Kajian tentang “kecerdasan
beragam”[1]
atau yang sering disebut dengan multiple
intelligences[2]
tidak akan pernah lepas dari pencetusnya, seorang ahli psikologi yaitu Howard
Earl Gardner.[3]
Berkat teori tersebut paradigma baru pada bidang pendidikan dan psikologi tentang
kecerdasan telah bersemi (mendapat
pengakuan berbagai kalangan).[4]
Pada akhirnya, revolusi ilmu pengetahuan tentang teori kecerdasan telah
terjadi. Di mana, ciri utama teori ini adalah mendudukan semua peserta didik
sama derajat satu sama lain. Yakni, semua individu punya potensi kecerdasan
luar biasa. Akan tetapi, belum tentu semua kecerdasan yang dimiliki masing-masing
dari mereka adalah sama. Bisa jadi, kemungkinan besar jenis atau bidang
kecerdasan peserta didik berbeda satu sama lain. Artinya, setiap peserta didik
punya bidang kecerdasan masing-masing dan pendidik tidak boleh mengarahkan
siswa hanya pada satu jenis kecerdasan. Oleh karena itu, pengklasifikasian tingkat
kecerdasan peserta didik berdasarkan tes IQ sebagai satu-satunya tolok ukur
tidaklah tepat. Sejatinya, mereka harus dibantu menemukan dan menguasai jenis
kecerdasan yang benar-benar sesuai dengan bakatnya.
Kenyataannya, anggapan
(paradigma) yang selama ini masih terjadi adalah manusia (peserta didik)
dikatakan hanya memiliki satu jenis “kecerdasan” dan yang dapat diukur melalui
tes standar saja. Namun, Howard memperkirakan pada manusia punya 7 hingga 10 “kecerdasan
utama” yang berbeda antara satu individu dengan yang lain.[5]
Ini artinya, tidak ada dalam lingkungan manapun bahwa peserta didik yang satu
lebih cerdas dari peserta didik lainnya. Melainkan, yang ada adalah peserta
didik mana yang sudah menemukan bidang kecerdasannya serta mana yang belum
menemukan. Bahkan dimungkinkan ada peserta didik yang menemukan atau cenderung
punya lebih dari satu bidang kecerdasan yang ia kuasai. Meski secara asali
(tanpa proses/latihan) diyakini hanya satu jenis kecerdasan saja yang dimiliki
secara dominan.
Masalahnya, para pakar
“kecerdasan” –sebagaimana yang telah umum diketahui dalam beberapa dekade—
terutama dalam dunia pendidikan hanya menggunakan tes intelligence quotient (IQ). Di mana, hasil tes itu sebagai pijakan
satu-satunya dalam “menilai” kemampuan (kecerdasan) anak. Bahkan, juga
digunakan sebagai bahan utama dan rujukan satu-satunya dalam memprediksi masa
depan anak. Padahal, utamanya untuk zaman yang serba kompleks sekarang ini,
faktor-faktor (kecerdesan) lain sebenarnya juga bisa menjadi andil bagi penentu
dasar masa depan mereka. Dengan kata lain, di zaman yang serba butuh aspek
“kompleksitas” ini, IQ saja tidak akan pernah bisa menjadi solusi masalah
kehidupan bagi pribadi maupun kehidupan masyarakat luas.
Dunia sekarang ini,
utamanya pada negara miskin dan berkembang, dilanda ledakan jumlah penduduk
serta dilanda “persaingan” politik hingga ekonomi. Hal tersebut berakibat munculnya
permasalahan yang amat kompleks. Misalnya minimanya lapangan kerja, bertambahnya
polusi udara, rawan penyakit menular, dan perkembangan IPTEK yang tak
terkontrol. Implikasinya, masyarakat sekarang ini tidak membutuhkan generasi
yang difoluskan pada pengembangan satu jenis kecerdasan saja. Artinya, semakin
beragamnya potensi kecerdasan yang dimiliki lingkungan masyarakat maka kemungkinan
besar segala aspek kebutuhan serta permasalahan kehidupan masyarakat tersebut
akan terpenuhi. Asumsinya, apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat maka
generasi-generasi yang punya kecerdasan beragam mampu untuk memenuhi dan
mengatasinya sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Misalkan, dengan
kecerdasan “natural” atau kealaman seseorang akan mampu mengatasi pencemaran udara
di lingkungannya. Salah satu tindakan nyatanya dengan mengadakan program
penghijauan secara mandiri atau terorganisir dan memprotes pabrik-pabrik
pembuang limbah sembarangan. Contoh lain, dengan kecerdasan musikalnya
seseorang dimungkinkan mampu menciptakan dan memainkan lirik lagu yang
menginspirasi dan menggugah semangat hidup dan berkembangnya generasi muda.
Dapat dikatakan, tidak
mengherankan bila teori milik Gardner
telah merangsang dunia pendidikan di berbagai negara untuk melakukan inovasi
bidang kecerdasan. Bahkan, bisa dikatakan menyebabkan lahirnya revolusi
kecerdasan.[6]
Baik yang dilakukan secara utuh (totalitas) maupun diadakan filter dan
pengembangan-pengembangan yang disesuikan dengan nilai dan budaya di negera
masing-masing.[7]
Inovasi dilakukan biasanya untuk memenuhi “kerinduan” masyarakat agar bisa
merasakan sesuatu yang baru, sehingga bisa meninggalkan model (paradigma) lama.
Kendati demikian, dalam setiap inovasi pasti akan mendapat respon berbeda-beda
dari masyarakat. Ada yang menolak secara mutlak, ada yang mendukung secara
mutlak, ada yang memfilter dengan ketat, dan ada yang menanggapinya secara
biasa-biasa saja. Begitu pula dengan teori kecerdasan beragam (multiple intelligences) ini.
Bila melihat keadaan beberapa jenis
lembaga pendidikan[8]
di Indonesia akhir-akhir ini –utamanya untuk lembaga pendidikan Islam yang
mulai mendapat tempat di masyarakat umum— tidak sedikit yang mengalami
peningkatan jumlah peserta didik.[9]
Di sisi lain, kenyataannya jumlah peserta didik tersebut tidak diimbangi dengan
sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini tentu menyebabkan pengelola lembaga
harus ekstra keras mengerahkan otak agar bisa mengoptimalkan kegiatan
pembelajaran. Dengan kata lain, jumlah peserta didik yang banyak merupakan
sebuah potensi sekaligus menjadi masalah di tengah minimnya anggaran, sarana,
dan prasarana. Adapun nilai potensinya adalah dengan jumlah yang banyak maka
kemungkinan tingkat beragamnya jenis kecerdasan peserta didik yang diterima pada
lembaga pendidikan pun semakin tinggi. Artinya, peserta didik dapat dipilah
(dikelompokkan) berdasarkan jenis kecerdasannya.[10]
Selanjutnya, mereka diberi tambahan jam pembelajaran untuk mendalami jenis
kecerdasan dominan yang ia miliki. Tentunya, tatkala jumlah (populasi) peserta
didiknya di dalam kelas cukup ideal melakukan pembelajaran.
Kenyataannya, selama ini
pembelajaran PAI pada umumnya masih didasarkan pada dua jenis kecerdasan saja
yaitu linguistik-verbal dan intrapersonal.[11]
Yakni, peserta didik diasumsikan “pasti” semuanya menguasai dengan cakap bidang
kecerdasan linguistik-verbal dan intrapersonal.[12]
Walaupun sering kali –utamanya pada kelas yang jumlah peserta didiknya banyak–
pada hakikatnnya tidak demikian. Di dalam kelas terdapat kecerdasan beragam
yang masing-masing dimiliki oleh peserta didik. Akibatnya, mereka yang tidak
memiliki jenis kecerdasan yang diutamakan (diagungkan) dalam kegiatan
pembelajaran akan merasa tertekan. Hal itu, bisa jadi karena ia tidak punya
“kecerdasan” tertentu seperti teman lainnya yang mampu menguasai materi
tertentu dengan cepat. Dengan kata lain, untuk memahami materi tertentu seorang
peserta didik kadangkala butuh strategi pembelajaran ekstra khusus. Biasanya
bagi mereka yang merasa lemah dan tak menguasi materi dalam menghafal dan
membaca al Qur’an, praktik ibadah, memahami materi sejarah Islam, dan memahami
materi-materi yang terlalu dogmatis.
Padahal, semestinya pola
pembelajaran PAI mampu mengakomodasi semua jenis kecerdasan tersebut. Hal ini
dilakukan selain untuk “memanusiakan” dan memberikan “hak” kepada peserta didik
agar berkembang dengan optimal sesuai bidang kecerdasannya, juga untuk
mengoptimalkan misi dakwah Islam. Asumsinya, bila peserta didik kemudian hari mampu
“berprofesi” sesuai dengan kecerdasan dominannya –semisal menjadi wartawan (
kecerdasan linguistik), penemu teknologi baru komputer (kecerdasan logis-matematis),
penyanyi (kecerdasan musik), pelukis (kecerdasan spasial-visual), politikus (kecerdasan
interpersonal), motivator atau psikolog (kecerdasan intrapersonal), dan ahli
lingkungan hidup (kecerdasan naturalis)— maka semuanya dilakukan atas dasar
atau dimaksudkan untuk menjalankan misi dakwah Islam. Oleh sebab itu, dalam
setiap karya atau produk yang diciptakannya di dalamnya termuat nilai-nilai
Islam sebagai bentuk “ajakan berislam” secara halus (tersembunyi) kepada
masyarakat. Dengan kata lain, PAI tentunya memberikan ruang aktualisasi diri[13]
peserta didik untuk “melampiaskan” jenis kecerdasan peserta didik. Pada
akhirnya, nilai-nilai Islam yang universal dan rahmatan
lil al-‘alamin tidak hanya dipersempit pada satau atau dua jenis
kecerdasan.
Dari semua pemaparan di atas, penulis mengasumsikan bahwa teori Gardner
cukup relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran PAI meski ada beberapa hal
yang masih perlu dikritisi.[14]
Teori ini akan sangat membantu peserta didik, membantu pendidik, membantu
sekolah, dan membantu misi dakwah Islam untuk membentuk generasi Islam yang
unggul sesuai dengan bidang kecerdasannya. Alasannya, bila seseorang berprofesi
atau mendalami sesuatu yang terkait dengan bidang kecerdasan yang ia punyai
maka ia akan cenderung bisa menikmati. Bahkan sangat dimungkinkan mampu
menghasilkan nilai yang jauh lebih “berharga” apabila ia tetap berada pada
“zona” profesi di luar bidang kecerdasannya. Sebagai penutup, dalam pengembangan pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences ini penulis tidak
membuat gagasan baru tetapi melakukan pengembangan dari teori Gardner.
A. Konsep
Dasar
1.
Pengertian Kecerdasan Beragam
Kata ragam
salah satu diantaranya memiliki arti pertama
“tingkah; laku; ulah” kedua “macam;
jenis” dan ketiga “warna; corak;.”
Sedangkan istilah kecerdasan berasal
dari kata dasar “cerdas” yang artinya “sempurna perkembangan akal budinya
(untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran;” atau bisa juga berarti
“sempurna pertumbungan tubuhnya (sehat, kuat).” Secara terpisah kecerdasan
spiritual mempunyai arti tersendiri yaitu “kecerdasan yang berkenaan dengan
hati dan kepedulian antarsesama manusia,
makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang
Maha Esa.”[15]
Berangkat
dari pemaparan tersebut, maka penggunaaan istilah “kecerdasan beragam”[16]
dalam Bab ini sebagai pengganti istilah multiple
intelligences merupakan tindakan absah. Alasannya, kata ragam secara arti (makna) lebih cocok
digunakan dari pada kata lainnya. Misalnya, kata majemuk memiliki dua arti yang tidak satupun cocok sebagai
pengganti istilah teori Gardner tersebut. Di mana, majemuk berarti “terdiri atas beberapa bagian
yang merupakan kesatuan” dan “mengenai penambahan bunga kepada pokok
berdasarkan waktu dengan tujuan mendapatkan dasar baru untuk menghitung bunga
berikutnya:.”[17]
Padahal menurut teori Gardner, satu jenis kecerdasan itu bisa berdiri sendiri
dan bukan terdiri atas beberapa bagian yang saling menyatukan. Walaupun, kadang
kala antara jenis kecerdasan satu dengan yang lain saling mendukung (terkait). Bilapun
menggunakan istilah kecerdasan ganda, maka kata “ganda” memiliki tiga arti
yaitu pertama “(tentang hitungan)
kali; lipat,” kedua “berbayang
(seakan-akan ada dua),” ketiga
“berpasangan (terdiri atas dua); berpasangan dua-dua (dalam bulu tangkis,
tenis, dsb).”[18]
Dari sudut pandang teori Gardner penggunaan istilah “ganda” juga kurang cocok.
Hal ini karena jenis kecerdasan dalam multiple
intelligences menurut Thomas Armstrong berpeluang untuk “tak terbatas” (terus
bertambah).[19]
Lebih lanjut, Gardner mendifinisikan kecerdasan
dengan singkat dan fungsional, yaitu “An intelligence
is the ability to solve
problems, or to create products, that are valued within one or more
cultural settings.”[20] Artinya, kecerdasan
adalah kemampuan memecahkan masalah-masalah, atau menciptakan produk-produk
(hasil) yang bernilai tinggi dalam satu atau lebih keadaan (latar belakang)
kebuayaan. Adapaun Alfred Binet dan
Theodore Simon (sering disebut Binet-Simon), membagi kecerdasan menjadi tiga
komponen. Pertama “kemampuan mengarahkan
pikiran dan atau tindakan.” Kedua “kemampuan
mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan,” dan ketiga “kemampuan mengkritik diri
sendiri.”[21]
Dapat disimpulkan bahwa antara Gardner dengan Binet-Simon secara dasar dalam
mendefinisikan kecerdasan tidak berbeda. Yakni, ketiganya sama-sama menekankan
bahwa kecerdasan merupakan sebuah kemampuan.
