Konseptor dan Praktisi Penelitian Pendidikan Islam
Salah
satu sifat dasar manusia adalah rasa penasaran dan ingin tahu, misalnya
tertantang untuk tahu bagaimana cara memecahkan masalah (teka-teki). Kenyataan
tersebut menjadi kaidah dasar biologis sekaligus sosiologis manusia. Tentu
lebih jauh dan mendalam pada waktu jangka panjang hal tersebut untuk
mempertahankan diri dari kemunduran peradaban dan kepunahan sebuah spesies
yaitu umat manusia itu sendiri.
Jika sebuah masalah yang berkaitan dengan
peradaban manusia tidak dicari tahu cara penyelesaiannya maka dikhawatirkan bisa
berakibat fatal bagi perkembangan sosial manusia terutama untuk jangka panjang.
Oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian
untuk “mencari tahu” tentang sebab, akibat, dan fenomena dari gejala yang
dikatakan sebagai masalah.
Tindakan tersebut sebagai antisipasi untuk jangka
panjang dan sebagai pemecah masalah secara praktis untuk jangka pendek. Dengan
kata lain, untuk memecahkan masalah dibutuhkan sebuah metode yang cocok dengan
masalah tersebut, bisa menggunakan kajian ilmiah dan non-ilmiah maupun jenis
pendekatan kualitatif atau kuantitatif.
Sebagaimana menurut Amirul Hadi dan
Haryono bahwa upaya untuk “mencari tahu” jawaban terhadap permasalahan yang
dihadapi tidak hanya dapat dilakukan dalam bentuk pengukuran dengan metode
kuantitatif saja, namun juga bisa dengan pendekatan kualitatif, dilakukan
melalui pengkajian terhadap bahan/dokumen tertulis (kepustakaan), dan bahkan
bisa diwujudkan dengan bentuk opini atau judgement.
Semakin
kompleks atau luasnya masalah maka semakin rumit juga cara penyelesaiannya, jika
permasalahan yang kompleks belum juga ditemukan jawabannya (bernilai manfaat)
maka yang perlu ditemukan dahulu adalah strategi dan metode apa yang cocok
dalam penyelesaian masalah tersebut. Setidaknya mencari celah dan penyebab lain yang
dimungkinkan menjadi pengaruh utama dari permasalahan tersebut. Bukan
memaksakan diri secara terus menerus menggunakan strategi dan metode pendekatan
yang sama dengan harapan bisa menemukan hasil yang berbeda.
Dalam konteks ini
penelitian kualitatif memiliki peran penting untuk memberikan jawaban dari
permasalahan tersebut dari segala sudut pandang dan titik tekan. Tidak hanya
sebagai alternatif namun bisa menjadi salah satu cara yang tepat sebagai alat
jalan keluar dari permasalahan Pendidikan. Sebagaimana menurut Burhan Bungin
bahwa dibutuhkan keterbukaan terhadap berbagai alternatif metodologis yang
mampu membawa peneliti pada subtansi atau inti dari permasalahan atau
persoalan. Dengan kata lain metode atau pendekatan penelitian hanyalah alat
yang dipakai untuk menemukan kebenaran, yang mana kebenaran itu hanya bersifat
nisbi (sementara).
Dari
pembahasan di atas maka bisa dikatakan bahwa pengetahuan ilmiah sekarang ini
bisa semakin pesat dan maju setelah ditemukan metode ilmiah untuk menjawab
berbagai pertatanyaan dan permasalahaan. Oleh karena itu, asumsi atau aksioma
selanjutnya adalah rasa ingin tahu manusia pada zaman sekarang ini tak akan
mungkin bisa terpuaskan jika digunakan cara-cara yang tidak ilmiah. Terlebih lagi hanya
didominasi satu pendekatan atau metode tertentu saja dalam pemecahan masalahnya. Artinya, diperlukan sebuah pengembangan metode tertentu.
