Realita Budaya Membaca Bangsa Tercinta
Kami tak akan menunjukkan data di urutan ke berapa bangsa Indonesia terkait "prestasi" minat bacanya. Pun, tidak akan menunjukkan berapa buku yang dibaca hingga khatam oleh orang Indonesia tiap tahunnya. Silakan dicari sendiri data tersebut. Sudah barang tentu hasilnya sangat mengkhawatirkan. Kami merasa malu mau menampilkan di sini. Tepatnya merasa bersalah bila menelanjangi aib bangsa sendiri yang teramat miris.
Baca juga:
Darurat Literasi: Empat Alasan Generasi Indonesia Malas Membaca Buku
Jangan berangan-angan untuk memaksakan orang Indonesia berbudaya menulis. Bahkan, sekadar membaca saja mereka bermalas-malasan. Memang harus diakui budaya bangsa kita selama ini adalah budaya tutur (lisan). Bangsa kita baru mengenal aksara sekitar abad ke-4 masehi. Sebelum itu Indonesia masih memasuki zaman prasejarah (praaksara). Era di mana bangsa Indonesia masih terbuai dengan kesuburan tanahnya.
Kenyataan itu, jauh masih gelap gulita bila dibandingkan masyarakat Arab pra Islam di abad yang sama. Bangsa yang menghuni jazirah Arab itu sudah menjunjung tinggi nilai kesusastraan (tulis-menulis). Meski pada saat itu di arab masih banyak yang buta huruf, tapi tak dapat dibilang sedikit ada orang yang juga mampu membaca. Bisa dikatakan secara peradaban bangsa arab waktu itu tidak primitif. Mereka adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai tradisi dan kebudayaan.
Sampai sekarang pun harus diakui bangsa kita masih belum sejajar dengan negara-negara maju. Hampir dalam bidang apapun. Tak ketinggalan pada bidang minat membaca (sadar literasi) generasi penerusnya. Tampaknya kita hanya maju dalam bidang agamanya. Lebih taat ibadah, teduh hatinya, dan legowo saat menghadapi pedihnya kehidupan. Hal itu terjadi sebab hati mereka diisi dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Sebut saja seperti sholawatan, yasinan, manaqiban, tahlilan, istighosah, dan lain semacamnya.
Selain tradisi keagamaan di atas yang luhur itu, paling mentok yang dapat diunggulkan bangsa ini adalah kerukunannya. Yakni, tetap harmonis di tengah "super" beragamnya latar belakang manusia Indonesia. Serta sikap toleran mayoritas pada minoritas patut diapresiasi. Meski seharusnya sesekali kita wajib bertanya. Apakah manfaat dari kerukunan itu selain dari "hanya" menciptakan hidup damai? Adakah transfer ilmu antar sesama anak bangsa yang berbeda latar belakang? Di mana ilmu itu bisa untuk membangun bangsa ini.
Pertanyaan di atas bila butuh jawaban yang memadai maka harus dibuatkan tulisan atau artikel tersendiri. Kembali pada permasalahan dalam menumbuhkan minat baca generasi bangsa tercinta ini. Membangun budaya membaca memang sulit. Butuh dukungan semua pihak. Butuh contoh untuk ditiru. Butuh bukti, bahwa orang yang gemar membaca senyata-nyatanya telah merubah nasib mereka jadi baik. Intinya, dengan banyak membaca harus ada hasil konkritnya.
Sayangnya, orang yang gemar membaca biasanya akan malu menunjukkan kegemaran bacanya di muka umum. Takut dihujat, disindir, dihina, dan semacamnya. Ironis memang, bangsa kita malah lebih "anti" ketika melihat orang sedang asik membaca buku. Malah mereka tidak "anti" melihat anaknya bermain game di gadget. Bagi mereka buku hanya boleh dibaca di sekolah, kampus, atau perpustakaan saja. Bahkan buku didudukkan sebagai "alat" untuk menjawab soal atau pertanyaan ujian.
