Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

A. Konsep Dasar Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences)

Kajian tentang “kecerdasan beragam”[1] atau yang sering disebut dengan multiple intelligences[2] tidak akan pernah lepas dari pencetusnya, seorang ahli psikologi yaitu Howard Earl Gardner.[3] Berkat teori tersebut paradigma baru pada bidang pendidikan dan psikologi tentang kecerdasan telah bersemi (mendapat pengakuan berbagai kalangan).[4] Pada akhirnya, revolusi ilmu pengetahuan tentang teori kecerdasan telah terjadi. Di mana, ciri utama teori ini adalah mendudukan semua peserta didik sama derajat satu sama lain. Yakni, semua individu punya potensi kecerdasan luar biasa. Akan tetapi, belum tentu semua kecerdasan yang dimiliki masing-masing dari mereka adalah sama. Bisa jadi, kemungkinan besar jenis atau bidang kecerdasan peserta didik berbeda satu sama lain. Artinya, setiap peserta didik punya bidang kecerdasan masing-masing dan pendidik tidak boleh mengarahkan siswa hanya pada satu jenis kecerdasan. Oleh karena itu, pengklasifikasian tingkat kecerdasan peserta didik berdasarkan tes IQ sebagai satu-satunya tolok ukur tidaklah tepat. Sejatinya, mereka harus dibantu menemukan dan menguasai jenis kecerdasan yang benar-benar sesuai dengan bakatnya.

Kenyataannya, anggapan (paradigma) yang selama ini masih terjadi adalah manusia (peserta didik) dikatakan hanya memiliki satu jenis “kecerdasan” dan yang dapat diukur melalui tes standar saja. Namun, Howard memperkirakan pada manusia punya 7 hingga 10 “kecerdasan utama” yang berbeda antara satu individu dengan yang lain.[5] Ini artinya, tidak ada dalam lingkungan manapun bahwa peserta didik yang satu lebih cerdas dari peserta didik lainnya. Melainkan, yang ada adalah peserta didik mana yang sudah menemukan bidang kecerdasannya serta mana yang belum menemukan. Bahkan dimungkinkan ada peserta didik yang menemukan atau cenderung punya lebih dari satu bidang kecerdasan yang ia kuasai. Meski secara asali (tanpa proses/latihan) diyakini hanya satu jenis kecerdasan saja yang dimiliki secara dominan.

Masalahnya, para pakar “kecerdasan” –sebagaimana yang telah umum diketahui dalam beberapa dekade— terutama dalam dunia pendidikan hanya menggunakan tes intelligence quotient (IQ). Di mana, hasil tes itu sebagai pijakan satu-satunya dalam “menilai” kemampuan (kecerdasan) anak. Bahkan, juga digunakan sebagai bahan utama dan rujukan satu-satunya dalam memprediksi masa depan anak. Padahal, utamanya untuk zaman yang serba kompleks sekarang ini, faktor-faktor (kecerdesan) lain sebenarnya juga bisa menjadi andil bagi penentu dasar masa depan mereka. Dengan kata lain, di zaman yang serba butuh aspek “kompleksitas” ini, IQ saja tidak akan pernah bisa menjadi solusi masalah kehidupan bagi pribadi maupun kehidupan masyarakat luas.

Dunia sekarang ini, utamanya pada negara miskin dan berkembang, dilanda ledakan jumlah penduduk serta dilanda “persaingan” politik hingga ekonomi. Hal tersebut berakibat munculnya permasalahan yang amat kompleks. Misalnya minimanya lapangan kerja, bertambahnya polusi udara, rawan penyakit menular, dan perkembangan IPTEK yang tak terkontrol. Implikasinya, masyarakat sekarang ini tidak membutuhkan generasi yang difoluskan pada pengembangan satu jenis kecerdasan saja. Artinya, semakin beragamnya potensi kecerdasan yang dimiliki lingkungan masyarakat maka kemungkinan besar segala aspek kebutuhan serta permasalahan kehidupan masyarakat tersebut akan terpenuhi. Asumsinya, apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat maka generasi-generasi yang punya kecerdasan beragam mampu untuk memenuhi dan mengatasinya sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Misalkan, dengan kecerdasan “natural” atau kealaman seseorang akan mampu mengatasi pencemaran udara di lingkungannya. Salah satu tindakan nyatanya dengan mengadakan program penghijauan secara mandiri atau terorganisir dan memprotes pabrik-pabrik pembuang limbah sembarangan. Contoh lain, dengan kecerdasan musikalnya seseorang dimungkinkan mampu menciptakan dan memainkan lirik lagu yang menginspirasi dan menggugah semangat hidup dan berkembangnya generasi muda.

Dapat dikatakan, tidak mengherankan bila teori milik Gardner telah merangsang dunia pendidikan di berbagai negara untuk melakukan inovasi bidang kecerdasan. Bahkan, bisa dikatakan menyebabkan lahirnya revolusi kecerdasan.[6] Baik yang dilakukan secara utuh (totalitas) maupun diadakan filter dan pengembangan-pengembangan yang disesuikan dengan nilai dan budaya di negera masing-masing.[7] Inovasi dilakukan biasanya untuk memenuhi “kerinduan” masyarakat agar bisa merasakan sesuatu yang baru, sehingga bisa meninggalkan model (paradigma) lama. Kendati demikian, dalam setiap inovasi pasti akan mendapat respon berbeda-beda dari masyarakat. Ada yang menolak secara mutlak, ada yang mendukung secara mutlak, ada yang memfilter dengan ketat, dan ada yang menanggapinya secara biasa-biasa saja. Begitu pula dengan teori kecerdasan beragam (multiple intelligences) ini.

Bila melihat keadaan beberapa jenis lembaga pendidikan[8] di Indonesia akhir-akhir ini –utamanya untuk lembaga pendidikan Islam yang mulai mendapat tempat di masyarakat umum— tidak sedikit yang mengalami peningkatan jumlah peserta didik.[9] Di sisi lain, kenyataannya jumlah peserta didik tersebut tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini tentu menyebabkan pengelola lembaga harus ekstra keras mengerahkan otak agar bisa mengoptimalkan kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, jumlah peserta didik yang banyak merupakan sebuah potensi sekaligus menjadi masalah di tengah minimnya anggaran, sarana, dan prasarana. Adapun nilai potensinya adalah dengan jumlah yang banyak maka kemungkinan tingkat beragamnya jenis kecerdasan peserta didik yang diterima pada lembaga pendidikan pun semakin tinggi. Artinya, peserta didik dapat dipilah (dikelompokkan) berdasarkan jenis kecerdasannya.[10] Selanjutnya, mereka diberi tambahan jam pembelajaran untuk mendalami jenis kecerdasan dominan yang ia miliki. Tentunya, tatkala jumlah (populasi) peserta didiknya di dalam kelas cukup ideal melakukan pembelajaran.

Kenyataannya, selama ini pembelajaran PAI pada umumnya masih didasarkan pada dua jenis kecerdasan saja yaitu linguistik-verbal dan intrapersonal.[11] Yakni, peserta didik diasumsikan “pasti” semuanya menguasai dengan cakap bidang kecerdasan linguistik-verbal dan intrapersonal.[12] Walaupun sering kali –utamanya pada kelas yang jumlah peserta didiknya banyak– pada hakikatnnya tidak demikian. Di dalam kelas terdapat kecerdasan beragam yang masing-masing dimiliki oleh peserta didik. Akibatnya, mereka yang tidak memiliki jenis kecerdasan yang diutamakan (diagungkan) dalam kegiatan pembelajaran akan merasa tertekan. Hal itu, bisa jadi karena ia tidak punya “kecerdasan” tertentu seperti teman lainnya yang mampu menguasai materi tertentu dengan cepat. Dengan kata lain, untuk memahami materi tertentu seorang peserta didik kadangkala butuh strategi pembelajaran ekstra khusus. Biasanya bagi mereka yang merasa lemah dan tak menguasi materi dalam menghafal dan membaca al Qur’an, praktik ibadah, memahami materi sejarah Islam, dan memahami materi-materi yang terlalu dogmatis.

Padahal, semestinya pola pembelajaran PAI mampu mengakomodasi semua jenis kecerdasan tersebut. Hal ini dilakukan selain untuk “memanusiakan” dan memberikan “hak” kepada peserta didik agar berkembang dengan optimal sesuai bidang kecerdasannya, juga untuk mengoptimalkan misi dakwah Islam. Asumsinya, bila peserta didik kemudian hari mampu “berprofesi” sesuai dengan kecerdasan dominannya –semisal menjadi wartawan ( kecerdasan linguistik), penemu teknologi baru komputer (kecerdasan logis-matematis), penyanyi (kecerdasan musik), pelukis (kecerdasan spasial-visual), politikus (kecerdasan interpersonal), motivator atau psikolog (kecerdasan intrapersonal), dan ahli lingkungan hidup (kecerdasan naturalis)— maka semuanya dilakukan atas dasar atau dimaksudkan untuk menjalankan misi dakwah Islam. Oleh sebab itu, dalam setiap karya atau produk yang diciptakannya di dalamnya termuat nilai-nilai Islam sebagai bentuk “ajakan berislam” secara halus (tersembunyi) kepada masyarakat. Dengan kata lain, PAI tentunya memberikan ruang aktualisasi diri[13] peserta didik untuk “melampiaskan” jenis kecerdasan peserta didik. Pada akhirnya, nilai-nilai Islam yang universal dan rahmatan lil al-‘alamin tidak hanya dipersempit pada satau atau dua jenis kecerdasan.

Dari semua pemaparan di atas, penulis mengasumsikan bahwa teori Gardner cukup relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran PAI meski ada beberapa hal yang masih perlu dikritisi.[14] Teori ini akan sangat membantu peserta didik, membantu pendidik, membantu sekolah, dan membantu misi dakwah Islam untuk membentuk generasi Islam yang unggul sesuai dengan bidang kecerdasannya. Alasannya, bila seseorang berprofesi atau mendalami sesuatu yang terkait dengan bidang kecerdasan yang ia punyai maka ia akan cenderung bisa menikmati. Bahkan sangat dimungkinkan mampu menghasilkan nilai yang jauh lebih “berharga” apabila ia tetap berada pada “zona” profesi di luar bidang kecerdasannya. Sebagai penutup, dalam pengembangan pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences ini penulis tidak membuat gagasan baru tetapi melakukan pengembangan dari teori Gardner.

 

A.  Konsep Dasar

1.    Pengertian Kecerdasan Beragam

Kata ragam salah satu diantaranya memiliki arti pertama “tingkah; laku; ulah” kedua “macam; jenis” dan ketiga “warna; corak;.” Sedangkan istilah kecerdasan berasal dari kata dasar “cerdas” yang artinya “sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran;” atau bisa juga berarti “sempurna pertumbungan tubuhnya (sehat, kuat).” Secara terpisah kecerdasan spiritual mempunyai arti tersendiri yaitu “kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.”[15]

Berangkat dari pemaparan tersebut, maka penggunaaan istilah “kecerdasan beragam”[16] dalam Bab ini sebagai pengganti istilah multiple intelligences merupakan tindakan absah. Alasannya, kata ragam secara arti (makna) lebih cocok digunakan dari pada kata lainnya. Misalnya, kata majemuk memiliki dua arti yang tidak satupun cocok sebagai pengganti istilah teori Gardner tersebut. Di mana,  majemuk berarti “terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan” dan “mengenai penambahan bunga kepada pokok berdasarkan waktu dengan tujuan mendapatkan dasar baru untuk menghitung bunga berikutnya:.”[17] Padahal menurut teori Gardner, satu jenis kecerdasan itu bisa berdiri sendiri dan bukan terdiri atas beberapa bagian yang saling menyatukan. Walaupun, kadang kala antara jenis kecerdasan satu dengan yang lain saling mendukung (terkait). Bilapun menggunakan istilah kecerdasan ganda, maka kata “ganda” memiliki tiga arti yaitu pertama “(tentang hitungan) kali; lipat,” kedua “berbayang (seakan-akan ada dua),” ketiga “berpasangan (terdiri atas dua); berpasangan dua-dua (dalam bulu tangkis, tenis, dsb).”[18] Dari sudut pandang teori Gardner penggunaan istilah “ganda” juga kurang cocok. Hal ini karena jenis kecerdasan dalam multiple intelligences menurut Thomas Armstrong berpeluang untuk “tak terbatas” (terus bertambah).[19]

Lebih lanjut, Gardner mendifinisikan kecerdasan dengan singkat dan fungsional, yaitu “An intelligence is the ability to solve  problems, or to create products, that are valued within one or more cultural settings.”[20] Artinya, kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah-masalah, atau menciptakan produk-produk (hasil) yang bernilai tinggi dalam satu atau lebih keadaan (latar belakang) kebuayaan. Adapaun Alfred Binet dan Theodore Simon (sering disebut Binet-Simon), membagi kecerdasan menjadi tiga komponen. Pertama “kemampuan mengarahkan pikiran dan atau tindakan.” Kedua “kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan,” dan ketiga “kemampuan mengkritik diri sendiri.”[21] Dapat disimpulkan bahwa antara Gardner dengan Binet-Simon secara dasar dalam mendefinisikan kecerdasan tidak berbeda. Yakni, ketiganya sama-sama menekankan bahwa kecerdasan merupakan sebuah kemampuan.

