WACANA PENGEMBANGAN BUKU AJAR PERKULIAHAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS
NIRKEKERASAN (BINA DAMAI) DALAM MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh:
A. Rifqi Amin
Baca juga:
A.
Pendahuluan
Pendidikan Agama Islam yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi
merupakan mata kuliah yang sangat penting bagi pembentuk kepribadian dan
karakter mahasiswa. Oleh sebab itu,
diharapkan tujuan utama Pendidikan Agama Islam (PAI) pada perguruan tinggi
tidak hanya terfokus pada pemrosesan mahasiswa dari yang belum paham tentang
agama dijadikan lebih paham, dari yang belum mampu dalam penerapan dijadikan
lebih mampu, dan dari yang belum taat dalam penerapan keagamaan menjadi lebih
taat. Namun lebih dari sekedar itu, PAI adalah penanaman nilai-nilai keislaman
secara utuh dan universal dalam diri mahasiswa. Dengan kata lain, PAI harus
mampu mewujudkan konsep Islam yang rahmatanlilalamin.
Yakni, salah satunya mampu menjadi umat Islam yang cinta damai, penuh kasih,
dan mampu bekerjasama dengan cerdas (elegan serta tetap mampu memegang prinsip
dan iman keislaman) terhadap semua karakter manusia yang dihadapi seperti
apapun itu.
Mahasiswa sebagai manusia ‘ilmiah’ bisa berperilaku serta berfikir
ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya saat di
perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.[1]
Namun, pernyataan tersebut adakalahnya masih menjadi sebuah teori belaka
tatkalah kita melihat fenomena “janggal” yang dilakukan oleh mahasiswa yang
dianggap sebagai manusia unggul. Kenyataannya masih banyak mahasiswa yang
melakukan tindakan kekerasan. Baik kekerasan dalam bentuk verbal
maupun non verbal. Di antaranya seperti demo
anarkis,[2] tawuran mahasiswa,
kekerasan saat opspek,[3] kekerasan pada kegiatan PMB,[4] potensi terorisme,[5]potensi kekerasan,[6] kekerasan pada pelaksanaan
program unit kegiatan mahasiswa,[7] mengikuti organisasi
pecinta kekerasan (ISIS), kekerasan dalam sebuah hubungan (pacaran),[8] anarkisme mahasiswa,[9] pembulian terhadan
mahasiswa yang berkebutuhan khusus,[10] kekerasan mahasiswa senior
terhadap mahasiswa junior,[11] dan tindakan yang
cenderung anti human security
lainnya.
Nilai-nilai
perdamaian dan nirkekerasan tersebut terus mengalami penurunan khususnya pada
kalangan generasi muda. Warsono menegaskan bahwa “nilai kemanusiaan,
seakan semakin sulit ditemukan. Banyak
orang yang tidak lagi peduli terhadap penderitaan orang lain, bahkan cenderung
mengeksploitasi orang lain.”[12] Kondisi memprihatinkan ini, seperti diungkapkan Somad
diantaranya: (1) kalangan generasi muda cenderung mudah terprovokasi oleh
isue-isue yang tidak jelas; (2) kerawanan sosial seperti pencurian,
pemerkosaan, perkelahian, perampokan dan yang lainnya yang setiap hari semakin
meningkat, dan para pelaku pada umumnya generasi muda.[13]
Dalam usaha untuk meminimalisir permasalahan tersebut,
sesungguhnya pendidikan agama Islam punya peran dalam penenaman karakter mulia.
Misalnya penanaman nilai-nilai cinta damai atau antikekerasan dan human security. Karakter mulia tersebut
tidak hanya dihafal dan dikuasai aspek kognitifnya tapi dinyatakan dalam
perilaku melekat sehingga menjadi pedoman hidup. Bukan hanya pedoman hidup
dalam beribadah secara normatif. Namun, juga pedoman hidup dalam menghadapi
permasalahan dan tantangan kehidupan yang semakin dinamis.