Bila kebiasaan baca dari bangsa maju dilihat orang Indonesia maka barang tentu akan membuat mereka terheran-heran. Sebut saja tradisi orang Jepang yang tidak mau menyia-nyiakan waktunya di dalam kereta. Mereka lebih memilih diam, istirahat, atau membaca buku dari pada mengobrol. Mereka sangat menghargai waktu. Sebab bagi mereka waktu adalah pedang. Kalau tidak bisa dikendalikan maka pedang itu yang akan melukainya.
Pentingnya Budaya Membaca untuk Pembangunan Bangsa
Sungguh
mimpi di siang bolong (utopia) ketika ada orang atau kelompok ingin
membangun negeri ini tanpa menggalakkan tradisi baca. Sebab diakui atau
tidak dalam sejarah kehidupan manusia ini sebuah peradaban bisa
berkembang pesat karena sebagian besar masyarakatnya gemar membaca.
Dengan gemar membaca itu sebagian dari mereka kemudian melakukan
diskusi. Lantas sebagian kecil dari penggemar bacaan itu
melanjutkannya dengan membuat tulisan.
Dengan membaca bahan bacaan yang "benar" segala informasi, wawasan, hingga ilmu pengetahuan, dan pengembangan teknologi yang bermanfaat bisa didapatkan. Dengan itu, diharapkan generasi indonesia tidak akan menjadi generasi kuper (kurang pergaulan). Buat apa banyak teman bila temannya hanya itu-itu saja. Itu tetap kuper namanya. Buat apa banyak teman tapi pengetahuannya hanya seputar itu-itu saja. Itu tetap kuper namanya.
Generasi yang kuper itulah yang akan menyebabkan mereka menutup diri. Bagai katak dalam tempurung. Menganggap dirinya sudah hebat lalu meremehkan orang lain. Padahal di luar sana masih banyak yang lebih tinggi. Di atas langit masih ada langit. Hal itu karena dia merasa sudah "memakan" bangku sekolah hingga kuliah. Padahal, orang yang tak sekolah pun bila ia rajin membaca dengan "benar" lebih berpeluang mencapai kesuksesan. Lebih berpeluang hidup bahagia.
Asumsinya, dengan membaca itu pola pikir jadi terasah tajam dan cara pandang sangat luas (tidak cupet/sempit). Dengan modal "bacaan" daya kreatifitas mereka jauh lebih menghasilkan. Sebaliknya orang yang hanya sekolah dan kuliah tapi minim membaca daya kreatifitasnya rendah. Akibatnya setelah lulus beberapa waktu memilih untuk menjadi pengangguran dulu. Baru kemudian menyerahkan nasibnya pada atasan, bos, atau juragan yang menggaji mereka di perusahaan.
Bila daya kreatifitas generasi bangsa ini banyak yang tidak menghasilkan, maka bagaimana cara mereka membangun bangsa ini. Apakah cukup bangsa ini hanya dibangun dari sumber daya "kreatifitas" yang rendah. Di mana berakibat pada sulitnya bangsa ini bahkan menjadi kaget ketika suatu saat akan dihadapkan pada persaingan terbuka antar bangsa. Bisa dikatakan rendahnya minat baca dapat menghambat pembangunan bangsa.
Harus diakui menumbuhkan minat baca itu sangat sulit. Butuh pembiasaan. Sedang pembiasaan itu sendiri kadang juga butuh dukungan lingkungan. Salah satu solusi termanjur ialah menamkan "doktrin" pentingnya membaca sejak dini. Sejak kecil generasi Indonesia harus ditanamkan jiwa gemar membaca. Jangan dipaksakan untuk pintar membaca dulu. Sebab perkembangan kognitif tiap individu itu beda. Minimal semua anak harus sadar bahwa membaca itu kebutuhan. Dengan itu harapannya generasi penerus bangsa ini jadi negara yang "berbudaya membaca".
Demikian tulisan ini dibuat. Mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga bermanfaat.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Utopis: Membangun Bangsa Tanpa Menggalakkan Tradisi Membaca"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*