Masih dibutuhkan
alternatif lain untuk menjawab kejenuhan dan keraguan atas penggunaan
pendekatan yang itu-itu saja. Lebih jauh karena begitu banyak dan beragamnya
jumlah manusia serta runtutan masalah yang menyertainya menuntut para ilmuwan
dan akademisi melakukan pengembangan. Salah satunya untuk menemukan cara
bagaimana agar proses “mencari tahu” tersebut bisa berhasil dilakukan dengan
efektif dan efisien agar dihasilkan penelitian yang jitu (tepat sasaran)
sehingga dapat dimanfaatkan.
Dalam dunia pendidikan pun khususnya pada
Pendidikan Agama Islam (PAI) tentu dalam penerapan dari teorinya jauh lebih sulit
jika dibandingkan dengan bidang pembelajaran ilmu lainnya. Aspek keagamaan yang
bersifat personal (subjektif), sensitif, dan menjadi milik (diakui) masyarakat
secara kompleks (rumit) adalah menjadi alasan mengapa penelitian kuantitatif
(pengangkaan) saja tak akan pernah cukup untuk menyelesaikan masalah di dalamnya.
Kembali
pada pembahasan tentang sifat “ingin tahu,” sebenarnya hewan juga memilikinya,
fungsi tersebut juga sama dengan manusia yaitu untuk eksistensi kehidupan
seperti penjelasan sebelumya. Namun perbedaannya adalah hewan mencukupkan pada
tahapan “tahu” saja untuk kebutuhan jangka pendek, tidak ada pengembangan, dan
hanya untuk kebutuhan biologisnya saja. Misal seekor predator (pemangsa) ingin
mengetahui apa mangsa yang ditikamnya sudah mati atau belum dengan cara
mengamati pergerakan tubuhnya dan merasakan denyut jantungnya.
Walaupun ada
yang meyakini terutama dari kalangan agamawan bahwa binatang melakukan sesuatu
itu karena reflek dan sudah terprogram otaknya untuk melakukan tindakan
tersebut. Artinya dalam otak binatang tidak ada mekanisme logika sebab akibat,
sehingga binatang tidak dapat memperikirakan apa yang akan terjadi setelah
suatu kejadian berlangsung. Dengan kata lain adaptasi yang dilakukan hewan
bukan karena dari hasil proses “pemikiran” terlebih dahulu, apalagi dari hasil
penelitian, tetapi dari proses gerak refleks biologis.
Misalnya proses migrasi
hewan saat peralihan musim bukan karena dari hasil proses sifat “ingin tahu”
nya tapi karena memang binatang tersebut secara refleks biologis (insting) harus
berpindah jika tidak ingin mati karena adanya pergantian musim yang tidak cocok
lagi dengan tubuhnya. Sedangkan pada manusia proses “mencari tahu” bisa berubah
menjadi “pengetahuan” yang digunakan untuk jangka pendek maupun jangka panjang,
ada potensi dikembangkan, dan tidak hanya untuk kebutuhan biologisnya saja. Dalam komunitas manusia pun terdapat berbagai bentuk perbedaan kajian ilmu dalam
pemahaman makna, metode, dan teknik pelaksanaannya demi memuaskan rasa ingin
tahu tersebut.
Dalam
hubungannya, sebuah penelitian tindakan “mencari tahu” merupakan sebuah
kewajiban, karena salah satu fungsi dasar dalam penelitian adalah untuk
mengetahui sesuatu yang belum diketahui jawabannya. Namun di sisi lain ada
tuntutan sosial bahwa suatu yang belum diketahui jawabannya tersebut harus
diketahui dengan segera karena hasil penelitiannya penting dan mendesak. Bisa
juga ditunda untuk diketahui beberapa waktu kedepan disebabkan hasil
penelitiannya perlu dikembangkan terlebih dahulu.
Dengan demikian tindakan
“mencari tahu” merupakan sifat dasar (naluri) yang harus diasah dan dimiliki
peneliti kualitatif lapangan. Dengan sikap tersebut maka peneliti sebagai
pencari “tahu” akan cenderung bersifat netral dalam mencari data (meminimalkan
subjektifitas) karena tujuan utamanya adalah untuk dihasilkan penelitian yang
bermanfaat bagi publik dan juga hanya “bermanfaat” bagi lembaga tertentu karena
penelitiannya yang bersifat rahasia (tidak dipublikasikan) untuk beberapa waktu
ke depan.