Secara spesifik Widayati dan Widijati mengungkapkan bahwa kecerdasan itu tidak dapat diamati secara langsung. Diperlukan kesimpulan dari pengamatan berberapa perilaku nyata yang merupakan perwujudan dari proses berpikir rasional.[22] Dengan demikian, penilaian terhadap kecerdasan tidak harus dilakukan dengan tes tulis. Hal ini, utamanya untuk menilai kecerdasan anak kecil (balita) yang belum bisa baca tulis. Selain itu, Widayati dan Widijati mengklasifikasikan sifat-sifat dari kecerdasan sebagai berikut:

1.    Adaptif; adanya respon yang fleksibel bila ada stimulus dalam berbagai situasi dan masalah, sehingga tahu pemecahannya dan tidak merasa sulit setiap kali menghadapi permasalahan.

2.    Kemampuan belajar; kemampuan belajar pada sesuatu yang baru, tergantung pada setiap anak sejauh mana ia mampu menyerap dan menyimpan sesuatu yang baru itu.

3.    Belajar dari pengalaman luar dan dalam dirinya; menggunakan pengetahuan sebelumnya sebagai analisis dan pemahaman situasi yang baru, sehingga senantiasa menunjukkan kreativitas.[23]

Gardner juga mengatakan bahwa kecerdasan yang “utama” itu berdasarkan faktor keturunan (gen) sehingga tidak dapat dilatih. Misalkan kecerdasan musikal, menurutnya ada pengaruh gen yang menyebabkan seseorang pintar memainkan musik. Bahkan, menurutnya perbedaan dalam lingkungan seseorang tidak memberikan kontribusi material terhadap perbedaan dalam kapasitas (kemampuan) untuk membedakan irama maupun melodi.[24] Bila pernyataan ini benar, maka memaksa individu untuk menguasai bidang kecerdasan lain yang tidak sesuai dengan faktor bawaan atau bakatnya merupakan tindakan di luar manusiawi. Dapat disimpulkan bahwa arti kecerdasan beragam adalah beberapa jenis kemampuan dasar yang salah satunya atau beberapa diantaranya bisa menjadi ciri khas atau melekat (dimiliki) pada masing-masing manusia untuk berbudaya dan berkehidupan bersama secara efektif dan agar lebih produktif.

 

2.    Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Pembelajaran adalah proses mental dan emosional, serta berfikir, dan merasakan. Seseorang pembelajar dikatakan melakukan pembelajaran apabila pikiran dan perasaannya aktif.[25] Lebih detail, Ahmad Sabri menyampaikan bahwa orang yang sudah aktif terlibat pada proses pembelajaran diharapkan akan bisa merasa lebih bahagia dan lebih pantas untuk melakukan pemanfaatan alam sekitar. Selain itu, peserta didik juga perlu aktif dalam penjagaan kesehatan, peningkatan pengabdian untuk ketrampilan, dan berhasil dalam pengimplementasian pembedaan (terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan proses pembelajaran).[26] Dengan demikian, dalam pembelajaran peserta didik ditekankan punya kesadaran, motivasi, dan kondisi yang dimungkinkan untuk terjadinya interaksi antara peserta didik terhadap sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[27] Lebih jauh, peserta didik diharapkan terlatih pada pembiasaan diri untuk pemecahan masalah dan mampu terbiasa pada penggunaan empati beserta logikanya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan pembelajaran bisa terjadi di mana saja. Tidak hanya di dalam kelas yang sangat formal, terbatasi waktu maupun tempat, dan cenderung kaku.

Dari pendifinisian di atas,  kemudian dihubungkan dengan definisi “kecerdasan beragam” dapat dihasilkan sebuah pengertian baru. Yakni, pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam konteks penerapan teori kecerdasan beragam merupakan suatu kegiatan pengaktifan kesadaran mental (utamanya bakat dan kecerdasan) peserta didik secara terorganisir, yang isinya didasarkan pada nilai-nilai agama Islam secara universal sebagai pedoman berperilaku, berfikir, dan berkehendak dalam perjalanan hidup sampai mati. Meninjau dari definisi tersebut, maka tujuan, materi, strategi (metode), dan evaluasi pembelajaran PAI akan sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan sistem pembelajaran bidang ilmu lain. Di mana, salah satunya PAI diajarkan sebagai pedoman hidup secara mendalam dan luas. Sedangkan, kebanyakan bidang ilmu lain dipelajari sebatas untuk bagaimana cara mempertahankan kehidupan, mengembangkan kehidupan, cara menyelesaikan masalah kehidupan, dan semacamnya tanpa melibatkan atau paling tidak menekankan aspek ‘ketuhanan’ dan ketauhidan.

 

3.    Perubahan Paradigma Kecerdasan

Selama ini dalam sistem pendidikan, pada praktek di lapangan kebanyakan masih memaknai kecerdasan peserta didik secara terbatas (picik). Yakni, mereka yang dikatakan cerdas adalah memiliki ciri-ciri penurut, hafalannya kuat, nilai mata pelajaran matematika serta IPA tinggi, hasil tes IQ-nya tinggi, ranking nilai kognitif teratas, dan pendiam. Ini artinya, anak yang bisa membenahi kerusakan motor, mampu berdagang (berbisnis) gorengan, mampu memasak (menjadi koki), mampu membuat celana dalam anti pemerkosaan, mampu melukis, mampu bermain musik, dan semacamnya tidak didefinisikan sebagai anak yang tergolong cerdas, tapi anak yang kreatif. Dengan menggunakan paradigma ini, maka anak yang kreatif bukanlah anak yang cerdas, tapi hanya sekedar kreatif. Dampaknya, berbagai anak yang kreatif tadi (yang mempunyai kecerdasan di bidang masing-masing) merasa tidak mendapatkan penghargaan dibandingkan dengan anak yang mendapat ranking[28] (nilai kognitif) 10 besar.

Kenyataan seperti itu sungguh memprihatinkan bagi kondisi psikologis anak. Bisa jadi anak akan berlomba-lomba belajar atau bahkan dileskan (lembaga les atau secara privat) agar mendapatkan nilai bagus pada bidang matematika, bahasa inggris, IPA, dsb.[29] Padahal belum tentu jenis “kecerdasan” yang dikuasainya di bidang tersebut. Akibatnya, energi anak akan terkuras untuk hal-hal yang diluar bidang kecerdasannya. Meskipun hasilnya bagus (terjadi peningkatan), akan tetapi kemungkinan bisa menjadi lebih bagus dan lebih bermanfaat bila ia memperdalam kecerdasan yang keberadaannya dominan pada dirinya. Selain itu anak juga akan lebih menikmati pendalaman materi (melalui les atau privat) yang sesuai dengan bidang kecerdasannya.

Hal itu sesuai dengan pernyataan Gardner sebagaimana yang dikutip oleh Efendi bahwa konsep kecerdasan itu tidak hanya bersangkut paut pada the result of paper and pencil tests (hasil tes dengan kertas dan pensil). Akan tetapi, terkait juga dengan pengetahuan tentang otak manusia dan kepekaannya terhadap ragam budaya (sensitivity to the diversity of human cultures).[30] Bagaimanapun, tes IQ hasilnya hanya berupa angka untuk memetakan kemampuan berpikir seseorang. Dengan kata lain, IQ bukanlah tes kinerja nyata, sehingga dimungkinkan antara prediksi hasil tes dengan pelaksanaan di lapangan akan berbeda. Misalkan anak yang ber-IQ tinggi belum tentu ia mempunyai kecerdasan emosional[31] dan kecerdasan spiritual[32] yang bagus dalam kehidupan.

Selain itu, selama ini yang dinamakan kecerdasan adalah hal-hal yang terkait dengan keseriusan, tidak boleh ada kesalahan, dan harus belajar dengan teks bukan konteks. Hal ini menurut Agus Efendi tidak benar, karena kecerdasan merupakan kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan kemampuan beradapatasi dengan kebudayaan sekitar. Oleh karena itu, orang cerdas itu bukan berarti tidak boleh (tidak pernah) berbuat salah. Kenyataannya, orang cerdas adalah mereka yang pernah berbuat salah, akan tetapi mereka bisa belajar dari kesalahan dan tidak melakukan lagi.[33]

Sedangkan, apabila ditilik dari segi asal-asul terbentuk dan perkembangannya, tingkat kecerdasan itu tidak hanya ditentukan oleh pola genetik tapi juga faktor lingkungan. Sebagaiman menurut Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan bahwa:

 

Kecerdasan manusia terekam di dalam kode genetis dan seluruh sejarah evolusi kehidupan di bumi. Di samping itu, kecerdasan manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari, kesehatan fisik dan mental, porsi latihan yang diterima, ragam hubungan yang dijalin, dan berbagai faktor lain. Ditinjau dari ilmu saraf, semua sifat kecerdasan itu bekerja melalui, atau dikendalikan oleh, otak berserta jaringan sarafnya yang tersebar di seluruh tubuh.[34]

 

Secara terperinci, menurut Thomas Armstrong, syarat khusus yang ditetapkan oleh Gardner agar sebuah kecerdasan bisa dimasukkan ke dalam teorinya, diantaranya:

1.    Setiap kecerdasan dapat dilambangkan;  misalnya lambang tulisan (huruf) pada kecerdasan linguistik, lambang angka pada kecerdasan matematis, lambang nada untuk kecerdasan musikal, dan lambang gerak-gerik atau mimik wajah sebagai lambang kinestetik.

2.    Setiap kecerdasan mempunyai riwayat perkembangan; kecerdasan itu dinamis (tidak menetap) dan setiap kecerdasan mempunyai pola perkembangan yang berbeda-beda.

3.    Setiap kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu. Menurut Gardner teori kecerdasan dapat berlaku bila didasarkan pada Biologi (struktur otak). Kecerdasan linguistik berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal, spasial, dan antarpribadi (interpersonal) cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan kinestetik menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil). Dengan kata lain, apabila ada kerusakan pada bagian otak tertentu bisa mempengaruhi pada berkurangnya tingkat kecerdasan pada bidang tertentu.

4.     Setiap kecerdasan mempunyai keadaan akhir berdasar nilai budaya; perilaku cerdas dapat dilihat dari prestasi tertinggi dalam peradaban, bukan dinilai dari hasil tes standar.[35]

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan, bahwa jenis kecerdasan itu tidak tunggal tapi beragam. Selain itu kecerdasan itu relatif, artinya makna atau bergunanya sebuah kecerdasan tergantung pada paradigma kecerdasan masyarakat tersebut. Misalnya dalam suatu masyarakat seseorang yang cerdas dalam musikal bisa saja dianggap “bodoh” oleh masyarakat yang tidak menyukai musik. Selain itu perkembangan kecerdasan tidak hanya ditentukan oleh gen atau oleh lingkungan saja, akan tetapi oleh kedua-duanya. Dengan adanya paradigma baru kecerdasan ini maka semua posisi kecerdasan peserta didik adalah sama. Semuanya adalah manusia cerdas, cerdas dalam bidang masing-masing yang mereka kuasai.

Lebih detail untuk menggambarkan telah adanya paradigma baru kecerdasan, maka perlu penulis gambarkan tentang kecerdasan sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3.1: Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan

4.    Otak sebagai Kunci Utama Kecerdasan

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa otak merupakan organ terpenting utama dan pertama bagi tatanan biologis suatu organisme. Baru setelah itu organ jantung dan paru-paru menempati urutan berikutnya.[36] Alasannya, otak telah menjadi pengontrol kinerja seluruh organ-organ tubuh. Baik organ yang bekerja secara tidak disadari seperti organ jantung, usus, lambung, paru-paru, dll. Maupun organ yang bekerja dengan sadar yaitu tangan, kaki, dan leher dll. Dengan demikian, manusia tanpa otak tidak memiliki arti apa-apa, karena seluruh organ dan pancaindra tidak akan berfungsi, dan inilah yang disebut dengan kematian (meninggal dunia).

Sebagai organ milik manusia, otak merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. –Hal ini tentu akan berbeda dengan otak hewan[37]--. Bahkan otak manusia jauh lebih kompkes (canggih) dari pada komputer manapun di dunia  ini. Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Zohar dan Marshall:

 

Otak bekerja dengan sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem asosiatif yang terisolasi. Dua sistem ini berinteraksi dan saling menguatkan sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi daripada masing-masing kecerdasan tersebut jika berdiri sendiri. IQ dan EQ saling mendukung (sinergis).[38]

 

Bisa dikatakan bahwa keadaan otak memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan kecerdasan seseorang. Bahkan, sampai sekarang pun rahasia dari kekuatan otak belum terpecahkan secara ilmiah. Sebagaimana penjelasan Agus Efendi, tentang rahasia otak beserta kecerdasaannya sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan, bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga jenis utama yaitu otak rasional, otak emosional, dan otak spiritual.[39] Selain itu ada beberapa teori tentang perkembangan kecerdasan otak. Salah satunya faktor-faktor yang turut mempengaruhi perkembangannya, yaitu:

1.    Genetika, terkait dengan bentuk (struktur) otak yang diturunkan dari gen orang tua

2.    Makanan sehat, perkembangan otak pada masa keemasan seorang anak bahkan di dalam kandungan ditentukan suplai gizi.

3.    Perawatan, diperlukan latihan dan lingkungan yang mendukung untuk menemukan dan mengembangkan berbagai kecerdasan yang mungkin dimiliki anak.

