Hubungan pernikahan merupakan ikatan resmi lawan jenis yang sesuai dengan hukum agama dan negara sehingga membolehkan mereka untuk berumah tangga bersama.
Tak hanya nikah, dalam perceraian juga ada "prosesi" pisah resmi lawan jenis yang sesuai dengan hukum negara dan agama sehingga membatalkan suatu pernikahan.
Berbicara masalah cerai, ada beberapa opini bergulir bahwa beberapa waktu ke depan banyak pasangan berpisah. Itu disinyalir terdapat hubungannya dengan bencana global COVID-19.
Memang pendapat seperti itu tidak terlalu mengagetkan. Orang awam pun yang "peka" pasti bisa merasakan gejala masyarakat menuju ke arah pergolakan rumah tangga.
Waktu untuk isolasi di rumah bersama keluarga idealnya dapat makin merekatkan hubungan. Bapak bekerja dari rumah, anak belajar di rumah, dan ibu belanja "online" sambil rebahan di rumah. Namun, semua itu malah memicu konflik.
Pada masa berdiam diri di rumah. Suami-istri saling mengevaluasi hubungan pernikahan. Sayangnya, makin ke sini makin ditemukan ketidakcocokan, timbul gesekan, hingga mulai ada rasa muak.
Ternyata selama ini hubungan yang terjadi hanya bersifat semu. Sebatas mitra "kerja" dalam kantor perusahaan bernama rumah tangga. Masing-masing berjuang, diselingi kegiatan lain di luar rumah, menjaga kantor itu tidak runtuh.
Satu sama lain jarang bertemu karena sibuk aktivitas masing-masing. Malamnya capek tinggal istirahat. Tidak ada waktu untuk berdebat apalagi perselisihan tajam. Tentu waktu sedikit itu digunakan untuk hal yang "damai" saja.
Kasus seperti di atas mirip dengan orang paruh baya yang pensiun. Alih-alih hidup dami menikmati masa tua, yang ada waktu luang begitu banyak dan tak tau cara menggunakannya. Itu jadi sebab munculnya pertengkaran.
Baca: Alasan Pria Paruh Baya Tergoda untuk Selingkuh
Tak berlebihan bila dikatakan aktivitas di luar rumah yang begitu besar dan kurangnya waktu bersama dengan pasangan jadi penyebab tiang rumah tangga tetap tegak. Kenyataan itu tentu tak terpikirkan bagi sebagian orang.
Waktu untuk isolasi di rumah bersama keluarga idealnya dapat makin merekatkan hubungan. Bapak bekerja dari rumah, anak belajar di rumah, dan ibu belanja "online" sambil rebahan di rumah. Namun, semua itu malah memicu konflik.
Pada masa berdiam diri di rumah. Suami-istri saling mengevaluasi hubungan pernikahan. Sayangnya, makin ke sini makin ditemukan ketidakcocokan, timbul gesekan, hingga mulai ada rasa muak.
Ternyata selama ini hubungan yang terjadi hanya bersifat semu. Sebatas mitra "kerja" dalam kantor perusahaan bernama rumah tangga. Masing-masing berjuang, diselingi kegiatan lain di luar rumah, menjaga kantor itu tidak runtuh.
Satu sama lain jarang bertemu karena sibuk aktivitas masing-masing. Malamnya capek tinggal istirahat. Tidak ada waktu untuk berdebat apalagi perselisihan tajam. Tentu waktu sedikit itu digunakan untuk hal yang "damai" saja.
Kasus seperti di atas mirip dengan orang paruh baya yang pensiun. Alih-alih hidup dami menikmati masa tua, yang ada waktu luang begitu banyak dan tak tau cara menggunakannya. Itu jadi sebab munculnya pertengkaran.
Baca: Alasan Pria Paruh Baya Tergoda untuk Selingkuh
Tak berlebihan bila dikatakan aktivitas di luar rumah yang begitu besar dan kurangnya waktu bersama dengan pasangan jadi penyebab tiang rumah tangga tetap tegak. Kenyataan itu tentu tak terpikirkan bagi sebagian orang.
Lalu mengapa baru setelah wabah berakhir perceraian bakal meledak? Jawabannya sederhana. Sebenarnya niat untuk bercerai sudah ada saat di tengah masa pandemi berlangsung.
Keputusan pisah tidak segera diambil karena ingin memberikan kesempatan pasangan untuk berubah. Sambil menunggu pagebluk Corona berakhir.
Ilustrasi pasangan bercerai (sumber gambar) |
Toh, bila mau mengurus cerai ke kantor pemerintahan di tengah wabah juga agak merepotkan. Lagi pula tidak ingin menambah duka keluarga besar ketika tahu ada yang cerai.
Lalu apasih alasan diprediksi bakal banyak perceraian pasca wabah Corona? Berikut ini 3 alasannya:
1. Tidak lulus ujian bersama
Pandemi Covid-19 adalah ujian bersama yang harus dihadapi bersama. Suatu pasangan satu sama lain harus bekerja sama.
Pasangan diuji dalam keadaan darurat seperti ini. Apakah bisa diajak bekerja sama dengan cantik atau tidak. Apakah satu sama lain bisa saling menguatkan atau tidak.
Belum lagi masalah beban ekonomi yang makin berat. Ditambah tiap hari disuguhi hal sama dan tentu itu membosankan. Apalagi yang biasa shopping dan hangout.
Ketika pasangan gagal menghadapi ujian bersama ini maka perilakunya berubah. Jadi makin emosional, egois, dan berbagai sikap negatif lain. Ujungnya bakal bercerai.
2. Sifat asli pasangan terlihat
Sifat jelek atau negatif satu sama lain bakal terlihat setiap hari. Itu tidak sekadar membosankan tapi sesuatu hal yang lebih dari memuakkan.
Mereka yang selama ini "kuat" berpura-pura manis pada pasangannya akhirnya menyerah. Makin ke sini makin ada hitung-hitungan. Satu sama lain tidak mau berkorban.
Pasangan yang biasanya bebas di luar berkeliaran dengan selingkuhan akhirnya "terpenjara" di rumah. Alhasil hubungannya diganti via ponsel. Lalu itu diketahui oleh pasangan resminya.
Perilaku negatif lain yang muncul adalah satu sama lain makin agresif. Disebabkan karena depresi berkepanjangan. Suami suka main tangan dan istri suka banting-banting perabotan.
3. Insting bertahan saat dilanda bencana
Musim "pengasingan diri" di rumah sendiri seperti sekarang sekilas tak lebih berat dari bencana alam. Namun, karena waktu yang berkepanjangan sebenarnya ini tak kalah bikin kaget.
Yang namanya bencana apapun itu, baik bencana alam amupun non alam pasti memicu insting individu untuk bertahan. Mempertahankan nyawa maupun hartanya.
Sayangnya, tindakan yang dipilih tidak selamanya hal positif. Justru keputusan besar dalam hidup di tengah bencana yang diambil adalah bercerai. Dengan dalih melindungi "hak milik".
Keputusan menceraikan atau minta pisah dilakukan lantaran demi untuk menjaga harta dan harapan/cita pribadi di masa depan tetap terjamin. Keberadaan pasangan dianggap merusak semuanya itu.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Tiga Alasan Akan Banyak Pasangan Bercerai Saat Wabah COVID-19 Berakhir"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*