Secara spesifik Widayati
dan Widijati mengungkapkan bahwa
kecerdasan itu tidak dapat diamati secara langsung. Diperlukan kesimpulan dari
pengamatan berberapa perilaku nyata yang merupakan perwujudan dari proses
berpikir rasional.[22]
Dengan demikian, penilaian terhadap kecerdasan tidak harus dilakukan dengan
tes tulis. Hal ini, utamanya untuk menilai kecerdasan anak kecil (balita) yang
belum bisa baca tulis. Selain itu, Widayati dan Widijati mengklasifikasikan sifat-sifat
dari kecerdasan sebagai berikut:
1.
Adaptif; adanya respon yang fleksibel bila ada stimulus
dalam berbagai situasi dan masalah, sehingga tahu pemecahannya dan tidak merasa
sulit setiap kali menghadapi permasalahan.
2.
Kemampuan belajar; kemampuan belajar pada sesuatu yang
baru, tergantung pada setiap anak sejauh mana ia mampu menyerap dan menyimpan
sesuatu yang baru itu.
3.
Belajar dari pengalaman luar dan dalam dirinya;
menggunakan pengetahuan sebelumnya sebagai analisis dan pemahaman situasi yang baru,
sehingga senantiasa menunjukkan kreativitas.[23]
Gardner
juga mengatakan bahwa kecerdasan yang “utama” itu berdasarkan faktor keturunan
(gen) sehingga tidak dapat dilatih. Misalkan kecerdasan musikal, menurutnya ada
pengaruh gen yang menyebabkan seseorang pintar memainkan musik. Bahkan, menurutnya perbedaan dalam lingkungan
seseorang
tidak memberikan
kontribusi material
terhadap perbedaan
dalam kapasitas
(kemampuan) untuk
membedakan irama
maupun melodi.[24]
Bila pernyataan ini benar, maka memaksa individu untuk menguasai bidang
kecerdasan lain yang tidak sesuai dengan faktor bawaan atau bakatnya merupakan
tindakan di luar manusiawi. Dapat disimpulkan bahwa arti kecerdasan beragam adalah beberapa jenis
kemampuan dasar yang salah satunya atau beberapa diantaranya bisa menjadi ciri
khas atau melekat (dimiliki) pada masing-masing manusia untuk berbudaya dan berkehidupan
bersama secara efektif dan agar lebih produktif.
2.
Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran
adalah proses mental dan emosional, serta berfikir, dan merasakan. Seseorang
pembelajar dikatakan melakukan pembelajaran apabila pikiran dan perasaannya
aktif.[25] Lebih detail, Ahmad Sabri menyampaikan bahwa orang yang
sudah aktif terlibat pada proses pembelajaran diharapkan akan bisa merasa lebih
bahagia dan lebih pantas untuk melakukan pemanfaatan alam sekitar. Selain itu,
peserta didik juga perlu aktif dalam penjagaan kesehatan, peningkatan
pengabdian untuk ketrampilan, dan berhasil dalam pengimplementasian pembedaan
(terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan proses
pembelajaran).[26]
Dengan demikian, dalam pembelajaran peserta didik ditekankan punya kesadaran,
motivasi, dan kondisi yang dimungkinkan untuk terjadinya interaksi antara
peserta didik terhadap sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[27]
Lebih jauh, peserta didik diharapkan terlatih pada pembiasaan diri untuk
pemecahan masalah dan mampu terbiasa pada penggunaan empati beserta logikanya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan pembelajaran bisa terjadi di mana saja. Tidak
hanya di dalam kelas yang sangat formal, terbatasi waktu maupun tempat, dan cenderung
kaku.
Dari pendifinisian di
atas, kemudian dihubungkan dengan
definisi “kecerdasan beragam” dapat dihasilkan sebuah pengertian baru. Yakni, pembelajaran
Pendidikan Agama Islam dalam konteks penerapan teori kecerdasan beragam merupakan
suatu kegiatan pengaktifan kesadaran mental (utamanya bakat dan kecerdasan) peserta
didik secara terorganisir, yang isinya didasarkan pada nilai-nilai agama Islam
secara universal sebagai pedoman berperilaku, berfikir, dan berkehendak dalam
perjalanan hidup sampai mati. Meninjau dari definisi tersebut, maka tujuan, materi,
strategi (metode), dan evaluasi pembelajaran PAI akan sangat berbeda jauh jika
dibandingkan dengan sistem pembelajaran bidang ilmu lain. Di mana, salah
satunya PAI diajarkan sebagai pedoman hidup secara mendalam dan luas. Sedangkan,
kebanyakan bidang ilmu lain dipelajari sebatas untuk bagaimana cara
mempertahankan kehidupan, mengembangkan kehidupan, cara menyelesaikan masalah
kehidupan, dan semacamnya tanpa melibatkan atau paling tidak menekankan aspek
‘ketuhanan’ dan ketauhidan.
3.
Perubahan Paradigma Kecerdasan
Selama
ini dalam sistem pendidikan, pada praktek di lapangan kebanyakan masih memaknai
kecerdasan peserta didik secara terbatas (picik). Yakni, mereka yang dikatakan
cerdas adalah memiliki ciri-ciri penurut, hafalannya kuat, nilai mata pelajaran
matematika serta IPA tinggi, hasil tes IQ-nya tinggi, ranking nilai kognitif teratas, dan pendiam. Ini artinya, anak yang
bisa membenahi kerusakan motor, mampu berdagang (berbisnis) gorengan, mampu
memasak (menjadi koki), mampu membuat celana dalam anti pemerkosaan, mampu
melukis, mampu bermain musik, dan semacamnya tidak didefinisikan sebagai anak
yang tergolong cerdas, tapi anak yang kreatif. Dengan menggunakan paradigma ini,
maka anak yang kreatif bukanlah anak yang cerdas, tapi hanya sekedar kreatif.
Dampaknya, berbagai anak yang kreatif tadi (yang mempunyai kecerdasan di bidang
masing-masing) merasa tidak mendapatkan penghargaan dibandingkan dengan anak
yang mendapat ranking[28]
(nilai kognitif) 10 besar.
Kenyataan
seperti itu sungguh memprihatinkan bagi kondisi psikologis anak. Bisa jadi anak
akan berlomba-lomba belajar atau bahkan dileskan (lembaga les atau secara
privat) agar mendapatkan nilai bagus pada bidang matematika, bahasa inggris,
IPA, dsb.[29]
Padahal belum tentu jenis “kecerdasan” yang dikuasainya di bidang tersebut.
Akibatnya, energi anak akan terkuras untuk hal-hal yang diluar bidang
kecerdasannya. Meskipun hasilnya bagus (terjadi peningkatan), akan tetapi
kemungkinan bisa menjadi lebih bagus dan lebih bermanfaat bila ia memperdalam
kecerdasan yang keberadaannya dominan pada dirinya. Selain itu anak juga akan lebih
menikmati pendalaman materi (melalui les atau privat) yang sesuai dengan bidang
kecerdasannya.
Hal
itu sesuai dengan pernyataan Gardner sebagaimana yang dikutip oleh Efendi bahwa
konsep kecerdasan itu tidak hanya bersangkut paut pada the result of paper and pencil tests (hasil tes dengan kertas dan
pensil). Akan tetapi, terkait juga dengan pengetahuan tentang otak manusia dan
kepekaannya terhadap ragam budaya (sensitivity
to the diversity of human cultures).[30]
Bagaimanapun, tes IQ hasilnya hanya berupa angka untuk memetakan kemampuan
berpikir seseorang. Dengan kata lain, IQ bukanlah tes kinerja nyata, sehingga
dimungkinkan antara prediksi hasil tes dengan pelaksanaan di lapangan akan
berbeda. Misalkan anak yang ber-IQ tinggi belum tentu ia mempunyai kecerdasan
emosional[31]
dan kecerdasan spiritual[32]
yang bagus dalam kehidupan.
Selain
itu, selama ini yang dinamakan kecerdasan adalah hal-hal yang terkait dengan
keseriusan, tidak boleh ada kesalahan, dan harus belajar dengan teks bukan
konteks. Hal ini menurut Agus Efendi tidak benar, karena kecerdasan merupakan
kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan kemampuan beradapatasi dengan
kebudayaan sekitar. Oleh karena itu, orang cerdas itu bukan berarti tidak boleh
(tidak pernah) berbuat salah. Kenyataannya, orang cerdas adalah mereka yang
pernah berbuat salah, akan tetapi mereka bisa belajar dari kesalahan dan tidak
melakukan lagi.[33]
Sedangkan, apabila ditilik dari segi asal-asul terbentuk
dan perkembangannya, tingkat kecerdasan itu tidak hanya ditentukan oleh pola
genetik tapi juga faktor lingkungan. Sebagaiman menurut Danah Zohar dan Ian Marshall
mengatakan bahwa:
Kecerdasan
manusia terekam di dalam kode genetis dan seluruh sejarah evolusi kehidupan di
bumi. Di samping itu, kecerdasan manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman
sehari-hari, kesehatan fisik dan mental, porsi latihan yang diterima, ragam
hubungan yang dijalin, dan berbagai faktor lain. Ditinjau dari ilmu saraf,
semua sifat kecerdasan itu bekerja melalui, atau dikendalikan oleh, otak
berserta jaringan sarafnya yang tersebar di seluruh tubuh.[34]
Secara
terperinci, menurut Thomas Armstrong, syarat khusus yang ditetapkan oleh
Gardner agar sebuah kecerdasan bisa dimasukkan ke dalam teorinya, diantaranya:
1.
Setiap kecerdasan dapat dilambangkan; misalnya lambang tulisan (huruf) pada
kecerdasan linguistik, lambang angka pada kecerdasan matematis, lambang nada
untuk kecerdasan musikal, dan lambang gerak-gerik atau mimik wajah sebagai
lambang kinestetik.
2.
Setiap kecerdasan mempunyai riwayat perkembangan;
kecerdasan itu dinamis (tidak menetap) dan setiap kecerdasan mempunyai pola
perkembangan yang berbeda-beda.
3.
Setiap kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan
atau cedera pada wilayah otak tertentu. Menurut Gardner teori kecerdasan dapat
berlaku bila didasarkan pada Biologi (struktur otak). Kecerdasan linguistik
berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal, spasial, dan antarpribadi
(interpersonal) cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan kinestetik
menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil). Dengan
kata lain, apabila ada kerusakan pada bagian otak tertentu bisa mempengaruhi
pada berkurangnya tingkat kecerdasan pada bidang tertentu.
4. Setiap
kecerdasan mempunyai keadaan akhir berdasar nilai budaya; perilaku cerdas dapat
dilihat dari prestasi tertinggi dalam peradaban, bukan dinilai dari hasil tes
standar.[35]
Dari pembahasan
tersebut dapat disimpulkan, bahwa jenis kecerdasan itu tidak tunggal tapi
beragam. Selain itu kecerdasan itu relatif, artinya makna atau bergunanya
sebuah kecerdasan tergantung pada paradigma kecerdasan masyarakat tersebut.
Misalnya dalam suatu masyarakat seseorang yang cerdas dalam musikal bisa saja dianggap
“bodoh” oleh masyarakat yang tidak menyukai musik. Selain itu perkembangan
kecerdasan tidak hanya ditentukan oleh gen atau oleh lingkungan saja, akan
tetapi oleh kedua-duanya. Dengan adanya paradigma baru kecerdasan ini maka
semua posisi kecerdasan peserta didik adalah sama. Semuanya adalah manusia
cerdas, cerdas dalam bidang masing-masing yang mereka kuasai.
Lebih
detail untuk menggambarkan telah adanya paradigma baru kecerdasan, maka perlu penulis
gambarkan tentang kecerdasan sebagai berikut:
Gambar 3.1: Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan
4.
Otak sebagai
Kunci Utama Kecerdasan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa otak merupakan organ terpenting
utama dan pertama bagi tatanan biologis suatu organisme. Baru setelah itu organ
jantung dan paru-paru menempati urutan berikutnya.[36]
Alasannya, otak telah menjadi pengontrol kinerja seluruh organ-organ tubuh.
Baik organ yang bekerja secara tidak disadari seperti organ jantung, usus,
lambung, paru-paru, dll. Maupun organ yang bekerja dengan sadar yaitu tangan,
kaki, dan leher dll. Dengan demikian, manusia tanpa otak tidak memiliki arti
apa-apa, karena seluruh organ dan pancaindra tidak akan berfungsi, dan inilah
yang disebut dengan kematian (meninggal dunia).
Sebagai organ milik manusia, otak merupakan sesuatu yang
sangat luar biasa. –Hal ini tentu akan berbeda dengan otak hewan[37]--.
Bahkan otak manusia jauh lebih kompkes (canggih) dari pada komputer manapun di
dunia ini. Pernyataan tersebut
sebagaimana menurut Zohar dan Marshall:
Otak bekerja dengan
sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul
kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem
asosiatif yang terisolasi. Dua sistem ini berinteraksi dan saling menguatkan
sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi daripada
masing-masing kecerdasan tersebut jika berdiri sendiri. IQ dan EQ saling
mendukung (sinergis).[38]
Bisa dikatakan bahwa keadaan otak memiliki peranan
yang sangat penting bagi perkembangan kecerdasan seseorang. Bahkan, sampai
sekarang pun rahasia dari kekuatan otak belum terpecahkan secara ilmiah.
Sebagaimana penjelasan Agus Efendi, tentang rahasia otak
beserta kecerdasaannya sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan,
bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di
dalam otak terbukti ada tiga jenis utama yaitu otak rasional, otak emosional,
dan otak spiritual.[39] Selain itu ada beberapa teori tentang
perkembangan kecerdasan otak. Salah satunya faktor-faktor yang turut
mempengaruhi perkembangannya, yaitu:
1. Genetika,
terkait dengan bentuk (struktur) otak yang diturunkan dari gen orang tua
2. Makanan
sehat, perkembangan otak pada masa keemasan seorang anak bahkan di dalam
kandungan ditentukan suplai gizi.
3. Perawatan,
diperlukan latihan dan lingkungan yang mendukung untuk menemukan dan
mengembangkan berbagai kecerdasan yang mungkin dimiliki anak.
4. Lingkungan,
peran orang tua sangat vital (sebagai pendidik) dalam mendidik anak agar
perkembangan kecerdasannya terjadi secara benar, serta bagaimana lingkungan
disekitarnya mendukung perkembangan tersebut.
