Sinar
mentari pagi masuk melalui celah jendela kamar itu. Seorang gadis terlihat
masih terbaring dan menikmati tidurnya. Hari ini adalah hari libur. Jadi wajar saja jika pelajar bangun
siang saat holiday.
Amelia,
siswi salah satu SMA di Bandung ini mempunyai paras yang cantik. Amelia adalah sosok
yang periang. Dia selalu menebar senyuman
kepada setiap orang yang ditemuinya. Namun siapa sangka, dibalik sikap ramah
dan periangnya itu dia menyimpan sejuta kesedihan di matanya.
Amel
tinggal bersama Nenek dan Kakeknya selama 12 tahun ini. Dia juga harus menjaga adiknya. Ibu
dan Ayahnya telah berpisah semenjak dia berumur enam tahun. Di mana, usia seorang anak yang masih
memerlukan kasih sayang penuh dari orang tuanya.
Namun harus seperti apalagi?
Toh ini semua bukan keinginannya. Dia juga tidak mengerti kenapa orang tuanya berpisah. Setiap
dia bertanya hanyalah jawaban yang sama setiap saatnya “belum saatnya kamu tahu.”
Pada
suatu hari Amelia menerima sebuah telepon dari sang Ibu. Ibunya hanya menanyakan kabarnya dan
memberi tahu bahwa uang bulanan akan segera ditransfer. Karena sekarang Ibunya
berada di Malaysia dan bekerja di sana.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”
“Apa
kabar sayang?”
“Alhamdulillah
Bu, baik. Ibu apa kabar?”
“Alhamdulillah Ibu juga baik. Bagaimana sekolahmu?"
“Tidak
ada yang menarik.”
Ya, seperti itulah.
Bukannya Amelia tidak ingin berbicara pada Ibunya, namun dia merasa bosan jika
harus seperti itu setiap saat. Dia hanya ingin bertemu dengan Ibunya sekali
saja, namun itu tak pernah terwujud.
“Uang bulanan Ibu
transfer ya, kamu jangan macam-macam sama Nenek. Jadi anak yang berbakti.”
“Makasih Bu, Ibu kapan
pulang?”
“Pasti Ibu pulang,
kamu sabar yah. Ibu akan pulang dan tinggal bersamamu seperti dulu.”
Selalu jawaban yang
sama, apa Ibu tak ingin menemui Amelia? Sehingga dia menunda kepulangannya
sampai selama itu? Dua belas tahun, dan Amelia tidak pernah bertemu dengan Ibunya
semenjak perceraian itu.
|
Foto hanya sebagai ilustrasi |
Ayahnya telah menikah
lagi dengan seorang wanita yang sama sekali tidak menyayangi Amelia. Dia
sempat berpikir kenapa Ayahnya bersedia menikahi wanita menyeramkan itu?
Di sekolah, Amelia
mempunyai 7 sahabat yang sangat dekat dengannya. Dua di antaranya
adalah orang yang Amel percaya. Amelia
selalu menceritakan apa pun yang dia rasakan pada mereka berdua. Mereka adalah
Syifa dan Mina.
Tak segan-segan Amelia bercerita tentang apa masalah yang
terjadi tentang keluarganya. Dia selalu mengeluh.
Senantiasa mengatakan ingin bertemu dengan Ibunya. Namun
tak ada yang bisa dilakukan. Berbicara pun
tak membuat hati ibunya luluh untuk pulang dan bertemu anak-anaknya.
Pada pekan
selanjutnya Ibu menelepon Amelia lagi. Memberi
kabar bahwa ia akan pulang ke Indonesia. Kabar itu membuat Amel sangat senang.
Dia membersihkan rumahnya, membereskan
kamarnya, dan selalu berceria setiap harinya.
Tepat saat hari di mana Ibunya
akan pulang, tak ada seorang pun yang datang menemuinya. Apa Ibunya berbohong?
Amelia sangat kesal. Dia semakin tidak mempercayai dan membenci
wanita yang selama ini dipanggil Ibu itu. Sudah tiga kali Ibunya mengatakan bahwa
ia akan pulang dan menemui Amelia. Namun hasilnya nihil, tak pernah Ibu
menempati janjinya.
Setiap malam Amelia
hanya menangis. Kenapa dia tidak merasakan apa yang orang lain
rasakan? Kasih sayang seorang Ibu dan Ayah. Perhatian
mereka yang Amel butuhkan saat ini. Tapi apa yang diterimanya? Hanya kebohongan
setiap saat.