Salah
satu tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa ialah tugas kuliah yang menumpuk,
tugas organisasi (bagi yang ikut organisasi), tuntutan orang tua di rumah,
tuntutan pekerjaan, dan tekanan-tekanan lain yang bisa memicu rasa frustasi
mahasiswa. Tekanan-tekanan yang dihadapi mahasiswa tersebut berpotensi besar
untuk disublimasikan (dilampiaskan) dalam bentuk tindakan-tindakan negatif.
Baik dalam wujud provokasi verbal, tawuran, dan bentuk kekerasan lainnya kepada
kelompok atau pihak lainnya yang mereka anggap sebagai “the other” atau pihak yang pantas dimusuhi. Terlebih bila ada
saluran, alasan, atau kejadian yang tepat
untuk melampiaskan maka itulah kesempatan mereka untuk melakukan
kekerasan.
Dalam
perguruan tinggi selama ini masih ditemui mahasiswa Islam yang bahan ajarnya
lebih terfokus pada pendalaman ilmu agama yang teoritis. Salah satunya terkait
tentang sejarah Islam, teori membaca al Quran, teori sholat, fiqh ibadah,
ekonomi islam, dan terkait dengan hukum-hukum syariat lainnya yang cenderung
nila gunanya untuk kepentingan diri pribada mahasiswa itu sendiri. Yakni,
bagaimana agar diri invidu itu sendiri bisa masuk surga, tanpa memedulikan
keadaan orang lain. Oleh sebab itu, wajar bila akhirnya terjadi pengabaian ilmu
pengetahuan agama Islam yang secara praktis seharusnya dapat bermanfaat dan
berdampak baik bagi seluruh umat manusia. Inilah yang biasanya kita sebut
sebagai konsep Islam Rahmatanlilalamin.
Yakni, ilmu yang diterapkan secara langsung di lingkungan dunia akademis atau
kampus. Salah satunya ialah mampu hidup penuh toleransi, berjiwa kesatria,
menjunjung nilai human security, dan
mampu hidup damai dengan pihak yang dianggap berbeda. Baik hidup damai secara
verbal maupun non verbal serta saat di belakang maupun di depannya.
Sebuah penelitian dari Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Kementerian Agama RI pada tahun 2010 pada 7 Perguruan Tinggi Umum
Negeri (PTUN) yang ternama di Indonesia yaitu UDAYANA, UNDANA, UNHAS, UI,
UNDIP, UNPAD, dan UGM dari hasilnya ditunjukkan bahwa sistem pembelajaran
Pendidikan Agama (bukan hanya agama Islam) pengaruh yang dimilikinya merupakan terkecil terhadap toleransi
beragama pada mahasiswa dibandingkan dengan komponen lain misalnya adalah
lingkungan pendidikan secara luas memiliki pengaruh langsung maupun tidak
langsung yang lebih besar terhadap toleransi beragama.[14]
Selain itu juga berdasar hasil penelitian Kasinyo Harto di Universitas
Sriwijaya Palembang dari hasilnya ditunjukkan yang mana di sana terdapat
beberapa organisasi gerakan keagamaan ekstra kampus yang pendekatannya pada
kajian keagamaan lebih cenderung bernuansa normatif-doktriner, yaitu suatu
pendekatan yang dibangun atas norma-norma keagamaan (wahyu) dengan pola top down dan deduktif tanpa keterlibatan
pertimbangan nalar, konteks historis, sosial, dan kenyataan-kenyataan yang
hidup di masyarakat.[15]
Dapat disimpulkan bahwa nampak dari hasil penelitian tersebut terjadi pola
fikir dan tindakan mahasiswa yang ekslusif (tertutup). Hal ini bisa
dikategorikan sebagai bentuk kekerasan non verbal yang sangat jauh dari
nilai-nilai Islam. Terlebih lagi, bila dilakukan secara masif, terstruktur, dan
sistematis.
