Oleh: A. Rifqi Amin
Sahabat *Banjir Embun* (Sabem) bila dipikir-pikir dengan cermat kehidupan dunia ini beserta isinya sangat teramat luas dan rumit. Seberapa luaskah alam semesta ini? Maupun seberapa banyak bintang beserta planetnya? Belum ada satu pun orang tahu kepesatiannya.
Lembaga ilmu pengetahuan mana pun tak ada yang bisa mengukurnya. Kecuali hanya memperkirakan. Belum lagi kenyataan bahwa manusia belum bisa menerangkan secara pasti tentang asal mula alam semesta tercipta. Semua masih berupa perkiraan dan itu teramat jauh dari kepastian.
Bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta ini dari awal hingga sekarang?
Pertanyaan di atas masih dalam bentuk pertanyaan untuk benda fisik (bisa disentuh, dilihat, diukur, dan sebagainya). Lantas bagaimanakah fenomena alam semesta ini yang di luar fisik? Kita ambil saja salah satu contohnya tentang waktu. Yups, waktu adalah bagian penting dalam kehidupan.
Apa itu waktu? Bagaimana waktu bisa ada? Mengapa waktu ada? Apakah waktu dapat digeser? Apakah waktu dapat dihentinkan? Merupakan pertanyaan rumit yang sebenarnya tidak harus dijawab. Namun, dengan jawaban itu manusia bisa memahami waktu sampai ke akar-akarnya.
Dapat dikatakan, teori tentang pergeseran waktu sebagaimana pada judul tulisan ini merupakan bidang kajian imajenatif secara fakta. Akan tetapi ia masih sangat terbuka lebar untuk tetap dapat didalami menggunakan pendekatan ilmu alam, sosial, atau bahkan mistisisme (keagamaan).
Memang harus diakui bahwa ada sebagian berpendapat bahwa teori tentang Butterfly Effect dan Mandela Effect merupakan salah satu bentuk pseudoscince (sains palsu). Alasannya, konsep tersebut tidak bisa dijelaskan secara pasti, baku, dan tak memenuhi syarat keilmiahan.
Kendati seperti itu, kami tidak ambil pusing. Penulis meyakini apapun itu yang bisa membawa manfaat masyarakat secara luas maka itulah ilmu yang sebenarnya. Tidak peduli bagaimana metode dan asal usulnya. Ketika itu berkontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan maka harus diteliti bahkan harus digunakan.
Sebagaimana menurut filosof modern Thomas Kuhn bahwa yang terpenting dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah adanya "paradigma" bukan metode maupun keobjektifan dalam memandang sesuatu.
Baca juga:
Gagasan Thomas S. Kuhn Tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Waktu adalah suatu entitas yang harus ada di dunia ini. Berbicara waktu pasti kita pernah melihat film tentang pergeseran waktu. Misal film dari indonesia berjudul Lorong Waktu hingga film luar negeri seperti The Terminator, The Butterfly Effect, Live Die Repeat, dll.
Film tersebut menyajikan tentang salah satu pemainnya bisa berpindah waktu. Bisa dikatakan melakukan time travel (perjalanan waktu) dari masa kini ke masa lalu atau sebaliknya melompat ke masa depan. Sungguh hal yang luar biasa sekaligus mengerikan bukan?
Memang di zaman sekarang secara realita peristiwa tersebut merupakan peristiwa fiksi ilmiah. Namun secara teori dan pendapat dari berbagai ahli di zaman dulu hingga sekarang konsep tentang time travel sangat mungkin dilakukan. Banyak teori yang mengusulkan cara menuju "tabung" waktu.
Masalahnya bagaimana cara membuat alat "mesin waktu" yang super canggih tersebut?
Silakan temukan jawabannya di postingan kami berjudul "Kalian Dibohongi, Mesin Waktu itu Mustahil Bisa Tercipta".
Nah, lantas apa hubungan antara pemaparan panjang lebar di atas dengan teori Butterfly Effect dan teori Mandela Effect? Kedua teori tersebut merupakan teori yang sangat terikat dengan waktu. Bisa dikatakan bila tidak ada waktu maka kedua teori itu juga tidak ada.
