Negara tetangga Singapura dikabarkan resmi mengalami resesi. Pada Selasa 14 Juli kemarin ekonominya terkontraksi atau menurun di periode kuartal II (triwulan ke-2). Tak tanggung-tanggung, penurunan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri itu terendah dalam sejarah berdirinya.
Diperkirakan, resesi tak hanya mendera Singapura. Gara-gara pandemi Covid-19, negara lain bakal terancam ketularan kontraksi. Termasuk di antaranya Amerika, sejumlah negara eropa, Thailand, Filiphina, Indonesia, serta masih banyak negara lain.
Suatu negara dikatakan resesi ketika PDB menanggung kontraksi dalam hingga minus (negatif) dalam dua kuartal beruntun secara year-on-year (YoY). Yakni, perbandingan antara di periode tahun sekarang dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Arti Resesi
Padanan kata resesi yaitu penurunan atau kemerosotan. Dalam ilmu ekonomi makro istilah resesi diartikan sebagai kondisi negara yang pertumbuhan ekonomi atau produk domestik brutonya bernilai negatif dalam kurun minimal dua kuartal secara berurutan.
Dalam kasus wabah COVID-19 ini, terjadinya resesi diakibatkan karena adanya lockdown atau PSBB. Dengan adanya itu perputaran ekonomi jadi melambat bahkan lumpuh. Dari hulu sampai hilir. Serta dari rakyat kecil hingga orang besar semuanya terimbas.
Dapat dikatakan, suatu negara bisa tersandung resesi ketika ekonominya terpuruk secara sistemik. Antara banyak sektor usaha (pusat ekonomi) dengan sejumlah komponen lain terjadi keterputusan. Dengan itu, efek domino terjadi sehingga sistem perekonomian nasional jadi loyo.
Tanda-tanda Negara Kena Resesi
Suatu resesi berakibat pada kemerosotan dengan serentak sendi perekonomian. Baik itu sektor riil maupun non riil. Dampaknya terjadi peningkatan angka utang negara, berkurangnya laba industri manufaktur (pengolahan bahan mentah menjadi siap pakai), hingga lesunya pasar investasi.
Ciri-ciri negara terkena resesi lainnya yaitu berkurangnya daya beli masyarakat. Disebabkan karena inflasi maupun pendapatan mereka mengalami penurunan. Itu bisa terlihat pada anjloknya penjualan sepeda motor, mobil, ponsel, serta barang-barang kebutuhan non pokok lain.
Adapun bukti resesi di lapangan yang dapat diamati dengan jelas ialah sepinya mall, pasar modern, restoran, tempat wisata, hotel, dan tempat-tempat lain untuk memenuhi gaya hidup. Gejala lainnya yaitu banyaknya kredit macet dan menjamurnya pengangguran.
Banyak orang tak bekerja karena terkena PHK maupun disebabkan tak adanya lowongan pekerjaan. Salah satunya karena deflasi. Walaupun bekerja mungkin hanya paruh waktu sehingga penghasilannya tak maksimal. Akibatnya negara harus menggelontorkan bantuan sosial terus-menerus.
Indikator lain yang tak kalah penting adalah banyaknya tabungan di bank yang ditarik oleh nasabah. Ironisnya tabungan itu bukan untuk kebutuhan "mendesak", biaya pendidikan, atau untuk pengeluaran tambahan. Namun, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada 5 pertanda sebagai acuan suatu negara jatuh ke jurang resesi. Pertama, PDB riilnya mengalami penurunan. Kedua, sektor manufaktor macet. Ketiga, peningkatan pengangguran. Keempat, pendapatan negara merosot. Kelima, sepinya penjualan eceran (ritel).
Dampak Buruk Resesi Akibat COVID-19
Diramalkan dampak buruk pandemi tahun ini pada ekonomi, akan lebih berat dari krisis 1997-1998. Pada waktu itu setidaknya Indonesia butuh waktu lima tahun untuk sekadar keluar dari jurang. Itu pun masih belum benar-benar pulih. Dibutuhkan waktu lama untuk memulai lagi dari awal.
Misalnya, memulihkan perusahaan yang punya pekerja banyak, perusahaan starup (transportasi, e-comerce, e-learning, dan lain-lain), pariwisata, hingga usaha kecil masyarakat butuh waktu tak sedikit. Selain itu ketika wabah berakhir mereka akan butuh suntikan dana segar yang cukup besar.
Akan tetapi, diprediksi angka prosentasi resesi tak serendah krisis 98. Serta diyakini tidak ada kerusuhan massa dan krisis politik seperti saat itu. Senyampang pemerintah masih menjamin kebutuhan primer (makan) rakyat miskin, potensi kriminalitas secara masif tak akan terjadi. Tak ada kelaparan massal apalagi busung lapar.
Tak hanya masalah pangan. Ancaman langkanya sandang dan papan juga tak kalah bikin mrinding. Alih-alih memikirkan fashion sebagai gaya hidup. Bisa ganti baju secara layak saja sudah beruntung. Terlebih masalah rumah. Jangankan mempercantiknya, punya tempat berteduh sudah bagus.
Terjadinya wabah dan sulitnya ekonomi memang mudah membuat masyarakat depresi. Namun, tatkala pemerintah mampu memberikan dukungan pada usaha rakyat (UMKM) dan melakukan jaring pengaman sosial maka potensi huru-hara akan hilang sepenuhnya.
Semua dapat berkaca pada tragedi "Black Lives Matter" yang bermula di Amerika. Kejadian itu merupakan bentuk ekspresi pelampiasan mereka pada kekecewaan pemerintah yang gagal mengatasi COVID-19, sehingga mempengaruhi ekonomi. Kendati demikian, hubungan antara keduanya masih perlu diteliti lebih dalam lagi.
Tak berlebihan bila dikatakan ganasnya wabah virus SARS-CoV-2 tak bisa dipandang sebelah mata. Negara sekelas Amerika Serikat pun bisa dibuat kedodoran. Bukan hanya soal korban sakit maupun meninggalnya, tapi juga pada ekonomi negara. Negara adidaya itu babak belur habis-habisan.
Untuk mengantisipasi hal di atas, tidak ada salahnya mulai sekarang hidup hemat. Tak usah mengeluarkan uang demi memenuhi ego membeli barang bersifat sekunder apalagi tersier. Kapan berakhirnya musibah non alam ini belum ada satupun yang tahu. Bersiap-siaplah untuk "berpuasa" lama.
Lingdungi dirimu dan keluargamu dari api resesi. Bijaklah dalam belanja. Jangan memamerkan barang mewah di media sosial maupun dunia nyata. Sebab itu akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sesama anak bangsa. Perbesar empati hingga selebar-lebarnya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Indonesia Terancam Resesi, Pahami Tanda-tanda Mikro Maupun Makronya dan Dampaknya"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*