Oleh:
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Era
globalisasi merupakan tantangan besar bagi masyarakat. Tantangan tersebut akan berdampak
besar terhadap pembentukan karakter setiap individu. Lingkungan sosial dan
kekuatan media berperan penuh dalam proses perkembangan yang dialami setiap
orang. Ada banyak faktor yang menjadikan individu mengalami proses perkembangan
yang begitu cepat. Apabila dicermati, perilaku individu jaman sekarang ini cenderung
meremehkan, egois, merasa paling unggul, selalu ingin mendapatkan segala
sesuatu secara instan, suka terhadap keglamoran, ‘gila’ jabatan dan mendambakan
popularitas.
Dalam
kaitannya dengan dunia pendidikan, hal itu memiliki hubungan yang sangat erat
dengan psikologi. Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan
seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual.
Dalam proses mengaktualisasi diri tersebut diperlukan pengetahuan tentang
keberadaan potensi, situasi dan kondisi lingkungan yang tepat untuk
mengaktualisasikannya. Namun
dalam praktiknya terjadi kesenjangan. Beragam fenomena terjadi di dunia
pendidikan, diantaranya kasus tawuran pelajar, peredaran narkoba, hingga penyebaran
video porno. Bahkan kasus pelecehan seksual bulan Januari hingga Mei 2014 mencapai
400 pengaduan[1].
Hal itu tentu tidak sesuai tujuan pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan yang seharusnya membangun karakter siswa agar bermoral,
berakhlak mulia, dan mempunyai wawasan intelektual telah mengalami anomali yang
signifikan .
Manusia
membutuhkan proses belajar dalam membentuk kepribadian masing-masing. Sehingga
hal itu tidak cukup berasal dari kondisi internal, melainkan faktor eksternal
yang juga berperan penting dalam membangun karakter. Adapun faktor eksternal
yang dimaksud, salah satunya akan diperoleh melalui lingkungan sosial yang
termanifestasi dalam bentuk pendidikan.
Oleh
karena itu, melalui makalah ini penulis berupaya mengkritisi apa yang sudah dijelaskan
dalam teori psikoanalisa mengenai motivasi atau dorongan untuk melakukan segala
aktifitas dalam bersosialisasi dengan orang lain. Manusia bukan sekedar
binatang sebagaimana konsep yang dikemukakan Freud bahwa manusia hanyalah
binatang yang bergerak atas dorongan insting, yakni eros dan thanatos.[2]
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep
Kepribadian Menurut Psikoanalisis
Menurut Sigmund Freud kepribadian seseorang
terstruktur atas tiga sistem pokok[3] yaitu:
a. Id (das
es) adalah sistem kepribadian biologis yang asli, berisikan
sesuatu yang telah ada sejak lahir. Id memiliki prinsip kerja yang serba
mengejar kenikmatan (pleasure principle)
dan cenderung bersifat rasional, primitif, impulsif, dan agresif.
b. Ego (das
ich) adalah aspek psikologis kepribadian yang timbul karena
kebutuhan organisme memerlukan transaksi dengan kenyataan obyektif. Ego
mengikuti prinsip kenyataan (reality
principle) yang bersifat rasional-logis. Tujuan prinsip ini adalah mencegah
terjadinya ketegangan sampai ditemukan suatu obyek yang cocok untuk pemuasan
kebutuhan. Ego juga disebut eksekutif kepribadian, karena ia mengontrol
tindakan, memilih lingkungan untuk memberi respons, memuaskan insting yang
dikehendaki dan berperan sebagai pengendali konflik antara id dan super ego.
3. Super ego (das
uber ich) adalah aspek-aspek sosiologis kepribadian yang
mengintegrasikan nilai-nilai moral dan cita-cita luhur. Ia mencerminkan yang
ideal bukan riil, mengejar kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Timbulnya super
ego ini bersumber dari suara hati sehingga fungsinya; (a) merintangi
impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif yang
aktualisasinya sangat ditentang masyarakat, (b) mendorong ego untuk lebih
mengejar hal-hal yang moralitas daripada realitas, (c) mengejar kesempurnaan.
Jadi super ego menentang ukuran baik-buruk id ataupun ego, dan membuat dunia
menurut gambarannya sendiri yang tidak rasional bahkan menunda dan merintangi
pemuasan insting.
Dinamika kepribadian ditentukan oleh cara energi psikis
didistribusikan serta digunakan oleh id, ego, dan super ego. Oleh karena jumlah
energi itu terbatas maka akan terjadi semacam persaingan diantara ketiga sistem
itu dalam menggunakan energi tersebut. Salah satu sistem itu mengontrol energi
dengan mengorbankan kedua sistem yang lain.
