuk si dia yang ganteng dan kaya raya yang telah meninggalkan Gisel sendirian. Dia memang berhasil membuat gadis desa ini menangis. Namun, ia tak bisa membuat Gisel putus asa.
Sampai kapanpun hingga raga ini menua dan masih ada kemudahan untuk cari uang, Gisel akan tetap bertahan. Biarlah jodoh menghampiri. Tak perlu mencari apalagi membuat dramatisasi. Senyampang mampu akan Gisel jalani.
Esok hari embun pagi pasti seperti sediakala lagi. Terlihat jernih, sejuk, dan berkilauan. Itulah hari baru di mana Gisel menatap masa depan penuh keyakinan. Membuka tabir baru kehidupan menjadi lebih cerah dan menjanjikan.
Pesan Penting dari Setetes Embun Pagi
Teruntuk kalian yang sedang putus asa dan hilang impian. Sadarlah bahwa hidup itu harus terus dijalani. Jangan gantungkan nasib kalian pada orang tua, apalagi pada orang lain. Hiduplah mandiri. Jadilah pekerja keras.
Carilah tantangan dan pengalaman baru. Melalangbuanalah ke penjuru kota di negeri ini. Dapatkan inspirasi untuk menemukan jati diri dan bakat yang kelak bakal berguna. Jangan terlena dengan keindahan alam di desa kalian.
Setetes embun pagi di rerumputan (sumber gambar) |
Setetes empun pagi di kampung telah muak dengan keluh, malas, dan penderitaan kalian. Dia berharap kalian bisa hidup bahagia di daerah lain. Biarlah kumpulan embun pagi di tempat lain yang mampu menyegarkan kembali hidup kalian.
Setelah kenyang berpetualang ke mana-mana tapi tak mendapat apa-apa kecuali uang, karena tak ada kebahagiaan, maka kembalilah ke habitat awal. Takdir dan nasib kalian ada di tempat di mana kalian dibesarkan. Berkembanglah di sana.
Pesan terakhir dari Gisel. Masa depan kalian adalah milik kalian sendiri. Arahnya ke mana kalian sendiri yang tahu dan menentukan. Tak boleh mengekor apalagi patuh pada petuah orang lain. Kalian berhak untuk menemukan, mempertahankan, dan memperjuangkannya.
Tak boleh lupa tetap menjaga salat lima waktu. Bila perlu tambahkan salat sunnah seperti Duha dan Tahajud. Serta puasa sunnah Senin-Kamis. Semua itu agar ketika kalian menemui masalah rumit dalam meraih mimpi akan ada jalan keluar yang tak disangka-sangka.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Setetes Embun Pagi: Antara Tetesan Air Mata dan Tetes Peluh Kerja Keras"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*