5. Mental,
keadaan jiwa anak yang bahagia dengan yang murung dapat mempengaruhi
perkembangan kecerdasan anak.[40]
Lebih
lanjut, otak memiliki peranan penting dalam perkembangan kecerdasan setiap
manusia. Otak merupakan organ yang menunjukkan “jati diri” seseorang. Oleh
karena itu, dalam pembelajaran PAI pendidik dituntut memahami dan mempedulikan
bagaimana peserta didik “bekerja” dengan otaknya. Pendidik mesti sadar bahwa
kesulitan dan kegagalan pembelajaran senantiasa dicari bagaimana cara kerja
otak masing-masing anak dalam memahami sesuatu. Dengan demikian, bila ditinjau
dari konteks globalisasi, maka pendidikan Islam sudah waktunya menerapkan
paradigma baru dalam pembelajaran yang didasarkan pada bagaimana cara otak
bekerja.[41]
Akhirnya, dapat disimpulkan otak sangatlah luar biasa
kemampuan dan kekuatannya dalam melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan dari tinjauan biologis (bentuknya), otak dapat diwariskan secara
turun-temurun (foktor genetis). Namun, bila diadakan pelatihan secara terus-menerus
dan dengan cara yang tepat, maka “fungsi” otak dapat dioptimalkan sesuai dengan
keinginan manusia. Dengan kata lain, intervensi lingkungan juga memiliki peran
penting dalam perkembangan kecerdasan[42]
manusia. Implikasi dari pernyataan tersebut, manusia bisa “menuhankan” otak,
bahwa otak adalah segala-galanya untuk kehidupan ini. Bila ditinjau dari segi
pendidikan Islam maka pernyataan tersebut tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan[43]
dan nilai Islam yang mengagungkan Allah SWT.
5.
Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis
Kecerdasan Beragam
Dalam Undang-undang 1945 Amandemen Pasal 28C ayat
1 mengamanatkan“Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.”[44] Dari
pernyataan tersebut dalam konteks pembahasan pada Bab ini, yang menjadi titik
penting adalah pernyataan berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan pernyataan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Asumsinya, yang dimaksud kebutuhan dasar siswa tidak hanya pendidikan secara
umum. Melainkan, juga kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan (penghargaan) dan
juga pengembangan diri atas kecerdasan (kemampuan) yang sesuai dengan
bidangnya. Diharapkan, dengan mengembangkan bidang kecerdasan yang dikuasainya,
maka peserta didik tidak akan salah masuk ke dalam “tugas-tugas” kehidupan
secara mendalam yang tidak sesuai dengan bidang kecerdasannya.
Dasar hukum lainnya adalah Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal
1 nomer 1 bahwa yang dimaksud “pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Selain
itu, kata berkembangnya potensi peserta
didik juga terdapat pada tujuan pendidikan nasional di Pasal 3 Undang-undang
No. 20 Tahun 2003. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan pasal 5 ayat
4 telah menjelaskan “Warga negara
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.”[45]
Dilanjutkan pada Pasal 12 ayat 1 poin b menyatakan
“setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:... b. mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.”
Serta pasal 36 ayat 3 poin c bahwa “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan:... c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik...” Kemudian diakhiri dengan pasal 45 ayat 1 menyatakan “Setiap satuan
pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.”[46]
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara hukum pelaksanaan
pembelajaran pendidikan berbasis kecerdasan beragam secara tidak langsung sudah
diatur dalam undang-undang. Hal ini tentunya juga bisa menjadi dasar aturan
bagi semua mata pelajaran maupun lembagai pendidikan yang ingin berinovasi
melaksanakan pendidikan serta pembelajaran yang berbasis kecerdasan beragam.
Oleh karena itu, siapapun tidak dibolehkan memaksa peserta didik untuk menekuni
atau mendalami bidang kecerdasan tertentu yang tidak sesuai dengan bidang
kemampuannya. Walaupun pada kenyataan dan pelaksanaannya ada beberapa kendala
yang ditemui. Lebih detail mengenai hal ini akan penulis uraikan dalam
pembahasan berikutnya.
B. Paradigma
Baru Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam
Paradigma
yang diturunkan dari Cartesian (Descartes) dan Newtonian menjadi penyebab
munculnya paradigma tunggal (tidak utuh) di dunia Barat. Dengan paradigma
tunggal itu, mereka terpuruk ke lembah krisis dan penuh kontradiksi, yang
menurut Capra disebabkan oleh kekeliruan
pemikiran. Ahmad Tafsir sebagaimana dikutip Efendi menjelaskan bahwa yang
dimaksud kekeliruan pemikiran menurut Capra adalah tidak
digunakannya paradigma yang tepat dalam penyusunan kebudayaan barat. Di mana,
menurutnya budaya barat hanya disusun berdasarkan satu paradigma, yaitu
paradigma sains (scientific paradigm). Padahal paradigma tersebut tidak sepenuhnya
bisa melihat alam dan kehidupan ini secara utuh dan menyeluruh (wholeness), kecuali hanya melihat alam
ini pada bagian yang empiris saja.[47]
Bila “kebudayaan” barat tersebut dikaitkan dalam dunia
pendidikan, secara spesifik M. Zainuddin memaparkan perbedaannya dengan
pendidikan Islam sebagaimana berikut:[48]
Tabel
3.1: Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat
(Tabel diadaptasi dari pemaparan M.
Zainuddin dalam bentuk paragraf)
Katagori |
Pendidikan Islam |
Pendidikan Barat |
Landasan Filosifis |
Paradigmanya bertolak
dari sumber atau landasan (doktrin) Islam yang bercorak teo-antroposentris. |
Paradigmanya
dilandaskan filsafat Yunani yang antroposentris-sekuler
sehingga terlepas dari dimensi moral dan spiritual. |
Struktur Konsep Pendidikan |
Terjadinya perbedaan:
tujuan, konsep tentang manusia (peserta didik), nilai, serta tanggung jawab
yang diembannya. |
|
Ontologi |
Terjadi perbedaan
dalam aspek: cara memandang dan menempatkan para peserta didik dalam proses
pembelajaran. |
|
Sumber dan Metode Epistomologi |
Berasal dari Allah SWT,
yang diperoleh melalui pancaindra, akal sehat, berita yang benar, dan
intuisi. |
Semua objek (benda /zat
/materi) yang bisa diserap oleh pancaindra. |
Sistem Etika |
Bercorak teo-antroposentris yang menempatkan
manusia sebagai pelaku sejarah sekaligus sebagai makhluk (khalifah dan hamba)
Allah. |
Menurut Syamsul Nizar:
bercorak antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari
segala-galanya, individu merdeka tanpa batas. |
Dari
tabel tersebut dengan jelas tergambar bahwa sistem pendidikan barat adakalanya tidak
sepenuhnya cocok apabila diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena
itu, setiap teori dari barat, utamanya teori tentang pendidikan tidak serta
merta harus diserap sepenuhnya untuk digunaan dalam sistem pendidikan Islam. Bagaimanapun,
paradigma yang digunakan oleh umat Islam dengan paradigma orang barat adakalanya
berbeda. Implikasinya, bila dipaksakan akan mempengaruhi dalam membuat konsep
sistem pendidikan Islam. Artinya, pendidikan Islam akan kehilangan jati diri
keislamannya, melainkan yang ada berupa simbol, slogan, dan ritus-ritusnya
belaka.
Lebih
dari itu, bila dikaitkan dengan pembelajaran secara langsung, maka paradigma
lama mengajar tentang pemberian reward
and punishment atau pemberian rangsangan lain sudah tidak berlaku lagi.
Ataupun, paradigma pembelajaran yang hanya sebatas menyampaikan pengetahuan dianggap
sudah tidak relevan dengan kekinian. Diperlukan paradigma baru, salah satunya
adalah menciptakan “flow”[49]
pada peserta didik. Paradigma baru lainnya adalah kegiatan mengajar difokuskan
pada proses mengatur lingkungan (kebudayaan). Beberapa alasannya menurut Wina
Sanjaya adalah:
1.
Peserta didik bukanlah orang dewasa dalam bentuk anak
kecil atau remaja, tetapi individu yang sedang berkembang sehingga masih butuh
proses pendidikan. Dengan demikian, pendidik (sebagai orang dewasa) bukanlah
satu-satu sumber belajar. Hal ini karena kebutuhan orang dewasa dengan
anak-anak berbeda. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah sebagai pengelola
sumber belajar yang sesuai dengan tingkat usia peserta didik.
2.
Adanya ledakan ilmu pengetahuan berakibat pada ketidakmungkinan
bagi setiap orang mampu menguasai seluruh cabang keilmuan. Dengan demikian,
belajar tidak sekedar menghafal informasi, menghafal rumus-rumus, tapi belajar
adalah bagaimana peserta didik mampu menggunakan otaknya untuk mengasah
kemampuan berfikir.
3.
Penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi (menurut
penulis juga bidang biologi), berakibat pemahaman baru terhadap konsep (teori)
perubahan perilaku manusia. Di mana manusia sebagai makluk biologis (organisme)
memiliki potensi bawaan yang menentukan perilaku manusia. Implikasinya, proses
pendidikan bukan lagi memberikan stimulus untuk cerdas pada bidang tertentu,
tetapi mengembangkan potensi (kecerdasan) yang telah ada dan telah dimiliki peserta
didik.[50]
Penjelasan tersebut hampir sama dengan pendapat Thomas R.
Hoerr, bahwa:
The
theory of multiple intelligences (MI) brings a pragmatic approach to how we
define intelligence and allows us to use our studens’ strengths to help them
learn. Students who read and write well are still smart, but they are joined by
other students who have different talents. Thourgh MI, schools and classooms
become settings in which a variety of skills and abilites can be used to learn
and solve problems. Being smart is no longer determined by a score on a test;
being smart is determined by how well students learn in a variety of ways.[51]
Penerapan mutlitple
intelligences dalam lingkup satu lembaga secara konsisten, optimal, dan
sungguh-sungguh mampu menciptakan iklim sekolah yang hidup. Sekolah yang
awalnya tampak mencekam dan serba kaku menjadi lebih menggembirakan dan
memuaskan hasrat peserta didik untuk belajar. Sekolah yang bermula jumlah
muridnya sedikit menjadi lebih banyak. Sekolah yang mula-mula minim prestasi
menjadi lebih banyak menelurkan prestasi. Adapun dalam lingkup mata pelajaran,
dengan teori tersebut banyak pendidik yang terbantu memecahkan masalah peserta
didik. Salah satunya yang tidak mampu dan tidak termotivasi untuk melakukan
pembelajaran. Dengan strategi yang tepat, banyak murid yang awalnya mengalami
permasalahan (tidak mampu dan tidak termotivasi) terutama saat belajar matetimatika
atau mata pelajaran tertentu lainnya, akhirnya mereka bisa tergugah
“kesadarannya” untuk belajar.[52]
Lebih dari itu, teori kecerdasan beragam yang terkait erat dengan perkembangan
otak bisa mengoptimalkan penggunaan (fungsi) otak. Artinya, peserta didik
dibekali dan diajak “mengelola” otaknya sehingga segala potensinya dapat
berkembang dengan optimal. Dengan kata lain, peserta didik yang berhasil
bukanlah peserta didik yang wajib menguasai kecerdasan yang ditentukan,
misalnya IQ (logis-matematis). Namun, peserta didik yang mampu mengoptimalkan
potensi kecerdasan yang ia miliki untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Hal
ini juga terkait dengan keberagaman sosio-kultur dan geograsif (termasuk
potensi alam) daerah di Indonesia yang mengharuskan generasi mudanya mampu
memenuhi berbagai macam kebutuhan yang kompleks tersebut. Oleh karena itu,
untuk memenuhinya diperlukan suatu sistem pendidikan yang bisa melahirkan
generasi yang satu dengan lainnya punya kemampuan beragam (tidak homogen).
Selanjutnya, berdasarkan hasil beberapa penelitian
yang dilakukan oleh para ahli sebagaimana dikutip Septiani, dkk. terdeskripsi
sebagai berikut:
Hasil
penelitian Temur (2007) pada pembelajaran matematika kelas IV SD di Gazi
University Foundation Private Primary School menunjukkan bahwa hasil belajar
siswa dengan penerapan multiple intelligences lebih tinggi dibanding
menggunakan pembelajaran tradisional. Penelitian yang dilakukan Bas dan Beyhan
(2010) terhadap 50 siswa kelas V SD di Turkey menunjukkan bahwa penerapan multiple
intelligences didukung pembelajaran berbasis proyek lebih unggul dibanding
metode pengajaran tradisional ditinjau dari sikap dan motivasi belajar siswa.
Hasil penelitian Xie dan Lin (2009) menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada kelas
yang menerapkan multiple intelligences lebih unggul dibanding
menggunakan pembelajaran tradisional dilihat dari kemampuan mahasiswa dalam
mengerjakan proyek-proyek desain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat
diketahui bahwa penerapan multiple intelligences dapat memberikan hasil
yang efektif dalam proses pembelajaran. Rizal dan Wasis (2012) mengemukakan
apabila kecerdasan majemuk [kecerdasan beragam] ditumbuhkan, dikembangkan dan
dilibatkan dalam proses pembelajaran akan meningkatkan efektivitas dan hasil
pembelajaran.[53]
Selain itu,
menurut pendapat Hernowo sebagaimana dikutip Nurani menyatakan teori kecerdasan
beragam menjadi sistem pendidikan
baru pada lembaga sekolah. Secara detail identifikasinya adalah sebagai
berikut:
Pertama, dulu, sekolah
tepatnya para guru, memisahkan atau memberikan identifikasi kepada peserta
didiknya sebagai anak yang pandai disatu sisi dan anak yang bodoh disisi
lainnya. Sekarang, melalui penerapan kecerdasan jamak [kecerdasan beragam],
ternyata tidak ada anak yang bodoh, setiap anak hampir dapat dipastikan
memiliki satu atau dua jenis kecerdasan yang menonjol. Kedua, dulu,
suasana kelas cenderung monoton dan membosankan karena guru biasanya hanya
bertumpu pada satu atau dua jenis kecerdasan saja dalam mengajar, yaitu
kecerdasan bahasa dan logika matematika saja. Sekarang, melalui pembelajaran
yang berbasis pada delapan jenis kecerdasan, seorang guru dapat membuat variasi
metode dan gaya mengajarnya. Ketiga, dulu, sebagian guru seringkali agak
kesulitan dalam membangkitkan minat atau gairah belajar peserta didiknya.
