Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Konsep Ilmiah Penelitian Pendidikan Agama Islam





Konseptor dan Praktisi Penelitian Pendidikan Islam


Pembahasan serta kajian tentang ilmiah untuk menemukan peranannya terutama bagi PAI maka tak bisa lepas dari hal-hal yang terkait dengan berpikir ilmiah, sikap ilmiah, dan ciri-cirinya. oleh karena itu penulis akan uraikan sebagai berikut:

1.      Berpikir Ilmiah


Manusia sebagai mahkluk hidup mempunyai batang otak, hal tersebut menyebabkan mereka mampu untuk berpikir dalam memetakan, memperkirakan, berkomunikasi, mempertahankan eksistensi, berkompetisi, dan sebagainya. Begitu pula dengan kebanyakan hewan juga memiliki batang otak walau fungsinya hampir sama, akan tetapi cara kerja untuk mewujudkannya sangat sederhana dan dimungkinkan jauh berbeda dengan milik manusia. Salah satu bedanya adalah dalam berpikir manusia bisa berfilsafat (hingga ke akar-akarnya) sedangkan hewan tidak mungkin bisa. 


Dari kenyataan tersebut maka tujuan awal dari “berpikir lmiah” yang dikaitkan dengan filsafat adalah agar dihasilkan ilmu secara rinci sesuai dengan kajian yang didalami. Selain manusia bisa menghasilkan ilmu, perbedaan manusia dengan hewan adalah manusia punya “iman” terhadap sesuatu yang bisa menjadi harapan sebagai pelindung dan penolong baginya. Iman dalam konteks ini adalah manusia tunduk (menjadi hamba) terhadap sesuatu hal yang diyakininya pantas untuk dipuja karena bisa menjadi penenang, penyenang, dan pengarah jalan hidupnya. Oleh sebat itu sudah tepat jika ada pernyataan “tidak beragama bukan berarti tak bertuhan.” 



Bagaimanapun juga mau diakui atau tidak seorang yang mengimani (percaya) terhadap sesuatu kekuatan yang melebihi segala dari yang lainnya bisa disebut sebagai TUHAN (lihat cerita nabi ibrahim dalam menemukan kebenaran tentang tuhan dalam QS al An’aam 76-80).  Dengan demikian siapapun bisa menjadi hamba bagi teknologi, harta, tahta, logika, dan bahkan Bintang, Bulan, Matahari atau hamba bagi dirinya sendiri karena dengan itu ia bisa menjadi tergantung dan merasa nyaman.


Dalam kaitannya maka penelitian ilmiah PAI sebagai kegiatan ilmiah harus bersifat rasional (logis), artinya tidak akan bisa lepas dari mekanisme berpikir ilmiah. Berpikir dalam KBBI berarti “menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu.”[1] Berpikir ilmiah digunakan sebagai pemetaan, penyusunan, dan pembangunan alam pikir peneliti dalam pembentukan kerangka maupun prinsip serta penggunaan teori untuk penyelesaian masalah. Penggunaan panca indera secara optimal tidak akan ditinggalkan, karena rasional erat kaitannya dengan pendekatan empiris (berdasarkan fakta). 


Namun cara berpikir peneliti PAI tidak serta merta tunduk pada rasional atau panca inderanya saja, dibutuhkan cara berpikir yang dilandaskan pada nilai-nilai agama Islam sebagai panduan. Bagaimanapun penelitian PAI objek kajiannya adalah yang bersangkut paut dengan agama Islam, oleh karena itu pemahaman dan penggunaan nilai-nilai keislaman terhadapnya adalah menjadi sebuah pemahaman yang utuh. Bagaiamana seorang yang tidak tahu tentang nilai-nilai Islam bahkan tidak tahu tengang PAI melakukan penelitian PAI lantas bisa menghasilkan penelitian yang objektif dan hasilnya bisa bermanfaat bagi PAI begitu pula sebaliknya. Sebagaimana menurut Imam Supryogo dan Tobroni yang sebagian dikutip dari Turner bahwa:


persoalan yang timbul adalah apakah paradigma dan metode ilmu-ilmu sosial yang notabene lahir dan berkembang di Barat yang berpaham sekuler mampu atau tepat digunakan untuk mengkaji fenomenan keberagamaan masyarakat Timur, khususunya Islam? kegagalan Webber dalam analisisnya tentan masyarakat Islam, oleh sebagian ahli, dinilai sebagai contoh kegagalan metode illmu-ilmu sosial Barat untuk mengkaji fenomena keagamaan masyarkaat timur, khususnya Islam (lihat Turner, 1991). Sebenarnya kegagalan tesis Weber terhadap Islam bukan semata-mata karena faktor metodologi yang digunakan, melainkan karena ketidakmengertian Weber terhadap Islam, ketidakmampuannya meninggalkan prakonsepsi ideologis, politis, religius, etnosentrisme barat terhadap Islam.[2]



Dari penjelasan tersebut sesungguhnya penggunaan “berpikir ilmiah” merupakan sesuatu yang imperatif[3] bagi peneliti PAI, begitu pula penggunaan berpikir yang dilandaskan pada nilai-nilai agama Islam merupakan sebuah kewajiban. Termasuk juga untuk metode yang digunakan dan kemampuan yang memadai oleh peneliti terhadap objek yang dikaji misalnya kajian tentang PAI. Metode berfikir ilmiah terpenting yang lain adalah bagaimana agar alam pikir peneliti tidak tercemari oleh tekakan otoritas baik yang berupa ideologi, politik, dan fanatisme kelompok. 