Butterfly Effect berbicara tentang bagaimana proses berjalannya waktu bisa mengganggu atau sebaliknya membenahi sebuah sistem yang mapan. Bahkan bisa merubah segalanya menjadi sesuatu yang jauh berbeda dari yang seharusnya tetap atau yang telah terbentuk secara baku di awalnya.
Sedang Mandella Effecf berbicara tentang sebuah kenyataan yang diyakini dan terekam dalam ingatan manusia telah mengalami proses perubahan. Di mana perubahan tersebut dipercayai terjadi karena adanya pergeseran waktu baik yang disengaja maupun secara alami.
Teori Butterfly Effect muncul karena terinspirasi dari peristiwa Edward Norton Lorenz (sang penemu teori Butterfly Effect) saat meneliti ilmu cuaca (meteorologi). Yakni, tatkala ia memperhatikan cetakan kertas hasil perhitungan matematis. Di mana, angka desimal yang muncul di hasil cetakannya sangat panjang dan rumit.
Dari permasalahan itu muncul di benaknya untuk melakukan sesuatu. Dengan maksud menghemat waktu dan kertas maka timbul inisiatif untuk menghilangkan beberapa digit angka. Yakni, beberapa digit angka desimal di belakang koma (misalnya angka 0,6411712 diperpendek menjadi 0,641).
Sungguh di luar dugaan. Satu jam setelah itu ia menemukan hasil yang sangat berbeda dengan hasil biasanya. Memang beberapa menit pasca angka dirubah hasil angkanya tidak menunjukkan keanehan yang berarti. Namun, lambat laun sedikit demi sedikit terjadi pergeseran pola, hingga terbentuklah pola (corak) lain yang berbeda sama sekali.
Dari peristiwa ini muncullah suatu anggapan bahwa suatu tindakan di awal memiliki faktor determinan di akhir. Artinya adalah suatu kejadian, peristiwa, atau tindakan yang dilakukan oleh manusia maupun alam di awal sangat memengaruhi terhadap kejadian, peristiwa, atau tindakan yang dilakukan oleh manusia maupun alam di masa yang akan datang.
Singkat cerita, akhirnya Lorenz menggunakan pertanyaan puitis sekaligus ilmiah tentang "Apakah kepakan sayap kupu-kupu di Brasil bisa menyebabkan/menimbulkan/menyulut terjadinya topan di Texas (Amerika)?". Suatu pertanyaan aneh, tapi ketika direnungkan sangat dapat diterima akal.
Asumsinya, satu kepakan kupu-kupu di Brazil pada tahun 2010 pada musim semi lambat laun bisa menyebabkan topan di Texat pada tahun 2018. Di mana, satu kekuatan tekanan udara dalam kepakan kupu-kupu menyebabkan pergeseran angin.
Angin yang bergeser di sekitar kupu-kupu menyebabkan pergeseran/perubahan pola angin di luar sekitar kupu-kupu. Tekanan angin di luar sekitar kupu-kupu menyebabkan pergeseran pola angin di posisi yang lebih jauh lagi dan seterusnya.
Lambat laun tibalah pergeseran angin itu di Texas yang menjelma menjadi sebuah badai. Jadi angin topan itu tidak langsung terjadi seketika saat si kupu-kupu mengepak. Butuh waktu, butuh "bantuan" komponen lain, dan butuh "kepastikan/ketepatan" (bukan kebetulan) agar topan itu tercipta dari hentakan awal sayap kupu-kupu.
Bisa dikatakan teori tersebut menggambarkan tentang bagaimana waktu di awal (pertama/awal mula) meskipun itu sederhana dan sepele, akan sangat penting dan menentukan (memengaruhi) hasil akhir. Dengan demikian, tak boleh meremehkan awal. Sebab awal itu adalah kunci sukses di kemudian hari.
Proses waktu yang berjalan seakan dengan sendirinya bisa merubah segala sesuatu yang awalnya: a. Sederhana menjadi rumit, b. Sedikit menjadi banyak, c. Kecil menjadi besar, d. Ringan menjadi berat, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya. Semua tergantung pada awalan (termasuk niat) dan "takdir".
Sungguh hal yang luar biasa tatkala kita mau merenungkan dan mengambil hikmahnya. Oleh sebab itu, setiap rencana atau program yang kita tentukan sebenarnya ditentukan oleh bagaimana pertama kali kita melakukannya. Itu bisa jadi pemantik untuk langkah-langkah berikutnya.
