Selama naik moda "trans" bis, baru kali ini saya tidak kecapekan. Sebab jarang sekali di dalam bis mengambil posisi berdiri. Bila pun berdiri hanya sebentar lalu dapat tempat duduk lagi. Tak seperti Trans Jakarta (yang saya naiki tahun 2017) dan Trans Sarbagita di Bali (Bulan Juni tahun 2019). Naik keduanya badan terasa capek. Digoyang-goyang dengan hawa AC yang tak begitu dingin.
Baru kemarin tanggal 4 Desember 2019 saya rasakan naik Trans Jogja. Waktu urusan bisnis sambil jalan-jalan di sana. Awalnya tidak ada rencana naik bis trans Jogja. Bukan karena tidak mau. Soalnya lupa kalau di Jogja ada moda "trans" di Jogja. Seperti halnya di Jakarta dan Bali bagian selatan itu. Baru sadar dan ingat saat hendak ke jalan raya. Saya melihat halte yang "aneh".
Dulu ada yang pernah cerita bahwa di Jogja juga ada bus trans. Layaknya di Jakarta dengan biaya yang sama. Serta sistem pengelolaan yang sama pula. Cukup keluarkan biaya tiga ribu lima ratus rupiah bisa menuju ke manapun asal tidak keluar dari shelter bus. Yakni, halte yang ada penjaganya dan ada pintu putar berupa batangan besi. Serta halte yang digunakan transit untuk oper dari jurusan/jalur bis satu ke yang lainnya.
|
tata cara naik bus trans Jogya yang ditempel di Halte |
Kalau mau buang-buang waktu dengan biaya murah cukup keluarkan biaya Rp. 3.500,-. Kalian bisa mengelilingi Jogyakarta, Jakarta, dan Bali bagian selatan. Tapi iya itu, cuma bisa di dalam bis dan dudu di halte saja (bukan halte portable). Kalau mau keliling bebas tinggal turun saja di halte transit maupun portable (tidak permanen atau mudah dipindahkan). Setelah itu naik bis lagi dengan mengeluarkan biaya 3,5 ribu. Tinggal dikalikan sudah berapa kali masuk halte atau bisnya.
Dari pada di Jakarta dan Bali, berdasar pengalaman pribadi, jauh lebih mudah memahami jalur trans Jogja. Sebab di Jakarta rute trans Jakarta sangat rumit. Begitu banyak halte, jalur, dan bis yang berlalu-lalang. Seperti benang ruwet. Sedangkan di Bali tak jauh beda. Di dalam haltenya tidak disediakan peta atau petunjuk arah ke mana saja laju bis Trans Bali. Alhasil, pada waktu itu saya melihat rutenya hanya di internet. Itupun bukan berupa peta.
|
Salah satu peta jalur Bis Trans Jogja |
Sebagai tambahan. Pada waktu salah satu tim *Banjir Embun* ke Bali untuk mengikuti Webmaster Conference Google juga tidak ada rencana untuk naik Trans Serbagita. Itu karena memang tidak tahu kalau di Bali ada moda "trans" juga. Hasil pengakuan tim *Banjir Embun* itu, ia diberi tahu tukan ojek online bahwa untuk jalan-jalan lebih baik menggunakan bis Sarbagita. Katanya, selain murah juga dijamin tidak akan tersesat. Kalau pun tersesat tinggal tanya petugasnya.
Saat itu halte utama trans Jogja (bukan halte portabel) yang sering saya singgahi adalah halte Prambanan. Posisinya paling utara sendiri. Lalu halte Bandara Adisucipto sebagai halte transit yang bercabang ke mana-mana. Di halte inilah bisnya sering penuh. Tentu haltenya juga tak kalah penuhnya sehingga beberapa penunggu bis ada yang beridir. Terakhir halte Terminal Giwangan. Halte sibuk yang lokasinya paling selatan sendiri.
|
Halte Bis Trans Jogja Bandara Adisucipto saat lengang |
Berkat adanya halte Trans Jogja itu saya bisa menghemat ratusan ribu rupiah. Itu bila dibandingkan ketika saya naik tranportasi online yang harus berkali-kali turun di beberapa tempat. Sebut saja seperti di Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Terminal Giwangan, Masjid Jogokariyan, Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan beberapa destinasi wisata lainnya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengalaman Pribadi Naik Bus Trans Jogja, Cuma Rp 3.500,00 Bebas ke Manapun"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*