Perubahan tingkah laku seperti itu digerakkan dan dimotivasi oleh
sebuah energi. Bagi Freud, energi yang menggerakkan tingkah laku adalah libido.
Libido merupakan bentuk energi yang dipakai oleh insting-insting hidup untuk
menjalankan tugasnya. Insting hidup yang paling ditekankan oleh Freud adalah
seks yang bertempat di dalam id. Dengan uini maka tindakan biologis,
psikologis, dan sosiologis seseorang merupakan upaya pemenuhan hasrat
seksualnya demi menghindari tegangan-tegangan.
B.
Konsep Kepribadian Menurut Pandangan Islam
Stuktur kepribadian
dalam islam disebut nafs. Nafs dalam khazanah Islam memiliki banyak pengertian.
Nafs dapat berarti jiwa (soul),
nyawa, konasi yang berdaya syahwat dan ghadab, kepribadian, dan substansi
psikofisik manusia[4].
Nafs adalah potensi jasad-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah
ada sejak manusia siap menerimanya. Substansi nafs memiliki potensi
gharizah. Jika potensi gharizah ini dikaitkan dengan substansi jasad dan ruh,
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.
Al-Qalb: → (super ego) Merupakan materi organik yang memiliki sistem
kognisi yang berdaya emosi. Ia berada di jantung (al-mudghah). Qalbu memiliki
kemampuan untuk memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui cita-rasa
(al-zawqiyah). Allah SWT berfirman :
!$tB z>$|¹r& `ÏB >pt6ÅÁB wÎ) ÈbøÎ*Î/ «!$# 3 `tBur .`ÏB÷sã «!$$Î/ Ïöku ¼çmt6ù=s% 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇÊÊÈ
“Dan orang-orang beriman
mendapat petunjuk dari Allah melalui hatinya“ (QS. Al-Taghabun, 64: 11). Ketika
mengaktual, potensi qalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku yang baik.
Baik-buruknya sangat tergantung pada pilihan manusia sendiri. Sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya
di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh
menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula.
Ingatlah bahwa ia adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir). Selain
kemampuan memperoleh pengetahuan dari Allah, qalbu juga menjadi pusat kesadaran
moral. Ia memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta
mendorong manusia memilih hal-hal yang baik dan meninggalkan yang buruk, karena
kemampuan yang emikian, maka Nabi Muhammad SAW menganjurkan manusia meminta
fatwa kepada qalbunya.
Qalbu memiliki kemampuan untuk memberikan
jawaban ketika seseorang harus memutuskan sesuatu yang sangat penting. “Mintalah
fatwa kepada qalbumu.” (HR. Ahmad dan al-Darimi). Al-Ghazali berpendapat bahwa
qalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy (cahaya ketuhanan)
dan al-bashira al-albathina (mata batin) yang memancarkan keimanan dan
keyakinan[5]. Al-Ghazali juga
berpendapat bahwa qalbu diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan akhirat.
Kebahagiaan qalbu sangat tergantung pada ma’rifah kepada Allah Swt. Hal itu
juga dipertegas oleh Al-Zamakhsyariy yang berpendapat bahwa qalbu itu
diciptakan oleh Allah Swt. sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan
menerima kebenaran dari-Nya.
2.
Akal: → ego. Secra etimologi, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribah
(ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah).
Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal adalah orang
yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat jiwa
rasionalitasnya mampu bereksistensi. Jadi akal mempunyai kemampuan mengadakan
penalaran rasional logis. Akal diungkap dalam Al-Qur’an tidak seperti qalbu.
Akal diungkap hanya dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan satu pun tidak disebut
kan dalam dalam bentuk kata benda (isim). Hal ini menunjukkan bahwa akal
bukanlah suatu susbtansi (jauhar) yang bereksistensi, melainkan aktivitas
substansi tertentu. Komponen nafsani yang mampu berakal adalah qalbu. Firman
Allah Swt :
óOn=sùr& (#rçÅ¡o Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷èt !$pkÍ5 ÷rr& ×b#s#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù w yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrßÁ9$# ÇÍÏÈ
“Mereka
mempunyai qalbu yang mereka berakal dengannya.” (QS. Al-Hajj, 32:46). Berdasarkan
ayat ini, para mufasir sebagaimana yang diulas oleh Al-Ghazali dan Wahba
Al-Zukhailiy berbeda pendapat. Sebagian ada yang berpendapat bahwa qalbu yang
berakal, sedang sebagian yang lain menyebutnya “otak“ (al-dimagh) yang berakal.