Artinya penelitian PAI digunakan bukan untuk menemukan kebenaran diluar kajian PAI. Namun digunakan untuk menemukan kebenaran PAI yang bisa beramanfaat bagi umat Islam dan secara tidak langsung bagi umat manusia. Selain itu menurut penulis, seorang peneliti yang ingin meneliti tentang peradaban bangsa lain maka ia harus pandai bahasa dari bangsa tersebut, bahkan idealnya laporan penelitiannya digunakan bahasa dari bangsa yang diteliti tersebut. Atau paling tidak laporan penelitiannya sarat dengan teks-teks atau bahasa yang berasal dari bangsa yang dijadikan lokasi penelitian.


Permasalahannya yang lebih detail adalah apakah beberapa cara “berpikir ilmiah” termasuk metode yang lahirnya dibidani oleh Barat mampu mengkaver realitas kegamaan secara layak. Terutama dalam pengkajian pemikiran dan konseptual umat islam maupun perilaku bergama yang didasari pada sikap iman, ikhlas, tawakkal, ridla, qanaah, amal saleh dan sebaginya. Kenyataannya metode ilmiah tersebut yang dipengaruhi oleh filsafat positivisme dan sekularisme sering kali tak sanggup mencapai kedalaman pemikiran dan sikap batin yang mendasari perilaku seseorang. 

Dampaknya hasil kerangka berfikir ilmiahnya pun juga akan tidak mampu memahamii hal-hal yang ada di dalam “batin” dan keyakinan pelaku agama. Misalnya, seorang pendidik (kyai/ustadz/mursyid) dengan susah payah mengelola pesantren atau jamaah tarekat kerap kali dipahami hanya dalam rangka motif ekonomi, kekuasaan, mencari pengaruh, dan status soail belaka. Pemahaman tersebut bisa jadi tidak sepenuhnya salah, tetapi bagi subjek penelitian (orang yang diteliti) dirasa sangan naif dan bisa menimbulkan perasaan sakit hati.[4]


Dapat disimpulkan bahwa pengertian berpikir ilmiah dalam penelitian PAI adalah penggunaan logika untuk pembentukan kerangka atau alur yang didasarkan pada nilai-nilai Islam sebagai bahan pengambilan keputusan sehingga dapat menjadi solusi bagi permasalahan PAI melalui cara ilmiah. Dengan demikian berfikir ilmiah bisa menjadi “radar pengarah” bagi penggunaan atau penerapan metode, prosedur, aturan (pedoman), dan sikap tertentu dalam memecahkan masalah penelitian ilmiah. 


Efeknya sesoarang peneliti sebagai pemikir ilmiah harus mampu menyusun kerangka atau alur dari segi bahasa, perencanaan, pelaksanaan, dan penemuan alternatif. Penyusunan kerangka tersebut baik dari tahapan permulaan penelitian sampai pengambilan kesimpulan sebagai sebuah kebenaran. Oleh karena itu, sebagai penguatan kembali karena penelitian PAI khususnya objek kajiannya berbeda dengan penelitian lainnya maka landasan “berpikir ilmiah” bagi penelitinya pun juga harus disesuiakan.


2.      Sikap ilmiah


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “sikap” salah satunya punya arti sebagai perbuatan dan sebagainya yang didasarkan pada pendirian maupun keyakinan. Sedangkan kata “ilmiah” artinya adalah “bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.”[5] Kata “sikap” jika disepadankan dalam bahasa Inggris maka ditemukan kata attitude yang artinya sikap, pendirian (keteguhan), dan letak (posisi).[6] Dari pernyataan tersebut konsekuensinya sikap yang ditunjukkan oleh seorang bisa diperoleh dari hasil pengembangan (dilanjutkan), penolakan, penerimaan (ditiru), dan pengubahan (disesuaikan) terhadap sikap yang dimiliki oleh orang lain atau dari hasil pemahaman terhadap teks. Lebih urgen maka sebuah sikap tertentu karena sudah terbiasa secara reflek maka akan bisa menjadi sebuah identitas kepribadian yang dominan dalam diri seseorang di kehidupan bermasyarakat. 


Adapun kata “ilmu” dalam KBBI hampir searti dengan kata “sains” yang artinya pengetahuan tentang kajian yang disusun secara tersistem berdasar metode khusus, sehingga dapat digunakan sebagai penjelas gejala tertentu dalam bidang (pengetahuan) tersebut. Sedangkan kata “sains” sendiri punya arti pertama ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan benda mati secara detail (ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan sistematis yang diperoleh dari observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari dan sebagainya.[7] Pernyataan tersebut menandakan bahwa kata “sains” lebih cenderung pada lingkup kajian ilmu pengetahuan alam bukan ilmu pengetahuan sosial.


