Ini adalah kisah seorang petani di lereng gunung Gede, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa barat. Ia memiliki lahan pertanian yang tak luas. Hasil panennya hanya cukup untuk kebutuhan hidup sederhana untuk dia beserta keluarga.
[Lokasi Kec. Cipanas]
Ladangnya ditanami berbagai jenis sayuran silih berganti sesuai musim. Mulai dari sawi putih, sawi hijau, kangkung, hingga bayam. Berbulan-bulan ia menggarapnya. Mengolah tanah, menyemai bibit, mengairi, memupuk, merawat, sampai memanennya.
Sebagaimana biasa, pak tani telah memperhitungkan kapan waktu panen. Sudah direncanakan pada ramadan atau paling tidak mendekati datangnya, panen bakal dilakukan. Sebab pada waktu itu harga bahan pokok termasuk sayur mayur diprediksi melambung tinggi.
Ternyata takdir Allah berkata lain. Pandemi Covid-19 makin mengkhawatirkan. Distribusi hasil panen tak lagi selancar hari biasa. Pemerintah makin gencar melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Penjualan hasil panen tak semudah dulu. Akibatnya harga panen terjun bebas.
Hati pak tani resah. Terbayang hasil penjualan pertanian kali ini tak sesuai impian. Setiap hari ia terus memperbarui info terkait perkembangan harga dan keadaan di pasar perdagangan. Ternyata aktivitas suplai hasil panen ke pasar grosir/induk sayuran dan buah di Jakarta tak mudah.
Di tengah kondisi petani yang terhimpit, oknum-oknum tengkulak berkeliaran mencari mangsa. Blusukan ke kampung mulai dari warung, kebun, hingga sanggar kelompok tani. Mereka mencari kesempatan saat ada kesempitan. Berdalih mau memberi solusi bagi para petani.
Salah satu broker (tengkulak) berkilah "Kami hanya membantu, sebenarnya saya sendiri belum tahu akan dijual ke mana, musim lockdown begini sulit untuk bergerak."
Sambil memasang wajah meyakinkan dan penuh bujukan, tengkulak itu menambahi "Saya enggak maksa, itu sih terserah, mau jual ke saya silakan kalau tidak mau iya tak apa-apa. Saya kasian saja, sayuran tak dipanen kan sayang."
Bagai keluar dari mulut harimau lalu disuguhi mulut buaya para petani jadi bimbing. Termasuk seorang pak tani yang jadi tokoh cerita ini. Harga yang ditawarkan para tengkulak tak manusiawi. Jangankan balik modal, justru bila menjual pada mereka ruginya banyak.
Sayangnya, beberapa petani lebih memutuskan untuk menyerah. Banyak yang akhirnya menjual hasil panen ke lintah darat itu. Namun, pak tani satu ini masih menahan dulu. Tidak terpancing dan lebih bersabar menunggu. Barangkali ada kebijakan baru dari pemerintah.
Hingga tiba satu pekan sebelum lebaran ternyata harga jual sayuran yang ia tanam makin anjlok. Pak tani sempat drop dan tertekan. Untungnya itu tak berlangsung lama. Ketika pagi hari selepas sholat subuh pak tani menjenguk kebunnya. Di sepanjang jalan zikir di bibir tak pernah lepas.
Sesampainya di ladang, pak tani menghamparkan tatapan mata ke penjuru tanamannya. Nampak subur, segar, dan menggiurkan mata. Dengan spontan air matanya tumpah tak tertahan. Sambil memegang lembut daun sawi ia berdoa pada Allah.
"Ya Allah, Engkau menyaksikan sendiri bahwa ikhtiarku selama ini hanya untuk-Mu, mohon beri hamba ampunan dan rahmat. Apabila dosa dan khilaf hamba ini jadi penghalang datangnya rizqi maka ampunilah ya Allah. Berikan hamba hidayah agar tak salah langkah. Beri hamba kekuatan dan ketenangan melalui takdir ini. Hamba yakin tak ada yang sia-sia segala takdir-Mu."
