*BANJIR EMBUN* -Cerpen- Namanya Jonathan. Usia 23 tahun. Paras ganteng menawan. Sosok pemuda yang digandrungi ABG usia 13 hingga 17-an. Figur yang membuat mereka semua jadi meleleh tak tertahankan.
Bagaimana tidak, bukan hanya fisik yang luar biasa yang ia punya. Akhlak mulia dan aqidah kokoh jadi panutan dan pegangan. Membuatnya makin disukai ABG yang masih terselamatkan.
Ia kaya raya tapi tak congkak. Ia pintar luar biasa tapi tak pelit membagi ilmunya. Ia tentunya ganteng tapi tak mau pacaran sebelum halal. Ia bagaikan sosok yang hanya pantas mendiami surga.
Hari ini adalah tepat satu tahun kelulusan kuliahnya. Tentu dari salah satu kampus yang unggul luar biasa. Ia tak perlu lagi khawatir mau melamar ke mana. Khawatir menentukan cara apa agar lamaran diterima.
Sebaliknya, banyak perusahaan yang malah melamarnya. Dijanjikan posisi dan gaji yang bikin mata terbuka. Hal itu karena ia memiliki kecerdasan dan bakat istimewa. Prestasinya sudah terkenal di mana-mana.
Ia berhasil menciptakan mesin canggih yang irit seirit-iritnya. Satu liter BBM bisa untuk mencapai ratusan kilometer jauhnya. Tetap irit meski mesin mengangkat berat kendaraan ratusan kilogram jumlahnya.
Belum lagi ia sedang menyempurnakan prototipe mesin generasi ke lima. Mesin berbahan bakar air saja. Tanpa campuran atau bantuan alat yang lainnya. Tentu kecuali alat pada mesin yang telah ia rekayasa.
Inilah yang menjadi incaran para pengusaha. Ia ibaratnya lumbung dollar yang berjalan. Harus diikat supaya tidak ke mana-mana. Hanya untuk menguntungkan perusahaan miliknya.
Tak disangka, ia tak tertarik dengan semua tawaran. Ia lebih memilih memberdayakan umat. Ia tak jual hak patennya. Ia merangkul umat untuk bekerja sama. Mendirikan perusahaan otomotif berbasis syariah.
Ia ajak lembaga Islam yang punya potensi basis keuangan. Ia yakinkan perusahaan yang akan dibangun bersama bakal menguntungkan umat di masa datang. Umat akan terangkat harga diri maupun tingkat ekonominya.
Namun misi ini banyak ganjalan. Bukan ganjalan masalah keuangan. Umat sudah mendukung ia sepenuhnya. Rintangan itu datang dari para mafia minyak dunia. Mereka takut bisnisnya akan gulung tikar.
Teror, ancaman, hingga kriminalisasi ia terima. Hidupnya jadi penuh ganjalan. Bahkan untuk menghabisi karirnya ia difitnah membantu teroris sebagai penyumbang dana. Niat jahat itu menghasilkan.
Setelah kejadian itu hari-harinya terbuang sia-sia bersama polisi dan pengacara. Dilanjutkan ke pengadilan untuk menghadapi tuntutan di persidangan. Sempat baginya untuk menyerah. Menjual hak patennya.
Akibat ulah penghianat akhirnya umat terbelah. Si penghianat telah terbeli harga dirinya. Dengan segepok uang yang diterima dari mafa. Ia tega menggadaikan kepentingan umat.
Pemuda itu menjalani hidupnya di sel tahanan. Bukan tahanan khusus di markas komando kepolisian. Ia ditahan bersama para Bromocorah. Tentu tak mudah bagi sosok seperti dia. Yang biasa hidup bergelimang.
Di dalam tahanan ia menunggu keputusan final pengadilan. Apakah ia akan dibebaskan tanpa syarat atau menjalani kehidupan dalam penjara. Selama bertahun-tahun yang mungkin tak ada remisinya.
Besok sesi pembelaan dari terdakwa akan dilakukan. Ia akan tunjukkan bukti pamungkas yang baru ia temukan. Ia tunjukkan bahwa dirinya tak bersalah. Ia telah difitnah oleh penghianat. Yakni, oleh muslim gadungan yang berjubah kemunafikan.
Tapi ia ragu mau mengeluarkan kartu AS itu atau tidak. Bukan takut karena buktinya akan bisa terbantahkan. Ia takut bukti itu akan makin memecah belah umat. Umat akan makin saling menjauh terpisah. Terbelah jadi dua.
Sosok yang baginya penghianat itu bukan orang biasa. Ia tokoh besar. Meski bukan tokoh agama yang bergelar mulia tapi ia punya massa. Tidak sedikit jumlahnya. Hampir 70% dari suara partai yang masuk lima besar.
Ia pun sholat istikharah dalam jeruji tahanan. Si ganteng ini sholat. Betul, ganteng-ganteng (tapi) sholat. Ia ragu, bukan ragu untuk memilih dua pilihan. Tapi ragu akan menunjukkan bukti itu atau tidak.
Setelah sholat istikharah dilakukan tak ada gejala apa-apa. Tidak ada mimpi maupun pertanda lainnya. Tak ada "kode" dari Tuhan. Memang, hasil sholat istikharahnya bukan demikian. Tak seperti hasilnya para Wali Tuhan.
Sholat itu menghasilkan kemantapan. Hatinya menjadi teguh penuh keyakinan. Ia memutuskan dengan tanpa keraguan. Ia akan membacakan pembelaan pada sidang. Tapi tanpa menyertai bukti yang jadi andalan.
Di sesi pembelaan itu ia membaca surat itu dengan tangisan. Bukan tangisan putus asa. Bukan pula tangisan ketakutan. Ia membaca dengan penuh harapan. Supaya umat tak terpecah belah. Saling menjatuhkan.
Ia rela dirinya dipenjara. Ia rela dirinya dikorbankan. Demi kepentingan umat. Ia berkeyakinan persatuan umat lebih utama dari dirinya. Bahkan lebih penting dari perkembangan ilmu pengetahuan sekalipun juga.
Seharusnya ia berpikir matematis, logis, dan penuh perhitungan. Itulah yang biasa dilakukan ilmuwan alam. Namun jiwa sosialnya lebih menang daripada naluri ilmunya. Itu semua berkat didikan agamanya.
Ia tak menyesal atas segala keputusan. Ia berjanji akan bangkit setelah keluar dari penjara. Berjuang membangun ilmu pengetahuan dan ekonomi umat. Merangkul dan menyatukan mereka. Umat akan sabar menantimu bang Jonathan.
Tamat. Selesai. The End.
Apakah menurutmu cerita ini Happy Ending?
Bagi kalian yang tak ahli matematika maupun permesinan jangan berkecil dada. Prestasi itu tidak harus berupa benda fisik atau kecanggihan tekhnologi yang berdaya guna. Ilmu sosial juga bisa.
Kalian masih bisa berperan nyata. Ikut memberdayakan masyarakat dengan potensi yang kamu punya. Tinggal penyesuaian saja. Bakatmu cocok untuk bidang apa. Lapangan (terapan) atau kajian ilmiah (teoritis).
Cerita ini hanya fiktif belaka. Pemilihan nama serta atribut lainnya sudah dipikirkan matang-matang. Terima kasih telah membaca. Mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga bisa menghibur.
|
GGS Ganteng-ganteng Sholeh (gambar dimodifikasi dari sini) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Cerpen: Ganteng-ganteng Baik Hati"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*