Dari pengertian di atas menurut penulis definisi sikap adalah perilaku yang disebabkan adanya respon (sadar posisi) manusia sebagai tumpuan (keputusan) dalam memahami maupun menemukan sesuatu berdasarkan prinsip (pedoman), mekanisme (kaidah), dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya terhadap kondisi realitas baik berupa benda, manusia, dan peristiwa. Dengan demikian sikap bisa dipelajari dan dibentuk sehingga dihasilkan sesuatu dari “sikap” tersebut sesuatu yang diinginkan, misalkan ingin mencapai sesuatu hal yang bersifat ilmiah. 


Artinya, agar mampu dihasilkan sesuatu hal yang bisa memenuhi standar ilmiah maka sikap yang bisa dibentuk dan dipelajari tersebut juga harus bersifat ilmiah pula sehingga disebut sebagai sikap yang ilmiah atau sikap ilmiah. Dapat diisimpulkan dalam sikap ilmiah dibutuhkan performa (kondisi) yang siap sebagai persyaratan secara mental, metode, prosedur, dan sebagainya dalam peresponan terhadap masalah atau objek dengan sikap yang telah disepakati ahli ilmu (ilmuwan) sebagai sesuatu yang memenuhi standar ilmiah.


Dalam kajian lain menurut Dani Vardiansyah segala sesuatu termasuk pengetahuan bisa dikatakan sebagai ilmu harus memenuhi syarat sebagai berikut:[8]
a.    Objektif, artinya objek kajian ilmu harus terbangun dari satu pokok masalah yang sama sifat hakikatnya baik dari luar maupun dalam. Objektif juga berarti adanya kesesuaian antara pengetahuan yang ada dengan kenyataan objek.
b.    Metodis, artinya digunakan cara dan upaya tertentu yang sesuai untuk menemukan kebenaran, salah satunya adalah digunakan metode ilmiah.
c.    Sistematis, artinya adanya hubungan, kesinambungan, rangkaian, dan keterkaitan yang teratur dan logis sehingga terbentuk sebuah bangunan logika yang utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkain hubungan sebab akibat dari objeknya.
d.   Universal, hasil yang ingin dicapai adalah sebuah kebenaran yang bersifat universal yang berlaku umum (tidak untuk kasus dan golongan tertentu). Dalam ilmu sosial tertetnu untuk tercapainya syarat universial masih diperlukan konteks permasalahan dan dalam lingkup tertentu pula.


Dari pemaparan di atas maka sikap ilmiah adalah karakater yang harus dimiliki oleh ilmiah dalam memecahkan masalah. Artinya kepribadian ilmuwan sebagai pelaku sikap ilmiah harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya peka terhadap perubahan atau dinamika masyarakat. konsekuensinya hasil penelitian dari manusia harus tunduk pada perubahan masyarakat, bukan masyarakat yang tunduk pada hasil penelitian. Akan tetapi yang masih perlu dikritisi adalah syarat-syarat ilmu selama ini termasuk dari penjelasan di atas masih hanya didasarkan dan terpengaruh pada paradigma ilmu alam yang telah ada sejak dahulu. 

Padahal objek kajian PAI tidak hanya ilmu alam saja namun ilmu sosial lainnya yang sangat sulit untuk diuraikan secara detail apalagi diketemukan sebab akibatnya secara pasti. Oleh sebab itu, hampir mustahil ilmu sosial tertentu terutama PAI bisa terbangun dari sebuah ilmu yang benar-benar lebih mapan dari ilmu yang bersifat empiris (faktor alam) tersebut. Sebagaimana menurut penjelasan Nataatmadja yang dikutip oleh Zainuddin bahwa:

Wekskopf, seorang ahli nuklir memperingatkan, bahwa sains telah berhasil mempertajam pengetahuan kita mengenai peristiwa-peristiwa tertentu. Tetapi justru sains cenderung membuat pengetahuan kita mengenai yang lain semakin gelap. Sehingga kita harus bergerak meraba-raba dalam kegelapan sains. Sains sama sekali tidak memperjelas makna pengalaman-pengalaman manusiawi yang justru merupakan dasar dari eksistensi kita di alam ini.[9]

Dengan demikian manusia masih butuh sesuatu yang lain dari itu dalam konteks buku ini adalah butuh ilmu Agama yang oleh sebagain kalangan disebut sebagai bukan “ilmu” atau sebagai pengetahuan non ilmiah. Intinya sikap ilmiah itu tidak akan pernah terjebak pada sesuatu yang disepakati sebagai ilmiah, karena kesepakatan (klaim kebenaran) tersebut sendiri tidak akan mungkin abadi seiring dengan dinamika permasalahan kehidupan umat manusia. 



Apakah produk ilmiah yang lebih banyak berupa teknologi baik teknologi elektronik, biologi, fisika, kimia, dan produk lainnya yang menjadi klaim solusi kehidupan mampu memecahkan permasalahan di luar itu. Beberapa dari sebagiannya adalah permasalah kemanusiaan seperti kemiskinan, politik seperti peperangan, sosial seperti dominasi bangsa tertentu dalam segala bidang termasuk media masa, dan permasalahan-permasalahan lain.    Dari kenyataan tersebut maka suatu saat dibutuhkan rumusan baru yang lebih menyegarkan tetang konsep ilmiah yang mampu menjawab dinamika tersebut. 


