A. Konsep Dasar
1.
Nomenklatur yang Digunakan Thomas S.
Kuhn
Nomenklatur
adalah pemberian nama/kode (tata nama) yang dipakai pada bidang ilmu tertentu.
Biasanya pembentukan nama tersebut disusun sebagai “ciri khas” bagi objek studi
pada cabang ilmu pengetahuan tertentu.[1]
Pada setiap gagasan yang dibangun, biasanya Kuhn menggunakan istilah yang butuh
pemahaman tersendiri. Hal ini karena beberapa nomenklatur yang diusung oleh
Kuhn masih sangat asing bagi masyarakat awam. Bahkan beberapa diantaranya baru dapat
dipahami maksudnya secara utuh setelah dijelaskan runtutan mekanismenya. Oleh
karena itu, sebelum membahas pokok persoalan secara detail, perlu didalami
terlebih dahulu nomenklatur yang sering digunakan oleh Kuhn. Diantaranya
sebagai berikut:
Topik lain:
Pengantar (Pendahuluan) BAB II Gagasan Thomas S. Kuhn Tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
A. Konsep Dasar Bab II Gagasan Thomas S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn
C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANGREVOLUSI PERKEMBANGAN ILMU
a.
Paradigma (paradigm)
Paradigma (P)[2] adalah
bagian dari “teori” lama yang pernah digunakan serta dipaparkan berdasarkan
pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap anggota masyarakat ilmiah yang
sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya. Selain itu paradigma dipakai sebagai
kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai, teknik, dan lain-lain yang telah
diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat ilmiah.[3]
Dengan demikian dalam paradigma ada serangkaian keyakinan yang diadopsi ilmuwan
untuk praktik ilmiah, selain juga digunakan sebagai “contoh riset terdahulu” sehingga
menjadi inspirasi
dan pemandu riset mereka.[4]
Dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan konsensus pemahaman (penafsiran)
masyarakat ilmiah tentang suatu “pandangan dasar” atau cara berfikir mengenai
pokok persoalan pada kajian-kajian ilmu tertentu.[5]
Paradigma jugalah yang menjadi “roh” atau sumber kehidupan sehingga suatu teori
bisa terbangun. Tidak hanya itu, paradigma ternyata bisa menjadi gen konstruksi sosial, sehingga menentukan
corak (warna), sifat, dan bentuk ilmu pengetahuan berikutnya.
Menurut
Kuhn, apa yang benar menurut paradigma lama belum tentu benar menurut paradigma
baru (adanya relativisme).[6]
Itu artinya paradigma tidak selalu terikat pada nilai benar atau salah. Akan
tetapi dapat terbimbing oleh sesuatu yang “baik” atau yang “terbaik” bagi
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Dengan kata lain, penelitian yang
akan dilakukan ilmuwan seharusnya tidak hanya untuk menemukan “kebenaran” dan
kecanggihan. Namun, juga untuk memberikan nilai manfaat bagi kehidupan manusia.
Hal ini bukan berarti bahwa paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan
tidak benar-benar objektif. Alasannya, nilai objektifnya tersebut bisa didapat
pada penggunaan metode tertentu yang disepakati dan dapat dipahamai bersama
oleh masyarakat ilmiah. Pada akhirnya, paradigma akan menentukan metode apa
yang cocok lalu disepakati mereka untuk dipakai dalam pemecahan suatu masalah.
“Kuhn juga mengatakan bahwa membandingkan paradigma
satu dengan lainnya bukanlah hal yang mudah karena semua yang menyusun
paradigma sangat berbeda dan tidak analog.” Lebih rinci, salah satu prasyarat
terjadinya percepatan pergantian atau pergeseran paradigma dari yang lama
menuju yang terbaru adalah melalui dunia pendidikan (akademis). Hal ini karena
hampir tidak mungkin illmuwan dapat bekerja secara cepat jika melalui jalur
otodidak. Yakni, tanpa menggunakan konsep yang sudah mapan, tanpa latihan, dan
dimulai dengan sesuatu yang masih benar-benar baru (prematur).[7]
Dapat dikatakan, paradigma merupakan konstelasi (tatanan) beberapa gagasan
yang saling terhubung disertai dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh para
ilmuwan di zamannya.[8]
Oleh karena itu, antara paradigma lama dengan paradigma baru tidak bisa saling
mengklaim mana yang baik dan yang benar. Bagaimanapun di antara keduanya adalah
sama-sama benar dan baik untuk tempat dan zaman yang menaunginya.
