Takdir orang siapa yang tahu? Sudah berusaha mati-matian ingin jadi orang kaya tapi kenyataannya tetap miskin jua. Kalau sudah begitu mau tak mau terpaksa tetap miskin. Yakni, bukan jadi orang miskin biasa. Namun, yang penuh kesabaran.
Sebaliknya, ada orang yang hidupnya tak terlalu lama membanting tulang tapi akhirnya ia menemukan pembuka pintu rezeki. Ia bekerja dengan penuh kebahagiaan tapi penghasilan bisa mengalir deras. Jadilah ia orang kaya penuh kesyukuran.
Dari dua kondisi di atas manakah yang lebih baik? Menjadi miskin tetap bersabar VS kaya tapi bersyukur? Jawaban atas pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Sebab keduanya sama-sama mulia. Tinggal pilih, ketika miskin jadi penyabar dan saat kaya jadi penyukur.
Sepertinya pertanyaan di atas sangat cocok ditujukan bagi generasi muda dan usia dewasa awal. Bagi mereka yang berumur 20-35 tahun harus mempersiapkan diri. Supaya siap untuk memperjuangkan hidup, lantas menerima dengan benar kenyataan yang terjadi.
Orang memutuskan memuji dan menyanjung pribadi miskin yang bersabar memiliki alasan karena jadi miskin itu berat. Apalagi bila kemiskinan itu disebabkan faktor keturunan dan tidak adanya daya dukung dari sekitar untuk mengembangkan diri jadi lebih baik.
Tak hanya itu. Menurut pandangan ajaran agama ternyata orang miskin punya keutamaan tersendiri. Mereka lebih diutamakan dan dipercepat saat dihisab (ditimbang amal baik dan buruk) di akhirat kelak. Sebab, audit sumber pendapatan dan penggunaan harta tidak "berbelit-belit".
Adapun orang yang memilih mendukung pada pribadi orang kaya yang bersyukur beralasan karena untuk jadi orang kaya sekaligus mempertahankannya itu tak mudah. Apalagi bagi mereka yang memperkerjakan banyak orang. Serta yang mampu menopang perekonomian negara.
Rumah tangga miskin dan rumah tanga kaya (sumber gambar) |
Lebih-lebih dalam pandangan agama, ternyata jadi konglomerat itu membuka banyak pintu pahala. Mereka bisa berzakat, infaq, sedekah, wakaf, hingga berbuat amalan-amalan mulia lain dengan hartanya. Selain itu ternyata banyak tokoh agama zaman dulu juga kaya raya.
Ketika kita asumsikan bila orang miskin dan orang kaya di atas merupakan orang baik yang bertakwa pada Tuhan maka pilih mana? Tentu pilih jadi orang kaya yang bersyukur. Sebab banyak keutamaan yang diraih ketika manusia jadi orang berkecukupan.
Kekayaan harta merupakan salah satu dari lima syarat untuk mengangkat martabat dan derajat seseorang di mata manusia. Syarat lainnya ialah agama, sifat malu, akhlak yang mulia, dan dermawan. Tatkala lima hal itu dimiliki manusia maka sempurnalah hidupnya.
Kemiskinan atau malah kefakiran lebih dekat dengan kekafiran. Menjadi miskin menyebabkan seseorang mudah menggantungkan hidupnya pada orang lain. Selain meminta-minta jadi pengemis juga berharap banyak pada orang lain untuk mendapat pekerjaan.
Secara naluri kemanusiaan, kebanyakan manusia lebih siap menikmati kekayaan daripada menderita dalam kemiskinan. Boleh saja seseorang legawa (menerima) kemiskinan tapi tidak dengan keluarganya. Bagaimana dengan istri, anak, dan orang tuanya?
Apalagi cobaan yang dihadapi oleh Nabi Ayub yang begitu dahsyat. Kehilangan harta maupun keluarga, menderita penyakit, dan diasingkan dari masyarakat. Manusia zaman sekarang tidaklah mampu menerima cobaan seberat itu. Bilapun mengalami pasti tidak bersabar.
Sedangkan Nabi Sulaiman merupakan figur orang kaya yang bersyukur. Hidup beliau penuh gelimang harta, jabatan, hingga fasilitas dunia yang serba memanjakan. Ketika manusia zaman sekarang diberi posisi seperti beliau, hampir dipastikan akan jadi pribadi zalim.
Logika sedarhanya begini. Orang kaya tentu tak mau mencicipi kemiskinan (dalam arti sebenarnya) agar tahu seberapa bersabarnya dia. Akan tetapi kebanyakan orang miskin dipastikan mau menjadi orang kaya yang bersyukur. Walau sebenarnya rasa sabar ada di hatinya.
Dari pada kekayaan berada di tangan orang zalim. Lebih baik para ulama, orang saleh, dan tahu agama yang jadi orang kaya. Sebab harta itu mampu mereka salurkan dengan benar sesuai dengan ajaran agama. Harta mampu dijadikan sarana ketaatan pada Tuhan.
Apapun kondisinya. Jadi orang kaya atau miskin tetaplah jadi pribadi yang mulia. Ketika miskin tidak dengki dengan harta orang lain. Ketika jadi kaya tidak zalim pada yang butuh bantuannya. Miskin yang penuh sabar dan kaya yang penuh syukur sama-sama baiknya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Lebih Utama Mana? Jadi Orang Miskin yang Bersabar atau Orang Kaya yang Bersyukur"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*