Sekarang, melalui teori kecerdasan jamak, guru dapat memunculkan berbagai media
dan sumber belajar yang terdapat di lingkungan sekitar melalui contoh-contoh
yang kongkrit dan nyata sehingga mudah dipahami oleh anak. [54]
Lebih
detail, Muhaimin, dkk. menjelaskan bahwa belajar pada hakikatnya terjadi secara
individual, sehingga setiap individu dalam belajar memiliki karakteristik
tersendiri. Dari situ, idealnya PAI perlu diacukan pada peserta didik secara
perseorangan. Dengan asumsi, tindakan (perilaku) belajar memang bisa ditata
(dikelola) dan dipengaruhi (diintervensi), akan tetapi perilaku belajar
individu akan tetap berjalan sesuai dengan karakteristik peserta didik secara
perseorangan. Misalnya, peserta didik yang cara belajarnya lambat dalam bidang
tertentu tidak dapat dipaksa untuk belajar cepat. Oleh karena itu, rancangan
pembelajaran PAI ditekankan sesuai dengan karakteristik perseorangan peserta
didik, sehingga terjadi perkembangan dalam pemahaman, pengalaman, dan
pengamalan beragamanya sesuai dengan daya tampung dan kemampuannya (daya
jangkau).[55]
Sedangkan
apabila dikaitkan dengan peserta didik secara langsung, maka paradigma lama
tentang peserta didik telah mengalami pergeseran. Di mana sekarang ini setiap
peserta didik di pandang punya tingkat kemampuan yang berbeda dalam ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik.[56]
Selain perbedaan tersebut, peserta didik juga berbeda pada kemampuan fitrah.
Asumsinya, ada anak yang memiliki kemampuan fitrah dalam bidang melukis akan
tetapi lemah dalam kemampuan menari dan olah raga. Ada pula peserta didik yang
punya kemampuan membaca al Quran dengan
sangat baik. Implikasinya, perbedaan pada aspek kejiwaan dan fitrah merupakan
hal yang sangat mendasar untuk diketahui dan dipetakan secara pasti oleh pendidik.
Di mana, peta tersebut dijadikan modal awal dalam merancang kegiatan
pembelajaran.[57]
Apabila
dilihat dari kepentingannya, pendidikan dibagi menjadi dua, pertama pendidikan dari segi kepentingan
individual peserta didik. Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin
Nata, yaitu selain memperhatikan peserta didik dari segi perbedaan bakat,
kemampuan, kecenderungan, dan sebagainya, pendidik juga senantiasa membantu
individu dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan “kecerdasan” dirinya.[58]
Dari itu, diharapkan peserta didik dapat mengatasi masalah di kehidupannya
kelak. Kedua, dari segi kepentingan
masyarakat. Pelaksaanan pendidik dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sehingga setiap gagasan, pemikiran, nilai, budaya, agama, ilmu pengetahuan
yang disalurkan ke peserta didik perlu mendapat pengakuan masyarakat dan
negara. Dengan kata lain, masyarakat dan negara sangat berperan dalam
mengintervensi kegiatan pendidikan. Yakni, untuk menciptakan generasi yang siap
dalam mengisi ruang-ruang kosong bidang pengetahuan yang sangat dibutuhkan
masyarakat.[59]
Konsep pendidikan yang
memadukan antara kepentingan individual dengan kepentingan masyarakat
didasarkan pada asumsi bahwa individu selain memiliki kebebasan berkreativitas
juga dibatasi oleh kebebasan sosial. Oleh karena itu, setiap peserta didik
selain bisa menentukan pilihan-pilihannya, mereka juga mesti tunduk kepada pilihan
yang diakui dan dibutuhkan bersama. Dengan kata lain, Islam memandang bahwa
kedua kepentingan tersebut senantiasa berjalan berdampingan dan seimbang.
Selain juga menggunakan nilai-nilai dari Tuhan yang diyakini benar dibandingkan
nilai-nilai yang diciptakan manusia. Implikasinya, dalam menyikapi apa-apa yang
berasal dari manusia adalah dimulia dengan sikap meragukan terlebih dahulu
kemudian memecahkan keraguanya itu dengan bukti ilmiah. Sedangkan, menyikapi
yang berasal dari Tuhan dimulai dari menyakininya, kemudian memperkuatnya
dengan pemahaman manusia tentang
ayat-ayat kauniah.[60]
C.
Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam Berbasis Kecerdasan Beragam yang Ideal
Pembelajaran PAI merupakan kegiatan untuk mencerdaskan peserta didik.
Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan ini hal-hal penting yang perlu
diperhatikan sebelum diadakan pembelajaran adalah seperti apa kondisi (latar
belakang) peserta didik. Persoalan lain adalah sejauh mana kemampuan pendidik
dan institusi pendidikan dalam mengakomodasi keberagaman peserta didik. Serta,
bagaimana cara menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik sesuai dengan
kondisi “keberagaman” mereka. Identifikasi semacam ini menurut penulis dirasa
sangat penting. Alasannya, bagaimana mungkin suatu proses pembelajaran membentuk
manusia “cerdas” secara efektif dan efisien, bila tidak diketahui terlebih
dahulu sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan hal-hal (latar belakang) yang
mempengaruhi kehidupan peserta didik. Untuk lebih jelasnya maka perlu digambarkan
skema di bawah ini:
Mazhab | Kecerdasan | Fisik
/Tubuh | Ekonomi
| Kultur
(Organisasi
agama)
Gambar 3.2: Posisi Peserta Didik dalam Bingkai
Pendidikan Agama Islam
Selain dari lima macam keberagaman tersebut, sebenarnya
ada keberagaman lain yang cukup signifikan dalam mempengaruhi semangat belajar
di lembaga pendidikan. Salah satunya adalah orientasi peserta didik (serta wali
murid) dalam upaya menempuh pendidikan di lembaga tertentu yang dipilihnya. Dalam
konteks pembelajaran, mengetahui orieantasi peserta didik di rasa sangat
penting yaitu sebagai pisau analisa sekaligus upaya pemberian “pendalaman”
secara benar terhadap mereka. Bagaimanapun, peserta didik datang ke madrasah
atau sekolah tidaklah membawa status “botol kosong.” Namun, sesungguhnya mereka
sudah membawa “isi” yang berupa tujuan-tujuan, fanatisme-fanatisme terhadap
sesuatu, keterpaksaan, keterampilan-keterampilan (kemampuan fisik dan pikiran),
traumatik-traumatik, kebanggaan-kebanggaan, doktrin-doktrin, dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami pula bahwa
pembelajaran PAI idealnya bukanlah materi ceramah, materi latihan, dan materi
diskusi saja. Melainkan, seni dalam mendoktrin peserta didik agar fanatik dan
setia sampai akhir hayat terhadap agama Islam. Dengan kata lain, kegiatan pembelajaran
PAI tidak berindikasi “mencegah” atau menghambat “isi” positif peserta didik.
Salah satunya dalam pengembangan bakat, potensi, kecerdasan, dan minat yang
positif. Oleh karena itu, pendidik bertugas membekali dan memfasilitasi mereka supaya
menjadi manusia yang ahli di bidang-bidang tertentu (senyampang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam). Di sinilah terjadi “peningkatan” posisi
peserta didik pada proses pembelajaran di kelas.[61]
Lebih lanjut, menurut Thomas R. Hoerr bila direnungkan
sesungguhnya teori pembelajaran berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences) bisa menjadikan
dunia pendidikan menghargai keanekaragaman (kecerdasan) peserta didik. Bahkan,
dimungkinan bisa mengenali keunikan yang berbeda-beda pada setiap individu.[62] Walaupun pada kenyataannya penerapan teori kecerdasan
beragam membutuhkan biaya yang tidak sedikit (perlu dana
tambahan). Diantaranya, diperlukan untuk membeli kamera video (CCTV) di setiap
ruang kelas dan mengundang seniman aneka bidang dan kebutuhan-kebutuhan
penunjang lainnya.[63]
Masih
menurut Thomas R. Hoerr, tidak ada cara tunggal dan yang benar (harus sama) dalam
penerapan teori kecerdasan beragam (ini merupakan sisi unik, sekaligus
kelemahannya) pada sekolah-sekolah. Setiap praktisi pendidikan dalam
menggunakan teori tersebut mesti memperhatikan keunikan konteks dan kultur
sekolah mereka masing-masing.[64]
Sebagai contoh, pada kasus di sekolah atau ruang kelas tertentu menyetel musik
sambil belajar dapat menjadikan siswa bisa cepat memahami materi, bahkan bisa
berkembang kecerdasaan matematisnya. Akan tetapi, di sekolah lain menyetel
musik di dalam kelas menyebabkan kekacauan luar biasa. Artinya, titik tekan
teori kecerdasan beragam sesungguhnya didasarkan pada keadaan masing-masing sekolah
dan masyarakat sekitar. Dengan demikian, setiap sekolah tidak boleh tidak
mempunyai cara dan gaya tersendiri dalam menerapkannya.
Dapat
dikatakan dalam penerapan teori kecerdasan beragam, sungguh bukanlah perkara
mudah dan remeh-temeh. Baik dari segi pemahaman teorinya maupun dari segi penerapannya.
Hendaknya pendidik memperhatikan secara mendalam tentang hakikat dari teori
tersebut. Oleh
karena itu, penulis akan memaparkan saran Gardner kepada para pendidik sebagai bahan
kajian yang cukup penting. Masukan tersebut berisi tentang tiga hal utama yang patut
diperhatikan, sebagaimana yang dikutip oleh Valerie Strauss dengan penjabaran
berikut:
1.
Mengadakan pembelajaran secara individual sebanyak
mungkin. Dengan mempelajari sebanyak mungkin dan bila perlu secara detail
terhadap setiap peserta didik. Mengajar setiap peserta didik dengan cara yang
menurut mereka nyaman dan bisa belajar dengan efektif. Tentu hal ini akan lebih
mudah bila dilakukan dengan kelas yang lebih kecil.
2.
Melakukan metode pengajaran yang beragam. Mengajarkan
materi penting dalam berbagai cara dan menggunakan berbagai bahan misalnya
melalui cerita, karya seni, diagram, role
play, dan sebagainya. Dengan cara itu diharapkan peserta didik dapat
belajar dengan cara yang berbeda.
3.
Tinggalkan atau kesampingkan istilah “gaya belajar,”
karena ini akan membingungkan orang lain dan tidak akan membantu pendidik ataupun
peserta didik.[65]
Bila bagian terpenting (pokok)
atau bahkan seluruh dari teori tersebut dapat dilakukan maka bisa dikatakan
inovasi[66]
terhadap pembelajaran PAI telah berhasil. Dengan itu, diharapkan kekuatan
intelektual Islam[67]
bisa mendapat masukan yang berarti. Sebaliknnya, bila belum hendaknya perlu
diadakan pembaharuan di bidang lain yang mempengaruhi secara langsung maupun
tidak langsung agar penerapannya bisa optimal. Sebagaimana menurut Agus Efendi,
bahwa dalam dunia pendidikan untuk membangun tradisi dan budaya berfikir
filosofis dan ilmiah tentu tidak mudah. Diperlukan sistem pendidikan dan
pembelajaran yang demokratis, sistem kurikulum yang inovatif-kreatif serta
transformatif-responsif terhadap perubahan masyarakat, sistem pelatihan
berpikir yang sistematis, buku ajar yang komunikatif-presuasif serta efektif-inovatif,
tradisi intelektual serta sistem sosial politik yang demokratis, dan sistem budaya
yang mendukung keunggulan serta menghormati HAM-spritualistik-religius.[68]
Pernyataan
tersebut dapat dipahami, bila pembelajaran PAI secara optimal, konsisten, dan all out menerapkan teori kecerdasan
beragam maka dampaknya adalah harus ada perubahan (pengembangan) materi, metode
pembelajaran, sarana-prasarana, adanya team
teaching, dan perubahan lainnya yang
relevan dengan teori tersebut. Perubahan tersebut tidak berlaku bagi tujuan
khusus PAI, yaitu untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik.
Namun demikian, dalam kondisi ini prakteknya masih sangat sulit untuk
menanamkan nilai-nilai Islam pada materi, gaya belajar, dan bahan ajar
pembelajaran PAI yang dipadukan dengan teori kecerdasan beragam.
