Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Sifat Ilmiah Penelitan Kualitatif Pendidikan Agama Islam: Mencari Tahu


Konseptor dan Praktisi Penelitian Pendidikan Islam



Salah satu sifat dasar manusia adalah rasa penasaran dan ingin tahu, misalnya tertantang untuk tahu bagaimana cara memecahkan masalah (teka-teki). Kenyataan tersebut menjadi kaidah dasar biologis sekaligus sosiologis manusia. Tentu lebih jauh dan mendalam pada waktu jangka panjang hal tersebut untuk mempertahankan diri dari kemunduran peradaban dan kepunahan sebuah spesies yaitu umat manusia itu sendiri.

Jika sebuah masalah yang berkaitan dengan peradaban manusia tidak dicari tahu cara penyelesaiannya maka dikhawatirkan bisa berakibat fatal bagi perkembangan sosial manusia terutama untuk jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian  untuk “mencari tahu” tentang sebab, akibat, dan fenomena dari gejala yang dikatakan sebagai masalah. 

Tindakan tersebut sebagai antisipasi untuk jangka panjang dan sebagai pemecah masalah secara praktis untuk jangka pendek. Dengan kata lain, untuk memecahkan masalah dibutuhkan sebuah metode yang cocok dengan masalah tersebut, bisa menggunakan kajian ilmiah dan non-ilmiah maupun jenis pendekatan kualitatif atau kuantitatif. 

Sebagaimana menurut Amirul Hadi dan Haryono bahwa upaya untuk “mencari tahu” jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi tidak hanya dapat dilakukan dalam bentuk pengukuran dengan metode kuantitatif saja, namun juga bisa dengan pendekatan kualitatif, dilakukan melalui pengkajian terhadap bahan/dokumen tertulis (kepustakaan), dan bahkan bisa diwujudkan dengan bentuk opini atau judgement.[1]



Semakin kompleks atau luasnya masalah maka semakin rumit juga cara penyelesaiannya, jika permasalahan yang kompleks belum juga ditemukan jawabannya (bernilai manfaat) maka yang perlu ditemukan dahulu adalah strategi dan metode apa yang cocok dalam penyelesaian masalah tersebut. Setidaknya mencari celah dan penyebab lain yang dimungkinkan menjadi pengaruh utama dari permasalahan tersebut. Bukan memaksakan diri secara terus menerus menggunakan strategi dan metode pendekatan yang sama dengan harapan bisa menemukan hasil yang berbeda. 


Dalam konteks ini penelitian kualitatif memiliki peran penting untuk memberikan jawaban dari permasalahan tersebut dari segala sudut pandang dan titik tekan. Tidak hanya sebagai alternatif namun bisa menjadi salah satu cara yang tepat sebagai alat jalan keluar dari permasalahan Pendidikan. Sebagaimana menurut Burhan Bungin bahwa dibutuhkan keterbukaan terhadap berbagai alternatif metodologis yang mampu membawa peneliti pada subtansi atau inti dari permasalahan atau persoalan. Dengan kata lain metode atau pendekatan penelitian hanyalah alat yang dipakai untuk menemukan kebenaran, yang mana kebenaran itu hanya bersifat nisbi (sementara).[2]



Dari pembahasan di atas maka bisa dikatakan bahwa pengetahuan ilmiah sekarang ini bisa semakin pesat dan maju setelah ditemukan metode ilmiah untuk menjawab berbagai pertatanyaan dan permasalahaan. Oleh karena itu, asumsi atau aksioma selanjutnya adalah rasa ingin tahu manusia pada zaman sekarang ini tak akan mungkin bisa terpuaskan jika digunakan cara-cara yang tidak ilmiah. Terlebih lagi hanya didominasi satu pendekatan atau metode tertentu saja dalam pemecahan masalahnya. Artinya, diperlukan sebuah pengembangan metode tertentu. 