Dua temuan di atas menunjukkan salah satu komponen
dari sistem pembelajaran Pendidikan Agama termasuk Pembelajaran PAI termasuk
buku ajarnya belum berjalan secara integral. Misalnya komponen tujuan dalam
sistem pembelajaran belum diarahkan atau ditekankan pada pentingnya
bertoleransi agama yang baik dan benar. Komponen tujuan yang bagus pun tidak
diselaraskan dengan komponen materi PAI yang berkualitas. Bahkan dalam
penyusunan tujuan, materi, metode, dan strategi pembelajaran pendidikan Islam
di perguruan tinggi masih tumpang tindih (tidak nyambung), terjadi
penyeragaman, dan terkesan formalis. Diharapkan dengan integralnya antar komponen
pembelajaran PAI ke depannya nanti (yang merupakan salah satuh hasil penelitian
ini) diharapkan tidak ada mahasiswa yang berpola fikir ekslusif-radikalis.
Seakan
menjadi ketetapan bagi manusia hingga akhir zaman, sampai kapanpun masalah
kekerasan akan selalu ada. Meski tak dapat menghindarinya akan tetapi
sesunggunhnya manusia bisa meminimalir. Adapun yang membedakan antara zaman
satu dengan zaman lain ialah sejauh mana tingkat kekerasan yang dilakukan oleh
manusia itu apakah besar atau kecil serta dengan pola yang berbeda pula. Baik
kekerasan yang dilakukan karena faktor ideologi maupun dilakukan karena demi
memenuhi kepentingan nafsu (gaya hidup, urusan perut, dan bawah perut). Oleh
sebab itu, masalah nirkekrasan dan human
security ini sangat penting untuk diteliti serta dikembangkan dalam
perguruan tinggi. Bagaimanapun Indonesia masih membutuhkan konsep dan praktik
nilai-nilai tersebut. Tentu salah satu hal yang harus dibenahi adalah di
dalam perguruan tinggi. Mengingat perguruan tinggi merupakan
salah satu mercusuar bahkan sumber pengembangan peradaban masyarakat.
Berangkat
dari fenomena-fenomena
dan keunikan permasalahan baik yang bersifat das sein (kenyataan yang terjadi di lapangan) maupun das sollen (seharusnya, harapan, atau
idealitas) yang penulis temukan dalam studi pendahuluan yang masih bersifat
mendasar serta masih berupa gambaran umum dan bersifat sementara sehinga perlu diadakan penelitian tindak
lanjut secara mendalam. Penelitian tindak lanjut ini sangat diperlukan untuk
diperoleh sebuah kesimpulan
yang
komperhensif, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sehingga
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain prasangka
tanpa dasar akan menjadi
simpang siur jika tidak dicari kebenarannya melalui sebuah penelitian ilmiah. Dari
beberapa permasalahan di atas maka perlu adanya langkah penguatan pendidikan
agama Islam berbasis nirkekerasan. Dari alasan-alasan tersebutlah penelitian
ini dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah dihasilkannya teori dan model
pendidikan agama Islam berbasis nirkekerasan
(perspektif interdisipliner) yang
diwujudkan dalam sebuah buku ajar/perkuliahan PAI yang
integratif.
Secara gamblang,
Nimer memaparkan bahwa nirkekerasan adalah kombinasi antara sikap, pandangan,
dan aksi yang dimaksudkan untuk mengajak orang di pihak lain secara damai.
Yakni, supaya mereka mau mengubah pendapat, pandangan, dan aksinya dengan
capaian kedamaian pula. Oleh karena itu, dalam gerakan nirkekerasan para
penggiatnya tidak pernah membalas (merespon) tindakan the other dengan kekerasan. Sebaliknya, mereka meminimalkan
kemarahan dan kerusakan secara holistik. Tentunya, sambil menyampaikan pesan
ketabahan yang tegas dan desakan untuk mengatasi ketidakadilan.[16]
Ini bukan berarti dalam sikap nirkekerasan seseorang hanya bersikap
pasif-permisif tanpa perlawanan. Sebaliknya, perlawanan mereka dilakukan secara
masif, kreatif, dan cerdas yang tentunya hanya mengacu pada prinsip
nirkekerasan. Bisa dikatakan, aksi nirkekerasan merupakan wujud perlawanan
terhadapan kekerasan yang dilakukan secara elegan.