Lebih nyata, bila
ditinjau dari pembelajaran PAI, di dalam materi PAI terdapat beberapa bidang
kecerdasan yang bisa diperdalami secara serius oleh masing-masing jenis
kecerdasan peserta didik. Misalnya materi dakwah, hafalan, dan seni membaca al
Quran ditekankan secara serius pada peserta didik yang hanya punya kecerdasan
linguistik-verbal. Materi ilmu waris, ilmu zakat, dan ilmu falak diberikan
secara khusus bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan logis-matematis. Untuk
lebih rincinya penulis membuat tabel sebagai berikut:
Tabel 3.2: Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam
Pembelajaran PAI
No. |
Jenis
Kecerdasan |
Pembelajaran
PAI |
Tujuan
/Harapan Akhir |
||
Materi |
Metode |
Bahan
Ajar |
|||
1. |
Linguistik-verbal |
Hafalan serta membaca al Qur’an
dan Hadith, pidato bahasa arab, dll |
Memotivasi, latihan, dan hafalan |
Teks al Quran, Hadith, dan bahasa
arab |
Menjadi Penghafal al Quran,
menjadi ahli bahasa arab, menjadi penulis Islami, dll |
2. |
Logis-matematis-numerikal |
Ilmu waris, ilmu zakat, ilmu falak
(hisab), ilmu perbankan syari’ah, akuntan publik, dll |
Memotivasi, latihan, menganalisis,
menghitung, merumuskan |
Soal-soal (pertanyaan) tentang
zakat, ilmu falak, ilmu waris. pengadilan agama, lembaga zakat, dan
laboratorium astronomi. |
Menjadi ahli stastistik Islami,
menjadi pengelola zakat yang amanah, menjadi pegawai pajak yang amanah,
menjadi akuntan amanah, dll |
3. |
Spasial-visual |
Kaligrafi, menggambar masjid,
membuat peta tentang sejarah perkembangan agama Islam di dunia, menggambar
grafik peningkatan jumlah muslim di dunia, dll |
Memotivasi, latihan, menggambar,
membuat grafik, membuat peta, mendesain Masjid, dan pergi ke seniman
kaligrafi |
Data-data tentang perkembangan
agama Islam di dunia dari zaman dulu hingga sekaran |
Menjadi pelukis Islami, menjadi
pengukir atau pemahat yang Islami, menjadi arsitek Islami, dll |
4. |
Musikal |
Barzanji, seni baca al Qur’an, selawat, nasyid, dan musik religius modern, dll |
Memotivasi, latihan, praktek
langsung di dunia nyata |
Perlengkapan musik, panggung |
Menjadi pemusik Islami, dll |
5. |
Kinestetik |
Perawatan jenazah, materi sunnah
nabi: berkuda, berenang, berlari. |
Memotivasi, latihan, ikut
perlombaan |
Perlengkapan jenazah, kuda, kolam
renang, lapangan olah raga |
Menjadi olah ragawan Islami, menjadi
tentara Islami, dll |
6. |
Interperso-nal |
Praktek dakwah, pemimpin, menari,
drama, dll |
Memotivasi, latihan, role play, ikut organisasi, praktek di
dunia nyata |
Organisasi, mushola, panggung
dakwah |
Menjadi pengacara islami, menjadi
politikus Islami, sutradara Islami dll |
7. |
Intraperso-nal |
Renungan malam (tahajud), cerita
tentang kehidupan sufi, cerita tentang perjuangan masuk Islam, cerita tentang
Mualaf, dll |
Memotivasi, pendekatan personal, |
Buku cerita tentang sufi, buku
muhasabah, cerita menyentuh hati |
Menjadi motivator Islami, menjadi
inspirator Islami, dll |
8. |
Naturalistik |
Merawat taman sekolah, menjaga
keindahan, memanajemen lingkungan sekolah, dll |
Memotivasi, penugasan: menjaga
taman |
Taman, hewan, ekosistem sekitar |
Menjadi aktivis peduli lingkungan
yang Islami, dll |
Dari tabel di atas dapat
disimpulkan, bahwa siswa yang dikatagorikan cerdas menurut PAI tidak hanya yang
bisa hafal al Qur’an-Hadith, pandai
bahasa arab, pandai berlogika hukum Islam, hafal sejarah Islam, dan yang
memiliki nilai ulangan bagus. Melainkan, semua siswa dikatakan cerdas, utamanya
“bila” sudah menemukan jenis kecerdasan apa yang ia miliki (kuasai). Kemudian
diterapkan pada pembelajaran PAI untuk dipahami, dihayati, diamalkan, dan
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kurikulum PAI
bisa menjadi fungsional dan bermanfaat langsung bagi kebutuhan hidup (jasmani
dan rohani) peserta didik. Serta bisa bermanfaat bagi masyarakat karena jenis
kecerdasan yang beragam tersebut bisa mencetak generasi Islam yang berprofesi
di bidang bermacam-macam (tidak homogen).
Pada
ulasan selanjutnya, hal tersebut tentu akan berbeda dengan penerapan teori KB
(kecerdasan beragam) di lingkup materi (tema) pembelajaran PAI. Misalnya materi
tentang zakat. Dari materi tersebut bisa disimulasikan (metode bermain peran /role play), bentuk penugasan mengarang[69],
atau dipraktekan secara nyata dengan pembentukan lembaga (organisasi) zakat
yang berlokasi di sekolah. Lebih detailnya maka penulis membuat pembagian tugas
di “lembaga zakat” tersebut berdasarkan jenis kecerdasan masing-masing peserta
didik sebagai berikut:
Tabel 2.3: Penerapan Teori Kecerdasan
Beragam dalam Lingkup Satu Tema (Materi)
NO. |
JENIS KECERDASAN
UTAMA (DOMINAN) |
JABATAN |
TUGAS |
ALAT |
TEMPAT KERJA |
1. |
Linguistik-verbal (dibutuhakn kecerdasan spasial untuk mendesain gambar
iklan) |
Tim manajer pemasaran |
Membuat proposal, selebaran/pamflet (iklan) untuk
masyarakat |
Komputer, kertas |
Ruangan |
2. |
Matematis-logis-numerikal (dibutuhkan kecerdasan spasial untuk memetakan
masyarakat berdasarkan tingkat ekonominya) |
Tim manajer keuangan |
Membuat (mengkalkulasikan) daftar prioritas penerima
zakat serta prioritas warga paling dermawan dan menghitung pengeluaran dan
pemasukan |
Komputer, kertas |
Ruangan |
3. |
Spasial-visual (dibutuhkan kecerdasan interpersonal untuk mengadakan
pendekatan dengan pejabat terkait) |
Tim manajer perencanaan |
Memetakan warga mana saja di sekitar sekolah yang
berstatus mustahik zakat dan warga dermawan |
Kertas gambar, pensil, dan spidol berwarna |
Lapangan dan ruangan |
4. |
Kinestetik-jasmaniah (dibutuhkan kecerdasan matematis-logis untuk
menganalisis data stastitik) |
Tim manajer pengelolaan
barang atau perlengkapan |
Mengambil zakat dari warga dermawan (muzaki) disetorkan
ke “panitia zakat” luntuk dikelola alu didistribusikan ke mustahik zakat. |
Kendaraan, timbangan, |
Lapangan |
5. |
Musikal (dibutuhkan kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi
teman-temannya agar mau mengikuti komando lirik lagu yang dibuatnya) |
Tim manajer kesegaran
jiwa /mental (SDM) |
Menggubah lirik lagu-lagu terkini dengan lirik lagu
Islami tentang zakat, kemudian dia disuruh memimpin teman-temannya agar
bersemangat dalam menjalankan misi panitia zakat. |
Sound, kertas, kaset, |
Ruangan |
6. |
Interpersonal (dibutuhkan kecerdasan linguistik-verbal untuk mempopulerkan
zakat kepada calon muzaki) |
Tim manajer humas |
Menjadi pimpinan panitia zakat atau ditugaskan untuk
mengadakan pendekatan dengan warga dermawan (muzaki) dan para mustahik. |
Kendaraan, data statistik, materi zakat, |
Lapangan dan ruangan |
7. |
Intrapersonal (butuh kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi
teman-temannya) |
Tim manajer kesegaran
jiwa /mental (SDM) |
Memotivator teman-temannya, meluruskan niat, dan
menentukan (merumuskan) hukum dan jumlah zakat dari semua jenis /macam zakat |
Kertas |
Ruangan dan lapangan |
8. |
Natural (butuh kecerdasan spasial untuk menyeting ruangan) |
Tim manajer kesegaran
jiwa /mental (SDM) |
Menata keindahan dan kenyamanan ruangan rapat/kelas
untuk konsolidasi “panitia zakat” menggunakan tanaman dan mengelola zakat
binatang ternak |
Pot, tanaman, poster flora atau fauna, |
Ruangan dan peternakan |
Dari
dua tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila pendidik hendak menerapkan
pembelajaran PAI berbasis KB (kecerdasan beragam) dalam arti gaya belajarnya, maka pendidik dituntut punya
kemampuan delapan jenis kecerdasan untuk mengajar peserta didik. Namun, bila
hendak menerapkannya dalam arti esensinya, maka pendidik harus mengakomodasi
perbedaan. Serta tentunya mengakui adanya kecerdasan beragam yang dimiliki
masing-masing peserta didik. Konsekuensinya, pendidik memberikan kesempatan
pada peserta didik untuk mengekspresikan muatan yang ada di PAI sesuai dengan
bidang kecerdasannya. Misalnya, dalam satu tema /materi pelajaran PAI, peserta
didik ditugaskan untuk memeragakan materi yang sesuai dengan bidang
kecerdasannya yaitu kinestestik. Sedangkan peserta didik lainnya ditugaskan
untuk membuat gambar terkait materi sesuai dengan bidang kecerdasannya yaitu
spasial-visual.
Dalam
beberapa kasus, ada kalanya anak tidak merasa bangga dengan jenis kecerdasan
yang sebenarnya ia kuasai dan secara asali merupakan bidangnya. Akan tetapi ia
cenderung tertarik dengan bentuk kecerdasan lain. Keinginan atau keterpikatan
tersebut biasanya disebabkan karena:
1.
Meniru idola; peserta didik akan merasa bangga bila ia
bisa mempunyai kemampuan seperti seseorang yang ia idolakan. Meski secara bakat belum tentu ia memiliki
kecerdasan di bidang itu. Dengan meniru idola salah satu tujuannya ialah akan
memiliki “penggemar” seperti halnya yang terjadi pada idolanya.
2.
Terpengaruh oleh teman; dalam posisi ini peserta didik
belum memiliki “kesadaran” tentang kemampuan atau kecerdasan yang ia miliki. Ia
cenderung merasa aman dan nyaman bila mengikuti “kecerdasan” yang sedang
digandrungi oleh kelompoknya. Selain itu, boleh jadi peserta didik sudah mengetahui
(merasakan) bidang kecerdasan yang ia miliki tapi tidak punya keberanian untuk
menunjukkan jati diri kecerdasannya karena takut tidak mendapat apresiasi dari
teman-temannya.
3.
Kuatnya paradigma kecerdasan tunggal, peserta didik
dihadapkan pada sistem pendidikan dan
sistem masyarakat yang hanya mengakui satu jenis kecerdasan. Misalnya mengakui
kecerdasan matematis-logis (numerikal) saja atau hanya mengakui kecerdasan
linguistik-verbal. Adapun status kecerdasan lainnya diabaikan begitu saja. Keadaan
seperti ini memaksa peserta didik untuk mendalami sesuatu yang bukan bidang
kecerdasannya.
Kenyataan
tersebut mempengaruhi psikologi, cara pandang, dan pemahaman peserta didik
tentang kecerdasan. Oleh karena itu, pendidik bertanggung jawab dalam mengarahkan
mereka ke jalur semestinya. Namun demikian, pendidik tetap memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengaktualisasikan minat atau hasratnya
tersebut. Boleh jadi, keinginan yang sedang ia senangi itu adalah jenis
kecerdasan dominan “kedua” yang ia miliki. Setelah itu, saat waktu tepat
pendidik mengoptimalkan kecerdasan utama yang ada pada diri peserta didik.
Tentu pendekatan yang digunakan untuk melakukan pembimbingan akan berbeda
antara peserta didik pada jenjang PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.
Dengan
demikian, karena tersalurkannya[70]
potensi masing-masing kecerdasan peserta didik secara layak –serta semuanya
didasarkan pada nilai-nilai Islam— maka diharapkan peserta didik akan
benar-benar menjadi orang sukses. Yakni, kesuksesan yang hakiki bukan
kesuksesan yang semu. Di mana, Tufiq Pasiak menggambarkan makna kesuksesan
sebagai berikut:
Gambar
3.3: Dua Jenis “Makna” Kesuksesan
(Diadapatasi dari tabel Taufiq Pasiak)
Dari
gambar tersebut berdasarkan penjelasan Taufiq Pasiak dapat digambarkan bahwa
jenis kesuksesan pada bagan paling kanan lebih mementingkan nilai kehidupan. Di
antaranya kebersamaan, kejujuran, integritas, komitmen, hubungan sosial, kerja
sama, dan keadilan. Lebih jelasnya, seseorang merasa sukses bila ia mampu
memberi orang lain sesuatu, sehingga membuatnya dapat menikmati hidup dan
semakin bermakna.[71]
Dengan kata lain, arti sukses sesungguhnya bukan sukses semata-mata untuk
mementingkan diri sendiri. Namun, yang dapat merubah situasi menjadi lebih baik
sehingga bisa memberikan makna dan nilai kehidupan.
Selanjutnya,
sebagai upaya filter terhadap proses dan hasil dari ilmu pengetahuan barat maka
perlu adanya upaya kritis terhadap teori Gardner. Di mana, ternyata teori
kecerdasannya tidak hanya mencakup manusia, tapi juga spesies lain (binatang).
Dengan ini, berarti ada anggapan bahwa hewan juga memiliki kecerdasan karena
juga memiliki batang otak, walaupun tak secerdas manusia. Menurut Gardner sebuah
era “kecerdasan” sudah dimiliki oleh manusia sejak zaman prasejarah, ketika
peradaban manusia modern belum dimulai. Bahkan, menurutnya kecerdasan juga
dimiliki oleh spesies lain (hewan). Berikut adalah indikasi yang menentukan
bagaimana sebuah kecerdasan antara manusia purba dengan hewan dapat saling
terkait:[72]
Tabel
3.4: Kecerdasan Pada Manusia Purba dan Spesies Selain Manusia
(Tabel dibuat oleh penulis, diadaptasi
dari penjelasan Gardner)
No. |
Jenis Kecerdasan |
Manusia Purba |
Spesies lain |
1. |
Linguistik-Verbal |
Ditemukan lambang tertulis terbukti telah dipakai sejak
30.000 tahun |
Kera besar punya kemampuan dasar untuk menamai benda |
2. |
Logis-matematis-numerikal |
Sistem angka dan kalender telah ditemukan dalam
lingkungan prasejarah |
Lebah menghitung jarak melalui perilaku terbang mereka |
3. |
Spasial-visual |
Lukisan gua yang terkenal di Prancis dan Spanyol |
Naluri mempertahankan wilayah pada berbagai jenis
mamalia |
4. |
Kinestetik-jasmani |
Penggunaan alat pada zaman prasejarah (penemuan
artifak) |
Penggunaan alat sederhana telah ditemukan pada primata,
binatang pemakan semut, dan spesies lain |
5. |
Interpersonal-antar
pribadi |
Petunjuk adanya kelompok kedupan komunal awal |
Ikatan dengan induk pada primata dan psesies lain |
6. |
Intrapersonal-intra
pribadi |
Kesadaran diri yang dibuktikan dengan lukisan gua,
keterampilan memburu (butuh perencanaan dan intuisi) |
Simpanse dapat melihat pantulan diri dari cermin dengan
mengungkapkan serta melambangkan perasaan dasar. |
7. |
Naturalis |
Kemampuan membedakan fauna dan flora untuk kelangsunga
hidup |
Sistem rumit untuk memangsang tetangganya dan untuk
tidak menjadi mangsa |
8. |
Eksistensial |
Adanya upacara keagamaan prasejarah, yaitu sebelum
berburu dan saat penguburan. |
Gajah dan spesies lain menunjukkan ritual tertentu
setelah kematian salah satu anggotanya. |
Dari
tabel tersebut dapat dipahami bahwa antara manusia purba dengan spesies lain
(hewan) sama-sama memiliki kecerdasan yang beragam. Meskipun, untuk manusia
kecerdasan beragam bisa didominasi oleh spesies manusia saja pada masing-masing
individunya. Adapun untuk hewan tidak bisa didominasi oleh satu spesies saja. Artinya
tiap individu dalam satu spesies memiliki satu jenis kecerdasan yang sama. Misalnya,
kecerdasan satu ekor lebah dengan lebah yang lain tidak bisa memiliki jenis
kecerdasan berbeda. Dengan kata lain, jenis kecerdasan pada lebah antara satu
sama lain adalah sama, yakni kecerdasan dalam menghitung jarak melalui perilaku
terbang. Mereka seakan mempunyai “peluang” dan gaya yang sama dengan manusia
dalam menghadapi kehidupan di bumi.
