Oleh:
Syaiful Ma'arif
Pentingnya Menulis di Media Online
Seorang penulis itu hampir sama seperti seniman. Sebab menulis adalah tindakan kreatif. Semua orang bisa melakukannya tapi belum tentu semuanya bisa mahir atau menguasainya. Sebagian orang bisa tertarik terhadap hasil karyanya. Pun sebagian juga ada yang mencemoohnya.
Terlebih lagi bila tulisan yang dibuat itu bukan tulisan kaku. Yakni, bukan tulisan ilmiah yang harus sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan. Misalnya seperti menulis di salah satu media online atau minimal di website. Itu jauh bisa membuat orang terpengaruh sehingga bisa tergugah.
Media online merupakan bagian dari jurnalisme. Bisa jurnalisme resmi bisa juga citizen journalism.
Oleh sebab itu kaidah penulisannya berbeda dengan tulisan di buku
monograf terlebih lagi tulisan yang benar-benar ilmiah. Tujuannya untuk
membangun opini publik. Bukan membangun ilmu pengetahuan.
Memang sesungguhnya tugas intelektual itu adalah menjadi perubah. Ia harus bisa menjadikan ilmu sebagai media perubahan. Oleh sebab itu, sebuah ilmu supaya bisa diserap oleh masyarakat luas harus dikemas dengan bahasa yang merakyat. Dengan kata lain, ilmu bukan untuk "ilmu" itu sendiri tapi ilmu untuk perubahan.
Dapat disimpulkan bahwa sebuah tulisan di media online bisa menciptakan opini di ruang publik. Terlebih lagi bila opini itu dikemas dengan bahasa yang ringan. Lalu disebarluaskan pada khalayak. Dengan itu, dunia bawah masyarakat sedikit banyak akan ikut terpengaruh oleh "ajakan" tulisan itu.
Sebagai akademisi, seharusnya tahu bahwa makalah, skripsi, tesis, disertasi, produk penelitian, atau laporan penelitian lainnya tidak mungkin terbaca oleh masyarakat luas. Paling-paling yang membaca adalah sesama akademisi (mahasiswa, dosen, peneliti, ahli/pakar, dan sebagainya).
Berbeda bila tulisan itu dirubah total. Baik dari segi tampilan maupun gaya bahasanya. Setelah dikemas ulang lalu disetorkan ke media online. Syukur-syukur bisa diterima di media cetak seperti koran. Pasti, masyarakat luas akan banyak yang membacanya.
Masyarakat Indonesia masih tergolong masyarakat yang malas membaca. Bila disuguhi tulisan yang berat dengan gaya bahasa ilmiah mereka akan menjadi jenuh. Mereka inginnya sebuah bacaan yang simple. Langsung tanpa teori. Fokus pada hal-hal yang terpenting saja.
Dengan demikian, seharusnya indikator kepakaran akademisi tidak hanya ditentukan dari seberapa banyak produk penelitian yang dihasilkan. Lebih dari itu, ia juga dituntut mampu membuat tulisan yang gaya bahasanya bisa diserap oleh semua masyarakat. Dengan itu, ilmu yang ia temukan dan kembangkan akan benar-benar bermanfaat.
Menulis Sebagai Proses Spiritual
Dengan beropini melalui tulisan seorang akademisi akan masuk ke ruang reflektif. Ruang di mana sebuah teori sebagai pembeda dari kenyataan. Dengan menulis seseorang bisa membangun "surga" (idealitas) yang tidak ada di dunia nyata.
Tulisan adalah "anak" perjuangan spiritual dari akademisi. Dia punya nasib sendiri yang bisa jadi berbeda dengan nasib penulisnya. Bisa jadi dia akan diabaikan oleh orang. Sebaliknya bisa jadi akan dicari-cari oleh masyarakat untuk dibaca berulang-ulang.
Bila tulisan itu bisa bermanfaat bagi masyarakat maka penulis akan kecipratan amal jariyahnya. Sebaliknya, bila tulisan itu jadi cemoohan masyarakat bisa menjadi sarana mencari pahala penulis melalui kesabaran. Apapun nasib ke depan sebuah tulisan tidak ditentukan oleh penulisnya tapi oleh masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa tulisan yang bagus ialah tulisan yang mengandung "racun". Yakni, yang bisa memprovokasi pembaca untuk bergerak. Tulisan yang menjadi candu bagi siapapun untuk berubah lebih baik. Tulisan yang tidak hanya untuk kepentingan dirinya tapi untuk kepentingan masyarakat luas.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Menulis berarti mengingat
BalasHapusSaya sangat setuju itu. Terima kasih caption bijaknya.
BalasHapus