Berdasar
pernyataan tersebut, dapat dikatakan dalam gerakan nirkekerasan cara yang damai
saja tidak cukup. Diperlukan keaktifan secara damai pula untuk meraih cita-cita
atau harapan perdamaian. Asumsinya, seseorang bisa melakukan aksi (cara) damai
tapi di sisi lain ia bermaksud (kesengajaan) atau menimbulkan (tidak sengaja)
pada ketidakdamaian. Misalnya, melakukan kebebasan eskpresi yang
sebebas-bebasnya dengan tujuan untuk memprovokasi dan menyebabkan amarah pihak
lain. Atau paling tidak adanya faktor ketidaksengajaan. Yakni, meski tujuannya
adalah untuk mencapai kedamaian (tanpa provokasi) tapi tidak melihat budaya
sekitar yang “kaku” (anti kebebasan) sehingga menimbulkan kekerasan oleh pihak
lain. Sebab lainnya, bisa jadi pejuang nirkekerasan tidak berwawasan luas dan
ke depan dalam mengantisipasi potensi respon keras akibat dari aksi
perdamaiannya tersebut.
B.
Kontribusi
Dalam jangka panjang buku ajar perkuliahan
pendidikan agama islam berbasis nirkekerasan (bina damai) dalam mata kuliah
pendidikan islam diharapkan bisa memberi kontribusi pembangunan dan
pengembangan bangsa. Tidak hanya pada
aspek fisiknya akan tetapi juga aspek non fisiknya. Terutama aspek paradigma nirkekerasan
atau saling bina damai antar anak bangsa. Selain itu, secara tidak langsung
buku bermuatan tentang nilai-nilai luhur pancasila dan tradisi luhur bangsa.
Salah satunya di antaranya seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
keberadaban, kebersamaan, kasih sayang, kesantunan, kedamaian, gotong-royong,
dan nilai-nilai universal lainnya.
Dengan adanya bahan ajar tersebut diharapkan ke
depannya dalam penanganan kasus kekerasan seperti terorisme, pembantaian,
perkelahian, konflik fisik, dan semacamnya pendekatan fisik tidak lagi menjadi
prioritas. Tidak hanya sekedar mersepon lalu menindak para pelaku kekerasan
tetapi juga ikut mencegah tumbuhnya bibit radikalisme, terorisme, dan tindak
kekerasan pada individu. Dengan adanya
buku ini maka nilai-nilai moderasi Islam bisa tertanam kuat pada para
mahasiswa. Mereka tidak bingung lagi dalam mencari dan memahami ajaran islam
yang moderat. Tentunya juga akan kebal terhadap pengaruh negatif paham-paham
yang anti perdamaian dan keamanan.
Buku ini sangat penting keberadaannya karena
berdasar penelusuran penulis masih sangat langka sekali ditemukan buku yang
secara komprehensif dan lugas membahas tentang nilai nirkekerasan. Hasil
penelitian tentang nirkekrasan sejauh ini juga belum ada yang membuahkan hasil
berupa produk bahan ajar. Rata-rata sudut penelitian yang diambil masih dalam
tataran menggali, memotret fenomena, menemukan, mendeskripsikan, dan
menganalisisnya saja. Bila pun ada buku ajar pendidikan Islam isinya masih
tumpang tindih. Pembuatan buku hanya sekedar formalitas karena membuat buku
ajar merupakan kewajiban[17]
yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Tidak nyambung antara satu bab dengan
bab lainnya. Tampilan isinya nampak seperti kumpulan artikel yang digabungkan
dalam sebuah buku.
C.
Peran
Penting Pengembangan Buku Ajar Perkuliahan Pendidikan Agama Islam Berbasis
Nirkekerasan
Pada
zaman mondial ini, dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,
sangat berlangsung cepat dan instan. Hal itu menuntut PAI untuk mengimbanginya
dengan pengembangan diri secara “cepat” pula. Di sisi lain, akibat dari
lompatan cepat tersebut tantangan dan permasalahan PAI menjadi bertambah.