Hal
tersebut tentu akan berbeda dengan pandangan Islam tentang hewan. Bagaimanapun,
menurut Islam tujuan diciptakannya antara manusia dengan hewan itu berbeda.
Dengan demikian, fungsi otak sebagai penghasil kecerdasan antara manusia dan
hewan juga berbeda. Kecerdasan hewan hanya digunakan untuk mematuhi perintah
Allah, yaitu “menghiasi” bumi. Terlebih lagi, hewan tidak dimintai pertanggung
jawaban di akhirat kelak. Sedangkan, fungsi kecerdasan (otak) pada manusia
sebagai modalitas (bekal) untuk menjalankan kehidupan di dunia. Di mana, salah
satu tujuannya agar bisa memilih segala sesuatu sesuai dengan apa yang bisa
mereka pilih. Memilih kehidupan dunia atau akhirat, bisa juga manusia memilih
keduanya.
Dari
semua fenomena dan masalah di atas tersebut, Anshori telah memberikan
rekomendasi sebagai jalan keluar, salah satu di antaranya yaitu:
1.
Lembaga pendidikan Islam pada setiap pelajarannya harus
memiliki aktivitas yang terkait dengan multiple
intelligences.
2.
Lembaga pendidikan tidak perlu menerima peserta didik
yang memiliki kebutuhan khusus kecuali lembaga pendidikan Islam telah diperlengkapi
dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.
3.
Mengambil gagasan inovatif yang sesuai denga ajaran
Islam.[73]
Mengacu
pada rekomendasi tersebut serta didasarkan pada pembahasan sebelumnya. Satu
perihal lagi yang menjadi alasan mengapa paradigma ilmu Islam dengan Ilmu barat
semakin merenggang adalah pengkultusan terhadap otak. Di mana, adanya
perkembangan “teori” tentang otak membuat posisi antara manusia dengan hewan
“hampir” sama. Yakni, sama-sama memiliki otak dan sama-sama memiliki kecerdasan
meskipun berdasarkan penelitian tingkat kecerdasan hewan sangat jauh
dibandingkan manusia. Implikasinya, bila diruntut ke zaman masa prasejarah
bahkan hingga ke zaman “penciptaan” semua makhluk hidup, maka menghasilkan
gagasan bahwa hewan dan manusia diciptakan dari “hal” yang sama. Adapun, letak
perbedaannya adalah kemampuan evolusi manusia yang amat pesat sehingga mampu
meninggalkan tingkat kecerdasan “hewan” lainnya.
Untuk
menghadapi dilema tersebut, Muhaimin menjelaskan tentang tipologi pemikiran
(filsafat) pendidikan Islam. Di mana, menurut pandangan penulis bisa menjadi
dasar filosofis Pendidikan Islam pada zaman sekarang ini. Konsep tersebut
secara lengkap dapat dilihat dalam bentuk tabel sebagai berikut:[74]
Tabel 3.5: Tipologi
Pemikiran Pendidikan Islam dengan Bentuk Tabel
(Diadaptasi dari tabel Muhaimin)
Corak Pemikiran Pendidikan Islam |
Tolok ukur |
Ciri-ciri |
Fungsi Pendidikan Islam |
Rekonstruksi sosial berlandaskan Tauhid |
1.
Sumber al Qur’an dan Hadith 2.
Progresif dan dinamis 3.
Rekonstruksi sosial berkelanjutan
yang dibangun secara bottom up, dari
grass toot, dan berdasarkan
pluralistis 4.
Pendidikan Islam yang proaktif,
berorientasi masa depan, dan antisipatif dalam mengatasi suatu masalah karena
disebabkan perubahan yang tak terduga (adanya teori baru dll) dan
perkembangan IPTEK. |
1. Bukan konstruk yang closes-ended,
tapi yang dikembangkan secara konsultatif antara kenyataan (fenomena) dengan
teori (konsep) 2. Rekonstruksi sosialnya berdasarkan pada pengembangan paradigma secara
terus menerus 3. Komitmen terhadap pengembangan kreativitas secara terus-menerus 4. Menghargai keragaman budaya, dengan tetap menjunjung tata nilai. |
1. Menumbuhkan kreativitas peserta didik secara terus-menerus 2. Memberikan kekayaan wawasan budaya, nilai-nilia insani, dan ilahiah 3. Mendidik manusia agar siap tampil (bekerja dll) untuk menghadapi
kehidupan 4. Mengembangkan manusia menjadi cakap atau kreatif untuk selanjutnya mampu
bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya.
|
Dari
tabel tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam meberikan kebebasan
peserta didik untuk menjadi politisi, akuntan, arsitek, pemain sepak bola,
zoolog, pemimpin LSM, dan ahli dalam bidang apapun itu. Akan tetapi dengan salah
satu syarat, semuanya tadi tetap bernilaikan agama Islam. Dengan demikian, PAI
tidak hanya menekankan pada aspek kemampuan kognitif dan IQ-nya. Melainkan,
juga menekankan pada aspek fungsional di masyarakat. PAI tidak hanya
berorientasi pada dogma-dogma menjalankan ibadah untuk akhirat. Akan tetapi
juga “dogma-dogma” tentang perintah mengembangkan kecerdasan di bidang
masing-masing untuk kepentingan agama dan bangsa.
Dengan demikian, tugas PAI mesti mampu mengakomodasi
keberagaman kecerdasan peserta didik. Serta mampu memanfaatkan potensi tersebut untuk
mencetak generasi-generasi Islam yang mengisi seluruh sektor bidang
kemasyarakatan. Asumsinya, outcome
pembelajaran PAI tidak hanya menjadikan peserta didik beriman dan bertaqwa
dalam arti ritual (ibadah). Lebih dari itu, PAI juga menjangkau hal-hal yang
bersifat materiil (nyata). Meski dalam
pengembangan yang bersifat riil tersebut tetap harus berlandaskan pada hal-hal
yang imaterial (gaib). Selain itu,
dengan mengkaji PAI diharapkan peserta didik mampu menyadari, menemukan, dan
mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang ada pada dirinya.
Bila
hal tersebut dikaitkan dengan teori Gardner maka salah satu hal penting yang
dapat diambil oleh pendidikan Islam adalah setiap peserta didik punya jenis kecerdasan
beragam antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, pendidik tidak boleh
menyamakan (menyeragamkan) posisi kecerdasan seluruh peserta didik. Di sisi
lain, mengenai teori lain yang berasal dari Barat seperti tentang kemampuan
otak yang seakan “tak terbatas,” kecerdasan itu bersifat genetis atau tidak,
hewan juga memiliki “kesetaraan” dengan manusia, dan teori lainnya yang masih belum
mengalami kematangan oleh umat Islam wajib difilter. Dengan demikian,
pendidikan Islam tidak sepantasnya mengambil seluruh teori dari Gardner apalagi
bagian-bagian teori yang masih belum matang (terdapat pertentangan kuat).
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa
hakekat dari pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences) adalah bisa
meningkatkan atau mengembangkan kecerdasan paling dominan (nampak) yang
dimiliki setiap individu peserta didik. Di sisi lain, pendidik PAI mesti
memberikan materi lain yang tentunya terkait langsung dengan dogma-dogma dan
nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, peran PAI adalah memberikan motivasi
dan mengarahkan peserta didik dalam mengembangkan kecerdasannya. Tentunya,
disertai dengan penanaman nilai-nilai Islam dengan cara dan materi pokok yang
disesuaikan dengan kecerdasan mereka. Misalkan, peserta didik yang memiliki
kecerdasan spasial didorong untuk menekuni kecerdasannya sehingga bisa menjadi
pelukis, pemahat, arsitek, ahli geografi, dan lain sebagainya. Selanjutnya, pendidik
diwajibkan menanamkan nilai-nilai Islam, yaitu agar menjadi pelukis, pemahat,
arsitek, ahli geografi yang menjunjung nilai-nilai Islam.
D. Penutup
Pada prinsipnya, Islam mengakui terdapatnya
kecerdasan beragam pada setiap peserta didik (manusia). Dalam sejarahnya pun,
turunnya wahyu tentang larangan minum khamr
(minuman memabukan) tidak serta merta langsung secara “mendadak.” Namun,
dilakukan secara berangsur-angsur. Ini artinya, Islam menghendaki perubahan
manusia orientasinya bukan pada hasilnya saja, tetapi juga proses yang
berkualitas. Di mana kondisi psikologis serta fisik para peminum khamr sangat diperhatikan. Inilah bukti
bahwa dalam “mendidik” umat, agama Islam sangat memperhatikan unsur-unsur
kemanusiaan.
Penjelasan tersebut bila dikaitkan dengan teori multiple intelligences, maka seorang
pendidik tidak serta merta harus tertuju pada hasil apa yang diinginkan. Melainkan,
juga memperhatikan cara atau proses apa yang paling bagus (manusiawi) agar
kondisi fisik dan psikologis peserta tidak mengalami salah orientasi. Harapannya,
dalam jangka panjang bisa tercapai hasil /tujuan yang lebih bagus. Misalnya,
pendidik yang ingin mewudukan tujuan PAI yaitu supaya peserta didiknya menjadi manusia
yang beriman pada Allah. Pendidik tidak akan serta merta mendoktrin peserta
didik supaya bisa beriman pada Allah, tapi juga dilakukan pendekatan lain.
Yakni, yang sesuai dengan kemampuan (kecerdasan) peserta didik dalam memahami
dan menjawab “Bagaimana cara beriman kepada Allah?.”
Sebagai penutup, dari semua penjelasan di atas terdapat
beberapa kesimpulan penting, di antaranya adalah:
1. Konsep dasar tentang teori
kecerdasan beragam (multiple intelligences).
Telah terjadi perubahan paradigma kecerdasan, yang
berimplikasi adanya perubahan “posisi” peserta didik di dunia pendidikan. Di
mana awalnya peserta didik hanya sebagai objek untuk “proyek” peningkatan
kecerdasan, menjadi subjek atas “proyek” pengembangan kecerdasan. Asumsinya,
peserta didiklah yang harus aktif dalam mencari dan mengembangkan kecerdasan
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pendidik hanya mengarahkan dan
membimbing peserta didik dalam menemukan dan mengembangkan bidang kecerdasan
yang masing-masing peserta didik miliki.
2. Paradigma baru pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
Pembelajaran PAI dilakukan tidak hanya untuk
memenuhi tuntutan moralitas dan ritualitas. Lebih dari itu, pembelajaran PAI
merupakan penanaman nilai-nilai PAI secara universal. Dengan demikian, tujuan
PAI bukan hanya dalam misi mencerdaskan peserta didik secara IQ. PAI juga hendak mencerdaskan peserta didik
sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Itu artinya, peserta didik tidak
hanya diarahkan untuk memahami bahkan menjadi ahli ilmu agama. Melainkan,
mereka diberi ruang mengaktualisasikan bidang kecerdasan yang ia kuasai pada
dunia nyata kelak. Implikasinya, pembelajaran PAI secara praktik juga mengalami
perubahan-perubahan. Tidak hanya tertuju pada hasil, tapi juga mementingkan
proses yang tepat. Kendati demikian, pada pembelajaran PAI dalam proses perubahan
atau inovasi dari sudut manapun, hendaknya identitas dan nilai-nilai keislaman
tidak boleh ditinggalkan.
3. Pembelajaran PAI berbasis
kecerdasan beragam yang ideal.
Pembelajaran berbasis multiple intelligences dalam lingkup satu lembaga (institusi)
secara umum tidaklah mudah. Banyak kendala yang ditemui, misalnya butuh dana
yang cukup banyak, butuh tenaga pendidik yang ahli (spesialis) di bidang-bidang
tertentu, dan butuh waktu untuk pengidentifikasian jenis kecerdasan peserta
didik. Hambatan lainnya adalah adanya upaya penemuan jenis kecerdasan lain yang
menjadi pendukung dari kecerdasan utama dalam satu individu, belum adanya
kesatuan visi, potensi pendidik yang masih minim, dan sebagainya. Oleh karena
itu, idealnya pembelajaran PAI tidak serta merta harus mempraktekan secara buta
(mentah) teori apapun itu. Termasuk teori multiple
intelligences milik Gardner. Pembelajaran PAI ditekankan tetap melihat
konteks masyarakat sekitar, kondisi (latar belakang) peserta didik, dan
tentunya kemampuan (potensi) lembaga pendidikan.
Daftar Rujukan
“Kamus Besar Bahasa
Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI
Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
Armstrong, Thomas. “Seven
Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori
Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds
of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligence, terj. T.
