Guru adalah manusia terpilih di antara manusia pilihan lainnya. Ia adalah sosok panutan dan pedoman. Tidak hanya bagi peserta didik tapi juga masyarakat sekitarnya. Ia seharusnya punya jiwa yang mulia. Tahu mana yang melanggar etika atau tidak.
Dengan punya sifat seperti di atas maka guru menjadi terhormat. Dihargai oleh anggota komunitas dunia pendidikan serta yang terkait dengannya. Baik terkait langsung maupun tidak langsung. Dengan sifat seperti itu pulalah sejatinya seseorang pantas disebut "guru".
Guru seharusnya sosok yang rela berkorban. Guru bukan sosok pencipta korban baru. Ia tak akan mengorbankan anak didiknya demi hal-hal yang bersifat duniawi. Seandainya pun disuruh memilih antara uang dengan siswa pasti guru akan merangkul siswanya.
|
Gambar hanya sebagai ilustrasi. Tidak ada sangkut paut dengan tulisan ini (gambar dimodifikasi dari sini) |
Baginya siswa adalah segalanya. Tidak hanya sekadar tanggungjawab kedinasan. Lebih dari itu siswa adalah ladang amal kebaikan. Siswa menjadi bagian hidupnya. Hati guru menyatu dengan anak didiknya itu. Dalam mengajar pun ia gunakan hatinya bukan naluri kebinatangannya.
Naluri kebinatangan merupakan insting primitif makhluk hidup. Yakni, hanya terkait dengan kesenangan duniawi semata. Dalam konteks manusia, uang menjadi alat utama untuk mencapai kesempurnaan nikmat dunia itu. Sebab uang bisa membeli kenikmatan palsu itu.
Dengan uang cukup orang bisa beli HP bagus, sepeda motor bagus, mobil bagus, rumah bagus, dan membeli hiasan dunia lainnya. Memang tidak salah punya itu semua. Malah itu adalah hal yang bagus. Namun cara untuk mendapatkan itu semua yang perlu dikritisi.
Apakah uang didapat dengan cara benar? Benar secara hukum positif dan benar secara etika. Bila melanggar ketentuan keduanya maka itu merupakan perbuatan hina. Menjadi Hina di mata Tuhan saja bila perbuatannya tidak diketahui khalayak.
Sayangnya perbuatan hina semacam itu juga dilakukan oleh guru satu ini. Sebut saja namanya Fulanah. Ia rela melakukan manipulasi data dan laporan demi mendapatkan kucuran uang dari pemerintah. Ironisnya, untuk menggapai itu ia dengan entengnya mengabaikan siswanya.
Siswa di mata Fulanah adalah ladang emas. Setiap melihat siswa berjalan seperti melihat uang berjalan. Baginya mengajar adalah metode tepat dalam berinvestasi. Dengan mengajar Fulanah bisa mendapatkan tunjangan demi tunjangan dari pemerintah.
Belum lagi ketika Fulanah bisa memotong dana tertentu lalu dimasukkan sakunya. Makin tebal saja isi dompetnya sehingga bisa punya barang mewah. Seperti mobil, sepeda motor, dan hp baru yang seringkali ia pamerkan pada siswanya. Penuh kebanggaan tanpa rasa dosa.
Bagi Fulanah bisa memanipulasi dan memark-up (memotong) dana anggaran bantuan merupakan prestasi. Sebab di matanya tidak semua orang bisa melakukannya dengan rapi. Ia juga merasa bahwa semua barang mewah yang dimilikinya didapat dengan cara halal.
Fulanah adalah sosok hina tapi tak merasa hina. Orang di sekitarnya pun juga tak menganggapnya hina. Sebab orang lain tak punya bukti perbuatan hina si Fulanah. Terlebih lagi Fulanah melakukan pencucian uang. Ia membuka usaha untuk memutar uang yang didapat dengan cara batil itu.
Untungnya cerita si Fulanah ini hanya fiktif. Di dunia ini tidak ada guru seperti si Fulanah. Semua guru adalah manusia suci. Mereka mengindari semua perbuatan hina. Termasuk perbuatan yang dilakukan Fulanah di atas. Semoga itu adalah kenyataan. Bukan kisah fiktif seperti si Fulanah ini.
Demikian tulisan ini kami buat. Mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga bermanfaat.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Guru ini Rela Melakukan Perbuatan Hina dan Menjijikkan Demi Uang"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*