Masih dibutuhkan alternatif lain untuk menjawab kejenuhan dan keraguan atas penggunaan pendekatan yang itu-itu saja. Lebih jauh karena begitu banyak dan beragamnya jumlah manusia serta runtutan masalah yang menyertainya menuntut para ilmuwan dan akademisi melakukan pengembangan. Salah satunya untuk menemukan cara bagaimana agar proses “mencari tahu” tersebut bisa berhasil dilakukan dengan efektif dan efisien agar dihasilkan penelitian yang jitu (tepat sasaran) sehingga dapat dimanfaatkan. 

Dalam dunia pendidikan pun khususnya pada Pendidikan Agama Islam (PAI) tentu dalam penerapan dari teorinya jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan bidang pembelajaran ilmu lainnya. Aspek keagamaan yang bersifat personal (subjektif), sensitif, dan menjadi milik (diakui) masyarakat secara kompleks (rumit) adalah menjadi alasan mengapa penelitian kuantitatif (pengangkaan) saja tak akan pernah cukup untuk menyelesaikan masalah di dalamnya.



Kembali pada pembahasan tentang sifat “ingin tahu,” sebenarnya hewan juga memilikinya, fungsi tersebut juga sama dengan manusia yaitu untuk eksistensi kehidupan seperti penjelasan sebelumya. Namun perbedaannya adalah hewan mencukupkan pada tahapan “tahu” saja untuk kebutuhan jangka pendek, tidak ada pengembangan, dan hanya untuk kebutuhan biologisnya saja. Misal seekor predator (pemangsa) ingin mengetahui apa mangsa yang ditikamnya sudah mati atau belum dengan cara mengamati pergerakan tubuhnya dan merasakan denyut jantungnya. 


Walaupun ada yang meyakini terutama dari kalangan agamawan bahwa binatang melakukan sesuatu itu karena reflek dan sudah terprogram otaknya untuk melakukan tindakan tersebut. Artinya dalam otak binatang tidak ada mekanisme logika sebab akibat, sehingga binatang tidak dapat memperikirakan apa yang akan terjadi setelah suatu kejadian berlangsung. Dengan kata lain adaptasi yang dilakukan hewan bukan karena dari hasil proses “pemikiran” terlebih dahulu, apalagi dari hasil penelitian, tetapi dari proses gerak refleks biologis. 

Misalnya proses migrasi hewan saat peralihan musim bukan karena dari hasil proses sifat “ingin tahu” nya tapi karena memang binatang tersebut secara refleks biologis (insting) harus berpindah jika tidak ingin mati karena adanya pergantian musim yang tidak cocok lagi dengan tubuhnya. Sedangkan pada manusia proses “mencari tahu” bisa berubah menjadi “pengetahuan” yang digunakan untuk jangka pendek maupun jangka panjang, ada potensi dikembangkan, dan tidak hanya untuk kebutuhan biologisnya saja. Dalam komunitas manusia pun terdapat berbagai bentuk perbedaan kajian ilmu dalam pemahaman makna, metode, dan teknik pelaksanaannya demi memuaskan rasa ingin tahu tersebut.



Dalam hubungannya, sebuah penelitian tindakan “mencari tahu” merupakan sebuah kewajiban, karena salah satu fungsi dasar dalam penelitian adalah untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Namun di sisi lain ada tuntutan sosial bahwa suatu yang belum diketahui jawabannya tersebut harus diketahui dengan segera karena hasil penelitiannya penting dan mendesak. Bisa juga ditunda untuk diketahui beberapa waktu kedepan disebabkan hasil penelitiannya perlu dikembangkan terlebih dahulu. 


Dengan demikian tindakan “mencari tahu” merupakan sifat dasar (naluri) yang harus diasah dan dimiliki peneliti kualitatif lapangan. Dengan sikap tersebut maka peneliti sebagai pencari “tahu” akan cenderung bersifat netral dalam mencari data (meminimalkan subjektifitas) karena tujuan utamanya adalah untuk dihasilkan penelitian yang bermanfaat bagi publik dan juga hanya “bermanfaat” bagi lembaga tertentu karena penelitiannya yang bersifat rahasia (tidak dipublikasikan) untuk beberapa waktu ke depan. 