Misalnya, zaman dulu “kekerasan” antar tubuh oleh manusia prasejarah sangat
perlu dilakukan untuk mengendalikan keadaan sosial, simbol dominasi, dan untuk
mencari makan (kekerasan pada hewan). Tapi pada zaman sekarang ini bukan
“kekerasan” tubuh secara berhadap-hadapan yang dapat mengatur sistem sosial,
tapi adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, dengan CCTV pemerintah
bisa memantau rakyatnya dari jarak jauh, atau dengan satu tombol saja negara
tertentu bisa meluluh lantakkan negara lain meski jauh lokasinya dengan bom
atom. Bahkan bukan suatu kemustahilan bila suatu saat diciptakan robot yang
diprogram melakukan “kekerasan.”
Namun,
demikian bagaimanapun Islam adalah agama universal (rahmatan lil alamin) yang menjangkau kebutuhan zaman secara
totalitas dan utuh. Artinya, pendidikan Islam tidak hanya mengurusi masalah
keakhiratan (eskatologi), tapi juga urusan duniawi.[18]
Artinya, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat
fisik-biologis (homo economicus)
sekaligus hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka
manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian,
betapa pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas.[19]
Dari keterbatasan itu manusia harus bekerjasama satu sama lain. Dari kenyataan
tersebut PAI berperan sebagai pembangun kejiwaan, spiritualitas, dan kemaknaan
hidup bersama sehingga bisa membentuk masyarakat berbudaya nirkekerasan.
Bisa
dikakatan dalam posisi tersebut, PAI bertugas menyadarkan secara ilmu
pengetahuan dan sikap, bahwa tindakan “kekerasan” dalam konteks yang tidak
tepat, tidak manusiawi, dan dengan cara berlebih-lebihan merupakan larangan
agama. Menurut Mark Jurgensmeyer, akan sangat mengejutkan dan memusingkan bila
sesuatu yang buruk (kekerasan) justru dilakukan oleh orang “baik.” Yakni, yang
mengabdikan diri pada pandangan moral dunia dan orang yang saleh. Dengan
argumen dan retorika yang nampak luhur, padahal tindakan mereka telah
menyebabkan penderitaan dan kekacauan kehidupan.[20]
Oleh karena itu, PAI berserta institusinya seyogianya tidak hanya mendorong
peserta didik hanya untuk bersabar, tabah, menerima takdir, dan pasrah pada
keadaan zaman. Serta sebaliknya, “mendorong” mereka mengutuk dan mencemooh
negara yang membuat teknologi yang menimbulkan kekerasan. Namun, PAI harus bisa
memberikan dorongan untuk hidup damai serta mendorong peserta didik menciptakan
teknologi canggih yang berbasis nirkekerasan.
Lebih
lanjut, tugas PAI adalah mengakomodir peserta didik sebagai generasi umat Islam
yang memiliki potensi (diprediksi) melakukan tindakan agresif dan kriminal.
Utamanya, bagi mereka yang telah mengalami “kegagalan” dalam mengkonsep
kepribadiannya dan yang mengalami benturan psikologis hebat, terutama di masa
kecilnya. Cara lain adalah mengkonstruk tindakan dan nilai-nilai terorisme
sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Kemudian merubah
arah “semangat” beragama mereka menuju hal-hal yang jauh lebih berdampak
positif bagi kehidupan seluruh umat manusia. Misalnya dalam bidang ilmu
pengetahuan alam memotivasi mereka untuk menciptkan karya yang bisa bermanfaat
bagi kehidupan manusia.
D.
Kesimpulan
Penggunaan
buku ajar pendidikan agama islam berbasis nirkerasan sanga penting. Hal ini untuk
menanggulangi regenerasi “kader” kekerasan. Pendidikan Agama Islam harus
melakukan pencegahan secara aktif. Seharusnya, ada buku khusus yang isinya bisa
menjadi pencegah tindakan kekerasan yang mencederai hak-hak keutuhan fisik dan
psikologis orang lain. Dengan kata lain, PAI dalam bahan ajarnya harus
menekankan secara kuat bahwa kekerasan (keonaran yang melanggar hukum positif)
sebagai perbuatan yang tabu dan melanggar asas-asas kemanusiaan sekaligus
ajaran Islam. Bila tanpa ada penekanan tersebut, maka wajar ada siswa mudah
terpengaruhi untuk melakukan ajaran agama yang parsial. Salah satunya cenderung
mendalami “ajaran” yang berpotensi pada kekerasan saja.
