Dulu saya selalu bangga atas apa yang sudah saya tulis. Namun, ketika tulisan masa lalu saya yang kini dibaca lagi rasanya amat malu mengakuinya. Susunan katanya amburadul, banyak salah ketik, dan kesalahan lain.
Waktu pertama kali menulis tanpa ada kutipan maupun tambal sulam dengan menyomot sana-sini, rasanya diri ini seperti seorang ahli. Melebihi ahlinya ahli. Tak hanya ahli "menulis" tapi juga ahli pada topik yang sedang dibahas.
Sekarang saya tak pernah beranggapan tulisan yang telah dibuat berkualitas bagus dan enak dibaca. Takutnya kelak nanti saat di hari tua diri ini malu membaca tulisan sendiri. Sambil bergumam "Kok bisa saya dulu menulis seperti ini?".
Bagi saya, sekarang ini menulis bukan untuk urusan ego diri sendiri. Untuk berbangga bahwa diri ini punya idealisme dan mampu berkarya. Pun sebaliknya, malah untuk mencari keuntungan finansial dan popularitas semata.
Sebuah tulisan harus bisa menyelaraskan antara idealisme dan pragmatisme penulis. Menyeimbangkan antara moralitas dan hedonimse. Tulisan juga mesti dapat mempertemukan antara keinginan khalayak dengan apa yang akan ditulis.
Bila masyarakat luas ingin membaca tulisan yang "mudah dibaca" maka kurangi ego diri. Dengan cara merubah susunan kalimat maupun paragrafnya menjadi pendek. Lantas menggunakan pilihan kata yang mudah dimengerti.
Sekarang apapun yang telah saya tulis tak akan pernah saya anggap sebagai karya final. Kelak suatu tulisan tatkala dibaca kembali pasti diri ini mengrenyitkan dahi. Sebab ternyata masih saja ada kekurangan yang ditemukan.
Bisa dikatakan menulis adalah kegiatan belajar merangkai kata hingga akhir hayat. Sampai kapanpun seorang penulis harus terus belajar. Tak hanya belajar masalah teori tulis menulis, tapi juga belajar dengan cara terus menerus menulis.
Seorang pantas disebut penulis sejati bukan karena ia menulis satu tulisan yang menurutnya bagus lalu berhenti berkarya. Alih-alih malas menulis lagi, justru saat punya waktu luang ia gunakan menulis tentang apa yang harus ditulis.
Ilustrasi menulis di laptop (sumber gambar) |
Menulis itu banyak media salurnya. Bisa menulis di grup medsos, koran, majalah, hingga di website seperti Banjir Embun ini. Jadi jika sebuah tulisan yang dikirim/setor ke pihak penerbit atau pengelola tulisan maka tidak perlu gusar. Sebarkan tulisan itu di media sosial.
Nah, di situlah dapat dinilai tujuan menulis untuk apa. Cari uang, cari popularitas, sebuah tuntutan akademis, ingin menjaga idealisme, atau kombinasi dari itu. Misalnya seorang pendakwah yang membuat tulisan tentang moralitas, kemungkinan bertujuan menjaga idealitas.
Terakhir, saran saja bagi kalian yang ingin jadi penulis mulailah menulis dari hal kecil, jumlah kata sedikit, dan menggunakan media sosial. Tak perlu muluk-muluk harus jadi tulisan sempurna. Cukup istiqomah menulis dengan frekuensi minimal satu pekan satu kali menulis.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Jadikan Menulis Sebagai Kegiatan Belajar Merangkai Kata Hingga Akhir Hayat"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*