Hermaya. Jakarta: Gramedia, 2005.
--------. Multiple Intelligences in The Classroom 3rd Edition. Alexandria USA: Association for
Supervision and Curriculum Development, 2009.
Cambell, Linda dan Bruce Campbell. Multiple Intelligences and Student Achievement: Succes Stories from Six
Schools. Alexandria USA: Association for Supervision and Curriculum
Development, 1999.
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis
Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung: Kaifa, 2010.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI,
SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
Gardner, Howard.
“Practice Does Not Make Perfect,” http://multipleintelligencesoasis.org/practice-does-not-make-perfect/, diakses tanggal 23 Oktober 2014.
--------. Frames of Minds: The Theory of Multiple
Intelligences. New York USA: BasicBooks, 1993.
Goleman, Daniel.
“Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional
Intelligence, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hoerr, Thomas R. Becoming a Multiple Intelligences School.
Virginia USA: Association for
Supervision and Curriculum Development, 2000.
Ibrahim, R. dkk., Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Rajawali, 2011.
Langgulung, Hasan. Pendidikan
dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi. Jakarta: Pustaka al Husna, 1985.
Ma’arif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2007.
Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.
--------, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Strategi
Pembelajaran. Jakarta: Kencana, 2009.
Nurani, Yuliani.
“Sinopsis Disertasi Pengembangan Model Program Kegiatan Bermain Berbasis
Kecerdasan Jamak dalam Rangka Peningkatan Kreativitas Anak Usia Dini,” Pascasarjana Universitas Jakarta 2008,
dalam http://yebefo.com/wp-content/uploads/2013/04/Sinopsis-Disertasi.pdf,
diakses 06 Januari 2014.
Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ,
dan SQ untuk Kesuksesan Hidup. Bandung: Mizan.
Sabri, Ahmad. Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching.
Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2007.
Septiana, Dwi. dkk.
“Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Multiple
Intelligences pada Materi Pertumbuhan dan Perkembangan,” Unnes Journal of Biology Education dalam
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujeb,
diaskes tanggal 31 Desember 2014.
Strauss, Valeria.
“Howard Gardner: ‘Multiple Intelligences’ are not ‘Learning Styles’,” dalam http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete,
16 Oktober 2013, diakses 23 Oktober 2014.
Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4, dalam http://dpr.go.id/uu/uu1945, diakses tanggal 23 Februari 2015.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.
Widayati, Sri dan Utami
Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona
Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta: Luna, 2008.
Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan
Generasi Ulul Albab. Malang: Uin Malang, 2010.
Zohar, Danah dan Ian Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk. Bandung: Mizan, 2007.
[1]Dalam referensi lain adakalanya digunakan istilah
“kecerdasan ganda,” “kecerdasan jamak,” “ragam kecerdasan,” dan “kecerdasan
majemuk” sebagai pengganti istilah multiple
intelligences yang digunakan oleh Gardner dalam mengembangkan teorinya
terkait kecerdasan.
[2]Teori Gardner awalnya hanya mengidentifikasikan
tujuh jenis
kecerdasan, yaitu linguistik,
logis-matematis,
musik,
kinestetik-jasmani,
spasial-visual,
interpersonal, dan
intrapersonal.
Ia kemudian
menambahkan
satu jenis kecerdasan lagi yaitu
naturalis. Selain itu Gardner juga mengatakan bahwa mungkin saja ada
beberapa
kecerdasan lain lagi. Walaupun seiring waktu, teori "multiple intelligences" ini entah bagaimana bisa menjadi identik dengan konsep "gaya
belajar" meskipun kedua hal tersebut sangat berbeda. Lihat, Valeria Strauss, “Howard Gardner: ‘Multiple Intelligences’
are not ‘Learning Styles’,” dalam http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete,
16 Oktober 2013, diakses 23 Oktober 2014.
[3]Howard Gardner adalah tokoh revolusioner dunia pendidikan
dan psikologi. Bukunya Frames of Mind:
The Theory of Multiple Intelligences (terbit pertama kali 1983) telah
mengguncang paradigma kecerdasan yang lama. Menurut pengamatan penulis, sampai
sekarang ini (Oktober 2014) ia masih hidup. Bahkan masih aktif melakukan
kegiatan ilmiah di dunia maya. Di internet ia sering mem-posting pendapat maupun kritikannya terhadap pelaksaan serta
perkembangan Multiple Intelelligences di berbagai negara.
[4]Menurut penjelasan Hoerr, bahwa teori tentang kecerdasan
telah bertambah baik menjadi instrumen yang mendapat sambutan antusias dari
para pendidik di seluruh dunia. Meski memang diakui, awalnya teori “kecerdasan”
hanya dimaksudkan untuk dunia psikologi. Lihat,
Thomas R. Hoerr, Becoming a Multiple
Intelligences School (Virginia USA: Association for
Supervision and Curriculum Development, 2000), hlm.
1.
[6]“MI theory makes its greatest contribution to
education by suggesting that teachers need to expand their repertoire of
techniques, tools, and strategies beyond the typical linguistic and logical
ones premonimantly used in American classrooms.” Lihat, Thomas Armstrong, Multiple
Intelligences in The Classroom 3rd Edition (Alexandria USA: Association for
Supervision and Curriculum Development, 2009), hlm. 54.
[7]Ibid. hlm. 199.
[8]Lembaga
pendidikan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis. Salah satu di antaranya
adalah pendidikan umum seperti sekolah (SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi Umum)
dan pendidikan umum berciri khas Islam (MI, MTs, MA, Perguruan Tinggi Agama
Islam), pendidikan kejuruan (SMK dan MAK), keagamaan (pondok pesantren, ma’had
aly, dll), dan sebagainya. Lebih
lanjut, untuk PTAI berbentuk Sekolah Tinggi (STAI) idealnya hanya menerima
peserta didik yang mempunyai kecerdasan linguistik-verbal, interpersonal, dan
kecerdasan intrapersonal. Hal ini, karena STAI difokuskan untuk mencetak
generasi ahli agama. Oleh karena itu, jenis kecerdasan tertentu tidak terlalu
dibutuhkan seperti kecerdasan naturalis, dan kecerdasan spasial. Adapun untuk
PTAI berbentuk Universitas (Universita Islam) bisa menerima seluruh peserta
didik dari berbagai jenis kecerdasan apapun. Terutama yang tingkat keberagaman
prodi sangat tinggi. Kendati mahasiswa harus tetap diseleksi, kecerdasan apa
yang sekiranya cocok untuk dimasukkan pada prodi-prodi tertentu. Misalnya,
kecerdasan spasial dimasukan pada prodi arsitektur, kecerdasan matematis serta
naturalis dimasukan pada prodi MIPA, dan kecerdasan musik dimasukkan pada prodi
dakwah. Adapun untuk PAI di jenis pendidikan umum implementasi kecerdasan
beragam disesuaikan dengan visi dan misi lembaga sekolah masing-masing.
Tentunya, tetap dikaitkan dengan nilai-nilai agama Islam. Kemudian, untuk jenis
pendidikan kejuruan disesuaikan dengan jurusan yang diambil peserta didik.
Sedangkan, implimentasi teori kecerdaan beragam di PTU hendaknya juga
memperhatikan di prodi mana pendidik mengajar. Pembahasan lebih lanjut tentang pembalajaran
PAI di PTU sebagai penguat teori mutlitple
intelligences (kecerdasan beragam) diulas cukup lengkap oleh penulis di
buku lain. Lihat, A. Rifqi amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014).
[9]Terkait
implementasi teori mutliple intelligences
pada jenjang pendidikan dasar (Elementary
Schools), pendidikan menengah (Middle-Level
Schools), dan pendidikan tinggi (High
Schools) Linda Campbell dan Bruce Campbell dalam bukunya menjelaskan secara
detail. Lihat, Linda Cambell dan
Bruce Campbell, Multiple Intelligences
and Student Achievement: Succes Stories from Six Schools (Alexandria USA:
Association for Supervision and Curriculum Development, 1999).
[10]Untuk melakukan pemilahan perindividu berdasarkan
kecerdasan yang ia kuasai maka perlu dilakukan tes tertentu agar diketahui
kecenderungan kecerdasan apa yang dimiliki peserta didik. Bahkan dimungkinkan, individu
memiliki kecenderungan kecerdasan lebih dari satu bidang. Strategi pemilahan
ini sering ditemukan pada beberapa lembaga pendidikan yang murni dan totalitas
melaksanakan teori multiple intelligences.
Sedangkan untuk lembaga yang belum mampu melaksanakannya, pengadaan tes
identifikasi jenis kecerdaan peserta didik dirasa tetap penting. Salah satunya
sebagai “peta” pendidik PAI dalam melakukan pembelajaran berbasis kecerdasan
beragam yang efektif. Paling tidak, dengan peta itu pendidik bisa memahami maupun
memandu kecenderungan bakat dan potensi peserta didik, sehingga pendidik tidak
salah dalam mendoktrin peserta didik dengan ayat al Qur’an dan Hadith.
[11]Kecerdasan
linguistik-verbal salah satunya kemampuan dalam bidang kebahasaan, seperti
membaca, menghafal, maupun menulis ayat-ayat al Qur’an dan Hadith.
Sedangkan kecerdasan intrapersonal adalah salah satunya kemampuan dalam bidang
memahami kelemahan diri sendiri, peka terhadap etika (moral), mudah berempati,
peka terhadap suatu perubahan, mudah menerima dogma agama, dan cenderung
menguasai hingga mengimplementasikan ilmu tasawuf.
[12]Bila dianalogikan dengan “bakat” bawaan hewan (bukan berarti
permisalan ini dimaksudkan untuk menyamakan peserta didik dengan binatang),
maka guru mempresepsikan semua binatang adalah burung. Oleh karena itu,
semuanya diasumsikan punya kemampuan yang sama yaitu terbang untuk mencapai
tujuan. Padahal, kenyataannya tidak semua hewan bisa terbang. Ada bermacam
jenis kemampuan lain yang dimiliki oleh beberapa hewan lainnya yaitu berenang,
lari, melompat, bernyanyi (berkicau), dan sebagainya. Kenyataannya guru PAI
selama ini masih menghendaki ikan, harimau, dan kodok supaya mempunyai
kemampuan terbang. Dampaknya, tiga hewan tersebut tidak akan mampu mencapai
tujuan yang dikendaki secara efektif. Bahkan, tujuan yang dikehendaki tidak
akan tercapai sama sekali. Hal itu karena energi maupun pikirannya terkuras dan
disibukkan untuk mendalami sesuatu yang di luar bidang atau jenis
“kecerdasannya.”
[13]Kenyataan yang terjadi secara umum dalam dunia
pembelajaran PAI adalah terjadinya penyeragaman peserta didik. Yakni, peserta
didik diseragamkan strategi pembelajarannya. Bahkan, diseragamkan kemampuannya
dalam menghayati dan “mengamalkan” nilai-nilai Islam hanya dari dua sudut
kecerdasan saja. Di satu sisi, peserta didik diajarkan atau diarahkan untuk
menjadi muslim yang baik, tapi ironisnya strategi pembelajarannya tidak
menunjukkan sebagai muslim baik yang mampu menghargai jenis kecerdasan yang
dimiliki individu. Artinya, dalam suatu materi tertentu strategi pembelajaran
dan pemberlakuan peserta didik satu dengan lainnya disamakan tanpa memedulikan
jenis kecerdasan yang di miliki masing-masing individu. Pada akhirnya pendidik
akan memfonis peserta didik yang mengalami kesulitan belajar membaca al Qur’an, kesulitan praktik berceramah,
kesulitan praktik ibadah, kesulitan memahami dogma-dogma tertentu, dan
kelemahan-kelemahan lain sebagai individu yang bodoh dan tidak taat agama.
Padahal, kesalahannya terletak pada kegagalan pendidik dalam mengidentifikasi
jenis kecerdasan apa yang dominan dimiliki individu. Kemudian ditindaklanjuti
dengan pendekatan atau strategi apa yang cocok, sehingga materi-materi yang
dianggap sulit tersebut tidak menurunkan motivasi peserta didik dalam belajar
PAI. Bahkan dengan strategi tepat, individu akan mampu memahami materi yang
awalnya dianggap sulit menjadi lebih mudah dicerna. Pada akhirnya mereka akan
merasa puas karena telah melakukan proses pembelajaran sesuai dengan dunia
kecerdasannya.
[14]Sebagian dari gagasan teori multiple
intelligence tidak sepenuhnya harus diserap oleh “teori” pembelajaran PAI.
Ada sebagaian gagasan Gardner yang perlu digunakan dan ada yang tidak cocok
untuk diterapkan karena tidak sesuai dengan karakter PAI. Oleh karena itu, penulis melakukan analisis kritis
terhadap teori Gardner untuk mengetahui faktor-faktor apa yang membuat teori
ini tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam pembelajaran PAI. Yakni,
menganalisis ketepatan teori tersebut untuk digunakan dalam pembelajaran PAI.
Kemudian diformulasikan sebuah gagasan yang merupakan kesimpulan dari beberapa
gagasan yang ditemukan.
[15]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
[16]Selama ini multiple
intelligences lebih dikaitkan dengan
gaya belajar, bukan melihat sisi kecerdasan apa yang mungkin ada pada siswa
sehingga siswa tidak harus dipaksakan untuk menggunakan gaya belajar yang
berbasis multiple intelligences. Oleh
karena itu, penulis menggunakan istilah “kecerdasan beragam” sebagai pengganti
dari kata “multiple intelligences”
agar bisa menegaskan bahwa kecerdasan yang dimilik individu itu beragam. Lebih
lanjut, Gardner memaparkan bahwa kadang-kadang terdapat istilah pelajar yang
gaya belajarnya visual atau pelajar yang gaya belajarnya mendengar. Hal ini
menurutnya adalah kesalahan, karena ini akan mengartikan bahwa seseorang
belajar melalui mata mereka, sedang orang lain melalui telinga mereka, dan
seterusnya. Dalam dua jenis kecerdasan seseorang bisa saja sama-sama
menggunakan mata sebagai alat pengumpul informasinya. Namun di antara keduanya
dalam belajar menggunakan kemampuan kogintif yang sama sekali berbeda.