Bahkan masih dimunginkan hal-hal yang diluar kesepkatan tersebut jauh lebih ilmiah karena sifat keterbatasn manusia dalam pemahaman tingkat keillmihaan itu sejauh mana dalam maupun tingginya dan sampai kapan mampu bertahan. Namun kenyataannya manusia zaman sekarang ini masih menggunakan konsep ilmiah yang masih perlu dikritisi sehingga kelak akan menjadi sejarah dan tak akan lagi digunakan sepenuhnya pada suatu saat. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan ilmliah (scientific approach) yang digunakah dan ditentukan (disepakati) hanya sebagai upaya manusia dalam merumuskan sebuah metode untuk dihasilkan pengetahuan yang ilmiah.


Hal lain yang penting untuk diketahui dalam pengkajian tentang sikap ilmiah adalah pertama sikap ilmiah adalah bagian terpenting yang harus dimiliki peneliti, akademisi, pendidik, dan bagi siapa saja yang ingin fokus pada ilmu tertentu. Dalam hubungannya maka sikap ilmiah adalah bagian dari tindakan yang tidak dilakukan apalagi dibiasakan oleh orang pada umumnya (awam). Namun kenyataannya sikap ilmiah berserta hasilnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan kata lain orang yang punya sikap ilmiah darinya mampu diperoleh pengetahuan, produk, atau solusi yang tidak terfikirkan oleh kebanyakan orang sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat. 


Kedua, bagi siapapun yang punya sikap ilmiah harus bisa mengkomunikasikan (publikasi) hasil dari sikap ilmiahnya tersebut kepada masyarakat salah satunya dengan bentuk tulisan, lisan, dan bahasa non verbal. Ketiga, karena pada kenyataannya sikap ilmiah yang dikonstruk oleh sebagian ilmuwan (terutama dari Barat) masih belum dimiliki oleh masyarakat awam maka kadangkala sikap ilmiah harus rela tunduk pada realitas masyarakat (disimpan dahulu) untuk waktu dan tempat tertentu. Oleh sebab itu, sebagamaina penjelasan sebelumnya konstruk sikap ilmiah harus dikritisi.  


Keempat, sikap ilmiah dalam kajian pengembangan ilmu PAI  harus dikonstruk ulang salah satunya dengan cara sikap ilmiah disesuikan dengan nilai-nilai ajaran islam. Asumsinya bagaimana sebuah sikap ilmiah yang dikonstruk bisa bermanfaat bagi PAI jika tidak disesuikan dengan ciri khas (khusus) PAI sebagai objek kajikannya.


Kelima, dari keempat penjelasan tersebut maka muncul beberapa pertanyaan diantaranya: apakah standar ilmiah yang sempit selama ini sudah mampu menjawab permasalahan sosial manusia yang semakin kompleks? Apakah hasil dari sikap ilmiah sudah bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas atau hanya masyarakat tertentu saja? Jika sikap ilmiah tidak bisa (enggan) diterapkan oleh kebanyakan orang maka di manakah letak kesalahannya? Apakah sikap ilmiah benar-benar bisa bebas nilai (nilai: agama, undang-undang (otoritas negara), ideologi, norma atau adat masyarakat dan sebagainya)? Apakah sikap ilmiah hanya bisa diterapkan untuk kajian-kajian yang kuantitatif saja? Dan sebagainya. 


Dari beberapa pertanyaan tersebut sebagai wujud kritis terhadap kesenjangan antara konsep sikap ilmiah selama ini dengan kenyataan di masyarakat maka sudah saatnya untuk diadakan rekonstruksi dan penyegaran. Hal tersebut sangat penting karena konsep ilmiah bukan sesuatu yang berhak dihegomoni (klaim) oleh kalangan tertentu saja, sudah saatnya untuk dikembangkan sebagai penyeimbang bagi konsep ilmiah sebelumnya.


Dari semua penjelasan tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa sikap ilmiah adalah tindakan (perilaku) yang ditunjukkan oleh seorang ilmuwan (ahli ilmu) baik secara aktif maupun pasif yang dilandaskan dan diperoleh dari keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip yang memenuhi segala syarat keilmuan sehingga hasil atau wujudnya bisa disebut (menjadi) sebagai ilmu pengetahuan. 


Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Pendidikan Agama Islam, sikap ilmiah menjadi keharusan yang ada dan menjadi kepribadian (karakter) pada para akademisi (ilmuwan) PAI saat terdapat permasalahan yang ditemui. Salah satu kegiatan untuk memecahkan masalah dengan sikap ilmiah tersebut adalah dengan diadakan penelitian ilmiah. Oleh sebab itu, seorang peneliti PAI sebagai insan ilmiah harus punya persyaratan atau ciri-ciri dari segala sesuatu yang bisa dikatakan sebagai sikap ilmiah. 