4.    Lingkungan, peran orang tua sangat vital (sebagai pendidik) dalam mendidik anak agar perkembangan kecerdasannya terjadi secara benar, serta bagaimana lingkungan disekitarnya mendukung perkembangan tersebut.

5.    Mental, keadaan jiwa anak yang bahagia dengan yang murung dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak.[40]

 

Lebih lanjut, otak memiliki peranan penting dalam perkembangan kecerdasan setiap manusia. Otak merupakan organ yang menunjukkan “jati diri” seseorang. Oleh karena itu, dalam pembelajaran PAI pendidik dituntut memahami dan mempedulikan bagaimana peserta didik “bekerja” dengan otaknya. Pendidik mesti sadar bahwa kesulitan dan kegagalan pembelajaran senantiasa dicari bagaimana cara kerja otak masing-masing anak dalam memahami sesuatu. Dengan demikian, bila ditinjau dari konteks globalisasi, maka pendidikan Islam sudah waktunya menerapkan paradigma baru dalam pembelajaran yang didasarkan pada bagaimana cara otak bekerja.[41]

Akhirnya, dapat disimpulkan otak sangatlah luar biasa kemampuan dan kekuatannya dalam melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dari tinjauan biologis (bentuknya), otak dapat diwariskan secara turun-temurun (foktor genetis). Namun, bila diadakan pelatihan secara terus-menerus dan dengan cara yang tepat, maka “fungsi” otak dapat dioptimalkan sesuai dengan keinginan manusia. Dengan kata lain, intervensi lingkungan juga memiliki peran penting dalam perkembangan kecerdasan[42] manusia. Implikasi dari pernyataan tersebut, manusia bisa “menuhankan” otak, bahwa otak adalah segala-galanya untuk kehidupan ini. Bila ditinjau dari segi pendidikan Islam maka pernyataan tersebut tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan[43] dan nilai Islam yang mengagungkan Allah SWT.

 

5.    Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Beragam

Dalam Undang-undang 1945 Amandemen Pasal 28C ayat 1 mengamanatkan“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”[44] Dari pernyataan tersebut dalam konteks pembahasan pada Bab ini, yang menjadi titik penting adalah pernyataan berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya  dan pernyataan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Asumsinya, yang dimaksud kebutuhan dasar siswa tidak hanya pendidikan secara umum. Melainkan, juga kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan (penghargaan) dan juga pengembangan diri atas kecerdasan (kemampuan) yang sesuai dengan bidangnya. Diharapkan, dengan mengembangkan bidang kecerdasan yang dikuasainya, maka peserta didik tidak akan salah masuk ke dalam “tugas-tugas” kehidupan secara mendalam yang tidak sesuai dengan bidang kecerdasannya.

Dasar hukum lainnya adalah Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 1 nomer 1 bahwa yang dimaksud “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Selain itu, kata berkembangnya potensi peserta didik juga terdapat pada tujuan pendidikan nasional di Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan pasal 5 ayat 4 telah  menjelaskan “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.”[45] Dilanjutkan pada Pasal 12 ayat 1 poin b menyatakan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:... b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.” Serta pasal 36 ayat 3 poin c bahwa “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:... c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik...” Kemudian diakhiri dengan pasal 45 ayat 1 menyatakan “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.”[46]

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara hukum pelaksanaan pembelajaran pendidikan berbasis kecerdasan beragam secara tidak langsung sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini tentunya juga bisa menjadi dasar aturan bagi semua mata pelajaran maupun lembagai pendidikan yang ingin berinovasi melaksanakan pendidikan serta pembelajaran yang berbasis kecerdasan beragam. Oleh karena itu, siapapun tidak dibolehkan memaksa peserta didik untuk menekuni atau mendalami bidang kecerdasan tertentu yang tidak sesuai dengan bidang kemampuannya. Walaupun pada kenyataan dan pelaksanaannya ada beberapa kendala yang ditemui. Lebih detail mengenai hal ini akan penulis uraikan dalam pembahasan berikutnya.

B.  Paradigma Baru Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam

Paradigma yang diturunkan dari Cartesian (Descartes) dan Newtonian menjadi penyebab munculnya paradigma tunggal (tidak utuh) di dunia Barat. Dengan paradigma tunggal itu, mereka terpuruk ke lembah krisis dan penuh kontradiksi, yang menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan pemikiran. Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa yang dimaksud kekeliruan pemikiran menurut Capra adalah tidak digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan barat. Di mana, menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu paradigma sains (scientific paradigm).  Padahal paradigma tersebut tidak sepenuhnya bisa melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh (wholeness), kecuali hanya melihat alam ini pada bagian yang empiris saja.[47]

Bila “kebudayaan” barat tersebut dikaitkan dalam dunia pendidikan, secara spesifik M. Zainuddin memaparkan perbedaannya dengan pendidikan Islam sebagaimana berikut:[48]

 

Tabel 3.1: Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat

(Tabel diadaptasi dari pemaparan M. Zainuddin dalam bentuk paragraf)

 

Katagori

Pendidikan Islam

Pendidikan Barat

Landasan Filosifis

Paradigmanya bertolak dari sumber atau landasan (doktrin) Islam yang bercorak teo-antroposentris.

Paradigmanya dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler sehingga terlepas dari dimensi moral dan spiritual.

Struktur Konsep Pendidikan

Terjadinya perbedaan: tujuan, konsep tentang manusia (peserta didik), nilai, serta tanggung jawab yang diembannya.

Ontologi

Terjadi perbedaan dalam aspek: cara memandang dan menempatkan para peserta didik dalam proses pembelajaran.

Sumber dan Metode Epistomologi

Berasal dari Allah SWT, yang diperoleh melalui pancaindra, akal sehat, berita yang benar, dan intuisi.

Semua objek (benda /zat /materi) yang bisa diserap oleh pancaindra.

Sistem Etika

Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk (khalifah dan hamba) Allah.

Menurut Syamsul Nizar: bercorak antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya, individu merdeka tanpa batas.

 

Dari tabel tersebut dengan jelas tergambar bahwa sistem pendidikan barat adakalanya tidak sepenuhnya cocok apabila diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, setiap teori dari barat, utamanya teori tentang pendidikan tidak serta merta harus diserap sepenuhnya untuk digunaan dalam sistem pendidikan Islam. Bagaimanapun, paradigma yang digunakan oleh umat Islam dengan paradigma orang barat adakalanya berbeda. Implikasinya, bila dipaksakan akan mempengaruhi dalam membuat konsep sistem pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam akan kehilangan jati diri keislamannya, melainkan yang ada berupa simbol, slogan, dan ritus-ritusnya belaka.

Lebih dari itu, bila dikaitkan dengan pembelajaran secara langsung, maka paradigma lama mengajar tentang pemberian reward and punishment atau pemberian rangsangan lain sudah tidak berlaku lagi. Ataupun, paradigma pembelajaran yang hanya sebatas menyampaikan pengetahuan dianggap sudah tidak relevan dengan kekinian. Diperlukan paradigma baru, salah satunya adalah menciptakan “flow[49] pada peserta didik. Paradigma baru lainnya adalah kegiatan mengajar difokuskan pada proses mengatur lingkungan (kebudayaan). Beberapa alasannya menurut Wina Sanjaya adalah:

1.    Peserta didik bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak kecil atau remaja, tetapi individu yang sedang berkembang sehingga masih butuh proses pendidikan. Dengan demikian, pendidik (sebagai orang dewasa) bukanlah satu-satu sumber belajar. Hal ini karena kebutuhan orang dewasa dengan anak-anak berbeda. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah sebagai pengelola sumber belajar yang sesuai dengan tingkat usia peserta didik.

2.    Adanya ledakan ilmu pengetahuan berakibat pada ketidakmungkinan bagi setiap orang mampu menguasai seluruh cabang keilmuan. Dengan demikian, belajar tidak sekedar menghafal informasi, menghafal rumus-rumus, tapi belajar adalah bagaimana peserta didik mampu menggunakan otaknya untuk mengasah kemampuan berfikir.

3.    Penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi (menurut penulis juga bidang biologi), berakibat pemahaman baru terhadap konsep (teori) perubahan perilaku manusia. Di mana manusia sebagai makluk biologis (organisme) memiliki potensi bawaan yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya, proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu, tetapi mengembangkan potensi (kecerdasan) yang telah ada dan telah dimiliki peserta didik.[50]

Penjelasan tersebut hampir sama dengan pendapat Thomas R. Hoerr, bahwa:

 

The theory of multiple intelligences (MI) brings a pragmatic approach to how we define intelligence and allows us to use our studens’ strengths to help them learn. Students who read and write well are still smart, but they are joined by other students who have different talents. Thourgh MI, schools and classooms become settings in which a variety of skills and abilites can be used to learn and solve problems. Being smart is no longer determined by a score on a test; being smart is determined by how well students learn in a variety of ways.[51]

Penerapan mutlitple intelligences dalam lingkup satu lembaga secara konsisten, optimal, dan sungguh-sungguh mampu menciptakan iklim sekolah yang hidup. Sekolah yang awalnya tampak mencekam dan serba kaku menjadi lebih menggembirakan dan memuaskan hasrat peserta didik untuk belajar. Sekolah yang bermula jumlah muridnya sedikit menjadi lebih banyak. Sekolah yang mula-mula minim prestasi menjadi lebih banyak menelurkan prestasi. Adapun dalam lingkup mata pelajaran, dengan teori tersebut banyak pendidik yang terbantu memecahkan masalah peserta didik. Salah satunya yang tidak mampu dan tidak termotivasi untuk melakukan pembelajaran. Dengan strategi yang tepat, banyak murid yang awalnya mengalami permasalahan (tidak mampu dan tidak termotivasi) terutama saat belajar matetimatika atau mata pelajaran tertentu lainnya, akhirnya mereka bisa tergugah “kesadarannya” untuk belajar.[52]

Lebih dari itu, teori kecerdasan beragam yang terkait erat dengan perkembangan otak bisa mengoptimalkan penggunaan (fungsi) otak. Artinya, peserta didik dibekali dan diajak “mengelola” otaknya sehingga segala potensinya dapat berkembang dengan optimal. Dengan kata lain, peserta didik yang berhasil bukanlah peserta didik yang wajib menguasai kecerdasan yang ditentukan, misalnya IQ (logis-matematis). Namun, peserta didik yang mampu mengoptimalkan potensi kecerdasan yang ia miliki untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Hal ini juga terkait dengan keberagaman sosio-kultur dan geograsif (termasuk potensi alam) daerah di Indonesia yang mengharuskan generasi mudanya mampu memenuhi berbagai macam kebutuhan yang kompleks tersebut. Oleh karena itu, untuk memenuhinya diperlukan suatu sistem pendidikan yang bisa melahirkan generasi yang satu dengan lainnya punya kemampuan beragam (tidak homogen).

Selanjutnya, berdasarkan hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebagaimana dikutip Septiani, dkk. terdeskripsi sebagai berikut:

 

Hasil penelitian Temur (2007) pada pembelajaran matematika kelas IV SD di Gazi University Foundation Private Primary School menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dengan penerapan multiple intelligences lebih tinggi dibanding menggunakan pembelajaran tradisional. Penelitian yang dilakukan Bas dan Beyhan (2010) terhadap 50 siswa kelas V SD di Turkey menunjukkan bahwa penerapan multiple intelligences didukung pembelajaran berbasis proyek lebih unggul dibanding metode pengajaran tradisional ditinjau dari sikap dan motivasi belajar siswa. Hasil penelitian Xie dan Lin (2009) menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada kelas yang menerapkan multiple intelligences lebih unggul dibanding menggunakan pembelajaran tradisional dilihat dari kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan proyek-proyek desain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa penerapan multiple intelligences dapat memberikan hasil yang efektif dalam proses pembelajaran. Rizal dan Wasis (2012) mengemukakan apabila kecerdasan majemuk [kecerdasan beragam] ditumbuhkan, dikembangkan dan dilibatkan dalam proses pembelajaran akan meningkatkan efektivitas dan hasil pembelajaran.[53]

 

Selain itu, menurut pendapat Hernowo sebagaimana dikutip Nurani menyatakan teori kecerdasan beragam menjadi sistem pendidikan baru pada lembaga sekolah. Secara detail identifikasinya adalah sebagai berikut:

 

Pertama, dulu, sekolah tepatnya para guru, memisahkan atau memberikan identifikasi kepada peserta didiknya sebagai anak yang pandai disatu sisi dan anak yang bodoh disisi lainnya. Sekarang, melalui penerapan kecerdasan jamak [kecerdasan beragam], ternyata tidak ada anak yang bodoh, setiap anak hampir dapat dipastikan memiliki satu atau dua jenis kecerdasan yang menonjol. Kedua, dulu, suasana kelas cenderung monoton dan membosankan karena guru biasanya hanya bertumpu pada satu atau dua jenis kecerdasan saja dalam mengajar, yaitu kecerdasan bahasa dan logika matematika saja. Sekarang, melalui pembelajaran yang berbasis pada delapan jenis kecerdasan, seorang guru dapat membuat variasi metode dan gaya mengajarnya. Ketiga, dulu, sebagian guru seringkali agak kesulitan dalam membangkitkan minat atau gairah belajar peserta didiknya. Sekarang, melalui teori kecerdasan jamak, guru dapat memunculkan berbagai media dan sumber belajar yang terdapat di lingkungan sekitar melalui contoh-contoh yang kongkrit dan nyata sehingga mudah dipahami oleh anak. [54]