Dengan catatan tindakan mencari tahu dalam penelitian di sini adalah karena peneliti memang benar-benar belum tahu secara mendalam, utuh, dan komperhensif. Serta secara teknis tidak ada pencemaran dalam diri peneliti sifat kebanggaan sudah merasa tahu, terlalu emosional (mengandalkan perasaan), dan tidak “melihat” keadaan lapangan secara seimbang serta utuh. 


Sedangkan secara filosofis peneliti melepaskan pengaruh ideologi organisasi keagamaan tertentu, politik, otoritas tokoh, dan sosio-kultur masyarakat yang ia gunakan dan yakini sejak lama. Dengan kata lain, peneliti mengumpulkan dan menyajikan data secara alami, seimbang, dan utuh tanpa dipengaruhi oleh pihak lain, bahkan tidak “dipengaruhi” oleh dirinya sendiri.



Dengan tindakan “mencari tahu” yang diwujudkan dalam bentuk melakukan penelitian ilmiah maka tidak mengherankan jika dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang mengalami perkembangan pesat. Berbagai metode dan teknik penelitan ilmiah digunakan untuk mencari kemudian menggali dan mendalami realitas atau fenomena apa yang ada pada manusia serta yang ada dibaliknya. Dengan kata lain sifat keingin tahuan manusia terus mengalami perkembangan untuk menggali sesuatu gejala dengan berbagi metode yang dikira cocok.[3] 


Begitu pula untuk penelitian PAI hendaknya juga bisa menemukan cara tersendiri agar hasil penelitiannya benar-benar bisa bermanfaat secara langsung bagi dunia pendidikan Islam. Dengan demikian makna “mencari tahu” dalam penelitian PAI harus dibatasi, tidak semua hal bisa dicari tahu karena keterbatasan otak dan panca indera manusia. 


Dibutuhkan instrumen lain yaitu wahyu Allah yang memiliki kebenaran tunggal dan mutlak untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan penelitian baik untuk metodenya maupun untuk menjawab permasalahan atau fokus penelitian. Dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu manusia dalam islam tidak dibebaskan begitu saja, ada beberapa hal lain yang berada di luar jangkauan manusia yang harus dicari jawabannya bukan melakukan penelitian tapi dengan pemahaman (penginterpretasian) kembali ayat-ayat Allah SWT.



Selama ini tindakan mencari tahu oleh sebagian kalangan hanya mengandalkan pada alat panca indera dan alat (teknologi) buatan manusia yang kemudian dipahami dengan prespektif yang berbeda antara manusia satu dengan yang lain. Prespektif berbeda karena setiap pengalaman dari manusia satu dengan yang lain pasti juga berbeda. 

Lebih dalam, diakui atau tidak panca indera manusia memiliki jangkauan yang terbatas baik secara kualitas maupun kuantitas untuk memahami kebenaran yang lebih tinggi dari kebenaran yang ada (sudah ditemukan) sekarang ini. Masih dibutuhkan beberapa waktu untuk menemukan cara yang tepat agar kebenaran yang lebih tinggi tersebut bisa ditemukan. Oleh karena itu diperlukan “pedoman” atau tata cara lain sebagai pemandu manusia untuk memecahkan masalah (penemuan kebenaran) diantaranya adalah digunakan logika, estetika, etika(moral), dan norma atau aturan kepercayaan (agama). 


Dengan demikian di tengah keterbatasan panca indera manusia tindakan mencarai tahu tidak diabaikan dan sangat penting. Dapat disimpulkan bahwa tindakan mencari tahu itu sangat penting dan tidak dapat disepelekan terutama pada konteks moderntias abad ini. Di antaranya mencari tahu tentang kebenaran yang sesungguhnya dengan cara penemuan, pemecahan, dan pengembangan masalah secara ilmiah.