Dapat disimpulkan, fungsi paradigma adalah menyuplai
“teka-teki” (puzzle) bagi para
ilmuwan untuk dipecahkan. Paradigma juga menyediakan “alat” sebagai solusi bagi
mereka.[9]
Untuk memecahkan teka-teki (puzzle
solving) tersebut dibutuhkan dugaan dasar dan dugaan teoritis. Di mana pada
setiap “teka-teki” karakternya berbeda satu sama lain. Artinya, paradigma
menjadi dasar dalam melihat, memahami, dan mepersepsi realitas (fenomena).
Dengan kata lain, paradigma menjadi wordwiew
(cara pandang terhadap dunia) untuk menentukan metode apa yang akan dipakai pada
penelitian. Dengan landasan, setiap paradigma selalu berbeda tergantung waktu
dan tempatnya. Setiap kelompok atau komunitas ilmiah pun paradigmanya berbeda.
Bahkan setiap individu ilmuwan dalam satu komunitas pun “paradigmanya”
dimungkinkan bisa berbeda. Oleh karena itu, paradigma bisa menentukan sifat dan
karakter ilmu pengetahuan yang dibangun. Bisa dikatakan, ilmu pengetahuan
merupakan sekumpulan teori-teori yang terbalut dalam sebuah paradigma yang ada
pada masing-masing ilmuwan.
b.
Ilmu Pengetahuan Normal (normal science)
Yang
dimaksud dengan “normal” adalah didasarkan pada aturan atau pola yang umum, sehingga
tidak ada penyimpangan dari suatu norma atau kaidah.[10] Bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan normal
(IN) merupakan
kumpulan teori yang sudah mapan atau diakui oleh komunitas ilmiah. Sedang
menurut Surjani yang dipahami dari Kuhn bahwa ilmu pengetahuan normal adalah
kegiatan ilmiah dalam masyarakat ilmiah, mereka bekerja dalam strukturnya
sendiri, bidang kajian tersendiri, dengan hukum serta teori yang mendasari
kenyataan menurut topik bahasan mereka.[11]
Dapat diartikan, bahwa ilmu pengetahuan normal merupakan ilmu pengetahuan yang
“dasarnya” masih dikaji dan digunakan oleh ilmuwan karena metode dan isinya
masih layak untuk dijabarkan serta dikembangkan secara mendalam.
Ilmu pengetahuan normal merupakan ilmu pengetahuan
yang pemikiran atau teorinya mendominasi teori lainnya. Dengan kata lain,
mayoritas komunitas atau beberapa aliran pemikiran lain mengakui hegemoni
bahkan berkiblat kepada ilmu pengetahuan normal tersebut. Hal ini bisa terjadi
karena ilmu pengetahuan normal menjanjikan pemecahan masalah yang lebih akurat
dan menawarkan penelitian yang lebih maju. Bisa dikatakan bahwa pada normal science ini masyarakat ilmiah tunduk pada paradigma
yang paling berhasil dalam memecahkan masalah daripada yang ditawarkan oleh
paradigma lainnya yang dianggap sebagai paradigma
gagal (PG).
Keberhasilan di sini, tidak harus sangat berhasil secara sempurna dalam
menangani satu atau sejumlah masalah. Melainkan, dicukupkan pada paradigma
tersebut mampu memberikan janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan pada
contoh-contoh pilihan dan yang masih belum lengkap.[12]
Pada lingkup ilmu pengetahuan normal ini, ilmuwan
tidak bersikap terlalu kritis terhadap paradigma yang membangun ilmu
pengetahuan tersebut. Hal ini karena mereka kesulitan menemukan kelemahannya,
sehingga ilmu pengetahuan tersebut telah dinyatakan sebagai kesepakatan umum (general agreement). Namun, lambat laun
jika dikaji terus-menerus maka bisa saja ditemukan sebuah “keganjilan”
(anomali) pada ilmu pengetahuan normal ini. Di mana para ilmuwan tidak lagi mampu
menjelaskan dan memecahkan keganjilan tersebut dengan teori-teori lamanya.
Selanjutnya, ilmu pengetahuan normal yang dipenuhi oleh anomali ini akan
dipertanyakan eksitensinya. Mumpuni untuk tetap digunakan atau bisa digantikan
dengan teori lain yang menentangnya.
Hal tersebut menurut Nurkhalis
bukan berarti normal science
bertujuan mematikan diri sendiri, akan tetapi justru menghendaki adanya
revolusi sains.[13]
Dengan kata lain, di dalam lingkup normal
science terdapat keinginan untuk regenerasi ilmu pengetahuan, sehingga
pengembangan ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai di situ saja. Di mana
revolusi itu sangat penting dilakukan agar diperoleh suatu ilmu yang tepat
untuk memecahkan solusi sesuai permasalahan baru yang dihadapi. Dapat
disimpulkan bahwa normal science adalah
ilmu pengetahuan atau sekumpulan teori yang sudah mapan. Artinya, di dalamnya
terdapat usaha tersistem yang kokoh untuk menjelaskan manfaat paradigma yang
digunakan sebagai cara memecahkan masalah. Implikasinya, ia bisa menjadi dasar
bagi sejumlah teori lain, baik untuk pengembangan teori maupun untuk pembenaran
teori.
c.
