Oleh:
Redaktur Banjir Embun
Figur akademis merupakan sosok idealis yang sulit digoyahkan. Baik dari segi logika maupun etikanya. Ia punya pandangan hingga prinsip kehidupan. Tatapannya luas jauh ke depan. Tentu yang seperti itu tak dimiliki kaum awam.
Ia tak akan tergoda melawan akal sehat. Tak pula tergiur menentang gemuruh suara nuraninya. Ia mau dan mampu bertindak sesuai dengan apa yang ia tahu, ia utarakan, dan ia tuliskan. Tak akan bisa terayu dengan tindak kebodohan.
Syarat menjadi akademisi tidak hanya sekedar pintar. Tapi juga harus tahu diri dan cerdas. Menjadi akademisi tidak boleh untuk memperkaya. Tidak pula untuk menduduki jabatan. Sebab akademisi itu ibarat malaikat. Setiap tingkah polahnya dianggap kebaikan dan kebenaran.
Akademisi sejati seharusnya tak memikirkan uang tambahan. Akademisi betulan tak akan berbuat keserakahan. Baginya yang terpenting kebutuhan sandang, pangan, dan papan terpenuhi secukupnya. Tak akan diraih berlebihan.
Akademisi adalah "juru bicara" Tuhan. Ia tak pantas tampil bersandiwara. Bermulut dan bermuka manis tapi ternyata busuk hatinya. Tega menginjak yang lainnya. Demi merebut jatah jabatan dan anggaran. Bahkan rela memihak kepentingan politik tertentu demi itu semua.
Akademisi harusnya dalam keseharian disibukkan untuk kepentingan masyarakat luas. Menyisakan porsi secukupnya untuk diri dan keluarga. Bukan menguras potensi untuk kepentingan segolongan dan satu kepentingan. Supaya posisi dan pemasukan tetap aman.
Jadilah akademisi yang rela berkorban. Bukan menjadi akademisi instan yang dipenuhi kemunafikan. Berakademisi guna dijadikan profesi sebagai ladang pengerukan. Bila apa yang ia terima sesuai pengorbanan maka hal itu masih bisa diperdebatkan.
Nyatanya, prinsip ekonomi digunakan. Dengan sedikit pengorbanan (pengeluaran) untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Bahkan, cara kotor dan menjijikkan dihalalkan. Melanggar etika baginya sudah biasa. Asal bisa ditutupi jubah kemunafikan.
Akademisi instan merupakan akademisi penuh kemunafikan. Ia tak mau bersusah payah repot-repot melakukan pekerjaan dengan semestinya. Ia tak peduli pada landasan moral kehidupan. Ia tahu itu salah tapi tetap menerjang.
Memanipulasi, mengakali, dan berbuat curang baginya sudah biasa. Sekali lagi, asal bisa tampil santun, sedikit bagi-bagi, dan tetap berbusana akademis semua akan terlupakan. Semua akan memaafkan. Tahu sama tahu keadaan. Supaya tak ada yang saling menyalip di tikungan.
Itulah kondisi akademis yang sungguh mengerikan. Untungnya itu tidak terjadi di negara kita. Tidak pula di dunia. Kejadian itu hanya ada di luar angkasa. Entah di sebelah mana. Haruskah kita geruduk bersama? Biar mereka tahu sulitnya jadi Akademisi di dunia. Atau sekalian kita caci maki mereka agar hati lega?
Terima kasih telah membaca. Mohon maaf atas segala kekurangan. Semoga bermanfaat. Salam hangat dari kami tim redaktur *Banjir Embun* yang senantiasa memberi terbaik bagi kalian.
Kemunafikan itu mendorong ketidakjujuran dan iri hati (gambar dimodifikasi dari sini) |
yang marah dan protes pasti sedanh tersindir....
BalasHapus