Mengapa Bakat itu Harus Diperjuangkan?
Sahabat *Banjir Embun* jangan lupa hidup di dunia ini sekali. Tak dapat diulang lagi. Diperkirakan usia tak sampai 100 tahun lamanya. Sayang bila hidup yang hanya secuil tak bisa dinikmati. Hati tersiksa hidup merana. Sebabnya, karena memendam bakat begitu saja tanpa memperjuangkannya.
Hidupnya tersandera rutinitas keseharian yang tak sesuai bakat bawaan. Lebih ngeri lagi, ditambah mengerjakan sesuatu yang mestinya menjadi tanggung jawab dan kewajiban orang lain. Terpaksa mengerjakannya karena hanya itu pekerjaan kosong yang ada. Meski sebenarnya ia juga tak mampu-mampu amat melakukannya.
Lalu apa salahnya mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai bakatnya? Yang penting bisa melakukannya dengan baik dan benar. Toh nanti hasil akhirnya juga tidak buruk-buruk amat. Daripada menganggur lontang-lantung tak tentu arah. Lebih baik mengisinya dengan kegiatan. Meski sekalipun kegiatan itu tak sesuai dengan bakatnya.
Inilah bahayanya bila yang dipandang hanya hasil akhir. Tanpa melihat proses. Tanpa melihat potensi diri. Sebab, proses yang dapat dinikmati membuat hidup jadi bahagia. Proses yang memaksakan diri akan membuat hati tersiksa. Terpaksa hanya untuk alat pelarian semata. Tak cuma hati yang tersiksa. Otak pun harus bekerja ekstra untuk melakukannya.
Demi memenuhi keterpaksaan itu, maka kebosanan dan siksaan mau diterima penuh kepasrahan. Seakan tak ada lagi cara untuk menggapai cita-cita yang sesuai bakatnya. Memang sakit rasanya. Menjalani aktivitas sehari-hari penuh drama dan sandiwara. Aktivitas seadanya untuk mengisi waktu kosong belaka.
Bisa dikatakan, orang yang menyerah tak mau memperjuangkan bakatnya adalah orang sakit. Sakit tapi tidak berdarah. Menderita tapi tidak sampai busung lapar. Terlebih bila pendapatan yang diterima tidak begitu besar. Lengkap sudah. Tersiksa tanpa mendapat kompensasi pengganti kecuali sedikit. Bila terus-terusan begitu hidupnya akan sesuai dengan peribahasa "bagaikan katak dalam tempurung".
Tidak hanya bagaikan seekor katak. Keadaan seperti itu mirip Singa di arena sirkus. Singa itu sebenarnya punya bakat luar biasa. Bisa menaklukkan semua hewan. Bisa dikatakan ia berbakat jadi raja hutan. Namun kenyataannya, ia malah membunuh bakatnya sendiri. Dengan alasan karena dipaksa keadaan. Tanpa berjuang untuk hidup bebas sesuai dengan bawaan (bakat) alaminya.
Itulah sebabnya, perlu menjadi kesadaran bahwa setiap manusia harus bisa menemukan, mengembangkan, dan menguasai bakatnya. Perlu digarisbawahi pula bahwa tidak ada bakat yang sepele dan tidak ada bakat yang tak berharga. Semua bakat apapun itu memiliki makna dan nilai guna. Terlebih bila menjadi ahli atau pakar di bidang bakatnya.
Entah itu bakat melukis, bernyanyi, berpidato, berceramah, menulis, mengecat, progaming komputer, atau apapun itu. Semuanya akan memiliki arti. Tentu bila setiap bakat yang ditemukan itu bisa dikuasai. Kemudian ditekuni dan disalurkan dengan tepat. Digunakan untuk hal-hal positif. Misalnya membuat animasi game yang bernafas Islami.
Contoh Nyata Kisah Kegagalan Memeperjuangkan Bakat
Terdapat sebuah cerita nyata. Dulu kala ada anak usia 9 tahun bercita-cita menjadi tentara. Alasannya, karena ia sangat suka pada dunia para petualang. Dunia travelling, berkemah, jelajah alam, dan suka terhadap kedisplinan. Dunia yang diperkirakan sesuai dengan kemampuan dan hobinya.
Menghadapi tantangan dari harapan itu ia kebingungan. Bagaimana cara mengekspresikan diri memperjuangkan citanya sehingga bisa terwujud nyata. Namun, sebenarnya ia juga sadar. Meski tidak bisa menjelaskan secara lisan karena usia masih belia. Bahwa harapannya itu belum tentu sesuai dengan kemampuan/bakat bawaan.
Apa yang ia sukai/minati belum tentu cocok sesuai dengan "dunia"-nya. Pendek kata antara minat (kesukaan) dengan bakat belum tentu berbanding lurus. Jangan-jangan keinginan jadi tentara hanya sekedar minat? Itulah mungkin pertanyaan yang muncul dalam benaknya.
Ia mulai bingung. Bertanya-tanya bakat apa yang paling cocok untuknya. Yang ia tahu. Ia punya pribadi yang tidak pandai tampil di depan umum. Selalu gugup meski itu di depan teman sendiri. Bahkan sering tak terkontrol gaya bicaranya. Ia merasa tak cocok jadi pembicara.