 

Lebih detail, Muhaimin, dkk. menjelaskan bahwa belajar pada hakikatnya terjadi secara individual, sehingga setiap individu dalam belajar memiliki karakteristik tersendiri. Dari situ, idealnya PAI perlu diacukan pada peserta didik secara perseorangan. Dengan asumsi, tindakan (perilaku) belajar memang bisa ditata (dikelola) dan dipengaruhi (diintervensi), akan tetapi perilaku belajar individu akan tetap berjalan sesuai dengan karakteristik peserta didik secara perseorangan. Misalnya, peserta didik yang cara belajarnya lambat dalam bidang tertentu tidak dapat dipaksa untuk belajar cepat. Oleh karena itu, rancangan pembelajaran PAI ditekankan sesuai dengan karakteristik perseorangan peserta didik, sehingga terjadi perkembangan dalam pemahaman, pengalaman, dan pengamalan beragamanya sesuai dengan daya tampung dan kemampuannya (daya jangkau).[55]

Sedangkan apabila dikaitkan dengan peserta didik secara langsung, maka paradigma lama tentang peserta didik telah mengalami pergeseran. Di mana sekarang ini setiap peserta didik di pandang punya tingkat kemampuan yang berbeda dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.[56] Selain perbedaan tersebut, peserta didik juga berbeda pada kemampuan fitrah. Asumsinya, ada anak yang memiliki kemampuan fitrah dalam bidang melukis akan tetapi lemah dalam kemampuan menari dan olah raga. Ada pula peserta didik yang punya kemampuan membaca al Quran dengan sangat baik. Implikasinya, perbedaan pada aspek kejiwaan dan fitrah merupakan hal yang sangat mendasar untuk diketahui dan dipetakan secara pasti oleh pendidik. Di mana, peta tersebut dijadikan modal awal dalam merancang kegiatan pembelajaran.[57]

Apabila dilihat dari kepentingannya, pendidikan dibagi menjadi dua, pertama pendidikan dari segi kepentingan individual peserta didik. Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata, yaitu selain memperhatikan peserta didik dari segi perbedaan bakat, kemampuan, kecenderungan, dan sebagainya, pendidik juga senantiasa membantu individu dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan “kecerdasan” dirinya.[58] Dari itu, diharapkan peserta didik dapat mengatasi masalah di kehidupannya kelak. Kedua, dari segi kepentingan masyarakat. Pelaksaanan pendidik dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga setiap gagasan, pemikiran, nilai, budaya, agama, ilmu pengetahuan yang disalurkan ke peserta didik perlu mendapat pengakuan masyarakat dan negara. Dengan kata lain, masyarakat dan negara sangat berperan dalam mengintervensi kegiatan pendidikan. Yakni, untuk menciptakan generasi yang siap dalam mengisi ruang-ruang kosong bidang pengetahuan yang sangat dibutuhkan masyarakat.[59]

Konsep pendidikan yang memadukan antara kepentingan individual dengan kepentingan masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa individu selain memiliki kebebasan berkreativitas juga dibatasi oleh kebebasan sosial. Oleh karena itu, setiap peserta didik selain bisa menentukan pilihan-pilihannya, mereka juga mesti tunduk kepada pilihan yang diakui dan dibutuhkan bersama. Dengan kata lain, Islam memandang bahwa kedua kepentingan tersebut senantiasa berjalan berdampingan dan seimbang. Selain juga menggunakan nilai-nilai dari Tuhan yang diyakini benar dibandingkan nilai-nilai yang diciptakan manusia. Implikasinya, dalam menyikapi apa-apa yang berasal dari manusia adalah dimulia dengan sikap meragukan terlebih dahulu kemudian memecahkan keraguanya itu dengan bukti ilmiah. Sedangkan, menyikapi yang berasal dari Tuhan dimulai dari menyakininya, kemudian memperkuatnya dengan pemahaman manusia tentang  ayat-ayat kauniah.[60]

 

C.  Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam yang Ideal

Pembelajaran PAI merupakan kegiatan untuk mencerdaskan peserta didik. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan ini hal-hal penting yang perlu diperhatikan sebelum diadakan pembelajaran adalah seperti apa kondisi (latar belakang) peserta didik. Persoalan lain adalah sejauh mana kemampuan pendidik dan institusi pendidikan dalam mengakomodasi keberagaman peserta didik. Serta, bagaimana cara menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik sesuai dengan kondisi “keberagaman” mereka. Identifikasi semacam ini menurut penulis dirasa sangat penting. Alasannya, bagaimana mungkin suatu proses pembelajaran membentuk manusia “cerdas” secara efektif dan efisien, bila tidak diketahui terlebih dahulu sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan hal-hal (latar belakang) yang mempengaruhi kehidupan peserta didik. Untuk lebih jelasnya maka perlu digambarkan skema di bawah ini:

 

 

 

 

 

 

 

 


                         Mazhab      |  Kecerdasan   | Fisik /Tubuh |  Ekonomi   |    Kultur        

              (Organisasi agama)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3.2: Posisi Peserta Didik dalam Bingkai Pendidikan Agama Islam

 

Selain dari lima macam keberagaman tersebut, sebenarnya ada keberagaman lain yang cukup signifikan dalam mempengaruhi semangat belajar di lembaga pendidikan. Salah satunya adalah orientasi peserta didik (serta wali murid) dalam upaya menempuh pendidikan di lembaga tertentu yang dipilihnya. Dalam konteks pembelajaran, mengetahui orieantasi peserta didik di rasa sangat penting yaitu sebagai pisau analisa sekaligus upaya pemberian “pendalaman” secara benar terhadap mereka. Bagaimanapun, peserta didik datang ke madrasah atau sekolah tidaklah membawa status “botol kosong.” Namun, sesungguhnya mereka sudah membawa “isi” yang berupa tujuan-tujuan, fanatisme-fanatisme terhadap sesuatu, keterpaksaan, keterampilan-keterampilan (kemampuan fisik dan pikiran), traumatik-traumatik, kebanggaan-kebanggaan, doktrin-doktrin, dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami pula bahwa pembelajaran PAI idealnya bukanlah materi ceramah, materi latihan, dan materi diskusi saja. Melainkan, seni dalam mendoktrin peserta didik agar fanatik dan setia sampai akhir hayat terhadap agama Islam. Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran PAI tidak berindikasi “mencegah” atau menghambat “isi” positif peserta didik. Salah satunya dalam pengembangan bakat, potensi, kecerdasan, dan minat yang positif. Oleh karena itu, pendidik bertugas membekali dan memfasilitasi mereka supaya menjadi manusia yang ahli di bidang-bidang tertentu (senyampang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam). Di sinilah terjadi “peningkatan” posisi peserta didik pada proses pembelajaran di kelas.[61]

Lebih lanjut, menurut Thomas R. Hoerr bila direnungkan sesungguhnya teori pembelajaran berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences) bisa menjadikan dunia pendidikan menghargai keanekaragaman (kecerdasan) peserta didik. Bahkan, dimungkinan bisa mengenali keunikan yang berbeda-beda pada setiap individu.[62] Walaupun pada kenyataannya penerapan teori kecerdasan beragam membutuhkan biaya yang tidak sedikit (perlu dana tambahan). Diantaranya, diperlukan untuk membeli kamera video (CCTV) di setiap ruang kelas dan mengundang seniman aneka bidang dan kebutuhan-kebutuhan penunjang lainnya.[63]

Masih menurut Thomas R. Hoerr, tidak ada cara tunggal dan yang benar (harus sama) dalam penerapan teori kecerdasan beragam (ini merupakan sisi unik, sekaligus kelemahannya) pada sekolah-sekolah. Setiap praktisi pendidikan dalam menggunakan teori tersebut mesti memperhatikan keunikan konteks dan kultur sekolah mereka masing-masing.[64] Sebagai contoh, pada kasus di sekolah atau ruang kelas tertentu menyetel musik sambil belajar dapat menjadikan siswa bisa cepat memahami materi, bahkan bisa berkembang kecerdasaan matematisnya. Akan tetapi, di sekolah lain menyetel musik di dalam kelas menyebabkan kekacauan luar biasa. Artinya, titik tekan teori kecerdasan beragam sesungguhnya didasarkan pada keadaan masing-masing sekolah dan masyarakat sekitar. Dengan demikian, setiap sekolah tidak boleh tidak mempunyai cara dan gaya tersendiri dalam menerapkannya.

Dapat dikatakan dalam penerapan teori kecerdasan beragam, sungguh bukanlah perkara mudah dan remeh-temeh. Baik dari segi pemahaman teorinya maupun dari segi penerapannya. Hendaknya pendidik memperhatikan secara mendalam tentang hakikat dari teori tersebut. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan saran Gardner kepada para pendidik sebagai bahan kajian yang cukup penting. Masukan tersebut berisi tentang tiga hal utama yang patut diperhatikan, sebagaimana yang dikutip oleh Valerie Strauss dengan penjabaran berikut: 

1.    Mengadakan pembelajaran secara individual sebanyak mungkin. Dengan mempelajari sebanyak mungkin dan bila perlu secara detail terhadap setiap peserta didik. Mengajar setiap peserta didik dengan cara yang menurut mereka nyaman dan bisa belajar dengan efektif. Tentu hal ini akan lebih mudah bila dilakukan dengan kelas yang lebih kecil.

2.    Melakukan metode pengajaran yang beragam. Mengajarkan materi penting dalam berbagai cara dan menggunakan berbagai bahan misalnya melalui cerita, karya seni, diagram, role play, dan sebagainya. Dengan cara itu diharapkan peserta didik dapat belajar dengan cara yang berbeda.

3.    Tinggalkan atau kesampingkan istilah “gaya belajar,” karena ini akan membingungkan orang lain dan tidak akan membantu pendidik ataupun peserta didik.[65]

Bila bagian terpenting (pokok) atau bahkan seluruh dari teori tersebut dapat dilakukan maka bisa dikatakan inovasi[66] terhadap pembelajaran PAI telah berhasil. Dengan itu, diharapkan kekuatan intelektual Islam[67] bisa mendapat masukan yang berarti. Sebaliknnya, bila belum hendaknya perlu diadakan pembaharuan di bidang lain yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung agar penerapannya bisa optimal. Sebagaimana menurut Agus Efendi, bahwa dalam dunia pendidikan untuk membangun tradisi dan budaya berfikir filosofis dan ilmiah tentu tidak mudah. Diperlukan sistem pendidikan dan pembelajaran yang demokratis, sistem kurikulum yang inovatif-kreatif serta transformatif-responsif terhadap perubahan masyarakat, sistem pelatihan berpikir yang sistematis, buku ajar yang komunikatif-presuasif serta efektif-inovatif, tradisi intelektual serta sistem sosial politik yang demokratis, dan sistem budaya yang mendukung keunggulan serta menghormati HAM-spritualistik-religius.[68]

Pernyataan tersebut dapat dipahami, bila pembelajaran PAI secara optimal, konsisten, dan all out menerapkan teori kecerdasan beragam maka dampaknya adalah harus ada perubahan (pengembangan) materi, metode pembelajaran, sarana-prasarana, adanya team teaching, dan perubahan lainnya yang relevan dengan teori tersebut. Perubahan tersebut tidak berlaku bagi tujuan khusus PAI, yaitu untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik. Namun demikian, dalam kondisi ini prakteknya masih sangat sulit untuk menanamkan nilai-nilai Islam pada materi, gaya belajar, dan bahan ajar pembelajaran PAI yang dipadukan dengan teori kecerdasan beragam.

Lebih nyata, bila ditinjau dari pembelajaran PAI, di dalam materi PAI terdapat beberapa bidang kecerdasan yang bisa diperdalami secara serius oleh masing-masing jenis kecerdasan peserta didik. Misalnya materi dakwah, hafalan, dan seni membaca al Quran ditekankan secara serius pada peserta didik yang hanya punya kecerdasan linguistik-verbal. Materi ilmu waris, ilmu zakat, dan ilmu falak diberikan secara khusus bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan logis-matematis. Untuk lebih rincinya penulis membuat tabel sebagai berikut:

 

Tabel 3.2: Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Pembelajaran PAI

 

No.

Jenis Kecerdasan

Pembelajaran PAI

Tujuan /Harapan Akhir

Materi

Metode

Bahan Ajar

1.

Linguistik-verbal

Hafalan serta membaca al Qur’an dan Hadith, pidato bahasa arab, dll

Memotivasi, latihan, dan hafalan

Teks al Quran, Hadith, dan bahasa arab

Menjadi Penghafal al Quran, menjadi ahli bahasa arab, menjadi penulis Islami, dll

2.

