Alkisah, ada orang lelaki sepuh mempunyai 4 anak perempuan. Sepeninggalan istrinya ia dirawat oleh mereka semua. Usia anaknya sudah beranjak dewasa. Pantas untuk dinikahkan.
Sayangnya, bapak itu masih memegang adat istiadat. Ia tak mau menikahkan semua anaknya, kecuali anak pertamanya menikah dulu. Ia ingin memastikan anak sulungnya yang pertama menikah. Baru adik-adiknya.
Suatu hari ada 3 lelaki yang melamar 3 anaknya. Pria tua itu memberi syarat pada mereka "Aku akan menerima lamaran kalian, asal salah satunya untuk anak sulungku". Sayangnya yang dilamar ialah anak kedua, ketiga, dan keempat.
Dengan besar hati dan ketulusan si sulung berkata "Biarlah adik-adik menikah dulu, saya ingin merawat ayah. Kalau saya menikah siapa yang menjaga ayah. Saya masih ingin berbakti pada ayah."
Singkat cerita 3 anak gadisnya pun menikah. Hidup bersama suami masing-masing. Di tempat yang teramat jauh dari rumah lelaki tersebut. Mereka hidup bahagia. Begitu pula si bapak hidup tentram bersama satu anaknya.
Suatu ketika si ayah meninggal dunia. Masalah pemakaman dilakukan dengan segera. Serta pembagian warisan dilakukan secara syariah setelah semua hutang dilunasi. Salah satunya ialah rumah yang harus dibagi empat anak.
Ternyata sebelum meninggal, si ayah meninggalkan surat wasiat pada anak-anaknya "Saat ayah meninggal, rumah jangan dibagi dulu sebelum kakak kalian menikah."
Ia berpikir kalau anaknya belum menikah, sedang rumah harus dijual untuk dibagi 4, maka anak pertama harus pergi dari rumah. Sedang hal itu, belum tentu membuat anaknya sudah dapat rumah pengganti sebelum ia menikah.
Ironis, tiga adiknya bersepakat bakal menjual rumah warisan bapaknya walau kakaknya belum menikah. Mereka berdalih kakaknya dapat membeli rumah lebih kecil setelah mendapat harta bagian penjualan rumah.
Si kakak sebenarnya memohon pada adik-adiknya, jangan dijual dulu sebelum ia menikah. Namun, mereka tetap bersikeras. Akhirnya rumah itu terjual ke orang tajir. Selain kaya ternyata ia baik hati dan tahu masalah agama.
Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, anak sulung meminta pada pembeli itu. Supaya ia diberi izin tinggal selama 1 bulan. Pemilik baru rumah ternyata membolehkan. Sebab ia tahu kondisi perempuan tersebut.
Satu bulan telah berlalu. Pembeli rumah itu menghampirinya. Ternyata dia belum juga mendapat rumah pengganti. Perempuan itu meminta lagi "Tolong saya beri waktu satu bulan lagi". Sambil ia menceritakan kisah hidupnya.
Satu bulan lagi telah usai. Pembeli itu datang ke rumah lagi. Sekali lagi perempuan itu belum juga mendapat rumah baru. Namun, kali ini ia tidak meminta-minta. "Saya belum mendapat rumah baru, tapi saya akan keluar dari sini."
Saat itu juga si pembeli menyerahkan surat kepada si sulung untuk dibaca. Gadis itu mengira surat tersebut berasal dari pengadilan yang memerintahkan ia menandatangani serah terima rumah.
Tangannya memegang sambil bergetaran, karena harus meninggalkan rumah penuh kenangan. Tak dinyana surat itu adalah kabar baik darinya. Pembeli itu mengatakan sesuatu yang penting.
"Ini surat pengalihan hak milik. Kalau kamu bersedia menikah dengan anak laki-laki saya terimalah rumah ini sebagai mahar. Tapi kalau tidak mau, berdasar surat itu rumah ini tetap jadi milikmu."
Air mata berlinang tak terbendung dan bercucuran di matanya. Ia menerima lamaran tersebut. Lantas ia menatap ke langit sambil berkata dalam hati.
"Ya Rabb, aku yakin Engkau tidak akan meninggalkanku sendirian, aku yakin balasan berbakti kepada orang tua akan kuterima di dunia, sebelum juga kelak dibalas di akhirat."
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Hikmah Berbakti pada Orang Tua, Gadis ini Mendapat Keberuntungan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*