Dengan catatan tindakan mencari tahu dalam penelitian di sini adalah
karena peneliti memang benar-benar belum tahu secara mendalam, utuh, dan
komperhensif. Serta secara teknis tidak ada pencemaran dalam diri peneliti
sifat kebanggaan sudah merasa tahu, terlalu emosional (mengandalkan perasaan),
dan tidak “melihat” keadaan lapangan secara seimbang serta utuh.
Sedangkan
secara filosofis peneliti melepaskan pengaruh ideologi organisasi keagamaan
tertentu, politik, otoritas tokoh, dan sosio-kultur masyarakat yang ia gunakan
dan yakini sejak lama. Dengan kata lain, peneliti mengumpulkan dan menyajikan
data secara alami, seimbang, dan utuh tanpa dipengaruhi oleh pihak lain, bahkan
tidak “dipengaruhi” oleh dirinya sendiri.
Dengan
tindakan “mencari tahu” yang diwujudkan dalam bentuk melakukan penelitian
ilmiah maka tidak mengherankan jika dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam berbagai bidang mengalami perkembangan pesat. Berbagai metode dan teknik
penelitan ilmiah digunakan untuk mencari kemudian menggali dan mendalami
realitas atau fenomena apa yang ada pada manusia serta yang ada dibaliknya.
Dengan kata lain sifat keingin tahuan manusia terus mengalami perkembangan
untuk menggali sesuatu gejala dengan berbagi metode yang dikira cocok.
Begitu pula untuk penelitian PAI hendaknya juga bisa menemukan cara tersendiri
agar hasil penelitiannya benar-benar bisa bermanfaat secara langsung bagi dunia
pendidikan Islam. Dengan demikian makna “mencari tahu” dalam penelitian PAI
harus dibatasi, tidak semua hal bisa dicari tahu karena keterbatasan otak dan
panca indera manusia.
Dibutuhkan instrumen lain yaitu wahyu Allah yang memiliki
kebenaran tunggal dan mutlak untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan
penelitian baik untuk metodenya maupun untuk menjawab permasalahan atau fokus
penelitian. Dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu manusia dalam islam tidak
dibebaskan begitu saja, ada beberapa hal lain yang berada di luar jangkauan
manusia yang harus dicari jawabannya bukan melakukan penelitian tapi dengan
pemahaman (penginterpretasian) kembali ayat-ayat Allah SWT.
Selama
ini tindakan mencari tahu oleh sebagian kalangan hanya mengandalkan pada alat
panca indera dan alat (teknologi) buatan manusia yang kemudian dipahami dengan
prespektif yang berbeda antara manusia satu dengan yang lain. Prespektif
berbeda karena setiap pengalaman dari manusia satu dengan yang lain pasti juga
berbeda.
Lebih dalam, diakui atau tidak panca indera manusia memiliki jangkauan
yang terbatas baik secara kualitas maupun kuantitas untuk memahami kebenaran
yang lebih tinggi dari kebenaran yang ada (sudah ditemukan) sekarang ini. Masih
dibutuhkan beberapa waktu untuk menemukan cara yang tepat agar kebenaran yang
lebih tinggi tersebut bisa ditemukan. Oleh karena itu diperlukan “pedoman” atau
tata cara lain sebagai pemandu manusia untuk memecahkan masalah (penemuan
kebenaran) diantaranya adalah digunakan logika, estetika, etika(moral), dan
norma atau aturan kepercayaan (agama).
Dengan demikian di tengah keterbatasan
panca indera manusia tindakan mencarai tahu tidak diabaikan dan sangat penting.
Dapat disimpulkan bahwa tindakan mencari tahu itu sangat penting dan tidak
dapat disepelekan terutama pada konteks moderntias abad ini. Di antaranya
mencari tahu tentang kebenaran yang sesungguhnya dengan cara penemuan,
pemecahan, dan pengembangan masalah secara ilmiah.