Adapun teori Mandela Effect muncul karena terinspirasi dari peristiwa meninggalnya pahlawan HAM dalam melawan politik apartheid yaitu Nelson Mandela. Di mana, secara formal baik di surat resmi maupun media masa "tertulis" bahwa Mandela wafat pada tanggal 05 Desember 2013 di usia 95 tahun.
Anehnya, ada sebagian masyarakat dunia meyakini (berdasarkan ingatan/memori yang tersimpan di otak) bahwa Mandela sudah meninggal sejak lama. Sebagian besar meyakini bahwa nafasnya terakhir berhembus di penjara pada tahun 1979-an. Akibatnya, saat mendengar berita meninggalnya Nelson pada 2013 mereka merasa kaget.
Sejujurnya, kabar meninggalnya Mandela di tahun itu juga membuat kami terkejut. Menurut informasi/ingatan yang saya simpan Mandela meninggal pada tahun 90-an. Keyakinan itu muncul karena sosok berkulit hitam itu tidak pernah muncul lagi sejak tahun 2000-an.
Tentu saja, pada saat ada kabar meninggalnya kami bertanya "Loh, ternyata Mandela masih hidup?" Kami mengingat ia sudah lama sekali menjadi mantan presiden afrika selatan. Pada tahun 90-an menurut ingatan kami dia sering muncul di siaran berita chanel TVRI. Setelah itu dia sudah lama tidak muncul di berita lagi sehingga hilang dari ingatan.
Teori ini memang sangat kontroversial. Lebih cenderung "menghibur" kalangan pecinta fiksi ilmiah. Tak pelak banyak pendapat (penjelasan) tentang mengapa bisa terjadi fenomena perbedaan tanggal meninggal Mandela. Baik itu yang sekadar humor, kajian fiksi ilmiah, maupun yang serius.
Teori yang mengaku paling ilmiah mengatakan bahwa ini terjadi karena adanya proses dinamika psikologi dalam tiap individu semata. Sedang teori-teori di luar yang berkembang secara liar mengatakan bahwa CERN telah berhasil membuat mesin waktu serta telah menguji cobanya dengan melakukan perjalanan ke waktu sebelum tahun 1979.
Dari perjalan waktu yang telah dilakukan itu berakibat fatal. Salah satu traveller waktu telah merubah salah satu kejadian sejarah di masa lalu yang seharusnya tidak boleh diubah. Efek domino pun muncul. Satu kejadian sejarah diubah telah mempengaruhi perubahan sejarah lainnya.
Salah satu fakta sejarah yang berubah adalah terjadi perubahan usia Nelson Mandela. Seharusnya ia wafat sebelum tahun 2013. Akan tetapi karena efek domino tersebut usianya bertambah panjang yaitu menjadi 95 tahun.
Yup, bila dipikir-pikir memang mencengangkan bahkan mengerikan sekali sahabat *Banjir Embun*. Kalau memang itu benar, betapa rumitanya cerita kehidupan ini. Bakal bikin pusing bila dipikir dalam-dalam. Lebih pusing dari pada mikirin hutang. he he
Selain teori liar di atas masih ada teori lain yang cukup menghibur. Yakni, teori tentang dunia multiverse (semeste beragam). Teori itu meyakini bahwa semesta ini tidak tunggal tapi beragam (lebih dari satu). Serta meyakini bahwa dunia atau realitas paralel itu ada.
Artinya, setiap individu memiliki kembaran di semesta lainnya (secara paralel). Di mana jumlah semesta lainnya itu tak terhingga. Akibatnya, bila antara dunia paralel satu dengan yang lain berbenturan maka terjadilah peristiwa Mandela Effect.
Ketika, satu semesta paralel berisi tentang peristiwa matinya Mandela pada tahun 1970-an. Sedang paralel lain berisi tentang peristiwa matinya Mandela pada tahun 2013. Ketika kedua realitas tersebut berbenturan maka terjadilah kekacauan seperti yang digambarkan di atas.
Demikan sahabat *Banjir Embun* (sabem) tulisan ini kami sampaikan. Semoga bisa bermanfaat pada kalian. Terima kasih telah membaca.