Dari semua pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
pengembangan kurikulum pada setiap masing-masing prodi di PTAI bisa dilakukan
dengan cara integrasi ilmu. Yakni, penambahan mata kuliah umum dilakukan tidak
semata-mata “menjiplak” dari perguruan tinggi lain (Perguruan Tinggi Umum) akan
tetapi didasarkan pada epistemologi Islam. Dengan demikian, diharapkan bisa
melahirkan ilmu baru, yaitu ilmu umum yang tidak “berseberangan” dengan ilmu
agama. Implikasinya, pengembangan dan penambahan mata kuliah tidak serta merta
hanya memberikan label “Islam” pada mata kuliah atau prodi tersebut, akan
tetapi melakukan integrasi ilmu agama dengan ilmu umum yang saling mengokohkan
satu sama lain. Pada tahap selanjutnya, inilah yang akan menjadi pembeda
wawasan keilmuan antara lulusan PTAI dengan lulusan PTU. Di mana lulusan PTAI
tidak hanya mampu menciptakan atau mengembangan ilmu serta produknya, tetapi
juga mampu memanfaatkannya secara tepat untuk kemaslahatan manusia secara benar
sehingga bisa mendapat ridho dari Allah SWT.
Selain
itu, PTAI saat ini dituntut untuk dapat merubah paradigma lama (yang hanya
fokus pada kajian ritual keislaman) ke paradigma baru (kajian islam secara
menyeluruh termasuk IPTEK) yang lebih relevan dengan persoalan kehidupan
masyarakat. Dengan itu, diharapkan lulusan PTAI mampu memecahkan “kebuntuan”
dan kemandekan (masalah) umat Islam bahkan permasalah bangsa atau manusia
secara umumnya dalam menjalankan hidup ini. Dengan demikian, idealnya pengembangan kurikulum yang termanifestasikan
pada penambahan prodi dan penambahan atau perubahan mata kuliah tidak hanya
terfokus pada ilmu agama saja, akan tetapi juga pada ilmu-ilmu umum. Dalam
lingkup lembaga PTAI, landasan penambahan prodi umum adalah bertujuan untuk
mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu pengetahuan umum sekaligus dilandaskan
pada ilmu-ilmu agama. Sedang dalam lingkup program studi keagamaan, penambahan
mata kuliah umum bertujuan untuk mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu agama
Islam yang terbingkai dalam ilmu-ilmu umum.
Konsekuensi lebih lanjut, untuk mata kuliah atau
program studi baru
yang terintegrasi tersebut harus memiliki standar penamaan jelas. Yakni, yang
sesuai dengan kaidah penulisan dan pengistilahan dalam bahasa Indonesia baku.
Hal tersebut dilakukan agar antara penamaan mata kuliah misalnya mata kuliah
bernama “Psikologi Pendidikan Islam” dengan isi yang terkandungnya benar-benar
baru. Artinya, mata kuliah tersebut tidak mengajarkan ilmu Psikologi umum saja
atau ilmu psikologi pendidikan saja, akan tetapi juga mengintegrasikannya
dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, untuk memperjelas kandungan mata
kuliahnya maka nama tersebut bisa diganti “Psikologi Pendidikan berbasis Islam.”
Selama ini, sebagaimana yang telah penulis alami meskipun penamaannya ada
“label” Islam akan tetapi pada kenyataannya muatan pokoknya bahkan kadang semua
aspek detailnyanya hanya menyentuh ilmu “psikologi pendidikan.” Pada akhirnya,
sudah saatnya pendidikan Islam (khususnya di Indonesia) untuk memiliki “kiblat”
ilmu pengetahuan sendiri. Mengingat, pada beberapa dekade akhir ini kebanyakan
institusi pendidikan Islam utamanya untuk keilmuan cenderung berkiblat pada
barat. Bahkan sistem pendidikannya pun tak jarang yang juga meniru Barat.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya: