Ada yang mengatakan jomblo itu ada tiga. Pertama, jomblo karena pilihan. Sengaja menjomblo karena alasan tertentu belum siap menikah. Bisa karena usia belum cukup atau karena harus menuruti orang tua. Jomblo ini bisa disebut jomblo fi sabilillah. Ada juga yang memlesetkan jomblo syariah. Memilih jomblo karena lillahita'ala.
Jomblo rupa ini lebih memilih jalan mulia. Meski mampu berpacaran tapi lebih memilih menahan. Walau mampu mengambil hati lawan jenis tetapi lebih memilih diam. Jomblo yang sangat budiman. Menjaga harga diri dari sentuhan liar. Menjaga hati dari gelora rasa cinta yang menganggu pikiran.
Sayangnya, pengikut aliran jomblo ini sangat jarang. Menjadi jomblo karena prinsip kehidupan. Bukan karena ketidaksesuaian keadaan. Memutuskan jomblo karena ada rutinitas yang jauh lebih berharga daripada sekedar pacaran. Jomblo seperti inilah yang pantas menyandang jomblo terhormat.
Kedua, jomblo karena musibah. Sebenarnya ingin dan pantas menikah tapi belum ada yang mau diajak nikah. Bila pun ada katanya tak masuk krietia. Jomblo ini disebabkan karena terlalu banyak pilihan. Keasyikan memilah-milah tak terasa usia mengarah senja. Akhirnya bingung sendiri harus bagaimana.
Jomblo macam ini awalnya punya keinginan menikah. Namun, berbagai masalah menghadang. Mulai ketidakcocokan dengan calon pasangan, hingga adanya ikut campur orang tua. Pada akhirnya ia sendiri putus asa. Lantas memilih belum nikah asal hati tenang. Itulah yang terus-menerus jadi dalihnya.
Padahal usia sudah matang. Padahal sudah punya bekal wawasan dan ilmu pengetahuan tentang pernikahan. Padahal fondasi ekonomi sudah mengakar cukup kuat. Ternyata, kondisi demikian tak menjamin akan mau menuju jenjang pernikahan. Barangkali banyak bayang-bayang tak beralasan yang menutupi pandangan ke depan.
Sebenarnya, keinginan menikah jomblo macam ini bukan karena dorongan hati terdalam. Ia hanya takut menanggung resiko cemoohan orang. Sebab moral yang dijunjung masyarakat ialah menikah pada usia sepantasnya. Tidak berlama-lama bujang apalagi sampai berkarat. Akhirnya, dia bersembunyi dibalik beribu alasan.
Ketiga, jomblo karena proses berjuang menghalalkan. Berbeda dengan jomblo jenis sebelumnya yang belum ingin nikah. Kali ini keinginan menikah dari hati terdalam sudah ada. Namun keadaan belum mendukungnya. Ia masih dalam tahap berjuang. Berharap bisa melepas status lajang. Supaya bisa merasakan nikmatnya pernikahan.
Pelaku jomblo ini masih pada tahap pencarian. Ia sudah merasa siap dan pantas menikah. Bekal materi (fondasi ekonomi) dan ilmu pengetahuan tentang pernikahan sudah diperdalam. Siap saling melayani, saling berbagi, dan bertanggung jawab pada pasangan. Tinggal satu saja. Yakni, belum bisa meluluhkan hati seseorang yang diidamkan.
Bagusnya, dia tidak fanatik dalam menentukan. Tidak harus sesuai incaran yang akan dijadikan pasangan. Siapapun bisa. Asal memenuhi standar minimal kriteria dalam pemilihan pasangan. Yakni, mengutamakan agama. Baru kemudian nasab keturunan. Lalu keadaan raganya. Terakhir, yang setara (se-kufu) atau tidak banyak perbedaannya.
Nah, jomblo jenis ke tiga ini yang akan dibahas. Terutama tentang bagaimana seharusnya yang dia lakukan supaya dapat pasangan. Sebab jomblo tipe ini merupakan jomblo yang sadar diri dan sadar keadaan. Hatinya terbuka pada siapa saja. Asal itu tadi, sesuai kriteria minimal yang telah diajarkan agama.
Bila memang seperti itu, seharusnya ia mudah mendapatkan pasangan. Sebab kemampuan dan kemauan sudah dipunya. Tinggal masalah teknis mengeksekusi ta'arufan dengan calon idaman. Pada tahap ini kadang perlu dipersiapkan secara matang. Tidak bisa grusa-grusu serampangan.
Adat dan budaya kebiasaan keluarga calon pasangan harus diperhatikan. Menjujung tinggi nilai kearifan lokal. Misalnya ada adat tertentu harus ada sosok perantara perjodohan. Seperti kiai atau ustadz yang jadi panutan. Tidak boleh bergerak agresif sendiri datang menemui orang tuanya. Itu tabu namanya.
Tentu sebelum berkunjung bersama figur panutan untuk mengkhitbah (melamar) harus izin akan datang ke rumah. Waktu dan tanggal biar diatur tuan rumah. Pihak pelamar tinggal datang mengutarakan maksudnya. Dengan itu bahan pembicaraan sudah dipersiapkan. Kondisi kaku apalagi tegang tidak ada sehingga tak merusak suasana.
Jawaban lamaran tak harus diterima saat itu juga. Beberapa hari kemudian mungkin baru bisa didapatkan. Memang harus paham. Bila jawabannya pernikahan harus diadakan minimal satu tahun kemudian artinya itu sebuah penolakan. Ditolak secara halus dan sopan. Bila pernikahan dilaksanakan secepatnya berarti itu sebuah penerimaan.
Sedang bagi perempuan yang hendak mengajak nikah. Sepatutnya bukan dia sendiri yang mengatakan. Harus ada perantara yang pandai mengatur kata. Bisa langsung ke calon idaman. Bisa juga perantara datang ke rumah orang tuanya. Bila tak ada pembicaraan lanjutan artinya ajakan itu ditolak. Ditolak halus dan sopan.
Sedang bagi perempuan yang hendak mengajak nikah. Sepatutnya bukan dia sendiri yang mengatakan. Harus ada perantara yang pandai mengatur kata. Bisa langsung ke calon idaman. Bisa juga perantara datang ke rumah orang tuanya. Bila tak ada pembicaraan lanjutan artinya ajakan itu ditolak. Ditolak halus dan sopan.
Jangan malu karena ditolak. Sebab penolakan merupakan sesuatu yang wajar. Saya pastikan siapapun pernah menolak. Tidak harus menolak dalam berpasangan. Menolak jadi teman misalnya. Lalu apa yang harus dipermasalahkan. Toh, masih ada yang lainnya. Penolakan itu yang akan menjadikan hidup ini jadi lebih berwarna bukan.
Penyebab ajakan nikah ditolak sangat banyak. Oleh sebab itu tak boleh merasa minder dan trauma. Sebaliknya, tak boleh membenci pihak yang menolak. Bukankah memilih dan mengajak itu boleh-boleh saja. Tapi juga harus sadar pihak sana juga boleh menolak. Rumusnya jelas. Bila ditolak cari lagi lalu terus cari lagi hingga menemukan pasangan.
Demikian tips dari kami. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Pasangan ideal (gambar dimodifikasi dari sini) |
Mantap pak 😀😃
BalasHapusTernyata dik Zahro mau baca... :D
BalasHapus