Al-Zukhailiy lebih lanjut menjelaskan bahwa pendapat yang valid adalah pendapat
kedua, yakni otak yang berakal bukan qalbu. Adapun maksud dari QS Al-Hajj: 46
tersebut adalah bahwa dalam tradisi kebahasaan, seseorang sering
menggunakan qalbu untuk menyebutkan akal, sehingga dalam Al-Qur’an menggunakan
qalbu untuk berakal.
3.
Nafsu: → id. Nafsu adalah daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu
kekuatan al-ghadabiyah dan al-syahwaniyah. Al-Ghadab adalah suatu daya yang
berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan. Ghadab dalam
terminologi psikoanalisa disebut dengan defense (pertahanan, pembelaan, dan
penjagaan), yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindungi ego
terhadap kesalahan, kecemasan,dan rasa malu; perbuatan untuk melindungi diri
sendiri; dan memanfaatkan dan merasionalkan perbuatannya sendiri. Al-Syahwat
adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang
menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu hasrat (keinginan,
birahi, hawa nafsu), motif atau impuls berdasarkan perubahan keadaan fisiologi.
Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar impuls-impuls
primitifnya. Sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku
yang tercela. Firman Allah Swt:
!$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ wÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ
“Sesungguhnya
nafsu itu selalu menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf, 12 : 53). Apabila impuls-impuls ini tidak
terpenuhi maka terjadi ketegangan diri. Bila manusia melayani semua dorongan
yang dimilikinya, maka dalam dirinya akan menguat yang namanya hawa nafsu. Bila
hawa nafsu ini menggumpal dan berkuasa dalam diri seseorang maka ia tumbuh
menjadi orang- orang yang zalim, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. “Tetapi
orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.” (QS.
Ar-Ruum, 30: 29)
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Analisis Kritis Terhadap Psikoanalisa Dalam
Membentuk Kepribadian
Kepribadian dalam
psikologi Islam adalah integrasi sistem qalbu, akal, dan nafsu manusia yang
menimbulkan tingkah laku. Meskipun pengertian ini sederhana, namun memiliki
konsep yang mendalam. Pengertian ini juga sebagai bandingan dengan definisi
yang dikemukakan oleh Freud dari psikoanalisa. Daya-daya yang terdapat dalam
substansi nafs manusia saling berinteraksi satu sama lain dan tidak mungkin
dapat dipisahkan. Kepribadian sesungguhnya merupakan produk dari interaksi
diantara ketiga komponen tersebut, hanya saja ada salah satu diantaranya yang
lebih mendominasi dari komponen yang lain.
Maka ketika Freud mengemukakan konsep psikoanalisanya,
tentu tidak sesempit itu dalam melihat kepribadian seseorang. Manusia itu
makhluk yang dilahirkan fitrah dan mempunyai potensi untuk berperilaku sesuai
dengan qalb, akal, dan nafsu. Ketiga komponen ini saling berinteraksi satu sama
lain sehingga menghasilkan Gharizah. Baik buruknya gharizah dipengaruhi oleh pengetahuan
yang dimiliki. Sementara Freud lebih menekankan libido sebagai energi yang
menggerakkan id, ego, dan super ego. Meskipun
tidak mengelompokkan manusia dalam kategori-kategori tertentu, konsep
psikoanalisa Freud berhenti pada prinsip kesenangan (Pleasure Principle) yang seolah tidak dapat dikontrol.
Sementara itu, Al-Ghazali berpendapat bahwa apabila
pikiran itu dilahirkan dari qalbu, syahwatnya berubah menjadi kemauan, sedangkan
ghadabnya berubah menjadi kemampuan yang tinggi derajatnya. Salah satu dominasi
struktur kepribadian ini menimbulkan adanya tingkatan-tingkatan kepribadian
manusia:
1.
Kepribadian Amarah (nafs al-amarah), adalah kepribadian yang
cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan, jadi
dalam ketiga struktur kepribadian manusia, nafsu yang mendominasi kepribadian
amarah ini. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyerukan pada
perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmatoleh Tuhanku.” (QS. Yusuf, 12
: 53). Kepribadian amarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila ia telah
diberi rahmat oleh Allah Swt. Pendakian kepribadian dapat mencapai satu tingkat
dari tingkatan kepribadian yang ada, yaitu kepribadian lawwamah.
2.