Logis-matematis-numerikal

Ilmu waris, ilmu zakat, ilmu falak (hisab), ilmu perbankan syari’ah, akuntan publik, dll

Memotivasi, latihan, menganalisis, menghitung, merumuskan

Soal-soal (pertanyaan) tentang zakat, ilmu falak, ilmu waris. pengadilan agama, lembaga zakat, dan laboratorium astronomi.

Menjadi ahli stastistik Islami, menjadi pengelola zakat yang amanah, menjadi pegawai pajak yang amanah, menjadi akuntan amanah, dll

3.

Spasial-visual

Kaligrafi, menggambar masjid, membuat peta tentang sejarah perkembangan agama Islam di dunia, menggambar grafik peningkatan jumlah muslim di dunia, dll

Memotivasi, latihan, menggambar, membuat grafik, membuat peta, mendesain Masjid, dan pergi ke seniman kaligrafi

Data-data tentang perkembangan agama Islam di dunia dari zaman dulu hingga sekaran

Menjadi pelukis Islami, menjadi pengukir atau pemahat yang Islami, menjadi arsitek Islami, dll

4.

Musikal

Barzanji, seni baca al Qur’an, selawat, nasyid, dan musik religius modern, dll

Memotivasi, latihan, praktek langsung di dunia nyata

Perlengkapan musik, panggung

Menjadi pemusik Islami, dll

5.

Kinestetik

Perawatan jenazah, materi sunnah nabi: berkuda, berenang, berlari.

Memotivasi, latihan, ikut perlombaan

Perlengkapan jenazah, kuda, kolam renang, lapangan olah raga

Menjadi olah ragawan Islami, menjadi tentara Islami, dll

6.

Interperso-nal

Praktek dakwah, pemimpin, menari, drama, dll

Memotivasi, latihan, role play, ikut organisasi, praktek di dunia nyata

Organisasi, mushola, panggung dakwah

Menjadi pengacara islami, menjadi politikus Islami, sutradara Islami dll

7.

Intraperso-nal

Renungan malam (tahajud), cerita tentang kehidupan sufi, cerita tentang perjuangan masuk Islam, cerita tentang Mualaf, dll

Memotivasi, pendekatan personal,

Buku cerita tentang sufi, buku muhasabah, cerita menyentuh hati

Menjadi motivator Islami, menjadi inspirator Islami, dll

8.

Naturalistik

Merawat taman sekolah, menjaga keindahan, memanajemen lingkungan sekolah, dll

Memotivasi, penugasan: menjaga taman

Taman, hewan, ekosistem sekitar

Menjadi aktivis peduli lingkungan yang Islami, dll

 

Dari tabel di atas dapat disimpulkan, bahwa siswa yang dikatagorikan cerdas menurut PAI tidak hanya yang bisa hafal al Qur’an-Hadith, pandai bahasa arab, pandai berlogika hukum Islam, hafal sejarah Islam, dan yang memiliki nilai ulangan bagus. Melainkan, semua siswa dikatakan cerdas, utamanya “bila” sudah menemukan jenis kecerdasan apa yang ia miliki (kuasai). Kemudian diterapkan pada pembelajaran PAI untuk dipahami, dihayati, diamalkan, dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kurikulum PAI bisa menjadi fungsional dan bermanfaat langsung bagi kebutuhan hidup (jasmani dan rohani) peserta didik. Serta bisa bermanfaat bagi masyarakat karena jenis kecerdasan yang beragam tersebut bisa mencetak generasi Islam yang berprofesi di bidang bermacam-macam (tidak homogen).

Pada ulasan selanjutnya, hal tersebut tentu akan berbeda dengan penerapan teori KB (kecerdasan beragam) di lingkup materi (tema) pembelajaran PAI. Misalnya materi tentang zakat. Dari materi tersebut bisa disimulasikan (metode bermain peran /role play), bentuk penugasan mengarang[69], atau dipraktekan secara nyata dengan pembentukan lembaga (organisasi) zakat yang berlokasi di sekolah. Lebih detailnya maka penulis membuat pembagian tugas di “lembaga zakat” tersebut berdasarkan jenis kecerdasan masing-masing peserta didik sebagai berikut:

Tabel 2.3: Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Lingkup Satu Tema (Materi)

 

NO.

JENIS KECERDASAN UTAMA (DOMINAN)

JABATAN

TUGAS

ALAT

TEMPAT KERJA

1.

Linguistik-verbal

(dibutuhakn kecerdasan spasial untuk mendesain gambar iklan)

Tim manajer pemasaran

Membuat proposal, selebaran/pamflet (iklan) untuk masyarakat

Komputer, kertas

Ruangan

2.

Matematis-logis-numerikal

(dibutuhkan kecerdasan spasial untuk memetakan masyarakat berdasarkan tingkat ekonominya)

Tim manajer keuangan

Membuat (mengkalkulasikan) daftar prioritas penerima zakat serta prioritas warga paling dermawan dan menghitung pengeluaran dan pemasukan

Komputer, kertas

Ruangan

3.

Spasial-visual

(dibutuhkan kecerdasan interpersonal untuk mengadakan pendekatan dengan pejabat terkait)

Tim manajer perencanaan

Memetakan warga mana saja di sekitar sekolah yang berstatus mustahik zakat dan warga dermawan

Kertas gambar, pensil, dan spidol berwarna

Lapangan dan ruangan

4.

Kinestetik-jasmaniah

(dibutuhkan kecerdasan matematis-logis untuk menganalisis data stastitik)

Tim manajer pengelolaan barang atau perlengkapan

Mengambil zakat dari warga dermawan (muzaki) disetorkan ke “panitia zakat” luntuk dikelola alu didistribusikan ke mustahik zakat.

Kendaraan, timbangan,

Lapangan

5.

Musikal

(dibutuhkan kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi teman-temannya agar mau mengikuti komando lirik lagu yang dibuatnya)

Tim manajer kesegaran jiwa /mental (SDM)

Menggubah lirik lagu-lagu terkini dengan lirik lagu Islami tentang zakat, kemudian dia disuruh memimpin teman-temannya agar bersemangat dalam menjalankan misi panitia zakat.

Sound, kertas, kaset,

Ruangan

6.

Interpersonal

(dibutuhkan kecerdasan linguistik-verbal untuk mempopulerkan zakat kepada calon muzaki)

Tim manajer humas

Menjadi pimpinan panitia zakat atau ditugaskan untuk mengadakan pendekatan dengan warga dermawan (muzaki) dan para mustahik.

Kendaraan, data statistik, materi zakat,

Lapangan dan ruangan

7.

Intrapersonal

(butuh kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi teman-temannya)

Tim manajer kesegaran jiwa /mental (SDM)

Memotivator teman-temannya, meluruskan niat, dan menentukan (merumuskan) hukum dan jumlah zakat dari semua jenis /macam zakat

Kertas

Ruangan dan lapangan

8.

Natural

(butuh kecerdasan spasial untuk menyeting ruangan)

Tim manajer kesegaran jiwa /mental (SDM)

Menata keindahan dan kenyamanan ruangan rapat/kelas untuk konsolidasi “panitia zakat” menggunakan tanaman dan mengelola zakat binatang ternak

Pot, tanaman, poster flora atau fauna,

Ruangan dan peternakan

 

Dari dua tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila pendidik hendak menerapkan pembelajaran PAI berbasis KB (kecerdasan beragam) dalam arti gaya belajarnya, maka pendidik dituntut punya kemampuan delapan jenis kecerdasan untuk mengajar peserta didik. Namun, bila hendak menerapkannya dalam arti esensinya, maka pendidik harus mengakomodasi perbedaan. Serta tentunya mengakui adanya kecerdasan beragam yang dimiliki masing-masing peserta didik. Konsekuensinya, pendidik memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengekspresikan muatan yang ada di PAI sesuai dengan bidang kecerdasannya. Misalnya, dalam satu tema /materi pelajaran PAI, peserta didik ditugaskan untuk memeragakan materi yang sesuai dengan bidang kecerdasannya yaitu kinestestik. Sedangkan peserta didik lainnya ditugaskan untuk membuat gambar terkait materi sesuai dengan bidang kecerdasannya yaitu spasial-visual.

Dalam beberapa kasus, ada kalanya anak tidak merasa bangga dengan jenis kecerdasan yang sebenarnya ia kuasai dan secara asali merupakan bidangnya. Akan tetapi ia cenderung tertarik dengan bentuk kecerdasan lain. Keinginan atau keterpikatan tersebut biasanya disebabkan karena:

1.    Meniru idola; peserta didik akan merasa bangga bila ia bisa mempunyai kemampuan seperti seseorang yang ia idolakan.  Meski secara bakat belum tentu ia memiliki kecerdasan di bidang itu. Dengan meniru idola salah satu tujuannya ialah akan memiliki “penggemar” seperti halnya yang terjadi pada idolanya.

2.    Terpengaruh oleh teman; dalam posisi ini peserta didik belum memiliki “kesadaran” tentang kemampuan atau kecerdasan yang ia miliki. Ia cenderung merasa aman dan nyaman bila mengikuti “kecerdasan” yang sedang digandrungi oleh kelompoknya. Selain itu, boleh jadi peserta didik sudah mengetahui (merasakan) bidang kecerdasan yang ia miliki tapi tidak punya keberanian untuk menunjukkan jati diri kecerdasannya karena takut tidak mendapat apresiasi dari teman-temannya.

3.    Kuatnya paradigma kecerdasan tunggal, peserta didik dihadapkan  pada sistem pendidikan dan sistem masyarakat yang hanya mengakui satu jenis kecerdasan. Misalnya mengakui kecerdasan matematis-logis (numerikal) saja atau hanya mengakui kecerdasan linguistik-verbal. Adapun status kecerdasan lainnya diabaikan begitu saja. Keadaan seperti ini memaksa peserta didik untuk mendalami sesuatu yang bukan bidang kecerdasannya.

Kenyataan tersebut mempengaruhi psikologi, cara pandang, dan pemahaman peserta didik tentang kecerdasan. Oleh karena itu, pendidik bertanggung jawab dalam mengarahkan mereka ke jalur semestinya. Namun demikian, pendidik tetap memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengaktualisasikan minat atau hasratnya tersebut. Boleh jadi, keinginan yang sedang ia senangi itu adalah jenis kecerdasan dominan “kedua” yang ia miliki. Setelah itu, saat waktu tepat pendidik mengoptimalkan kecerdasan utama yang ada pada diri peserta didik. Tentu pendekatan yang digunakan untuk melakukan pembimbingan akan berbeda antara peserta didik pada jenjang PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Dengan demikian, karena tersalurkannya[70] potensi masing-masing kecerdasan peserta didik secara layak –serta semuanya didasarkan pada nilai-nilai Islam— maka diharapkan peserta didik akan benar-benar menjadi orang sukses. Yakni, kesuksesan yang hakiki bukan kesuksesan yang semu. Di mana, Tufiq Pasiak menggambarkan makna kesuksesan sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3.3: Dua Jenis “Makna” Kesuksesan

(Diadapatasi dari tabel Taufiq Pasiak)

 

Dari gambar tersebut berdasarkan penjelasan Taufiq Pasiak dapat digambarkan bahwa jenis kesuksesan pada bagan paling kanan lebih mementingkan nilai kehidupan. Di antaranya kebersamaan, kejujuran, integritas, komitmen, hubungan sosial, kerja sama, dan keadilan. Lebih jelasnya, seseorang merasa sukses bila ia mampu memberi orang lain sesuatu, sehingga membuatnya dapat menikmati hidup dan semakin bermakna.[71] Dengan kata lain, arti sukses sesungguhnya bukan sukses semata-mata untuk mementingkan diri sendiri. Namun, yang dapat merubah situasi menjadi lebih baik sehingga bisa memberikan makna dan nilai kehidupan.

Selanjutnya, sebagai upaya filter terhadap proses dan hasil dari ilmu pengetahuan barat maka perlu adanya upaya kritis terhadap teori Gardner. Di mana, ternyata teori kecerdasannya tidak hanya mencakup manusia, tapi juga spesies lain (binatang). Dengan ini, berarti ada anggapan bahwa hewan juga memiliki kecerdasan karena juga memiliki batang otak, walaupun tak secerdas manusia. Menurut Gardner sebuah era “kecerdasan” sudah dimiliki oleh manusia sejak zaman prasejarah, ketika peradaban manusia modern belum dimulai. Bahkan, menurutnya kecerdasan juga dimiliki oleh spesies lain (hewan). Berikut adalah indikasi yang menentukan bagaimana sebuah kecerdasan antara manusia purba dengan hewan dapat saling terkait:[72]

Tabel 3.4: Kecerdasan Pada Manusia Purba dan Spesies Selain Manusia

(Tabel dibuat oleh penulis, diadaptasi dari penjelasan Gardner)

 

No.

Jenis Kecerdasan

Manusia Purba

Spesies lain

1.

Linguistik-Verbal

Ditemukan lambang tertulis terbukti telah dipakai sejak 30.000 tahun

Kera besar punya kemampuan dasar untuk menamai benda

2.

Logis-matematis-numerikal

Sistem angka dan kalender telah ditemukan dalam lingkungan prasejarah

Lebah menghitung jarak melalui perilaku terbang mereka

3.

Spasial-visual

Lukisan gua yang terkenal di Prancis dan Spanyol

Naluri mempertahankan wilayah pada berbagai jenis mamalia

4.

