Islam mengatur urusan pemeluknya begitu rinci. Hingga aspek yang menurut kita remeh temeh tak luput dari aturan. Tak ketinggalan pula masalah utang piutang. Tertulis jelas dalam Al Quran tentang aturan hal tersebut.
Ada sebuah cerita di salah satu lembaga pendidikan Islam sistem asrama (Islamic boarding school). Di mana hubungan antara adik-adik, sesama seangkatan, maupun senior tak ada permasalahan. Terutama perkara pinjam meminjam.
Semua memahami bahwa dalam masalah keuangan tidak ada istilah yang bias atau kabur. Harus jelas. Apabila akad atau janjinya hutang, maka wajib dibayar. Tak boleh memanfaatkan hubungan pertemanan atau persaudaraan.
Dalam transaksi peminjaman status hubungan setara. Tak ada senior, kakak, adik, dan lain sebagainya. Keduanya merupakan relasi. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang diterima dan harus dipenuhi. Tak boleh disepelekan.
Para santri penghuni asrama sepakat, harus menerapkan ajaran Islam. Siapapun yang hendak berhutang mesti dicatat. Lalu membuat surat perjanjian tulis tangan yang diketahui dua orang saksi terpercaya. Walau tanpa meterai.
Mereka semua tahu bahwa Allah menurunkan QS Al Baqarah ayat 282 bukannya tanpa kegunaan. Apalagi justru membuat hubungan manusia jadi renggang, saling curiga, serba tak enak, dan kaku (formal). Itu adalah cara pandang salah total.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Terjemah :
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Ini adalah terjemahan resmi dari kemenag. Lihat: https://quran.kemenag.go.id/sura/2).
Malahan aturan yang tercantum dalam ayat terpanjang dalam Al Quran di atas mencegah perselisihan dan pertengkaran. Kelak supaya tak ada permasalahan. Terbukti, banyak hubungan retak gara-gara abai pada hukum tersebut.
Sebetulnya hubungan akan tetap terjaga baik atau tanpa rasa canggung tatkala menerapkannya. Memang pada awalnya itu terlihat serba rumit. Hingga berfikir uang tak seberapa saja pakai dua saksi dan surat perjanjian.
Kalau memang dianggap uang itu tak banyak, akan lebih baik diperjelas akadnya. Bukan meminjamkan tapi memberikan. Agar tidak ada dosa bagi penerima uangnya karena melalaikan kewajiban.
Urusan utang bukanlah sesuatu yang ringan. Bahkan Rasulullah ketika melayat menekankan untuk menanyakan, apakah jenazah memiliki hutang atau tidak. Bila punya maka wajib dipenuhi dulu oleh ahli waris sebelum dikebumikan.
Tak hanya itu, siapapun yang berurusan dengan harta bisa gelap mata. Tak peduli itu orang yang terlihat rajin ibadah maupun orang yang nampak paham akan ilmu agama. Baik terpepet atau tidak, demi harta hal apapun ditempuh.
Ada sebuah kasus. Seorang yang dianggap punya rekam jejak jujur dalam masalah keuangan dan penimba ilmu agama merasa tersinggung. Ia terlihat tidak nyaman ketika hendak berutang tapi diminta memenuhi hukum yang ada.
Pada akhirnya orang itu membatalkan transaksi perutangan yang sedang diajukan. Ia lebih menuruti ego dengan dalih privasi dan menjunjung nilai kepercayaan serta kebersamaan. Ia khilaf dari hukum Allah yang telah ditetapkan.
Lagi pula banyak manfaat yang diperoleh. Beberapa di antaranya tidak ada lagi keraguan. Baik masalah jumlah angka maupun tanggal pengembalian barang atau uang yang diutangkan. Dengan begitu semua jadi transparan.
Seharusnya perilaku mencatat dan mendatangkan 2 orang saksi terpercaya dalam transaksi utang piutang dijadikan hal umum atau lumrah. Menjadi suatu kewajaran (normal) yang bahkan itu merupakan adat baik yang harus dijunjung tinggi.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Inilah Ayat Terpanjang dalam Al Quran, Tukang Utang Jangan Tersinggung"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*