Begitu mudahnya kita menemukan generasi Indonesia cangkruk di warung atau cafe. Mereka tampak menikmati hingga terhanyut dengan aroma kopi beserta rokoknya. Bahkan bisa melupakan akhirat dan dunia di sekitar maupun di masa lalunya. Waktu berjalan begitu cepat. Dua jam saja bagi mereka masih kurang.
|
Ilustrasi malas baca (gambar dimodifikasi dari sini) |
Kejadian seperti di atas itu sangat sulit ditemukan ketika mereka sedang membaca buku. Sebab bagi mereka buku adalah sesuatu yang "sakral". Harus pada waktu dan tempat tersendiri untuk membacanya. Yakni, waktu yang mendesak saat menjelang ujian sekolah atau kuliah. Dengan durasi waktu yang dibutuhkan tidak lama. Serta tak boleh di sembarangan tempat. Agar tak ada orang lain yang tahu.
Berdasarkan data yang kami temukan dapat dipaparkan beberapa alasan generasi Indonesia masih malas membaca. Di antara sebagai berikut:
1. Minimnya Sarana dan prasarana bacaan
Perpustakaan atau rumah baca yang ramah bagi anak masih sangat minim jumlahnya. Toko buku yang memuat tulisan berkualitas masih sedikit. Bila pun ada harganya tak terjangkau. Dapat dikatakan buku anak-anak yang seharusnya disubsidi bahkan diakses gratis malah dikomersilkan. Dengan kenyataan itu tentu masyarakat kita akan membeli lainnya daripada membeli buku.
Baca juga:
Utopis: Membangun Bangsa Tanpa Membudidayakan Tradisi Membaca Buku
Melawan Kemalasan Menulis
Belum lagi masalah program pendidikan nasional yang tidak ada satupun mewajibkan peserta didik untuk membaca buku. Misal minimal perbulan menghabiskan 1 buah buku. Bila itu tercapai maka siswa berhak dapat nilai tambah. Tentu semuanya harus standar ukur jelas. Ada pengawasan sejauh mana perkembangan siswa dalam membaca.
2. Tidak ada sumber teladan dalam membaca
Perilaku interaksi sosial masyarakat indonesia sangat tergantung pada lingkungan. Mereka tidak ingin dicap anti sosial. Oleh sebab itu mereka lebih memilih hubungan pertemanan dan pertetanggaan dari pada membaca. Sebab membaca butuh waktu lama sehingga waktu untuk berkumpul akan berkurang. Itulah yang dicontohkan oleh orang tua terdahulu.
Hal itu sangat berbeda dengan orang tua di negara maju. sejak kecil mereka sudah dibiasakan untuk menjadi dirinya sendiri. Berpikir sendiri dan menyatakan pendapatnya sendiri. Tidak perlu risau apa kata masyarakat. Toh, perilaku anggota masyarakat lainnya juga seperti itu. Oleh sebab itu, untuk bisa seperti itu mereka membekali diri dengan banyak membaca buku.
Belum lagi masalah tradisi membaca oleh orang tua, guru, dan orang-orang di sekitar masih sangat rendah. Padahal yang namanya tradisi itu tidak muncul dengan sendirinya. harus dibentuk, diyakini, dan dijalankan bersama. Tanpa ketiga hal tersebut mustahil sebuah tradisi akan berjalan lama. Anak merasa ogah-ogahan memegang buku bila orang tuanya tidak mencontohkan. Dari kenyataan itu bila kurangnya minat baca dilestarikan secara turun temurun.
3.Stigma salah kepada pembaca buku
Anak yang gemar membaca dikatakan kuper (kurang pergaulan). Sebab ia menjadikan buku sebagai teman. Sedang teman di dunia nyata sedikit. Stigma seperti itu sangat salah. Malah anak yang banyak membaca dengan tingkat variasi tema buku tinggi akan menjadi anak berwawasan luas. Punya teman sedikit tak apa yang penting berkualitas.
Selain dianggap kuper anak yang suka membaca juga dipandang bodoh. Terutama bila buku yang dibaca adalah buku yang tingkat keilmuannya dianggap rendah. Misalnya buku ilmu pengetahuan alam (eksakta) lebih dijunjung daripada buku-buku ilmu pengetahuan sosial (humaniora). Akibatnya, siswa akan cenderung malu memegang buku sosial tersebut.
Sebaliknya, orang yang suka membaca dianggap hanya pandai berteori. Minim melakukan praktik. Padahal mau praktik atau tidak itu masalah kepribadian. Tidak ada sangkut paut dengan gemar membaca. Serta harus diketahui bahwa sebagian praktis itu juga berasal dari bacaan buku. Sebaliknya sebagian bacaan buku itu juga berasal dari praktik.
Baca juga:
Pertikaian antara Ahli Praktik dengan Ahli Teori
4. Ketagihan membaca tulisan yang instan (parsial)
Sebenarnya angka buta huruf di Indonesia sekarang ini bisa dikatakan rendah. Namun, itu tidak sejalan dengan angka minat baca buku. Orang Indonesia lebih gemar membaca tulisan ringkas dan padat. Langsung tertuju pada hal-hal yang penting dan bersifat informatif saja. Tak heran bila banyak surat kabar online maupun cetak yang masih eksis sampai sekarang gara-gara menyajikan sajian bacaan instan itu.
Padahal manfaat dari membaca buku bisa jadi akan terasa setelah beberapa puluh tahun kemudian. Daripada hanya membaca tulisan parsial baik itu pada segi informasi maupun keilmuannya. Sedang bacaan instan biasanya kurang berkesan sehingga mudah dilupakan. Isinya cuma tentang apa, siapa, kapan, di mana, mengapa (dijelaskan ringkas), dan bagaimana (dijelaskan ringkas).
Bacaan instan tersebut kebanyakan berada di dunia maya. Padahal kadang bacaan di interntet itu hanya berisi potongan. Tidak diuraikan secara menyeluruh. Kalau jeli masih bisa ditemukan titik lemahnya. Bisa dikritisi dan ditelanjangi habis-habisan. Bisa dikatakan baru mau membaca bila tulisan itu berisi info maupun hiburan. Paling tidak tulisan yang materi atau temanya serius tapi disampaikan dengan bahasa ringan.
Contohnya saja bila orang ingin mengetahui sejarah kejayaan umat Islam di masa lalu. Mereka cukup menggunakan jalan pintas. Yakni, mencari di internet. Cukup mengetik dengan kata kunci tertentu maka ribuan artikel disuguhkan begitu saja. Tanpa kejelasan yang menulis siapa. Dipandang tulisan enak dibaca maka langsung diklik begitu saja. Padahal banyak buku tersedia baik yang dijual dan yang diperpustakaan yang bertemakan tentang itu.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Darurat Literasi: Empat Alasan Generasi Indonesia Malas Membaca Buku"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*