Kinestetik-jasmani

Penggunaan alat pada zaman prasejarah (penemuan artifak)

Penggunaan alat sederhana telah ditemukan pada primata, binatang pemakan semut, dan spesies lain

5.

Interpersonal-antar pribadi

Petunjuk adanya kelompok kedupan komunal awal

Ikatan dengan induk pada primata dan psesies lain

6.

Intrapersonal-intra pribadi

Kesadaran diri yang dibuktikan dengan lukisan gua, keterampilan memburu (butuh perencanaan dan intuisi)

Simpanse dapat melihat pantulan diri dari cermin dengan mengungkapkan serta melambangkan perasaan dasar.

7.

Naturalis

Kemampuan membedakan fauna dan flora untuk kelangsunga hidup

Sistem rumit untuk memangsang tetangganya dan untuk tidak menjadi mangsa

8.

Eksistensial

Adanya upacara keagamaan prasejarah, yaitu sebelum berburu dan saat penguburan.

Gajah dan spesies lain menunjukkan ritual tertentu setelah kematian salah satu anggotanya.

 

Dari tabel tersebut dapat dipahami bahwa antara manusia purba dengan spesies lain (hewan) sama-sama memiliki kecerdasan yang beragam. Meskipun, untuk manusia kecerdasan beragam bisa didominasi oleh spesies manusia saja pada masing-masing individunya. Adapun untuk hewan tidak bisa didominasi oleh satu spesies saja. Artinya tiap individu dalam satu spesies memiliki satu jenis kecerdasan yang sama. Misalnya, kecerdasan satu ekor lebah dengan lebah yang lain tidak bisa memiliki jenis kecerdasan berbeda. Dengan kata lain, jenis kecerdasan pada lebah antara satu sama lain adalah sama, yakni kecerdasan dalam menghitung jarak melalui perilaku terbang. Mereka seakan mempunyai “peluang” dan gaya yang sama dengan manusia dalam menghadapi kehidupan di bumi.

Hal tersebut tentu akan berbeda dengan pandangan Islam tentang hewan. Bagaimanapun, menurut Islam tujuan diciptakannya antara manusia dengan hewan itu berbeda. Dengan demikian, fungsi otak sebagai penghasil kecerdasan antara manusia dan hewan juga berbeda. Kecerdasan hewan hanya digunakan untuk mematuhi perintah Allah, yaitu “menghiasi” bumi. Terlebih lagi, hewan tidak dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sedangkan, fungsi kecerdasan (otak) pada manusia sebagai modalitas (bekal) untuk menjalankan kehidupan di dunia. Di mana, salah satu tujuannya agar bisa memilih segala sesuatu sesuai dengan apa yang bisa mereka pilih. Memilih kehidupan dunia atau akhirat, bisa juga manusia memilih keduanya.

Dari semua fenomena dan masalah di atas tersebut, Anshori telah memberikan rekomendasi sebagai jalan keluar, salah satu di antaranya yaitu:

1.    Lembaga pendidikan Islam pada setiap pelajarannya harus memiliki aktivitas yang terkait dengan multiple intelligences.

2.    Lembaga pendidikan tidak perlu menerima peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus kecuali lembaga pendidikan Islam telah diperlengkapi dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.

3.    Mengambil gagasan inovatif yang sesuai denga ajaran Islam.[73]

 

Mengacu pada rekomendasi tersebut serta didasarkan pada pembahasan sebelumnya. Satu perihal lagi yang menjadi alasan mengapa paradigma ilmu Islam dengan Ilmu barat semakin merenggang adalah pengkultusan terhadap otak. Di mana, adanya perkembangan “teori” tentang otak membuat posisi antara manusia dengan hewan “hampir” sama. Yakni, sama-sama memiliki otak dan sama-sama memiliki kecerdasan meskipun berdasarkan penelitian tingkat kecerdasan hewan sangat jauh dibandingkan manusia. Implikasinya, bila diruntut ke zaman masa prasejarah bahkan hingga ke zaman “penciptaan” semua makhluk hidup, maka menghasilkan gagasan bahwa hewan dan manusia diciptakan dari “hal” yang sama. Adapun, letak perbedaannya adalah kemampuan evolusi manusia yang amat pesat sehingga mampu meninggalkan tingkat kecerdasan “hewan” lainnya.

Untuk menghadapi dilema tersebut, Muhaimin menjelaskan tentang tipologi pemikiran (filsafat) pendidikan Islam. Di mana, menurut pandangan penulis bisa menjadi dasar filosofis Pendidikan Islam pada zaman sekarang ini. Konsep tersebut secara lengkap dapat dilihat dalam bentuk tabel sebagai berikut:[74]

Tabel 3.5: Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam dengan Bentuk Tabel

(Diadaptasi dari tabel Muhaimin)

Corak Pemikiran Pendidikan Islam

Tolok ukur

Ciri-ciri

Fungsi Pendidikan Islam

Rekonstruksi sosial berlandaskan Tauhid

1.     Sumber al Qur’an dan Hadith

2.     Progresif dan dinamis

3.     Rekonstruksi sosial berkelanjutan yang dibangun secara bottom up, dari grass toot, dan berdasarkan pluralistis

4.     Pendidikan Islam yang proaktif, berorientasi masa depan, dan antisipatif dalam mengatasi suatu masalah karena disebabkan perubahan yang tak terduga (adanya teori baru dll) dan perkembangan IPTEK.

1.     Bukan konstruk yang closes-ended, tapi yang dikembangkan secara konsultatif antara kenyataan (fenomena) dengan teori (konsep)

2.     Rekonstruksi sosialnya berdasarkan pada pengembangan paradigma secara terus menerus

3.     Komitmen terhadap pengembangan kreativitas secara terus-menerus

4.     Menghargai keragaman budaya, dengan tetap menjunjung tata nilai.

1.      Menumbuhkan kreativitas peserta didik secara terus-menerus

2.      Memberikan kekayaan wawasan budaya, nilai-nilia insani, dan ilahiah

3.      Mendidik manusia agar siap tampil (bekerja dll) untuk menghadapi kehidupan

4.      Mengembangkan manusia menjadi cakap atau kreatif untuk selanjutnya mampu bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya.

 

 

Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam meberikan kebebasan peserta didik untuk menjadi politisi, akuntan, arsitek, pemain sepak bola, zoolog, pemimpin LSM, dan ahli dalam bidang apapun itu. Akan tetapi dengan salah satu syarat, semuanya tadi tetap bernilaikan agama Islam. Dengan demikian, PAI tidak hanya menekankan pada aspek kemampuan kognitif dan IQ-nya. Melainkan, juga menekankan pada aspek fungsional di masyarakat. PAI tidak hanya berorientasi pada dogma-dogma menjalankan ibadah untuk akhirat. Akan tetapi juga “dogma-dogma” tentang perintah mengembangkan kecerdasan di bidang masing-masing untuk kepentingan agama dan bangsa.

Dengan demikian, tugas PAI mesti mampu mengakomodasi keberagaman kecerdasan peserta didik. Serta  mampu memanfaatkan potensi tersebut untuk mencetak generasi-generasi Islam yang mengisi seluruh sektor bidang kemasyarakatan. Asumsinya, outcome pembelajaran PAI tidak hanya menjadikan peserta didik beriman dan bertaqwa dalam arti ritual (ibadah). Lebih dari itu, PAI juga menjangkau hal-hal yang bersifat materiil  (nyata). Meski dalam pengembangan yang bersifat riil tersebut tetap harus berlandaskan pada hal-hal yang imaterial (gaib).  Selain itu, dengan mengkaji PAI diharapkan peserta didik mampu menyadari, menemukan, dan mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang ada pada dirinya.

Bila hal tersebut dikaitkan dengan teori Gardner maka salah satu hal penting yang dapat diambil oleh pendidikan Islam adalah setiap peserta didik punya jenis kecerdasan beragam antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, pendidik tidak boleh menyamakan (menyeragamkan) posisi kecerdasan seluruh peserta didik. Di sisi lain, mengenai teori lain yang berasal dari Barat seperti tentang kemampuan otak yang seakan “tak terbatas,” kecerdasan itu bersifat genetis atau tidak, hewan juga memiliki “kesetaraan” dengan manusia, dan teori lainnya yang masih belum mengalami kematangan oleh umat Islam wajib difilter. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak sepantasnya mengambil seluruh teori dari Gardner apalagi bagian-bagian teori yang masih belum matang (terdapat pertentangan kuat).

Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa hakekat dari pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences) adalah bisa meningkatkan atau mengembangkan kecerdasan paling dominan (nampak) yang dimiliki setiap individu peserta didik. Di sisi lain, pendidik PAI mesti memberikan materi lain yang tentunya terkait langsung dengan dogma-dogma dan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, peran PAI adalah memberikan motivasi dan mengarahkan peserta didik dalam mengembangkan kecerdasannya. Tentunya, disertai dengan penanaman nilai-nilai Islam dengan cara dan materi pokok yang disesuaikan dengan kecerdasan mereka. Misalkan, peserta didik yang memiliki kecerdasan spasial didorong untuk menekuni kecerdasannya sehingga bisa menjadi pelukis, pemahat, arsitek, ahli geografi, dan lain sebagainya. Selanjutnya, pendidik diwajibkan menanamkan nilai-nilai Islam, yaitu agar menjadi pelukis, pemahat, arsitek, ahli geografi yang menjunjung nilai-nilai Islam.

 

D. Penutup

Pada prinsipnya, Islam mengakui terdapatnya kecerdasan beragam pada setiap peserta didik (manusia). Dalam sejarahnya pun, turunnya wahyu tentang larangan minum khamr (minuman memabukan) tidak serta merta langsung secara “mendadak.” Namun, dilakukan secara berangsur-angsur. Ini artinya, Islam menghendaki perubahan manusia orientasinya bukan pada hasilnya saja, tetapi juga proses yang berkualitas. Di mana kondisi psikologis serta fisik para peminum khamr sangat diperhatikan. Inilah bukti bahwa dalam “mendidik” umat, agama Islam sangat memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan.

Penjelasan tersebut bila dikaitkan dengan teori multiple intelligences, maka seorang pendidik tidak serta merta harus tertuju pada hasil apa yang diinginkan. Melainkan, juga memperhatikan cara atau proses apa yang paling bagus (manusiawi) agar kondisi fisik dan psikologis peserta tidak mengalami salah orientasi. Harapannya, dalam jangka panjang bisa tercapai hasil /tujuan yang lebih bagus. Misalnya, pendidik yang ingin mewudukan tujuan PAI yaitu supaya peserta didiknya menjadi manusia yang beriman pada Allah. Pendidik tidak akan serta merta mendoktrin peserta didik supaya bisa beriman pada Allah, tapi juga dilakukan pendekatan lain. Yakni, yang sesuai dengan kemampuan (kecerdasan) peserta didik dalam memahami dan menjawab “Bagaimana cara beriman kepada Allah?.”

Sebagai penutup, dari semua penjelasan di atas terdapat beberapa kesimpulan penting, di antaranya adalah:

1.    Konsep dasar tentang teori kecerdasan beragam (multiple intelligences).

Telah terjadi perubahan paradigma kecerdasan, yang berimplikasi adanya perubahan “posisi” peserta didik di dunia pendidikan. Di mana awalnya peserta didik hanya sebagai objek untuk “proyek” peningkatan kecerdasan, menjadi subjek atas “proyek” pengembangan kecerdasan. Asumsinya, peserta didiklah yang harus aktif dalam mencari dan mengembangkan kecerdasan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pendidik hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik dalam menemukan dan mengembangkan bidang kecerdasan yang masing-masing peserta didik miliki.

2.    Paradigma baru pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Pembelajaran PAI dilakukan tidak hanya untuk memenuhi tuntutan moralitas dan ritualitas. Lebih dari itu, pembelajaran PAI merupakan penanaman nilai-nilai PAI secara universal. Dengan demikian, tujuan PAI bukan hanya dalam misi mencerdaskan peserta didik secara IQ.  PAI juga hendak mencerdaskan peserta didik sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Itu artinya, peserta didik tidak hanya diarahkan untuk memahami bahkan menjadi ahli ilmu agama. Melainkan, mereka diberi ruang mengaktualisasikan bidang kecerdasan yang ia kuasai pada dunia nyata kelak. Implikasinya, pembelajaran PAI secara praktik juga mengalami perubahan-perubahan. Tidak hanya tertuju pada hasil, tapi juga mementingkan proses yang tepat. Kendati demikian, pada pembelajaran PAI dalam proses perubahan atau inovasi dari sudut manapun, hendaknya identitas dan nilai-nilai keislaman tidak boleh ditinggalkan.

3.    Pembelajaran PAI berbasis kecerdasan beragam yang ideal.

Pembelajaran berbasis multiple intelligences dalam lingkup satu lembaga (institusi) secara umum tidaklah mudah. Banyak kendala yang ditemui, misalnya butuh dana yang cukup banyak, butuh tenaga pendidik yang ahli (spesialis) di bidang-bidang tertentu, dan butuh waktu untuk pengidentifikasian jenis kecerdasan peserta didik. Hambatan lainnya adalah adanya upaya penemuan jenis kecerdasan lain yang menjadi pendukung dari kecerdasan utama dalam satu individu, belum adanya kesatuan visi, potensi pendidik yang masih minim, dan sebagainya. Oleh karena itu, idealnya pembelajaran PAI tidak serta merta harus mempraktekan secara buta (mentah) teori apapun itu. Termasuk teori multiple intelligences milik Gardner. Pembelajaran PAI ditekankan tetap melihat konteks masyarakat sekitar, kondisi (latar belakang) peserta didik, dan tentunya kemampuan (potensi) lembaga pendidikan.