Hingga pada akhirnya PAI bisa benar-benar diakui dan dikatan sebagai kajian illmu bukan kajian dogma semata karena hasilnya didasarkan pada sikap ilmiah. Sedangkan peneliti PAI sebagai pelaku sikap ilmiah dan fokus dalam perkembangan PAI diakui sebagai ilmuwan dan hasil yang dicapai atau ditemukan dalam penelitian PAI bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan. Dari pembahasan sebelumnya maka penulis dapat merumusan penjabaran lebih detail dan terbentuk hubungan sebagaiman tabel di bawah ini:

Tabel 1.1 Mekanisme hubungan cara pemecahan masalah dengan pendekatan, hasil temuan, kualitas pemecahan masalah, dan manfaat bagi masyarakat.

Masalah
Pendekatan
Hasil Temuan
Pemecahan Masalah
Manfaat
Klaim Ilmiah
Non Ilmiah
Data Biasa
Data Khas
Menjadi Solusi
Jauh dari Solusi
Masyarakat Ilmuwan
Masyarakat Awam
Dinamisasi dan kesenjangan anatara teori dengan praktek lapangan
Logis, metodis, prosedur-al, sistematis, argumentasi yang dibangun dari fakta, dan universal
Mitos, isu (berita tanpa bukti), opini, argumentasi hanya dari prasangka, dan kepenting-an pribadi
Dari fakta lapangan, dapat dibuktik-an, saling berhubung-an, komperhensif, dan mendalam.
Bersifat tahayul, argumen-tasi yang asal bunyi, sulit atau tidak bisa untuk dibuktik-an, dan bersifat lokal
Digunakan sebagai rujukan (pendukung dan pembanding atau pelurusan dari teori-teori atau ilmu sebelumnya)
Hanya untuk memecah-kan masalah pribadi, dan pengokohan otoritas (tokoh, adat, dll) tertentu saja
Menjadi penyumbang ilmu pengetahuan, sebagai solusi masalah secara praktis dan teoritis, dan sumbangan ilmu pengetahuan
Menjadi pengikat hubungan sosial, sumbangan eksistensi (penjaga) alam serta budaya, dan sebagai kritik (aturan) sosial lingkup lokal
Berkaitakan erat dengan rasa “ingin tahu”
Didasar-kan sikap ilmiah dan menjadi gaya hidup dalam menemu-kan kebenaran
Didasar-kan pada subjektif pribadi/-kelompok dan menjadi gaya hidup bermasya-rakat.
Mudah dinaliasis sehingga bisa menjadi solusi (menja-wab masalah)
Sulit untuk dianalisis sehingga apabila disebarkan bisa timbul kerancuan (fitnah)
Dapat dipertang-gungjawab-kan secara akademis, bisa dikembang-kan melalui penelitian selanjutnya.
Argumen-tasi hanya prasangka dan kira-kira (murni imajenasi/ manipulasi)
Semakin banyak serta beragam keadaan lapangan maka dapat dilakukan dengan berbagai metode (pendekatan)
Bersifat tunggal (seragam) dan metode yang digunakan merupakan kesepakatan sosial (lokal)

3.      Ciri-ciri Sikap Ilmiah


Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa sikap ilmiah bukanlah sikap yang belum umum dilakukan oleh masyarakat luas terutama di Indonesia. Dari pernyataan tersebut perlu dirumuskan sikap ilmiah yang disesuaikan dengan konteks kajiannya yaitu PAI beserta lingkungan sekitarnya yang membutuhkan. Untuk mempermudah pemahaman tentang sikap ilmiah yang dimaksud tersebut maka perlu dipaparkan tentang beberapa ciri-ciri sikap yang bisa dikatakan memenuhi syarat (kaidah) ilmiah dalam penelitian PAI adalah sebagai berikut:


a.    Sidiq (objektif/jujur), artinya berpegang teguh pada kebenaran berdasarkan fakta yang ditemukan, sehingga tidak diintimidasi, dicampuri (tercemar), dan dipengaruhi oleh emosi maupun kepentingan pihak lain maupun perasaan dan egoisme pribadi. Dengan kata lain argumentasi yang dibangun adalah didasarkan pada fakta yang ditemukan bukan dari hasil rekaan (manipulasi). Misalnya: Peneliti telah menemukan bukti bahwa “jumlah mahasiswa putri beragama Islam pada kelas A Program Studi Manajemen Ekonomi yang memakai jilbab pada Perguruan Tinggi Umum tertentu adalah 17 orang dari 35 jumlah mahasiswa putri (kurang dari 50%).” Kemudian karena sesuatu hal dikatakan bahwa jumlah mahasiswa putri yang berjilbab di kelas tersebut adalah lebih dari 50 persen. Tindakan tersebut bukanlah tindakah yang objektif atau telah melakukan kebohongan.