Sampai pada suatu
hari telepon Amelia berdering. Tampilan layar itu menunjukkan
seseorang meneleponnya. Di sana tertulis ‘Tante Mei’.
“Halo teh Amel.”
“Iya halo Tante.”
“Teh Amel apa kabar?”
“Alhamdulillah baik
Tante. Ada apa ya?”
“Tante cuman ingin
mengabari, Ibumu sekarang sudah ada di Indonesia. Mungkin dalam waktu dekat
akan segera menuju Bandung.”
“Oh, yaudah Tante.”
“Satu lagi, katanya
Ibu akan menikah lagi. Bagaimana?”
Deg... kabar itu
tentunya membuat Amelia kaget, bagaimana bisa Ibunya akan menikah lagi tanpa
meminta izin pada anak-anaknya. Amarah semakin menyelimuti hati Amel.
Dia semakin tak ingin bertemu dengan Ibunya
itu.
“Tinggal nikah aja,
paling Amel gak bakal dateng.”
“Ko gitu teh? Yang
mau nikah itu Ibu Teh Amel loh. Masa gak mau dateng?”
“Jemput Fikri aja
Tante, Amelia gak usah.” (Fikri adalah adik dari Amelia yang sekarang telah
berumur 16 tahun)
Tak disangka,
ternyata Ibunya tetap melangsungkan pernikahan itu. Hal itu sungguh membuat
hati Amelia robek. Bahkan Ibu tak mengabarinya sama sekali.
Dua bulan setelahnya
Amelia melihat sebuah taxi terparkir di depan rumahnya. Amelia heran, siapa
yang datang? Padahal dia tak mendapat kabar akan ada saudaranya yang datang.
Seorang wanita paruh
baya dengan gaya yang nyentrik keluar dari taxi itu.
Dia membawa barang-barang yang sangat banyak.
Seketika Amelia
mematung di tempat. Dia
tak percaya dengan siapa yang dilihatnya. Bukannya senang, dia hanya menatap
dingin wanita di hadapannya itu. Rasa kaget, tak percaya,
dan amarah yang menyelimutinya bercampur aduk.
Amelia dan wanita itu
duduk di ruang tengah tanpa berbicara.
Amelia juga tidak berniat menyapa wanita itu. Setelah agak lama, akhirnya
wanita itu berbicara. Ibu Amelia. Dia berminta maaf pada Amel tentang semua
yang terjadi dan menjelaskan alasannya dengan sedetail mungkin.
Amelia memang
memaafkan Ibunya. Namun rasa kecewa masih menyelimuti hati
Amelia. Amelia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melupakan semuanya.
Amelia merasa hancur. Ia merasa orang tuanya lebih peduli pada dunia
mereka masing-masing. Bagi Amel mereka tak mengerti bagaimana lukanya hati
diabaikan kedua orang tuanya. Lebih luka daripada anak yatim-piatu ditinggal
mati sejak kecil.
Bagaimana tidak, orang tua yang tak bisa dijadikan tempat curhat secara
tatap muka. Malah hubungan yang terjadi serbang canggung. Lebih canggung
daripada orang yang saling cinta tapi malu bertatap muka.
Kini Amel harus berjuang sendiri menata hidupnya. Meski sokongan dana
sesekali diterima dari Ibunya, tapi untuk urusan psikologis seperti
perlindungan, kenyamanan, dan kebersamaan di keluarga harus ia pendam
dalam-dalam.
Kelak ia tak ingin mengulangi kegagalan rumah tangga orang tuanya.
Oleh sebab itu mulai sekarang ia bertekad untuk menjadi perempuan hebat bagi
suami dan anak-anaknya kelak. Harapan dan do'a itu ia sertakan dalam sholat yang didirikannya.
Selesai
Ditulis oleh: Mega Syifa Nugraha. Seorang pelajar kelas 3 SMA di Bandung. Tulisan dikirim penulis melalui email resmi tim Banjir Embun dengan alamat banjirembun@banjirembun.com. Berdasar penuturan kakak kandung penulis, cerita di atas merupakan kisah nyata yang dapat divalidasi kebenarannya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Kisah Nyata: Amelia Si Gadis Periang di Balik Luka Kehidupan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*