 


 

Daftar Rujukan

 

 

“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

 

Armstrong, Thomas. “Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligence, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia, 2005.

 

--------. Multiple Intelligences in The Classroom 3rd Edition. Alexandria USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 2009.

 

Cambell, Linda dan Bruce Campbell. Multiple Intelligences and Student Achievement: Succes Stories from Six Schools. Alexandria USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1999.

 

Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung: Kaifa, 2010.

 

Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.

 

Gardner, Howard. “Practice Does Not Make Perfect,” http://multipleintelligencesoasis.org/practice-does-not-make-perfect/, diakses tanggal 23 Oktober 2014.

 

--------. Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences. New York USA: BasicBooks, 1993.

 

Goleman, Daniel. “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

 

Hoerr, Thomas R. Becoming a Multiple Intelligences School. Virginia USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 2000.

 

Ibrahim, R. dkk., Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali, 2011.

 

Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi. Jakarta: Pustaka al Husna, 1985.

 

Ma’arif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

 

Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

 

--------, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

 

Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2009.

 

Nurani, Yuliani. “Sinopsis Disertasi Pengembangan Model Program Kegiatan Bermain Berbasis Kecerdasan Jamak dalam Rangka Peningkatan Kreativitas Anak Usia Dini,” Pascasarjana Universitas Jakarta 2008, dalam http://yebefo.com/wp-content/uploads/2013/04/Sinopsis-Disertasi.pdf, diakses 06 Januari 2014.

 

Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup. Bandung: Mizan.

 

Sabri, Ahmad. Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching. Jakarta: Quantum Teaching, 2005.

 

Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2007.

 

Septiana, Dwi. dkk. “Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Multiple Intelligences pada Materi Pertumbuhan dan Perkembangan,” Unnes Journal of Biology Education dalam http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujeb, diaskes tanggal 31 Desember 2014.

 

Strauss, Valeria. “Howard Gardner: ‘Multiple Intelligences’ are not ‘Learning Styles’,” dalam http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete, 16 Oktober 2013, diakses 23 Oktober 2014.

 

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4, dalam http://dpr.go.id/uu/uu1945, diakses tanggal 23 Februari 2015.

 

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.

 

Widayati, Sri dan Utami Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta: Luna, 2008.

 

Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab. Malang: Uin Malang, 2010.

 

Zohar, Danah dan Ian Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk. Bandung: Mizan, 2007.


[1]Dalam referensi lain adakalanya digunakan istilah “kecerdasan ganda,” “kecerdasan jamak,” “ragam kecerdasan,” dan “kecerdasan majemuk” sebagai pengganti istilah multiple intelligences yang digunakan oleh Gardner dalam mengembangkan teorinya terkait kecerdasan.

[2]Teori Gardner awalnya hanya mengidentifikasikan tujuh jenis kecerdasan, yaitu linguistik, logis-matematis, musik, kinestetik-jasmani, spasial-visual, interpersonal, dan intrapersonal. Ia kemudian menambahkan satu jenis kecerdasan lagi yaitu naturalis. Selain itu Gardner juga mengatakan bahwa mungkin saja ada beberapa kecerdasan lain lagi. Walaupun seiring waktu, teori "multiple intelligences" ini entah bagaimana bisa menjadi identik dengan konsep "gaya belajar" meskipun kedua hal tersebut sangat berbeda. Lihat, Valeria Strauss, “Howard Gardner: ‘Multiple Intelligences’ are not ‘Learning Styles’,” dalam http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete, 16 Oktober 2013, diakses 23 Oktober 2014.

[3]Howard Gardner adalah tokoh revolusioner dunia pendidikan dan psikologi. Bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (terbit pertama kali 1983) telah mengguncang paradigma kecerdasan yang lama. Menurut pengamatan penulis, sampai sekarang ini (Oktober 2014) ia masih hidup. Bahkan masih aktif melakukan kegiatan ilmiah di dunia maya. Di internet ia sering mem-posting pendapat maupun kritikannya terhadap pelaksaan serta perkembangan Multiple Intelelligences di berbagai negara.

[4]Menurut penjelasan Hoerr, bahwa teori tentang kecerdasan telah bertambah baik menjadi instrumen yang mendapat sambutan antusias dari para pendidik di seluruh dunia. Meski memang diakui, awalnya teori “kecerdasan” hanya dimaksudkan untuk dunia psikologi. Lihat, Thomas R. Hoerr, Becoming a Multiple Intelligences School (Virginia USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 2000), hlm. 1.

[5]StraussHoward Gardner: ‘Multiple,” diakses tanggal 23 Oktober 2014.

[6]MI theory makes its greatest contribution to education by suggesting that teachers need to expand their repertoire of techniques, tools, and strategies beyond the typical linguistic and logical ones premonimantly used in American classrooms.” Lihat, Thomas Armstrong, Multiple Intelligences in The Classroom 3rd Edition (Alexandria USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 2009), hlm. 54.

[7]Ibid. hlm. 199.

[8]Lembaga pendidikan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis. Salah satu di antaranya adalah pendidikan umum seperti sekolah (SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi Umum) dan pendidikan umum berciri khas Islam (MI, MTs, MA, Perguruan Tinggi Agama Islam), pendidikan kejuruan (SMK dan MAK), keagamaan (pondok pesantren, ma’had aly, dll), dan sebagainya. Lebih lanjut, untuk PTAI berbentuk Sekolah Tinggi (STAI) idealnya hanya menerima peserta didik yang mempunyai kecerdasan linguistik-verbal, interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal. Hal ini, karena STAI difokuskan untuk mencetak generasi ahli agama. Oleh karena itu, jenis kecerdasan tertentu tidak terlalu dibutuhkan seperti kecerdasan naturalis, dan kecerdasan spasial. Adapun untuk PTAI berbentuk Universitas (Universita Islam) bisa menerima seluruh peserta didik dari berbagai jenis kecerdasan apapun. Terutama yang tingkat keberagaman prodi sangat tinggi. Kendati mahasiswa harus tetap diseleksi, kecerdasan apa yang sekiranya cocok untuk dimasukkan pada prodi-prodi tertentu. Misalnya, kecerdasan spasial dimasukan pada prodi arsitektur, kecerdasan matematis serta naturalis dimasukan pada prodi MIPA, dan kecerdasan musik dimasukkan pada prodi dakwah. Adapun untuk PAI di jenis pendidikan umum implementasi kecerdasan beragam disesuaikan dengan visi dan misi lembaga sekolah masing-masing. Tentunya, tetap dikaitkan dengan nilai-nilai agama Islam. Kemudian, untuk jenis pendidikan kejuruan disesuaikan dengan jurusan yang diambil peserta didik. Sedangkan, implimentasi teori kecerdaan beragam di PTU hendaknya juga memperhatikan di prodi mana pendidik mengajar. Pembahasan lebih lanjut tentang pembalajaran PAI di PTU sebagai penguat teori mutlitple intelligences (kecerdasan beragam) diulas cukup lengkap oleh penulis di buku lain. Lihat, A. Rifqi amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014).

[9]Terkait implementasi teori mutliple intelligences pada jenjang pendidikan dasar (Elementary Schools), pendidikan menengah (Middle-Level Schools), dan pendidikan tinggi (High Schools) Linda Campbell dan Bruce Campbell dalam bukunya menjelaskan secara detail. Lihat, Linda Cambell dan Bruce Campbell, Multiple Intelligences and Student Achievement: Succes Stories from Six Schools (Alexandria USA: Association for Supervision and Curriculum Development, 1999).

[10]Untuk melakukan pemilahan perindividu berdasarkan kecerdasan yang ia kuasai maka perlu dilakukan tes tertentu agar diketahui kecenderungan kecerdasan apa yang dimiliki peserta didik. Bahkan dimungkinkan, individu memiliki kecenderungan kecerdasan lebih dari satu bidang. Strategi pemilahan ini sering ditemukan pada beberapa lembaga pendidikan yang murni dan totalitas melaksanakan teori multiple intelligences. Sedangkan untuk lembaga yang belum mampu melaksanakannya, pengadaan tes identifikasi jenis kecerdaan peserta didik dirasa tetap penting. Salah satunya sebagai “peta” pendidik PAI dalam melakukan pembelajaran berbasis kecerdasan beragam yang efektif. Paling tidak, dengan peta itu pendidik bisa memahami maupun memandu kecenderungan bakat dan potensi peserta didik, sehingga pendidik tidak salah dalam mendoktrin peserta didik dengan ayat al Qur’an dan Hadith.

[11]Kecerdasan linguistik-verbal salah satunya kemampuan dalam bidang kebahasaan, seperti membaca, menghafal, maupun menulis ayat-ayat al Qur’an dan Hadith. Sedangkan kecerdasan intrapersonal adalah salah satunya kemampuan dalam bidang memahami kelemahan diri sendiri, peka terhadap etika (moral), mudah berempati, peka terhadap suatu perubahan, mudah menerima dogma agama, dan cenderung menguasai hingga mengimplementasikan ilmu tasawuf.

[12]Bila dianalogikan dengan “bakat” bawaan hewan (bukan berarti permisalan ini dimaksudkan untuk menyamakan peserta didik dengan binatang), maka guru mempresepsikan semua binatang adalah burung. Oleh karena itu, semuanya diasumsikan punya kemampuan yang sama yaitu terbang untuk mencapai tujuan. Padahal, kenyataannya tidak semua hewan bisa terbang. Ada bermacam jenis kemampuan lain yang dimiliki oleh beberapa hewan lainnya yaitu berenang, lari, melompat, bernyanyi (berkicau), dan sebagainya. Kenyataannya guru PAI selama ini masih menghendaki ikan, harimau, dan kodok supaya mempunyai kemampuan terbang. Dampaknya, tiga hewan tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan yang dikendaki secara efektif. Bahkan, tujuan yang dikehendaki tidak akan tercapai sama sekali. Hal itu karena energi maupun pikirannya terkuras dan disibukkan untuk mendalami sesuatu yang di luar bidang atau jenis “kecerdasannya.”

[13]Kenyataan yang terjadi secara umum dalam dunia pembelajaran PAI adalah terjadinya penyeragaman peserta didik. Yakni, peserta didik diseragamkan strategi pembelajarannya. Bahkan, diseragamkan kemampuannya dalam menghayati dan “mengamalkan” nilai-nilai Islam hanya dari dua sudut kecerdasan saja. Di satu sisi, peserta didik diajarkan atau diarahkan untuk menjadi muslim yang baik, tapi ironisnya strategi pembelajarannya tidak menunjukkan sebagai muslim baik yang mampu menghargai jenis kecerdasan yang dimiliki individu. Artinya, dalam suatu materi tertentu strategi pembelajaran dan pemberlakuan peserta didik satu dengan lainnya disamakan tanpa memedulikan jenis kecerdasan yang di miliki masing-masing individu. Pada akhirnya pendidik akan memfonis peserta didik yang mengalami kesulitan belajar membaca al Qur’an, kesulitan praktik berceramah, kesulitan praktik ibadah, kesulitan memahami dogma-dogma tertentu, dan kelemahan-kelemahan lain sebagai individu yang bodoh dan tidak taat agama. Padahal, kesalahannya terletak pada kegagalan pendidik dalam mengidentifikasi jenis kecerdasan apa yang dominan dimiliki individu. Kemudian ditindaklanjuti dengan pendekatan atau strategi apa yang cocok, sehingga materi-materi yang dianggap sulit tersebut tidak menurunkan motivasi peserta didik dalam belajar PAI. Bahkan dengan strategi tepat, individu akan mampu memahami materi yang awalnya dianggap sulit menjadi lebih mudah dicerna. Pada akhirnya mereka akan merasa puas karena telah melakukan proses pembelajaran sesuai dengan dunia kecerdasannya.

[14]Sebagian dari gagasan teori multiple intelligence tidak sepenuhnya harus diserap oleh “teori” pembelajaran PAI. Ada sebagaian gagasan Gardner yang perlu digunakan dan ada yang tidak cocok untuk diterapkan karena tidak sesuai dengan karakter PAI. Oleh karena itu, penulis melakukan analisis kritis terhadap teori Gardner untuk mengetahui faktor-faktor apa yang membuat teori ini tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam pembelajaran PAI. Yakni, menganalisis ketepatan teori tersebut untuk digunakan dalam pembelajaran PAI. Kemudian diformulasikan sebuah gagasan yang merupakan kesimpulan dari beberapa gagasan yang ditemukan.