Anomali (anomalous/anomaly)
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia “anomali” (An) berarti
terjadinya penyimpangan dan keganjilan dari yang normal.[14]
Sedangkan menurut Kuhn, anomali adalah terjadinya ketidakselarasan antara
kenyataan yang ada (fenomena)dengan paradigma-paradigma yang digunakan ilmuwan.
Dengan kata lain, anomali adalah sebagai syarat awal (permulaan) terjadinya
proses penemuan baru. Yakni, ketika ada kesesuaian atau keterjalinan antara
fakta baru dengan teori yang baru.[15]
Dapat digambarkan pada kondisi ini seorang atau komunitas ilmuwan menemukan kejanggalan
dalam mempertahankan keampuhan paradigma yang ia gunakan untuk membangun teori.
Di sisi lain, secara naluriah individu ilmuwan tidak akan mau menjatuhkan atau
menolak teori yang ia bangun sendiri. Implikasinya, ia akan mencari bukti,
argumen, dan teori-teori yang kuat untuk menjaga teori yang dibangunnya agar
tetap valid.
Dapat
disimpulkan bahwa anomali adalah berkurangnya atau bahkan hilangnya kemampuan
paradigma lama dalam memecahkan persoalan (teka-teki) yang ada pada ilmu
normal. Dalam kondisi ini, komunitas ilmuwan menyangsikan kekuatan paradigma
yang selama ini digunakan. Hal itu terjadi karena paradigma tersebut tidak
mampu lagi menerangkan atau menjadi pemandu dalam memahami bermacam fenomena
terbaru. Dengan kata lain, proses adanya anomali karena para ilmuwan menemukan
berbagai kejanggalan pada ilmu pengetahuan normal. Di mana kejanggalan tersebut
tidak dapat dijelaskan dengan paradigma yang selama masa tersebut digunakan
oleh masyarakat ilmiah sebagai pedoman mereka. Oleh karena itu, para ilmuwan
dipaksa untuk melakukan pembaruan dengan menggali paradigma baru (menemukan
teori baru) agar lebih cocok bagi kehidupan kontemporer.
Namun
demikian, syarat terjadinya anomali tidak serta merta hanya karena paradigma
yang masih digunakan tersebut mendapat kritik. Bagaimanapun, sanggahan atau
kritik saja tidak cukup untuk melemahkan gagasan yang dilontarkan ilmuwan lain.
Meski bantahan tersebut menggunakan beberapa teori sebagai argumentasinya.
Perlu alasan mendasar dan urgen suatu gagasan harus segera diganti dengan
gagasan lain. Salah satunya adalah adanya realitas bahwa masyarakat luas sangat
memerlukan solusi baru untuk memecahkan masalah yang baru. Sebagaimana pernyataan
terdahulu bahwa suatu “penelitian” atau kajian bukan untuk mencari kebenaran,
akan tetapi mencari nilai kemanfaatan (untuk memecahkan permasalahan atau puzzle solving). Alasan lainnya, kritik
yang ditujukan pada gagasan (paradigma) lama harus agresif dalam “membombardir”
hal-hal yang paling vital pada objek terdalamnya.
Hal
ini berarti bahwa sampai kapanpun tidak ada paradigma yang terbaik, utuh, dan
terlepas dari anomali. Akibatnya, suatu teori atau gagasan yang dibalut oleh
paradigma “lama” akan senantiasa berpeluang diperbarui oleh paradigma baru.
Senyampang paradigma baru tersebut mampu menggempur lalu menciptakan krisis pada ilmu pengetahuan normal.
Dengan kata lain, bila memenuhi syarat maka secara terus-menerus akan terjadi
pergeseran dari satu paradigma ke paradigma lain. Yakni, paradigma yang
dipandang lebih cocok digunakan untuk memecahkan masalah terbaru. Dengan
demikian, dalam pengembangan ilmu pengetahuan faktor “kesadaran” dan ketulusan akan
adanya anomali adalah sangat penting. Di mana anomali diawali tidak hanya
dengan kritik belaka terhadap gagasan yang ada. Melainkan, mesti ditindak
lanjuti dengan penelitian atau kajian mendalam untuk menemukan teori baru
sehingga mampu menimbulkan krisis.