Misalkan, kecerdasan musik dan kecerdasan berbicara (linguistik) meski
sama-sama mengaktifkan telinga, tetapi penggunaan kemampuan kognitifnya dalam
memahami “suara” sama sekali berbeda. Dengan demikian, konsep kecerdasan tidak berfokus pada
masalah bagaimana informasi linguistik atau spasial
mencapai
otak, apa melalui
mata,
telinga,
atau tangan.
Namun, yang paling penting
adalah kekuatan
mental dan
kecerdasan yang memiliki peran. Lihat,
Strauss Howard
Gardner: ‘Multiple,” diakses tanggal 23
Oktober 2014.
[17]“Kamus Besar Bahasa, didownload tanggal 21 April 2014.
[18]Ibid.
[19]Mengenai permasalahan
ini Armstrong menggunakan beberapa argumennya, yang ia bahas secara cemerlang
di Bab 15 berjudul “Akankah Ada Jenis Kecerdasan Lain?.” Lihat, Armstorng, Kind of
Smart, hlm. 226-239.
[20]Howard Gardner, Frames of Minds: The Theory of Multiple
Intelligences (tenth-anniversary edition) (New York USA: BasicBooks, 1993), x.
[21]Agus Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ
(Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 81.
[22]Sri Widayati dan Utami Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak (Yogyakarta: Luna,
2008), hlm. 2.
[23]Ibid., 4.
[24]Howard Gardner, “Practice Does Not Make Perfect,” http://multipleintelligencesoasis.org/practice-does-not-make-perfect/, diakses tanggal 23 Oktober 2014.
[25]R. Ibrahim, dkk.,
Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawal, 2011), hlm. 125.
[26]Ahmad Sabri, Strategi
Belajar Mengajar dan Micro Teaching (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm.
34.
[27]Undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat 20, dalam
http://dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2003_20.pdf, diakses tanggal 23
Februari 2015..
[28]Menurut Gardner, pendidik harus mengurangi waktu
untuk mengurutkan (me-ranking)
kepandaian anak. Lebih banyak meluangkan waktu untuk menolong mereka menemukan
bakat dan kecakapan alamiah serta memupuknya. Ada beratur-ratus cara untuk berhasil, tetapi kemampuan yang
berbeda-beda yang akan menolong manusia dari mencapai kesuksesan. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” dalam Emotional Intelligence,
terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 50.
[29]Ini bukan berarti
penulis menyalahkan lembaga privat. Akan tetapi yang perlu dikritisa adalah
sudahkah potensi kecerdasan anak difasilitasi sebelum anak dileskan privat yang
mengkaji bidang kecerdasan lain yang bukan pada bidang kecerdasan dominannya.
[30]Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad, 137
[31]Kecerdasan emosional (EQ) adalah “kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati, dan
berdoa.” Lihat, Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” hlm. 45.
[32]Kecerdasan spiritual (SQ) adalah “kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.” dengan kata lain, SQ merupakan
kecerdasan tertinggi manusia, yang bisa memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.”
Lihat, Danah Zohar dan Ian Marshall,
“SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ:
Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk
(Bandung: Mizan, 2007), hlm. 4.
[33]Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad, hlm. 85.
[34]Zohar dan Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” hlm. 35.
[35]Thomas Armstrong, “Seven Kinds of Smart: Menemukan
dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,”
dalam Seven Kinds of Smart: Identifying
anda Developing Your Multiple Intelligence, terj. T. Hermaya (Jakarta:
Gramedia, 2005), hlm. 6-8.
[36]Senyampang tidak
kehilangan banyak darah maka manusia akan tetap bisa hidup berjam-jam bahkan
bertahun-tahun (dengan transplatasi pada organ tertentu) meskipun ia kehilangan
tangan, kaki, hati, usus, paru-paru, lambung, jantung, dan alat reproduksinya.
Manusia umumnya tidak akan bisa hidup lama (kurang lebih tidak sampai 2 hingga
5 menit) bila kehilangan fungsi paru-paru dan jantung. Kendati demikian, ada
sebagian pendapat bahwa meski jantung dan paru-parunya tidak berfungsi tapi
pada kasus istimewa otak masih bisa bekerja. Hal ini menyebabkan beberapa waktu
kemudian memungkinkan bagi otak memerintahkan jantung dan paru-paru bekerja
kembali. Inilah yang disebut mati suri, yaitu keadaan matinya seluruh organ
tubuh kecuali otak. Kendati demikian, secara teori otak yang tidak mendapatkan
suplai oksigen dari paru-paru akan mengalami kehilangan fungsi (mati). Di mana,
paru-paru dan jantunglah yang berperan menyuplai oksigen pada otak melalui peredaran
darah. Kelebihan otak lainnya adalah bila hati, jantung, bahkan paru-paru bisa
ditransplantasikan maka hingga kini hal itu tidak bisa diperlakukan untuk otak.
[37]Mengenai hal ini, Gardner agaknya mengakui bahwa hewan
juga “memiliki” kecerdasan meski sangat sederhana di bidang masing-masing,
sesuai dengan habitat hidupnya dan bentuk tubuhnya. Hal inilah yang agaknya
sedikit kontradiksi dengan paradigma umat Islam. Di mana, ujung-ujungnya antara
hewan dan manusia tak ada bedanya. Penjelasan lebih detail beserta contohnya
diuraikan pada halaman berikutnya.
[38]Zohar dan Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual,” hlm. 50.
[39]Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad, hlm. 55.
[40]Widayati dan Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona, hlm. 28-49.
[41]Syamsul Ma’arif, Revitalisasi
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 133.
[42]Diyakini, dengan mengembangkan salah satu kecerdasan maka
dapat memacu kecerdasan lainnya. Misalnya, dengan meningkatkan kecerdasan
bermusik sejak dini (main biola atau piano) maka dapat merangsang kecerdasan
matematisnya untuk ikut berkembang pesat. Serta kecerdasan spasialnya melejit
setelah kecerdasan intrapersonalnya dikembangkan.
[43]Manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal
bersifat fisik-biologis (homo economicus)
dan hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka manusia
bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian, betapa
pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas. Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 2.
[44]Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Amandemen ke-4, dalam http://dpr.go.id/uu/uu1945, diakses tanggal 23 Februari 2015.
[45] Pada Pasal 32 Ayat 1 UU Sisdiknas 2003 dikatakan
“Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.” Lihat, Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang,
2003).
[46]Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.
[47]Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad, hlm. 22-23.
[48]M. Zainuddin, Paradigma
Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab (Malang: Uin Malang,
2010), hlm. 34-35.
[49]Flow adalah perasaan “kehilangan” kesadaran ruang dan
waktu. Menurut Daniel Goleman “flow
adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu
dengan tindakan.” Lihat, Daniel
Goleman, “Kecerdasan Emosional,” hlm. 127. Lebih lanjut menurut Gardner, flow dan keadaan positif yang
mencirikannya sebagai salah satu cara paling sehat untuk mengajar anak-anak.
Juga memberi motivasi mereka dari dalam diri, bukannya dengan ancaman atau iming-iming. Dengan kata
lain, pendidik harus menggunakan keadaan positif anak-anak untuk membuat mereka
tertarik mempelajari bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan keahlian.
Flow merupakan keadan batin yang
menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Anak didik
harus menemukan sesuatu yang disukainya dan menekuninya baik-baik. Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan
Emosional,” hlm. 132.
[50]Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana,
2007), hlm. 101-102.
[51]Dari penjelasan itu, dapat dipahami bahwa teori
kecerdasan beragam dapat membantu pendidik dalam mendefinisikan ulang kecerdasan.
Serta mengarahkan pendidik dalam memanfaatkan keunggulan peserta didik untuk
membantu mereka dalam proses belajar. Artinya, kegiatan pembelajaran di manapun
itu merupakan tempat yang terdapat bervariasi (bermacam) keterampilan dan
kemampuan. Di mana, keberagaman tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan belajar dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, menjadi cerdas tidak
lagi dilandaskan oleh skor nilai, tapi ditentukan oleh seberapa handal peserta
didik belajar dengan cara yang belajar. Lihat,
Hoerr, Becoming a Multiple, hlm. 1.
[52]Mengenai keberhasilan dan kelebihan penggunaan teori multiple intelligences secara nyata
dalam konteks Indonesia telah berhasil dilakukan di SMP YMI di Gresik dan MTs
YAMI di Bondowoso. Lihat, Munif
Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah
Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (Bandung: Kaifa, 2010).
[53]Dwi Septiana, dkk. “Pengembangan Lembar Kerja Siswa
Berbasis Multiple Intelligences pada
Materi Pertumbuhan dan Perkembangan,” Unnes
Journal of Biology Education dalam http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujeb,
diaskes tanggal 31 Desember 2014.
[54]Yuliani Nurani, “Sinopsis Disertasi Pengembangan Model
Program Kegiatan Bermain Berbasis Kecerdasan Jamak dalam Rangka Peningkatan
Kreativitas Anak Usia Dini,” Pascasarjana
Universitas Jakarta 2008, dalam http://yebefo.com/wp-content/uploads/2013/04/Sinopsis-Disertasi.pdf,
diakses 06 Januari 2014.
[55]Muhaimin, dkk. Paradigma
Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 192.
[56]Kita temui ada anak yang secara afektif sangat
bagus (sopan santun) dan tidak banyak tingkah tapi secara kognitif sangat
lemah. Ada pula anak yang secara kognitif bagus (nilai ulangan bagus) tapi
secara psikomotorik (aktivisas fisik) sangat lemah.
[57]Abuddin Nata, Perspektif
Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009) hlm. 110-111.
[58]Seperti yang
dikatakan Langgulung bahwa Jean Piaget
menggunakan metode-metode klinik yang dipelajarinya melalui psikologi abnormal.
“metode ini memberi peluang sebesar mungkin kepada kanak-kanak untuk
mengutarakan fikirannya tanap halangan apa-apa. Dengan ini kita mengikuti jalan
fikiran kanak-kanak, bukan mengarahkannya.” Lihat,
Hasan Langgulung, Pendidikan dan
Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi (Jakarta: Pustaka al Husna,
1985), hlm. 23.
[59]Nata, Prespektif
Islam Tentang, hlm. 147-148.
[60]Nata, Prespektif
Islam Tentang, hlm. 151-152.
[61]Teori
Gardner bila tanpa difilter untuk diterapkan di Indonesia berimplikasi pada
pemberian status yang leluasa dan sebebas-bebasnya kepada para peserta didik
untuk mengembangkan diri. Padahal kebebasan seperti itu dalam konteks
pendidikan di Indonesia pada saat ini sangat tidak mungkin diterapkan. Lebih
dikawatirkan menurut Imam Bawani dalam penjelasan di perkuliahan S3 PAI-BSI
Angkatan ke-2 (semester I) UIN Maliki Malang bahwa status guru sebagai pendidik
akan mengalami penurunan nilai. Guru hanya dipandang sebagai pembantu (alat)
bahkan lebih parah lagi menjadi “budak” bagi siswa untuk mencapai kesuksesan.
Guru hanya dinilai sebatas fasilitator untuk “memuliakan” anak. Padahal, dalam
Islam status guru sebagai pendidik memiliki peran yang sangat penting, salah
satunya adalah sebagai suri tauladan. Guru yang ikhlas, yaitu semata-mata
aktivitasnya mendidik untuk mencari rida Allah dalam Islam punya nilai tinggi.
Sebaliknya, guru yang semata-mata mengajar untuk mencari uang (tunjangan
sertifikasi, dll) tanpa ada muatan teologis maka posisinya bisa disamakan
dengan “pembantu” kemanusiaan. Dapat disimpulkan, bila teori “kebebasan” ini
dilaksanakan secara penuh (tanpa filter) di Indonesia maka pada lembaga-lembaga
tertentu posisi guru secara nilai akan mengalami penurunan dari pada peserta
didik. Adapun, sebagian negara Barat bisa menerapkan teori ini tanpa ada
pergeseran nilai guru secara signifikan karena paradigma barat berbeda dengan
di Indonesia.
[62]“Pursuing MI
seemed to make sense for us because it supports our beliefs and our deep
commitment to valuing diversity in our student body. MI seemed to offer another
way to recognize the uniqueness of each individual.” Lihat, Hoerr, “Becoming a
Multiple,” hlm. 8.
[63]Ibid., hlm. 10.
[64]Ibid., hlm. 5.
[66]“Negara yang kemampuan inovasinya rendah akan
sangat bergantung kepada negara yang memiliki kemampuan inovasi tinggi, sejalan
dengan meningkatnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual.” Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad, hlm. 47.
[67]Kekuatan intelektual Islam adalah kekuatan yang
berkaitan dengan kesadaran teologis (kepadatan ilahiah), kosmologis,
epistemologis, dan ilmu. Kekuatan Islam juga terkait dengan masalah pendidikan,
belajar, SDM, budaya ilmu, kesucian, tanggung jawab, dan turunannya. Lihat, Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad,
hlm. 38.
[68]Efendi, Revolusi
Kecerdasan Abad, hlm. 4.
[69]Peserta didik disuruh untuk memilih tugas apa yang ia
inginkan dalam menyukseskan misi pepembagian zakat di sekitar lingkungan
sekolah. Kemudian disuruh menerangkan secara detail apa saja yang akan
dilakukan untuk menyukseskan tugas tersebut dalam bentuk tugas menulis dengan
kalimat deskriptif.
[70]Dilihat dari aspek pskilogis, setiap peserta didik
punya potensi dasar (bakat, minat, dan kemampuan/kecerdasan) yang butuh
diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan secara terus-menerus untuk dapat
menerapkan fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya di bumi. Oleh karena
itu, setiap peserta didik idealnya membutuhkan treatment yang berbeda-beda pula. Lihat, Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 226.
[71]Taufiq Pasiak, Manajemen
Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup (Bandung:
Mizan), hlm. 229.
[72]Armstrong, “Seven Kinds of Smart:,” hlm. 234.
[73]Anshori, Transformasi
Pendidikan Islam (Jakarta: Gaung Persada, 2010), hlm. 50.
[74]Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan, hlm. 111-112.