Nilai
peace educatiaon dalam bahan ajar
merupakan salah satu cara memperkokoh paradigma perdamaian bagi individu
mahasiswa. Bagaimana mahasiwa diajak untuk ikut membiasakan mewujudkan keamanan
manusia lain berdasar panduan-panduan yang ada di buku ajar. Dengan demikian
kandungan buku ajar pendidikan agama Islam tidak hanya bersifat konsep atau
nilai kebaikan semata tetapi bisa diaplikasikan secara nyata di lapangan. Buku
ini sekaligus sebagai antitesa bagi buku pendidikan agama Islam yang sudah ada yang hanya menyajikan materi
filsafat islam, hukum islam, ibadah, dan muamalah yang masih dibahas secara
sempit.
Buku
ajar pendidikan agama Islam yang seharusnya ada ini juga bisa menjadi media
inseminasi budaya nirkekrasan. Menjadi rujukan mahasiswa Islam dalam melakukan
dialog dengan orang lain yang di luar mazhab hingga di luar agamanya. Setelah
diadakan dialog di dalamnya juga mengajarkan bagaimana cara bekerja sama dengan
pengikut mazhab maupun pemeluk agama lain. Tentu di dalamnya juga diajarkan
bagamaina cara kreatif, cerdas, elegan, dan bernilai damai dalam menyebarkan
pemikiran dan ideologinya. Misalnya berkampanye atau menyalurkan aspirasi
melalui media online secara damai.
Contoh seperti membuat memem (tulisan
bergambar), menulis di blog, video pendek, dan lain-lain.
Daftar pustaka
“Surat Edaran: Bahan ajar mata kuliah wajib umum.” dalam http://belmawa.ristekdikti.go.id/2016/12/09/surat-edaran-bahan-ajar-mata-kuliah-wajib-umum/. Dipublikasikan 09 Desember 2016.
Diakses 13 Desember 2018 pada pukul 12.31 WIB.
Abu-Nimer, Mohammed. “Nirkekerasan dan
Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice, terj.
M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar. EDISI DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014, hlm. 20.
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi Tentang
Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama,
dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7
Perguruan Tinggi Negeri Umum Negeri) (Jakarta: Maloho Jaya Abadi,2010),
139.
Efendi, Agus. Revolusi
Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ.
Bandung: Alfabeta, 2005.
Ganda, Yahya. Petunjuk
Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo,
2004.
Hidayat, Rahmat. “Demonstrasi: ‘Bukan
Anarkisme’,” dalam http://www.negarahukum.com/hukum/demonstrasi-%E2%80%9C-bukan-anarkisme%E2%80%9D.html, 30 Maret 2012, diakses tanggal 20
September 2015.
Jurgensmeyer, Mark. “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan
Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in
The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat
Ismail. Jakarta: Nizam, 2002.
Kasinyo Harto, Islam
Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa
Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag
RI, 2008), xvii.
Mujtahid. Reformasi
Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki, 2011.
Somad, Abdul. Pendidikan Nilai Sebagai Basic Pembinaan
Nilai Generasi Muda. Artikel. Buletin Gerakan Indonesia Bersatu, 2006. 1.
Warsono. Membangun Moral Generasi Muda
Melalui Gerakan Pramuka. Disampaikan dalam Musda
Pramuka Provensi Jatim. Surabaya, 2006.
[1]Yahya Ganda, Petunjuk
Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo,
2004), 2.
[2]Rahmat
Hidayat, “Demonstrasi:
‘Bukan
Anarkisme’,” dalam http://www.negarahukum.com/hukum/demonstrasi-%E2%80%9C-bukan-anarkisme%E2%80%9D.html, 30 Maret 2012, diakses tanggal 20 September 2015.
[3]“Parah, Mahasiswa Baru Universitas Lampung Dipelonco
Kekerasan,” dalam http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/09/11/nbqfrz-parah-mahasiswa-baru-universitas-lampung-dipelonco-kekerasan,
11 September 2014, diakses tanggal 20 September 2015.
[4]Yohanes Kurnia Irawan, “Mahasiswa Baru Diduga Alami Kekerasan di Kampus, Puluhan Orangtua Datang
Melapor Kontributor Pontianak,”
tanggal 06/09/2017,
20:23 WIB.