b.    Amanah, artinya data (informasi) yang didapat memiliki tingkat kepercayaan (kredibilitas) yang tinggi dan keabsahan (shahih) datanya dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu peneliti harus punya naluri yang kuat untuk menemukan kebenaran yang kokoh salah satunya didasarkan pada bukti. Konsekuensinya peneliti harus punya sikap berani dalam mempertahankan kebenaran yang telah ia temukan meskipun tidak sesuai dengan teori atau “kebenaran” yang telah ada sebelumnya. Misalnya: Hasil dari penemuan ditunjukkan bahwa “pada lembaga pendidikan tertentu semua pendidik PAI telah terhimpun dalam sebuah wadah/organisasi/perkempulan formal (diakui lembaga pendidikan bersangkutan).” Agar data tersebut punya tingka kepercayaan tinggi maka diperlukan bukti sebagai wujud kebenaran, seperti dilampirkannya dokumen formal dan hasil rekaman (audio/visual) dari fenomena atau pernyataan oleh orang yang relevan. 


c.    Fathonah, artinya punya kecerdasan, sistematika, profesionalitas, dan ketelitian dalam memecahkan masalah serta respek terhadap data ketika dilakukan proses penelitian. Salah satu cirinya adalah mampu membedakan antara fakta dengan isu (opini maupun mitos) atau tidak mudah percaya pada sesuatu yang belum jelas tingkat kebenarannya. Selain itu peneliti harus handal dalam merumuskan makna (analisis data) yang telah ditemukan. Misalnya:  Hasil penemuan data dari penelitian PAI adalah “pada sebuah SMA ditemukan kelas X (sepuluh) pada rombongan belajar pada lokal (ruang belajar) A 50% lebih peserta didiknya adalah berasal dari lulusan SMP, sedangkan untuk lokal (ruangan) B 50% lebih adalah berasal dari lulusan MTs.” Dari kenyataan (fakta) tersebut timbul opini bahwa “penghuni lokal (ruangan) B lebih saleh (taat ibadah) dan akhlaknya baik daripada penghuni lokal A.” Pernyataan (opini) tersebut masih butuh klarifikasi terlebih dahulu benar atau tidak opini (pernyataan awal) tersebut. Bisa juga masih diperlukan penelitian lebih dalam untuk ditemukan apa penyebab atau pengaruhnya (bagaiamana itu bisa terjadi), bagaiamana latar belakang pendidikan agamanya pada masa sebelumnya di jenjang SMP, dan sebagainya.


d.   Tablig, artinya menyampaikan data secara seimbang (apa adanya) dan tidak ada yang disembunyikan karena untuk kepentingan pribadi atau kelompok, padahal apabila informasi (data) tersebut disampaikan akan bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan demikian hasil penelitian harus visioner (punya jangkauan panjang di masa datang) untuk pengembangan ilmu pengetahuan di masa depan. Misalnya: setelah diadakan pengelolaan, analisis, intrepretasi dan sesuai prosedur ilmiah terhadap data yang diperoleh sehingga dihasilkan kesimpulan yang tidak diragukan kredibilitas dan keabsahannya ditemukan bahwa “Dalam waktu 3 tahun sejak kemerosotan tajam jumlah peserta didik sebuah Madrasah secara kuantitas jumlah muridnya telah mengalami perkembangan pesat. Walaupun kondisinya belum memenuhi standar pendidikan yang mana dengan biaya, sarana-prasarana, dan sumber daya lainnya yang masih minim. Ditemukan bahwa hal tersebut disebabkan karena.....” Mengingat hasil penelitian ini penting bagi Madrasah lainnya terutama yang jumlah peserta didiknya sedikit maka hasil dari penelitian ini wajib disampaikan dan disebarluaskan agar menjadi referensi bagi madrasah-madrasah lain tersebut.


e.    Rasa ingin tahu, artinya kepekaan yang tinggi terhadap penemuan, kreatifitas, pemecahan, dan pengembangan masalah yang layak untuk diteliti akan tetapi belum terpikirkan oleh siapapun. Baik dalam bentuk banyak pertanyaan maupun rasa penasaran serta daya imajenasi terhadap sebuah pernyataan yang bisa menimbulkan hasrat keseriusan untuk diteliti lebih dalam. Dengan kata lain adanya keterbukaan peluang (flesibel/luwes) untuk menemukan data dari berbagai sudut pandang (persoalan). Misalnya: Seorang peneliti PAI tidak terbebani pada judul atau tema yang bergengsi untuk dilanjutkan dalam bentuk penelitian. Namun lebih memandang masalah apa yang sebenarnya terjadi di lembaga sekitarnya, tetapi belum ada solusinya yang sesuai dengan keadaan sosialnya. Kemudian dalam waktu beberapa hari ia melakukan berbagai kunjungan semi formal terhadap 4 lembaga pendidikan untuk menemukan “masalah” yang pantas untuk diselesaikan sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas dirinya. Dari kunjungan ditemukan beberapa hal yang dianggap masalah, setelah dipertimbangkan maka lembaga pendidikan X lebih dipilih karena “masalahnya” sangat dimungkinkan untuk diadakan penelitian secara mendalam dan komperhensif yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Artinya penelitian yang dilakukan tersebut memang didasarkan pada naluri “mencari tahu” untuk menemukan jawaban dari masalah yang ditemukan pada sebuah lembaga. Bukan ditentukan oleh judul yang tinggal jadi di mana sudah tersedia pada beberapa referensi maupun dari orang lain. dengan kata lain, peneliti tidak boleh terjebak pada satu atau beberapa judul (tema/topik) tertentu tapi harus tunduk pada kenyataan di lapangan.