Pak tani sadar bukan hanya dirinya yang dilanda musibah. Banyak orang-orang di sekitar dan masyarakat di tempat lain yang mengalami kesulitan. Kondisi ekonomi yang tertekan sehingga walau hanya untuk membeli sayuran mentah pun pikir-pikir. Walau mampu membeli, jumlahnya hanya sedikit.
Tatkala sedang momen merenung dan berzikir, tiba-tiba petani itu dapat hidayah. Akhirnya ia bersama istrinya memutuskan untuk membagi-bagikan sayuran yang ditanam dengan cuma-cuma. Tentu itu disertai keyakinan bahwa Allah akan "membayar" sedekahnya itu dengan harga pantas.
Pak tani berharap sambil berdoa "Ya Allah, saya akan jual semua sayuran di ladang ini pada-Mu, bila semua pasar milik manusia tak mampu membelinya dengan layak maka hamba mohon bayarlah semua ini dengan harga terbaik, hamba akan memanen semua sayuran ini, lalu saya sedekahkan pada sesama, hamba mohon terima amal ini."
Pada saat pagi menjelang siang di hari ke-17 bulan Ramadan ia mengangkut segerobak sayuran ke Pesantren di sekitar tempat tinggal. Dilanjutkan beberapa bungkus, karung, hingga obrok ke berbagai tempat. Mulai dari puskesmas, kampung miskin, para tetangga semua yang mampu maupun tidak, hingga ke rumah tokoh agama. Semuanya itu gratis.
Setiba waktu Maghrib, pak tani sudah menuntaskan semua misi bagi-baginya. Setelah berbuka dan sholat Maghrib pak tani mulai dilanda pegal-pegal. Anehnya meski capek hatinya merasa bahagia dan tak ada penyesalan atas kelakuan "brutalnya" bersama istri dan anak seharian penuh.
Di hari itu ratusan isi lambung manusia terpenuhi menu sayuran yang teramat cukup. Setiap penerimanya bersyukur telah mendapat sayur gratis. Seraya penuh harap pada Allah agar siapa saja yang memberi sayuran itu mendapat keberkahan melimpah ruah.
Hari berganti, pak tani beserta keluarga telah melupakan apa yang telah ia dan keluarganya lakukan kemarin. Singkat cerita, tiba-tiba ada pesan misterius dari aplikasi medsosnya. Sebuah nomor tak dikenal langsung memulai obrolan.
"Assalamualaikum, Perkenalkan saya Imron, kita belum pernah ketemu, saya barusan mendengar kabar tentang bapak dari pak Kades, katanya bapak bagi-bagi sayur gratis ke warga, kalau berkenan saya ingin berinfaq di bulan suci ini, barangkali tak banyak, semoga bermanfaat untuk membeli benih dan pupuk supaya bapak tetap bisa bertani setelah ini,... bisa saya minta nomor rekening bapak?"
Awalnya pak tani meragukan isi pesan di atas. Takut kena prank, ada yang usil, bahkan bertujuan menipu. Akhirnya dengan ucapan "Bismillahirrahmanirrahim" pak tani mengirim nomor rekening. Tanpa diduga tak lama setelah itu ia menerima bukti/resi transfer senilai 10 juta rupiah.
Seketika mengucur deras air mata pak tani setelah ada sms masuk dari bank berupa notifikasi penerimaan transfer. Terbayang beberapa waktu lalu, tengkulak hanya menawar seluruh kebun seharga Rp. 1.500.000,-. Padahal modal yang dikeluarkan saja 3.500.000,-. Serta panen yang diharapkan bisa tembus 5 juta rupiah.
Keputusan pak tani itu tepat. Ia mengabaikan tawaran broker lalu melakukan trading (jual-beli) langsung pada Sang Maha Pencipta. Harga yang diterima pun jauh lebih tinggi. Belum lagi ada kesempatan balasan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. Sungguh keuntungan yang berlipat-lipat.
TAMAT.
Disclaimer: Tulisan di atas adalah kisah fiktif. Di mana, itu digubah ulang dari status media sosial yang sedang viral. Ditulis ulang dengan perubahan susunan kata, baik di judul maupun isinya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Cerita Inspiratif, Tak Mau Jual ke Tengkulak Nakal Petani Sayur ini Malah Untung Besar"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*