Dia menyimpulkan bahwa dirinya tidak ahli bicara dan tampil di muka umum. Oleh sebab itu, ia berinisiatif mencari lahan aktualisasi lain. Menjadi tentara adalah jawabannya. Profesi yang tidak banyak bicara. Lebih banyak gerak fisik dan menonjolkan keseriusan maupun kedisiplinan.
Itu dunia aku banget. Gumam anak kecil di dalam hatinya. Entah cita-cita itu hanya sebagai kompensasi (hiburan) atas kelemahannya, atau memang akan menjadi jalan hidupnya. Ia masih menggemari dan terobsesi menjadi tentara. Terlebih lagi saat melihat aksi tentara yang ikut membangun desanya.
Beranjak remaja. Seiring banyak informasi yang diterima dan komunikasi yang ia lakukan. Cita-citanya mulai berkembang. Ia ingin menjadi wartawan, menjadi anggota/agen intelijen, dan petani. Pekerjaan yang menuntut sedikit bicara. Pekerjaan di luar panggung, sehingga tak perlu lagi latihan otak-atik mimik muka. Tak perlu latihan mengatur intonasi suara.
Tidak hanya itu. Ia juga ingin jadi ahli komputer. Apapun itu pokoknya terkait komputer. Entah itu desain grafis, teknisi komputer, hingga programer. Namun, sayang arah hidupnya masih seperti saat masih anak-anak. Ia tak tahu bagaimana cara belajar dan mewujudkan keinginan itu. Terlebih lagi orang tuanya tak mengarahkannya.
Menjelang remaja akhir (menuju dewasa awal). Setelah lulus kuliah S1 ia bingung mau ke mana dan jadi apa. Kuliahnya di bidang pendidikan. Memang seharusnya jadi guru. Tapi sebenarnya ia tidak ingin jadi guru yang bergelar pahlawan tanpa tanda jasa itu. Nyatanya ia malah jadi guru. Gara-gara terpaksa. Terlebih lagi orang tuanya juga menginginkan dia seperti itu.
Dengan kemampuan lisannya yang pas-pasan ia nekat jadi guru. Perlu ditekankan saat kuliah ia tidak pernah belajar cara bicara. Apalagi bicara di depan umum. Ia memaksa diri menjadi guru untuk menuruti kemauan orang tuanya. Serta gara-gara ia tak punya prinsip kehidupan. Akibatnya bingung tak tahu harus ke mana selain "mengekor" pada orang tua.
Ia sadar tak cakap dalam bidang lisan. Oleh sebab itu, saat menjadi guru ia menonjolkan diri pada bidang lain. Kedisiplinan, keseriusan, dan ketekatan yang ia jadikan senjata. Serta kepedulian terhadap siswa-siswinya. Selain itu ia tak mampu apa-apa kecuali hanya standar saja. Bahkan untuk hal tertentu sangat lemah kemampuannya.
Ia tak punya inisiatif untuk berjuang menggapai keinginan-keinginan itu. Ia pasrah. Ia menyerah untuk mengorbankan tubuh dan jiwanya ditertawakan orang lain. Bahkan ia pun ikut menertawakan diri sendiri sambil bertanya-tanya. "Kenapa hidupku begini, sudah tahu tersiksa karena melawan hati kecil kok tetap dijalani?"
Ia sebenarnya tahu dirinya tidak menguasi pekerjaannya secara baik. Akhirnya, hasilnya kurang optimal. Ia sadar itu. Tapi ia tak tahu lagi harus ke mana. Hal itu bisa terjadi karena ia tak punya wawasan luas. Ia terpenjara dalam ketakutan tanpa alasan. Ia lebih memilih memendam dalam-dalam bakatnya dan lebih memilih hidup dalam keterpaksaan.
Semoga ia bisa segera menemukan jalan keluar. Menemukan jalan kehidupan yang sesungguhnya. Menemukan dunia (baca: bakat) yang seharusnya ia temukan. Kemudian bisa menjadikannya sebagai aktivitas hidup sehari-hari yang menyenangkan dan menggairahkan. Dengan itu, harapannya hasil yang ia peroleh bisa membawa manfaat bagi masyarakat. Bukan hanya untuk menebalkan dompetnya sendiri saja.
Ini pesan pamungkas kami untuk kalian. Mumpung belum terlambat segera temukan bakat kalian. Supaya apa yang kalian lakukan hingga tua nanti senantiasa seiring sejalan dengan panggilan jiwa. Ingat, bakat dengan minat itu beda. Bakat adalah bawaan dari lahir sebagai bekal hidup yang 'murni" pemberian Tuhan. Sedang minat adalah pilihan. Entah pilihan yang disukai atau tidak. Jadilah manusia yang sebenarnya. Bukan menjadi mesin yang memiliki kecerdasan buatan.
Sebagai penutup, ada sebuah pernyataan yang penuh makna. Yakni, "Kalau hidup hanya sekedar untuk mencari makan. Burung pun melakukannya. Bila hidup hanya sekedar untuk kerja banting tulang. Sapi atau kuda juga melakukannya. Perutnya kenyang. Tapi apakah hati nuraninya juga ikut menikmati?" Jangan mau disamakan dengan burung, sapi, dan kuda.
Terima kasih telah membaca. Semoga bisa membawa manfaat. Mohon maaf atas segala kekurangan.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Temukan Bakatmu Agar Nikmat Hidupmu"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*