Pada prinsipnya, Islam mengakui terdapatnya
kecerdasan beragam pada setiap peserta didik (manusia). Dalam sejarahnya pun,
turunnya wahyu tentang larangan minum khamr
(minuman memabukan) tidak serta merta langsung secara “mendadak.” Namun,
dilakukan secara berangsur-angsur. Ini artinya, Islam menghendaki perubahan
manusia orientasinya bukan pada hasilnya saja, tetapi juga proses yang
berkualitas. Di mana kondisi psikologis serta fisik para peminum khamr sangat diperhatikan. Inilah bukti
bahwa dalam “mendidik” umat, agama Islam sangat memperhatikan unsur-unsur
kemanusiaan.
Penjelasan tersebut bila dikaitkan dengan teori multiple intelligences, maka seorang
pendidik tidak serta merta harus tertuju pada hasil apa yang diinginkan. Melainkan,
juga memperhatikan cara atau proses apa yang paling bagus (manusiawi) agar
kondisi fisik dan psikologis peserta tidak mengalami salah orientasi. Harapannya,
dalam jangka panjang bisa tercapai hasil /tujuan yang lebih bagus. Misalnya,
pendidik yang ingin mewudukan tujuan PAI yaitu supaya peserta didiknya menjadi manusia
yang beriman pada Allah. Pendidik tidak akan serta merta mendoktrin peserta
didik supaya bisa beriman pada Allah, tapi juga dilakukan pendekatan lain.
Yakni, yang sesuai dengan kemampuan (kecerdasan) peserta didik dalam memahami
dan menjawab “Bagaimana cara beriman kepada Allah?.”
Sebagai penutup, dari semua penjelasan di atas terdapat
beberapa kesimpulan penting, di antaranya adalah:
1. Konsep dasar tentang teori
kecerdasan beragam (multiple intelligences).
Telah terjadi perubahan paradigma kecerdasan, yang
berimplikasi adanya perubahan “posisi” peserta didik di dunia pendidikan. Di
mana awalnya peserta didik hanya sebagai objek untuk “proyek” peningkatan
kecerdasan, menjadi subjek atas “proyek” pengembangan kecerdasan. Asumsinya,
peserta didiklah yang harus aktif dalam mencari dan mengembangkan kecerdasan
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pendidik hanya mengarahkan dan
membimbing peserta didik dalam menemukan dan mengembangkan bidang kecerdasan
yang masing-masing peserta didik miliki.
2. Paradigma baru pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
Pembelajaran PAI dilakukan tidak hanya untuk
memenuhi tuntutan moralitas dan ritualitas. Lebih dari itu, pembelajaran PAI
merupakan penanaman nilai-nilai PAI secara universal. Dengan demikian, tujuan
PAI bukan hanya dalam misi mencerdaskan peserta didik secara IQ. PAI juga hendak mencerdaskan peserta didik
sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Itu artinya, peserta didik tidak
hanya diarahkan untuk memahami bahkan menjadi ahli ilmu agama. Melainkan,
mereka diberi ruang mengaktualisasikan bidang kecerdasan yang ia kuasai pada
dunia nyata kelak. Implikasinya, pembelajaran PAI secara praktik juga mengalami
perubahan-perubahan. Tidak hanya tertuju pada hasil, tapi juga mementingkan
proses yang tepat. Kendati demikian, pada pembelajaran PAI dalam proses perubahan
atau inovasi dari sudut manapun, hendaknya identitas dan nilai-nilai keislaman
tidak boleh ditinggalkan.
3. Pembelajaran PAI berbasis
kecerdasan beragam yang ideal.
Pembelajaran berbasis multiple intelligences dalam lingkup satu lembaga (institusi)
secara umum tidaklah mudah. Banyak kendala yang ditemui, misalnya butuh dana
yang cukup banyak, butuh tenaga pendidik yang ahli (spesialis) di bidang-bidang
tertentu, dan butuh waktu untuk pengidentifikasian jenis kecerdasan peserta
didik. Hambatan lainnya adalah adanya upaya penemuan jenis kecerdasan lain yang
menjadi pendukung dari kecerdasan utama dalam satu individu, belum adanya
kesatuan visi, potensi pendidik yang masih minim, dan sebagainya. Oleh karena
itu, idealnya pembelajaran PAI tidak serta merta harus mempraktekan secara buta
(mentah) teori apapun itu. Termasuk teori multiple
intelligences milik Gardner. Pembelajaran PAI ditekankan tetap melihat
konteks masyarakat sekitar, kondisi (latar belakang) peserta didik, dan
tentunya kemampuan (potensi) lembaga pendidikan.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya: