Katak dalam tempurung. Merasa sudah melihat semua. Ternyata yang dilihat hanya batok kelapa. Merasa suaranya paling besar dan tak ada yang bisa menandingi. Ternyata suara itu terperangkap dalam tempurung. Katak seperti itu tak bisa mendengar suara dari luar yang lebih greget darinya.
Ironi, masih ada kaum yang mengaku intelektual terjebak pada kenyamanan hidup seperti katak itu. Merasa diri paling berjasa bagi lembaganya. Padahal di luar sana banyak lembaga berdiri megah. Proses berdirinya hingga menjadi besar tidak mudah. Penuh perjuangan berdarah-darah.
Merasa diri paling pintar di antara sesama. Padahal di luar sana banyak akademis yang luar biasa. Banyak prestasi dan karya yang tak terhitung jumlahnya. Proses memperolehnya tidak mudah. Butuh kesabaran, kerajinan, kecerdasan, dan ketulusan.
Baginya, hanya dia yang luar biasa. Meski nyatanya dirinya tak sebanding dengan orang di luar sana. Ternyata ia hanya bagian kecil dari kumpulan kebesaran. Bahkan lembaganya cuma menjadi upil di keramaian kota. Itulah realita kehidupan golongan kaum termarjinalkan.
Kaum yang bukan dipinggirkan oleh sistem maupun keadaan. Namun, sesungguhnya dia sendirilah yang meminggirkan diri maupun lembaganya. Kadang ada rasa telah ditinggalkan, dikucilkan, hingga terabaikan. Meski seperti itu tetap pongah merasa bisa hidup sendirian.
Seharusnya, ia melepas diri masuk dalam pergaulan luas. Melintasi sekat dengan misi mencari ilmu pengetahuan tak terbatas. Mencari sesuatu yang dibutuhkan diri maupun lembaga. Hal itu dibutuhkan agar perkembangan jadi terasa. Tidak hanya dalam posisi "mati tak mau, hidup pun enggan membesar".
Kehidupan katak dalam tempurung tak jauh berbeda dengan yang disebutkan di atas. Merasa nyaman dalam batok sehingga terbuai dengan kenikmatan yang penuh kepalsuan. Menutup diri dari kawanan. Biarlah terasa lapar yang penting terlindungi dari hujan.
Padahal bila kita melihat dari sudut berbeda. Hujan bukanlah musibah yang harus dihindarkan. Ia adalah anugerah Tuhan tiada tara. Seharusnya memperjuangkan dan menikmatinya. Bukan malah menghindar dan lari dari kenyataan.
Itulah nasib katak dalam batok kelapa. Tragis dan penuh derita. Meski si katak sendiri mungkin merasa bahagia. Namun, akan jauh lebih bahagia bila tempurung itu dilepaskan. Dengan itu, tidak ada lagi sekat yang menutupi pandangan ke depan.
Wahai akademis, bebaskan dirimu dari batok kelapa. Bukan hanya tempurung dalam arti fisik semata. Tempurung non fisik juga harus dihilangkan. Semua itu adalah sekat yang jadi penghalang. Sesekali lihatlah dunia tanpa batok kelapa.
Terima kasih telah membaca tulisan ini. Mohon maaf atas kekurangan. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Ilustrasi katak dalam tempurung (sumber gambar) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Akademisi Bermazhab Katak dalam Tempurung"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*