f.     Ulet dan tekun, artinya pantang menyerah dan tidak mudah putus asa ketika ditemukan kendala, hambatan, dan sanggup (telaten dan tidak bosan) untuk selalu terjun di lapangan guna dihasilkan data yang kredibel dan absah (sahih). Bisa dikatakan seorang peneliti harus konsisten dan optimis terhadap apa yang ia lakukan. Misalnya: seorang peneliti PAI sedang mengadakan perjanjian dengan informan untuk diadakan wawancara di rumah pada malam hari. Ketika malam hari tiba pada saat perjalanan ke rumah informan gerimis turun, karena terlanjur janji iapun terus melanjutkan perjalanan. Namun ketika sudah sampai pada waktu yang telah ditentukan sesuai perjanjian, terjanyata informan tidak ada di rumah. Kemudian setelah yang bersangkutan ditelepon ternyata wawancaranya ditunda dulu hingga esok hari. Sebagai penelitian yang ulet dan bertanggung jawab untuk mendapatkan data tidak manipulasi (rekayasa) maka ia bertekad untuk memenuhi permintaan informan.


g.    Beretika mulia, artinya tidak berbangga diri (sombong) terhadap penelitian yang sedang dilakukan atau bahkan hasil penelitian yang dia lakukan. Seorang peneliti harus terbuka terhadap ide atau temuan orang (peneliti) lain meskipun hal itu berbeda dengan (ide) temuannya sendiri. Termasuk dalam hal ini ketika sedang dilakukan pengumpulan data dan analisisi data, bila perlu diadakan kerja sama atau saling memberikan masukan terhadap penelitian yang sedang dilakukan. Dengan kata lain bersedia menghormati kebenaran ilmiah sebagai sebuah ilmu yang tidak bisa disepelekan atau dilecehkan dengan perkataan tanpa bukti dan sanggahan dengan hasil penelitian yang lebih kuat tingkat kebenarannya. Misalnya: apabila temuan dari orang lain tersebut datanya terbukti lebih kredibel dan sahih serta analisis dan intrepretasinya dilakukan dengan logis sehingga dihasilkan ide (teori) yang mapan maka peneliti tersebut harus mengakui hasil penelitian dari orang lain sebagai karya ilmiah tanpa syarat apapun. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak akan malu-malu untuk merujuk (menjadikan referensi) dari hasil penelitian orang lain yang tentunya punya tingkat keilmiahan dan “kebenaran” tinggi.


h.    Waspada, artinya berhati-hati (cermat), tidak ceroboh, kritis, prosedural, dan tidak terburu-buru dalam melakukan penelitian maupun dalam menyimpulkan atau membuat pernyataan terhadap sesuatu apabila belum ditemukan data yang sungguh-sungguh kuat. Seorang peneliti boleh meragukan kualitas data yang ia temukan atau bahkan meragukan kebenaran atau pernyataan di luar dirinya yang masih belum punya bukti sehingga dimungkinkan untuk ditemukan kebenarnan yang lebih tinggi. Dengan demikian peneliti terbiasa untuk mencari informasi sebanyak mungkin agar ditemukan data utuh. Misalnya: hasil dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti PAI ditemukan bahwa “kelas X (sepuluh) pada sebuah SMA data angka menunjukkan bahwa 85% lebih adalah berasal dari SMP (sekolah umum) dan 70% tidak bisa membaca al Quran. Namun ia tidak akan segera menyimpulkan bahwa karena 90% kelas XI (sebelas) pada SMA tersebut adalah berasal dari sekolah umum maka 50% lebih siswa dari kelas tersebut tidak bisa membaca al Quran. Bisa jadi pada kelas XI sudah diadakan les BTA (baca tulis al Quran) secara mendalam serta masih bisa ditemukan faktor atau penyebab lainnya.


i.      Evaluasi diri, setiap sesuatu buatan dari manusia pasti ada kelemahan dan tak kebal kritik baik berupa sikap, metode, dan ilmu. Bahkan untuk manusianya pun sebagai peneliti di satu sisi punya kelemahan di samping keunggulannya yang mana itu sudah tak terbantahkan. Oleh karena itu tindakan evaluasi diri baik terhadap hasil, metode, dan sikap ilmiah dalam penelitiannya maupun terhadap dirinya sendiri adalah salah satu cara untuk menuju penyempurnaan (pengembangan) penelitian yang lebih baik. Naluri evaluasi ini sangat penting agar peneliti sadar diri dan sadar posisi serta tidak menetap di “zona nyaman” yang dapat merugikan dirinya sendiri karena terus berada dalam kondisi statis. Misalnya: seorang peneliti PAI melakukan intropeksi terhadap teknik pengumpulan data yang ia lakukan, setelah direnungkan dengan mendalam ternyata proses pengumpulan data yang ia lakukan hasilnya belum optimal, masih parsial, dan belum memuaskan pembimbing (orang yang lebih ahli). Berangkat dari permasalahan tersebut ia merumsukan penyebabnya dan mencari jalan keluarnya, sehigga timbul pertanyaan “Apa kelemahan saya? Apa kesalahan dari cara saya? Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari kesalahan ini? Seberapa jauh saya mampu untuk melakukan penelitian ini dengan optimal?” dengan demikian evaluasi selalu dilakukan secara terus menerus bahkan saat awal melakukan penelitian. 