Ilustrasi ilmu penelitian pendidikan (sumber gambar)


Sedangkan tindakan “mencari tahu” dalam dunia pendidikan terutama pada PAI digunakan untuk mengetahui cara maupun konsep pengembangan PAI secara umum, menemukan masalah dalam PAI, cara memecahkan permasalahan dalam PAI, cara pemanfaatan PAI secara optimal bagi kehidupan masyarakat, dan sebagainya. Tidak akan mungkin sebuah ilmu pengetahuan akan berkembang tanpa tindakan “mencari tahu,” begitu pula untuk PAI agar ilmu PAI bisa berkembang maka perlu untuk “mencari tahu” bagaimana mekanismenya. 


Untuk menemukan mekanisme tersebut diperlukan sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan tentunya dilandaskan pada nilai-nilai agama Islam. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif PAI semestinya tidak hanya penelitinya saja yang berstatus Islam namun objek penelitiannya pun juga tentang pendidikan agama Islam (bukan pendidikan umum). Bahkan untuk metodenya pun sudah saatnya digunakan metode-metode asalnya dari penginterpretasian terhadap ajaran-ajaran Islam.  



Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada sebuah penelitian yang benar adalah harus didasarkan dari rasa “ingin tahu” terhadap sesuatu untuk ditemukan jawabannya. Bukan karena fatkor teknis semata seperti: tuntutan dunia kerja, tekanan dari kampus, karena tugas akhir kuliah yang harus diselasikan, dan karena merupakan proyek dari pemerintah. Konsekuensinya peneliti sebelum melakukan penelitian harus benar-benar belum mengetahui jawaban pasti dari apa yang akan ditelitinya, melainkan hanya menduga (asumsi) jawabannya sebagai "hipotesis" (jawaban sementara). 


Di mana asumsi (praduga) tersebut tidak boleh mengintervensi peneliti pada tahapan pengolahan dan analisis data yang telah ditemukan. Sementara untuk penelitian PAI rasa “ingin tahu” saja tidak cukup sebagai alasan mengapa sebuah penelitian harus dilakukan, diperlukan faktor ideologis yaitu penelitian sebagai sebuah bentuk ibadah dalam upaya peneliti untuk mencari ridho Allah SWT. Selain itu ada kepercayaan bahwa hasil dari semua penelitian oleh manusia termasuk penelitian PAI sebuah “kebenaran”(teori) yang dihasilkannya masih dimungkinkan bisa dikembangkan bahkan dibatalkan. Artinya tidak ada kebenaran yang mutlak, abadi, dan maha kokoh kecuali kebenaran yang berasal (ditetapkan) dari Allah SWT.



Proses “mencari tahu” merupakan salah satu tindakan untuk mendapat informasi, di mana diperlukan cara yang tepat agar dihasilkan “informasi” yang tepat pula. Artinya apabila sebuah informasi (hasil dari proses “mencari tahu”) tidak didasarkan dari keadaan lapangan secara benar dan utuh maka informasi tersebut bisa jadi menyesatkan. Jika menyesatkan maka informasi tersebut tidak akan memiliki nilai manfaat dan tak bermakna atau bahkan bisa merugikan jika dijadikan acuan. 


Bisa jadi bagian dari seluruh informasi utuh (laporan) yang tidak tepat tersebut adalah buah dari tekanan otoritas lembaga pendidikan, dikerjakan dengan asal-asalan tanpa kaidah keilmuan yang bisa dipertanggung jawabkan, serta terlalu banyak unsur subjetifitas peneliti saat memaparkan data, atau dilakukan tanpa tujuan yang jelas dan tidak terfokus. 


Dengan demikian usaha dalam menemukan masalah, mengetahui sebabnya, dan memberikan solusi dari masalah tersebut dalam sebuah penelitian adalah bagian dari proses “mencari tahu”. Dapat disimpulan nilai dan semangat “mencari tahu” dalam sebuah penelitian berfungsi sebagai roh dalam penelitian. Dengan kata lain hasil sebuah penelitian kualitatif tidaklah hidup (punya roh) jika apa yang dihasilkan belum membumi dan masih jauh dari fungsinya.




[1]Amirul Hadi & Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 12.
[2]Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), v.
[3] Afifuddin & Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif  (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 9.







Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sifat Ilmiah Penelitan Kualitatif Pendidikan Agama Islam: Mencari Tahu"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*