Kepribadian Lawwamah (nafs al-lawwamah), kepribadian yang telah
memperoleh cahaya qalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya
antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk
yang disebabkan oleh watak gelapnya namun kemudian ia diingatkan oleh nur
ilahiy, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan
beristighfar. Jadi akal mendominasi di antara ketiga struktur kepribadian. Akal
apabila telah diberi percikan nur qalbu, fungsinya menjadi baik. Ia dapat
dijadikan sebagai salah satu mediauntuk menuju kepada Tuhan. Al-Ghazali sendiri
meskipun sangat mengutamakan pendekatan cita-rasa, tapi ia masih mengutamakan
kemampuan akal. Sedangkan Ibnu Sina, akal mampu mencapai pemahaman yang abstrak
dan akal juga mampu mencapai akal mustafad, yaitu akal yang mapu menerima
limpangan pengetahuan dari Tuhan melalui akal fa’al (malaikat jibril).
3.
Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah), adalah kepribadian yang
telah diberi kesempurnaan nur qalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat
tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi
ke komponen qalbu untuk mendapat kesucian dan menghilangkan segala kotoran,
sehingga dirinya tenang. Begitu tenangya kepribadian inisehingga ia dipanggil
oleh Allah Swt. Firman Alla Swt:
$pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuÅÊ#u Zp¨ÅÊó£D ÇËÑÈ Í?ä{÷$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ
Artinya:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr, 89 : 27-30).
Al-Ghazali menyatakan bahwa daya
qalbu (yang mendominasi kepribadian muthmainnah) mampu mencapai pengetahuan
(ma’rifah) melalui daya cita-rasa (dawq) dan kasy (terbukanya tabir misteri
yang menghalangi penglihatan batin manusia). Sedangkan Ibnu Khaldun menyatakan
dalam Muqaddimat bahwa ruh qalbu itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara
substansial mampu mengetahui apa saja di alam amar, sebab ia berpotensi
demikian.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Teori
psikoanalisa Freud terlalu menekankan pikiran bawah sadar, seks, agresi,
pengalaman masa kanak-kanak. Sehingga manusia dianggap tidak jauh beda dengan
binatang. Padahal manusia mempunyai qalbu dan akal untuk mengontrol semua
perilaku yang hendak dikerjakan.
2.
Freud
juga terlalu menekakan libido, sementara manusia mempunyai kemampuan untuk
mengintegrasikan semua komponen nafs dalam membentuk kepribadian.
3.
Teori
psikoanalisa Freud tidak dapat digunakan lagi dalam menganalisa
perilaku-perilaku tidak kekerasan karena sifatnya adalah individual. Sedangkan
kasus-kasus kekerasan seringkali disebabkan oleh faktor eksternal, seperti
lingkungan sosial masyarakat.
4.
Teori
psikoanalisa terlalu sempit dan merendahkan karena menganggap hakikat manusia
sebagai makhluk yang buruk, liar, kejam, kelam, non etis, egois, sarat nafsu,
dan berkiblat pada kenikmatan jasmani.
5.
Dalam
memandang manusia, Islam tidak bersifat deterministik, behavioral, dan humanistik.
Akan tetapi Islam memberikan kemuliaan kepada manusia sebagai makhluk yang
paling mulia (Ahsani Taqwim). Manusia juga memiliki bentuk yang terbaik dari
seluruh makhluk Allah yang lain dan mempunyai kekuatan untuk merubah sendiri
kondisi dirinya.
Daftar Pustaka
Freud, Sigmund, An
Outline of Psychoanalysis. New York: Norton, 1938.
Hannaa, Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi
dengan 1slam Menuju Psikologi Islami, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar,
2001) cet II.hal.50.
Hjelle, Larry A. & Ziegler,
Daniel J., Personality Theories: basic
Assumtions,
Research,
and Aplications, Auckland: McGraw-Hill International Book Company, 1981
KPAI,
Pengaduan Pelecehan Seksual Terhadap Anak,
(online) diakses 16 Mei 2014.
Nawawi, Rif’at Syauqi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an, dalam Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar) hlm.8
[1]
KPAI, Pengaduan Pelecehan Seksual
Terhadap Anak, diunggah 16 Mei 2014.
[2] Hjelle, Larry A. & Ziegler,
Daniel J., Personality Theories: basic
Assumtions, Research,
and Aplications, Auckland:
McGraw-Hill International Book Company, 1981
[3] Freud, Sigmund, An
Outline of Psychoanalysis. New York: Norton, 1938.
[4] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep
Manusia Menurut Al-Qur'an, dalam Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[5] Hannaa Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan 1slam Menuju
Psikologi Islami, (Yokyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001 )cet II.hal.50.
Tokoh Psikologi Sigmund Freud (sumber gambar) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "KONSEP PSIKOANALISA SIGMUND FREUD (Analisa Kritis Terhadap Psikoanalisa Dalam Membangun Kepribadian )"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*