Sedangkan
tindakan “mencari tahu” dalam dunia pendidikan terutama pada PAI digunakan
untuk mengetahui cara maupun konsep pengembangan PAI secara umum, menemukan
masalah dalam PAI, cara memecahkan permasalahan dalam PAI, cara pemanfaatan PAI
secara optimal bagi kehidupan masyarakat, dan sebagainya. Tidak akan mungkin
sebuah ilmu pengetahuan akan berkembang tanpa tindakan “mencari tahu,” begitu
pula untuk PAI agar ilmu PAI bisa berkembang maka perlu untuk “mencari tahu”
bagaimana mekanismenya.
Untuk menemukan mekanisme tersebut diperlukan sebuah
penelitian ilmiah yang dilakukan tentunya dilandaskan pada nilai-nilai agama
Islam. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif PAI semestinya tidak hanya
penelitinya saja yang berstatus Islam namun objek penelitiannya pun juga
tentang pendidikan agama Islam (bukan pendidikan umum). Bahkan untuk metodenya
pun sudah saatnya digunakan metode-metode asalnya dari penginterpretasian
terhadap ajaran-ajaran Islam.
Dari
semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada sebuah penelitian yang
benar adalah harus didasarkan dari rasa “ingin tahu” terhadap sesuatu untuk
ditemukan jawabannya. Bukan karena fatkor teknis semata seperti: tuntutan dunia
kerja, tekanan dari kampus, karena tugas akhir kuliah yang harus diselasikan,
dan karena merupakan proyek dari pemerintah. Konsekuensinya peneliti sebelum
melakukan penelitian harus benar-benar belum mengetahui jawaban pasti dari apa
yang akan ditelitinya, melainkan hanya menduga (asumsi) jawabannya sebagai
"hipotesis" (jawaban sementara).
Di mana asumsi (praduga) tersebut tidak boleh
mengintervensi peneliti pada tahapan pengolahan dan analisis data yang telah
ditemukan. Sementara untuk penelitian PAI rasa “ingin tahu” saja tidak cukup
sebagai alasan mengapa sebuah penelitian harus dilakukan, diperlukan faktor
ideologis yaitu penelitian sebagai sebuah bentuk ibadah dalam upaya peneliti
untuk mencari ridho Allah SWT. Selain itu ada kepercayaan bahwa hasil dari
semua penelitian oleh manusia termasuk penelitian PAI sebuah “kebenaran”(teori)
yang dihasilkannya masih dimungkinkan bisa dikembangkan bahkan dibatalkan. Artinya
tidak ada kebenaran yang mutlak, abadi, dan maha kokoh kecuali kebenaran yang
berasal (ditetapkan) dari Allah SWT.
Proses
“mencari tahu” merupakan salah satu tindakan untuk mendapat informasi, di mana
diperlukan cara yang tepat agar dihasilkan “informasi” yang tepat pula. Artinya
apabila sebuah informasi (hasil dari proses “mencari tahu”) tidak didasarkan
dari keadaan lapangan secara benar dan utuh maka informasi tersebut bisa jadi
menyesatkan. Jika menyesatkan maka informasi tersebut tidak akan memiliki nilai
manfaat dan tak bermakna atau bahkan bisa merugikan jika dijadikan acuan.
Bisa
jadi bagian dari seluruh informasi utuh (laporan) yang tidak tepat tersebut
adalah buah dari tekanan otoritas lembaga pendidikan, dikerjakan dengan
asal-asalan tanpa kaidah keilmuan yang bisa dipertanggung jawabkan, serta
terlalu banyak unsur subjetifitas peneliti saat memaparkan data,
atau dilakukan tanpa tujuan yang jelas dan tidak terfokus.
Dengan demikian
usaha dalam menemukan masalah, mengetahui sebabnya, dan memberikan solusi dari
masalah tersebut dalam sebuah penelitian adalah bagian dari proses “mencari
tahu”. Dapat disimpulan nilai dan semangat “mencari tahu” dalam sebuah
penelitian berfungsi sebagai roh dalam penelitian. Dengan kata lain hasil
sebuah penelitian kualitatif tidaklah hidup (punya roh) jika apa yang
dihasilkan belum membumi dan masih jauh dari fungsinya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sifat Ilmiah Penelitan Kualitatif Pendidikan Agama Islam: Mencari Tahu"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*