j.      Berpedoman pada nilai Islam, artinya tidak meninggalkan wahyu Allah yang merupakan kebenaran mutlak. Namun di sisi lain manusia tetap disuruh berfikir (tafakur) yang masuk akal dan untuk tidak berprasangka pada sesuatu hal sebelum ditemukan kebenarannya. Sedangkan teori kebenaran yang dibangun manusia kadang kala saling tumpang tindih bahkan antara satu teori terhadap teori yang lain seringkali saling bertentangan dan sering kali suatu teori mematahkan teori yang lainnya. penelitian PAI merupakan bagian dari penelitian terhadap agama, dampaknya tidak mungkin seorang melakukan penelitian agama jika tidak diketahui dulu sumber ajaran agamanya tersebut. Salah satu ajaran agama adalah bagaimana agar manusia menafkahkan sesuatu yang ia punyai di jalan Allah baik berupa benda (materi) maupun ilmu (hasil dari penelitian). Dapat dikatakan seorang peneliti PAI harus peduli dan respek terhadap kebutuhan lingkungan hidup maupun lingkungan benda mati. Oleh karena itu, seorang peneliti PAI sebagai ilmuwan tidak menjaga jarak dengan dogma agama yaitu ajaran dan nilai agama Islam. Inilah yang akan membedakan antara penelitian PAI dengan penelitian lainnya. Misalnya: Hasil sebuah penelitian ditemukan “media pembelajaran PAI punya ciri khusus yaitu harus menggugah agar nilai-nilai agama Islam bisa dipahami dan diterapkan oleh peserta didik.” Pernyataan tersebut diperoleh dari seorang peneliti PAI yang sedang mendalami tentang media pembelajaran PAI pada lembaga pendidikan umum. Meskipun penelitian tersebut mendalami tentang media pembelajaran yang sulit dicarikan pedoman atau kaitannya dalam sumber ajaran Islam tapi kandungan atau penjabarannya tetap membedakan antara media pembelajaran untuk disiplin ilmu umum dengan disiplin ilmu agama. Peneliti menyimpulkan bahwa antara media pembelajaran PAI dengan media pembelajarn umum itu berbeda. Inilah bedanya antara penelitian PAI dengan penelitian umum, ciri utamanya adalah penelitian PAI bermanfaat langsung bagi masyarakat PAI. Bukan hasil dari penelitian umum yang dimanfaatkan secara tidak langsung (disaring) bagi masyarakat PAI.


Selain dari penjelasan di atas hal-hal lain yang perlu ada dalam penelitian PAI adalah seorang peneliti harus tahu mana suatu hal yang dapat diterangkan secara sederhana dan mana yang harus dijabarkan dan dijelaskan secara detail, sistematis, terstruktur, dan radikal (hingga akar-akarnya). Dengan demikian seoarng peneliti PAI senantiasa suka pada penjelasan-penjelasan ilmiah dan mampu membedakan mana asumsi awal dengan solusi (kebenaran). Selain itu seoarang peneliti kualitatif PAI bersifat relatif (subjektif), artinya hasil temuannya didasarkan pada objek yang diserap melalui panca indera, sehingga dimungkinkan setiap manusia akan berbeda dalam mengkap sesuatu dari panca inderanya. Oleh karena itu, perlu dikuasi ilmunya (teori) tentang PAI beserta konteks kajiannya dan harus punya keyakinan secara penuh terhadap temuan yang didasarkan pada fakta. Dimungkinkan data kuantitas (angka) seperti jumlah, presentase, dan kadar (nilai) juga digunakan sebagai data pendukung. Seorang peneliti PAI juga harus punya tekat kuat untuk berinovasi dan terus melangkah untuk jeli menemukan hal-hal baru yang sangat bermanfaat bagi pengembangan PAI. konsekuensinya peneliti kualitatif PAI harus menyukai hal-hal baru yang sangat dimungkinkan akan ia temui dalam penelitian dan berusaha menyempurnakan pengetahuan yang ia miliki.





[1]KBBI
[2]Imam Suprayogo dan Tobroni, halaman 18
[3]Imperatif berarti bersifat memerintah atau memberi komando; punya hak memberi komando; bersifat mengharuskan: bentuk perintah untuk kalimat atau verba yg menyatakan larangan atau keharusan melaksanakan perbuatan (lihat KBBI)
[4]Imam Suprayogo dan Tobroni, halaman 19-20
[5]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[6]John M. Echols&Hassan Shadily, “Kamus Inggris-Indonesia,” dalam An English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Gramedia, 2013), 45.
[7]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[8]“Ilmu” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu, diakses tanggal 21 April 2014.
[9]Zainunddin, Kritik terhadap Ilmu Pengetahuan dalam http://zainuddin.lecturer.uin-malang.ac.id/2013/11/13/kritik-terhadap-ilmu-pengetahuan-5/, diakses 20 April 2014.




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Konsep Ilmiah Penelitian Pendidikan Agama Islam"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*