[5]Moch
Harun Syah, “BNPT: Mahasiswa dan Pelajar Target Utama Propaganda ISIS,” dalam http://m.liputan6.com/news/read/2253491/bnpt-mahasiswa-dan-pelajar-target-utama-propaganda-isis, 17 Juni 2015, diakses tanggal 20 September 2015 dan
“BNPT: Potensi Terorisme di 2013 Masih Berbahaya,” dalam http://news.okezone.com/read/2013/07/15/337/837421/bnpt-potensi-terorisme-di-2013-masih-berbahaya, 16 Juli 2013, diakses tanggal 20 September 2015.
[6]BHP UMY, “kampus harus sadar Isu kekerasan pada
Mahasiswa,: dalam
http://www.umy.ac.id/kampus-harus-sadar-isu-kekerasan-pada-mahasiswanya.html
tanggal 24 Desember 2015. Serta Iro Fk,
“Kekerasan Remaja Indonesia Mencapai 50 Persen,” dalam
http://fk.ugm.ac.id/kekerasan-remaja-indonesia-mencapai-50-persen/ tanggal 14 Maret 2018.
[7]Nurhadi Sucahyo, “Menghapus Budaya Kekerasan di Perguruan
Tinggi,” dalam https://www.voaindonesia.com/a/menghapus-budaya-kekerasan-di-perti-/3698712.html
tanggal 30 Januari 2017
[8]Zumrotul Abidin, “Mahasiswi Korban Perkosaan di Surabaya Juga Alami Kekerasan” dalam http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2018/200483-Mahasiswi-Korban-Perkosaan-di-Surabaya-Juga-Alami-Kekerasan, Jumat, 09 Maret 2018.
[9]“Anarkisme Mahasiswa,” dalam http://profesi-unm.com/2014/12/28/presma-kedua-unm-birokrat-picu-anarkisme-mahasiswa/, 28 Desember 2014, diakses tanggal 20 september 2015.
[10]Agregasi Antara,, “ TOP NEWS (9):
Prihatin Mahasiswa Autis Di-Bully, Khofifah: Akibatnya Bisa Fatal sampai
Bunuh Diri.” dalam
https://news.okezone.com/read/2017/07/17/337/1738459/top-news-9-prihatin-mahasiswa-autis-di-bully-khofifah-akibatnya-bisa-fatal-sampai-bunuh-diri,
Senin 17 Juli 2017 19:35.
.
[12] Warsono. Membangun Moral Generasi Muda Melalui Gerakan
Pramuka. Disampaikan dalam Musda Pramuka Provensi
Jatim. Surabaya, 2006.
[13] Abdul, Somad. Pendidikan Nilai Sebagai Basic Pembinaan Nilai Generasi Muda. Artikel.
Buletin Gerakan Indonesia Bersatu, 2006. 1.
[14]Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi Tentang
Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama,
dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7
Perguruan Tinggi Negeri Umum Negeri) (Jakarta: Maloho Jaya Abadi,2010),
139.
[15]Kasinyo Harto, Islam
Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa
Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag
RI, 2008), xvii.
[16]Mohammed Abu-Nimer, “Nirkekerasan dan
Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice, terj.
M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar. EDISI DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014,
hlm. 20.
[17] Untuk mengetahui
peraturan terkait kewajiban pembuatan bahan ajar pada mata kuliah pendidikan
Islam lihat “Surat Edaran: Bahan ajar mata kuliah wajib umum.” dalam http://belmawa.ristekdikti.go.id/2016/12/09/surat-edaran-bahan-ajar-mata-kuliah-wajib-umum/. Dipublikasikan 09 Desember 2016. Diakses 13 Desember
2018 pada pukul 12.31.
[18]Mujtahid. (2011). Reformasi
Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki. 103-104
[19] Efendi, Agus. (2005). Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI,
SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta. Hlm 2
[20] Jurgensmeyer, Mark. (2002). “Teror
Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise
of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam. Hlm 9
Buku Ajar Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (gambar dimodifikasi dari sumber ini) |
Top....
BalasHapus