[15]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

[16]Selama ini multiple intelligences lebih dikaitkan dengan gaya belajar, bukan melihat sisi kecerdasan apa yang mungkin ada pada siswa sehingga siswa tidak harus dipaksakan untuk menggunakan gaya belajar yang berbasis multiple intelligences. Oleh karena itu, penulis menggunakan istilah “kecerdasan beragam” sebagai pengganti dari kata “multiple intelligences” agar bisa menegaskan bahwa kecerdasan yang dimilik individu itu beragam. Lebih lanjut, Gardner memaparkan bahwa kadang-kadang terdapat istilah pelajar yang gaya belajarnya visual atau pelajar yang gaya belajarnya mendengar. Hal ini menurutnya adalah kesalahan, karena ini akan mengartikan bahwa seseorang belajar melalui mata mereka, sedang orang lain melalui telinga mereka, dan seterusnya. Dalam dua jenis kecerdasan seseorang bisa saja sama-sama menggunakan mata sebagai alat pengumpul informasinya. Namun di antara keduanya dalam belajar menggunakan kemampuan kogintif yang sama sekali berbeda. Misalkan, kecerdasan musik dan kecerdasan berbicara (linguistik) meski sama-sama mengaktifkan telinga, tetapi penggunaan kemampuan kognitifnya dalam memahami “suara” sama sekali berbeda. Dengan demikian, konsep kecerdasan tidak berfokus pada masalah bagaimana informasi linguistik atau spasial mencapai otak, apa melalui mata, telinga, atau tangan. Namun, yang paling penting adalah kekuatan mental dan kecerdasan yang memiliki peran. Lihat, StraussHoward Gardner: ‘Multiple,” diakses tanggal 23 Oktober 2014.

[17]“Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.

[18]Ibid.

[19]Mengenai permasalahan ini Armstrong menggunakan beberapa argumennya, yang ia bahas secara cemerlang di Bab 15 berjudul “Akankah Ada Jenis Kecerdasan Lain?.” Lihat, Armstorng, Kind of Smart, hlm. 226-239.

[20]Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (tenth-anniversary edition)  (New York USA: BasicBooks, 1993), x.

[21]Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 81.

[22]Sri Widayati dan Utami Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak (Yogyakarta: Luna, 2008), hlm. 2.

[23]Ibid., 4.

[24]Howard Gardner, “Practice Does Not Make Perfect,” http://multipleintelligencesoasis.org/practice-does-not-make-perfect/, diakses tanggal 23 Oktober 2014.

[25]R. Ibrahim, dkk., Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawal, 2011), hlm. 125.

[26]Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 34.

[27]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat 20, dalam http://dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2003_20.pdf, diakses tanggal 23 Februari 2015..

[28]Menurut Gardner, pendidik harus mengurangi waktu untuk mengurutkan (me-ranking) kepandaian anak. Lebih banyak meluangkan waktu untuk menolong mereka menemukan bakat dan kecakapan alamiah serta memupuknya. Ada beratur-ratus cara  untuk berhasil, tetapi kemampuan yang berbeda-beda yang akan menolong manusia dari mencapai kesuksesan. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 50.

[29]Ini bukan berarti penulis menyalahkan lembaga privat. Akan tetapi yang perlu dikritisa adalah sudahkah potensi kecerdasan anak difasilitasi sebelum anak dileskan privat yang mengkaji bidang kecerdasan lain yang bukan pada bidang kecerdasan dominannya.

[30]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, 137

[31]Kecerdasan emosional (EQ) adalah “kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati, dan berdoa.” Lihat, Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 45.

[32]Kecerdasan spiritual (SQ) adalah “kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.” dengan kata lain, SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia, yang bisa memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.” Lihat, Danah Zohar dan Ian Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 4.

[33]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 85.

[34]Zohar dan Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” hlm. 35.

[35]Thomas Armstrong, “Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligence, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 6-8.

[36]Senyampang tidak kehilangan banyak darah maka manusia akan tetap bisa hidup berjam-jam bahkan bertahun-tahun (dengan transplatasi pada organ tertentu) meskipun ia kehilangan tangan, kaki, hati, usus, paru-paru, lambung, jantung, dan alat reproduksinya. Manusia umumnya tidak akan bisa hidup lama (kurang lebih tidak sampai 2 hingga 5 menit) bila kehilangan fungsi paru-paru dan jantung. Kendati demikian, ada sebagian pendapat bahwa meski jantung dan paru-parunya tidak berfungsi tapi pada kasus istimewa otak masih bisa bekerja. Hal ini menyebabkan beberapa waktu kemudian memungkinkan bagi otak memerintahkan jantung dan paru-paru bekerja kembali. Inilah yang disebut mati suri, yaitu keadaan matinya seluruh organ tubuh kecuali otak. Kendati demikian, secara teori otak yang tidak mendapatkan suplai oksigen dari paru-paru akan mengalami kehilangan fungsi (mati). Di mana, paru-paru dan jantunglah yang berperan menyuplai oksigen pada otak melalui peredaran darah. Kelebihan otak lainnya adalah bila hati, jantung, bahkan paru-paru bisa ditransplantasikan maka hingga kini hal itu tidak bisa diperlakukan untuk otak.

[37]Mengenai hal ini, Gardner agaknya mengakui bahwa hewan juga “memiliki” kecerdasan meski sangat sederhana di bidang masing-masing, sesuai dengan habitat hidupnya dan bentuk tubuhnya. Hal inilah yang agaknya sedikit kontradiksi dengan paradigma umat Islam. Di mana, ujung-ujungnya antara hewan dan manusia tak ada bedanya. Penjelasan lebih detail beserta contohnya diuraikan pada halaman berikutnya.

[38]Zohar dan Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” hlm. 50.

[39]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 55.

[40]Widayati dan Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona, hlm. 28-49.

[41]Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 133.

[42]Diyakini, dengan mengembangkan salah satu kecerdasan maka dapat memacu kecerdasan lainnya. Misalnya, dengan meningkatkan kecerdasan bermusik sejak dini (main biola atau piano) maka dapat merangsang kecerdasan matematisnya untuk ikut berkembang pesat. Serta kecerdasan spasialnya melejit setelah kecerdasan intrapersonalnya dikembangkan.

[43]Manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat fisik-biologis (homo economicus) dan hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian, betapa pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas. Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 2.

[44]Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4, dalam http://dpr.go.id/uu/uu1945, diakses tanggal 23 Februari 2015.

[45] Pada Pasal 32 Ayat 1 UU Sisdiknas 2003 dikatakan “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.” Lihat, Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).

[46]Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.

[47]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 22-23.

[48]M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab (Malang: Uin Malang, 2010), hlm. 34-35.

[49]Flow adalah perasaan “kehilangan” kesadaran ruang dan waktu. Menurut Daniel Goleman “flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 127. Lebih lanjut menurut Gardner, flow dan keadaan positif yang mencirikannya sebagai salah satu cara paling sehat untuk mengajar anak-anak. Juga memberi motivasi mereka dari dalam diri, bukannya dengan ancaman atau iming-iming. Dengan kata lain, pendidik harus menggunakan keadaan positif anak-anak untuk membuat mereka tertarik mempelajari bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan keahlian. Flow merupakan keadan batin yang menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak didik harus menemukan sesuatu yang disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm.  132.

[50]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 101-102.

[51]Dari penjelasan itu, dapat dipahami bahwa teori kecerdasan beragam dapat membantu pendidik dalam mendefinisikan ulang kecerdasan. Serta mengarahkan pendidik dalam memanfaatkan keunggulan peserta didik untuk membantu mereka dalam proses belajar. Artinya, kegiatan pembelajaran di manapun itu merupakan tempat yang terdapat bervariasi (bermacam) keterampilan dan kemampuan. Di mana, keberagaman tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan belajar dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, menjadi cerdas tidak lagi dilandaskan oleh skor nilai, tapi ditentukan oleh seberapa handal peserta didik belajar dengan cara yang belajar. Lihat, Hoerr, Becoming a Multiple, hlm. 1.

[52]Mengenai keberhasilan dan kelebihan penggunaan teori multiple intelligences secara nyata dalam konteks Indonesia telah berhasil dilakukan di SMP YMI di Gresik dan MTs YAMI di Bondowoso. Lihat, Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (Bandung: Kaifa, 2010).

[53]Dwi Septiana, dkk. “Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Multiple Intelligences pada Materi Pertumbuhan dan Perkembangan,” Unnes Journal of Biology Education dalam http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujeb, diaskes tanggal 31 Desember 2014.

[54]Yuliani Nurani, “Sinopsis Disertasi Pengembangan Model Program Kegiatan Bermain Berbasis Kecerdasan Jamak dalam Rangka Peningkatan Kreativitas Anak Usia Dini,” Pascasarjana Universitas Jakarta 2008, dalam http://yebefo.com/wp-content/uploads/2013/04/Sinopsis-Disertasi.pdf, diakses 06 Januari 2014.

[55]Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 192.

[56]Kita temui ada anak yang secara afektif sangat bagus (sopan santun) dan tidak banyak tingkah tapi secara kognitif sangat lemah. Ada pula anak yang secara kognitif bagus (nilai ulangan bagus) tapi secara psikomotorik (aktivisas fisik) sangat lemah.

[57]Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009) hlm. 110-111.

[58]Seperti yang dikatakan Langgulung bahwa Jean Piaget menggunakan metode-metode klinik yang dipelajarinya melalui psikologi abnormal. “metode ini memberi peluang sebesar mungkin kepada kanak-kanak untuk mengutarakan fikirannya tanap halangan apa-apa. Dengan ini kita mengikuti jalan fikiran kanak-kanak, bukan mengarahkannya.” Lihat, Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi (Jakarta: Pustaka al Husna, 1985), hlm. 23.

[59]Nata, Prespektif Islam Tentang, hlm. 147-148.

[60]Nata, Prespektif Islam Tentang, hlm. 151-152.

[61]Teori Gardner bila tanpa difilter untuk diterapkan di Indonesia berimplikasi pada pemberian status yang leluasa dan sebebas-bebasnya kepada para peserta didik untuk mengembangkan diri. Padahal kebebasan seperti itu dalam konteks pendidikan di Indonesia pada saat ini sangat tidak mungkin diterapkan. Lebih dikawatirkan menurut Imam Bawani dalam penjelasan di perkuliahan S3 PAI-BSI Angkatan ke-2 (semester I) UIN Maliki Malang bahwa status guru sebagai pendidik akan mengalami penurunan nilai. Guru hanya dipandang sebagai pembantu (alat) bahkan lebih parah lagi menjadi “budak” bagi siswa untuk mencapai kesuksesan. Guru hanya dinilai sebatas fasilitator untuk “memuliakan” anak. Padahal, dalam Islam status guru sebagai pendidik memiliki peran yang sangat penting, salah satunya adalah sebagai suri tauladan. Guru yang ikhlas, yaitu semata-mata aktivitasnya mendidik untuk mencari rida Allah dalam Islam punya nilai tinggi. Sebaliknya, guru yang semata-mata mengajar untuk mencari uang (tunjangan sertifikasi, dll) tanpa ada muatan teologis maka posisinya bisa disamakan dengan “pembantu” kemanusiaan. Dapat disimpulkan, bila teori “kebebasan” ini dilaksanakan secara penuh (tanpa filter) di Indonesia maka pada lembaga-lembaga tertentu posisi guru secara nilai akan mengalami penurunan dari pada peserta didik. Adapun, sebagian negara Barat bisa menerapkan teori ini tanpa ada pergeseran nilai guru secara signifikan karena paradigma barat berbeda dengan di Indonesia.

[62]Pursuing MI seemed to make sense for us because it supports our beliefs and our deep commitment to valuing diversity in our student body. MI seemed to offer another way to recognize the uniqueness of each individual.” Lihat, Hoerr, “Becoming a Multiple,” hlm. 8.

[63]Ibid., hlm. 10.

[64]Ibid., hlm. 5.

[65]StraussHoward Gardner: ‘Multiple,” diakses 23 Oktober 2014.

[66]“Negara yang kemampuan inovasinya rendah akan sangat bergantung kepada negara yang memiliki kemampuan inovasi tinggi, sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual.” Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 47.

[67]Kekuatan intelektual Islam adalah kekuatan yang berkaitan dengan kesadaran teologis (kepadatan ilahiah), kosmologis, epistemologis, dan ilmu. Kekuatan Islam juga terkait dengan masalah pendidikan, belajar, SDM, budaya ilmu, kesucian, tanggung jawab, dan turunannya. Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad,  hlm. 38.

[68]Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad,  hlm. 4.

[69]Peserta didik disuruh untuk memilih tugas apa yang ia inginkan dalam menyukseskan misi pepembagian zakat di sekitar lingkungan sekolah. Kemudian disuruh menerangkan secara detail apa saja yang akan dilakukan untuk menyukseskan tugas tersebut dalam bentuk tugas menulis dengan kalimat deskriptif.

[70]Dilihat dari aspek pskilogis, setiap peserta didik punya potensi dasar (bakat, minat, dan kemampuan/kecerdasan) yang butuh diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan secara terus-menerus untuk dapat menerapkan fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya di bumi. Oleh karena itu, setiap peserta didik idealnya membutuhkan treatment yang berbeda-beda pula. Lihat, Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 226.

[71]Taufiq Pasiak, Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup (Bandung: Mizan), hlm. 229.

[72]Armstrong, “Seven Kinds of Smart:,” hlm. 234.

[73]Anshori, Transformasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada, 2010), hlm. 50.

[74]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, hlm. 111-112.





Baca tulisan menarik lainnya: