Lebaran ini adalah momen paling terspesial dalam hidup Gisel. Bagaimana tidak setelah lama tak bisa bertatap muka secara langsung dengan orang tua dan ketiga adik, akhirnya di liburan ini Gisel bisa memeluk mereka. Terlebih semua itu berawal dari kisah merantaunya Gisel ke kota Malang yang begitu dramatis. Penuh ketidakpastian dengan hanya modal nekat.
Rindu ini sungguh menggetarkan jiwa. Walau sebenarnya Gisel hidup nyaman dan aman di Kota Malang karena mendapat juragan yang luar biasa baik tapi hati ini tak dapat diingkari. Keluarga adalah yang nomor satu. Mereka adalah anugerah yang Tuhan berikan tak tergantikan untuk Gisel. Bapak dan Ibu yang terlalu baik pada Gisel sejak kecil. Serta tentu adik-adik yang begitu polos dan gemesnya.
|
Alun-alun Kota Tegal (foto koleksi pribadi) |
Tuhan, bila suatu saat Engkau pertemukan jodohku hamba minta suami yang mampu memahami hati Gisel yang terpaut erat dengan keluarga. Gisel pinta, suami kelak meski tak harus membantu perekonomian orang tua tapi setidaknya ia memaklumi bila hasil jerih payah Gisel sendiri disisihkan untuk mereka. Dengan begitu hidup Gisel akan sungguh tenang hingga adik-adik bisa hidup mandiri mencari rizqi.
Hati ini sungguh meronta, ketika adik-adik Gisel yang begitu lugu, polos, dan lucunya terbengong menerima hadiah dari Gisel. Wajah mereka nampak tak percaya bahwa akan mendapat hadiah yang bahkan tak terpikirkan dalam benak. Saya yakin mereka hanya bisa melihat sambil terbengong ketika anak tetangga punya mainan, jajan, dan baju yang layak. Menetap milik teman-temannya disertai perut yang keroncongan.
Gisel teringat pada waktu kecil dulu, hidup jauh lebih penuh cobaan. Saat TK dan SD tak hanya rasa lapar yang harus ditahan. Cacian, ejeen, hinaan, hingga pengkucilan oleh teman-teman menjadi makanan sehari-hari. Itu terjadi karena Gisel dari keluarga miskin. Di mana, saat teman lain bisa beli jajan Gisel hanya bisa terbengong memandangnya.
|
Pantai Alam Indah Kota Tegal (foto koleksi pribadi) |
Pernah ada kisah saat kelas 1 SD dulu. Ada teman sekelas Gisel dengan santainya menawarkan kerupuk pada Gisel. Dengan senang hati untuk menghormati dan sekaligus ingin mencicipi rasanya kerupuk itu Gisel bersemangat meng-iya-kan tawarannya. Ternyata tawaran itu hanyalah pepesan kosong. Gisel memang diberi cuilan kerupuk tapi yang berwarna merah. Yakni, bagian kerupuk yang kualitasnya buruk sehingga rasanya pait.
Gisel tak ingin adik-adik juga mengalami hal buruk seperti yang pernah Gisel alami. Mereka harus bisa hidup bahagia. Bisa mencari teman untuk mendukung dalam pengembangan bakat dan potensinya. Mampu mendapat peluang sama dalam bersosialisasi untuk masa depannya. Dengan begitu mereka kelak bisa membahagiakan kedua orang tua. Mereka kelak dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi masyarakat.
|
Persimpangan jalan di Kota Tegal (foto koleksi pribadi) |
Semoga dengan mudiknya Gisel ke Kota Tegal ini bisa menjadi pemantik dan motivasi bagi adik-adik Gisel untuk bangkit. Menjadi pribadi yang tak mudah putus asa. Menjadi pribadi yang menghargai perjuangan keluarga. Tidak menjadi pribadi yang minder dan takut untuk berjuang.
Sejujurnya, Gisel menulis tulisan ini sambil menangis. Perasaan campur aduk menyatu dalam hati. Antara harapan dan kebahagiaan bersenyawa membuncah tak tertahan. Mohon do'a dari kalian semoga ada jalan kesuksesan bagi kami semua. Aamiin
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "GISELA OKTAVIANI: Seneng Bukan Main, Akhirnya Bisa Mudik ke Tegal"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*