"Bagai burung dalam sangkar emas" peribahasa itu sering kita dengar waktu belajar di SD maupun di lirik lagu lama. Memang judul tulisan ini terinspirasi dari perumpamaan tersebut. Bedanya hanya pada kata biawak dan burung yang keduanya merupakan sama-sama binatang. Mereka pun bernasib sama. Dikurung dalam perhiasan dunia.
Judul tulisan ini saya ambil dari pernyataan teman short course di Bogor. Kami saat ini masih menjalani kegiatan tersebut. Di lokasi itu tepatnya di depan gedung pelatihan ada biawak yang terkurung dalam sangkar. Keadaannya "mengenaskan". Gerak biawak tampak lambat. Merana tanpa ditemani pasangan.
Biawak dalam sangkar di lokasi Short course (foto koleksi pribadi) |
Dari situ dijadikan bahan candaan. "Kita ini di sini bagai Biawak dalam sangkar". Di karantina kerjaannya hanya makan, minum, diskusi, dan menerima materi. Semuanya dilakukan di gedung yang sama. Di lantai bawah untuk tempat tidur sedang lantai atas untuk kegiatan pelatihan. Setiap hari selama puluhan hari. Tentu juga tanpa ditemani istri.
Begitu enak kelihatannya, tapi sebenarnya rasa bosan menghampiri. Untung ada beberapa peserta short course yang pintar bercanda. Mampu membuat percakapan, diskusi, bahkan saat menerima materi menjadi renyah dan pecah penuh tawa. Namun, setelah selesai tertawa rasa bosan kembali tiba.
Manusiawi bila di tengah kenikmatan ini masih tetap merasa jemu. Makan prasmanan dan kadang nasi kotak yang menunya variatif belum bisa mencairkan hati. Camilan maupun kudapan tetap saja membuat hati sebagian dari kami bergeming. Juga agenda studi ilmiah ke PBNU, Pascasrjana UIN Jakarta, dan Wahid Institute (sekarang menjadi Wahid Foundation) yang kami jalani sekalipun tidak mempan.
Itulah cerita kehidupan. Kenikmatan dan jaminan yang diberikan belum tentu bisa menghilangkan kebosanan. Di sisi lain ingin menjadi lebih baik setelah ikut short course. Namun, menjalani tidak semudah melihatnya. Selain juga kami harus keluar uang untuk mengganti biaya penginapan, makan, dan penyelenggaraan short course.
Untungnya pemerintah melalui kemenag membantu. Jadi kami tidak perlu memikirkan cara cari uang lagi. Semoga setelah mengikuti pelatihan ini kami bisa menjadi lebih baik. Menjadi manusia pembangun peradaban. Menjadi peneliti yang luar biasa. Menghasilkan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta masyarakat. Tentunya tidak menjadi dosen jago kandang. kandan
Terima telah membaca. Semoga bermanfaat
Begitu enak kelihatannya, tapi sebenarnya rasa bosan menghampiri. Untung ada beberapa peserta short course yang pintar bercanda. Mampu membuat percakapan, diskusi, bahkan saat menerima materi menjadi renyah dan pecah penuh tawa. Namun, setelah selesai tertawa rasa bosan kembali tiba.
Manusiawi bila di tengah kenikmatan ini masih tetap merasa jemu. Makan prasmanan dan kadang nasi kotak yang menunya variatif belum bisa mencairkan hati. Camilan maupun kudapan tetap saja membuat hati sebagian dari kami bergeming. Juga agenda studi ilmiah ke PBNU, Pascasrjana UIN Jakarta, dan Wahid Institute (sekarang menjadi Wahid Foundation) yang kami jalani sekalipun tidak mempan.
Itulah cerita kehidupan. Kenikmatan dan jaminan yang diberikan belum tentu bisa menghilangkan kebosanan. Di sisi lain ingin menjadi lebih baik setelah ikut short course. Namun, menjalani tidak semudah melihatnya. Selain juga kami harus keluar uang untuk mengganti biaya penginapan, makan, dan penyelenggaraan short course.
Untungnya pemerintah melalui kemenag membantu. Jadi kami tidak perlu memikirkan cara cari uang lagi. Semoga setelah mengikuti pelatihan ini kami bisa menjadi lebih baik. Menjadi manusia pembangun peradaban. Menjadi peneliti yang luar biasa. Menghasilkan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta masyarakat. Tentunya tidak menjadi dosen jago kandang. kandan
Terima telah membaca. Semoga bermanfaat
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Bagai Biawak dalam Sangkar Emas"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*