Dapat disimpulkan, perbedaan antara “anomali” dengan
“krisis” adalah anomali timbul karena faktor ditemukannya kelemahan dari dalam
paradigma lama. Dampaknya, banyak ilmuwan yang meragukan keampuhan paradigma
lama dalam memecahkan masalah. Sedangkan adanya krisis karena faktor serangan
dari luar paradigma lama. Yakni, ditemukannya “tawaran” yang lebih segar oleh
paradigma baru dalam memecahkan masalah baru. Bisa dikatakan, anomali menjadi
penggugah ilmuwan untuk menawarkan paradigma baru agar anomali yang terjadi
segera normal seperti sedia kala. Bila tawaran itu mampu “menggoyang"atau
“mengubrak-abrik” paradigma lama maka inilah yang disebut dengan keadaan
krisis.
d.
Krisis (crisis)
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “krisis” (Kr)
salah satunya punya arti “keadaan genting; kemelut,” dan “keadaan suram
(tentang ekonomi, moral, dan sebagainya).”[16]
Kata krisis bisa juga berarti pertama “masa
gawat,” kedua “saat genting,” dan ketiga “kemelut, kegentingan, kegawatan.”[17]
Secara detail Nurkhalis menyatakan bahwa krisis merupakan gejala kebaruan yang
timbul secara tak terduga dan berulangkali disertai muatan teori-teori terbaru.
Lebih rinci, suatu krisis bisa terjadi bila hal-hal baru tersebut tidak dapat
diterangkan (dijinakkan) oleh paradigma
lama, sehingga ketidakpercayaan terhadap paradigma lama tersebut mulai
bermunculan. Faktor lainnya adalah terjadi ketidaksesuaian antara teori dengan
fakta. Selain daripada itu, karena sekumpulan gejala anomali (anomaly) secara fundamental serta terus-menerus
begitu nyata (memuncak) ada pada diri paradigma lama. Dengan demikian, tidak
ada pergeseran paradigma (revolusi) tanpa adanya krisis, karena dalam hal ini peran anomoli saja
tidak cukup.[18]
Dapat dikatakan adanya “krisis” adalah sebagai salah satu faktor penentu sebuah
paradigma lama harus diganti dengan kandidat paradigma terbaru (sebagai calon
pengganti) atau tidak.
Lebih
gamblang, dalam komunitas ilmuwan, Khun menyatakan ada beberapa individu yang
lebih kritis dari pada yang lainnya. Mereka lebih peka dan mensinyalir adanya anamoli
dalam paradigma yang selama ini dipegang oleh komunitas, sehingga harus
ditindaklanjuti dengan usaha penemuan baru. Di sisi lain, kebanyakan masyarakat
ilmiah secara reflek akan menentang setiap perubahan konseptual. Dengan demikian,
dalam masyarakat ilmiah terdapat dua unsur, yaitu individu ilmuwan yang kritis
dan individu yang konservatif.[19]
Sebagaimana pernyataan Muslih bahwa fenomena krisis terjadi tatkala “menumpuknya
anomali, sebagai akibat dari sikap kritis komunitas ilmiah, menimbulkan krisis
kepercayaan terhadap paradigma [lama]. Paradigma mulia diperiksa dan
dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.”[20]
Bisa dikatakan, peristiwa genting antara paradigma satu dengan paradigma lain seperti
inilah yang disebut dengan pertarungan/perbandingan paradigma atau pertentangan paradigma (PP).
Lebih
lanjut, ketika menghadapi situasi krisis, para ilmuwan dihadapkan beberapa
pilihan yang dilematis. Yakni, akan setia pada paradigma lama dengan berbagai
argumentasinya atau menerima paradigma baru. Bisa juga dengan menemukan,
mengembangkan, dan merumuskan paradigma lain yang dirasa lebih tepat dalam
memecahkan masalah daripada kedua paradigma sebelumnya. Namun, bila dalam
perjalanan selanjutnya ternyata paradigma baru (calon pengganti paradigma lama)
tersebut gagal menjaga “kewibaannya” dalam menaungi ilmu pengetahuan maka
paradigma lama bisa kembali bangkit lagi. Hal inilah yang disebut dengan
penguatan/peneguhan paradigma atau afirmasi
paradigma (AP).
Dalam menanggapi fenomena di atas, Kuhn menyatakan “bahwa
ada diskontinuitas ketika para ilmuwan menghadapi masa-masa krisis.”[21]
Diskontinuitas ini terjadi karena munculnya beberapa gagasan (teori) baru yang
tak terkontrol, sehingga berpeluang besar menggantikan paradigma lama. Di mana
sejumlah gagasan baru ini muncul dari beberapa arah yang sebagian darinya
menentang paradigma lama. Di sinilah terjadi ketidaksinambungan munculnya ilmu
pengetahuan, disebabkan serangan paradigma baru dilakukan secara tiba-tiba (tak
terduga) dan berbeda dengan yang sebelumnya. Ketidaksinambungan terjadi bisa
juga karena komunitas ilmuwan mencari berbagai cara untuk menyelesaikan masalah
tersebut, sehingga kegagalan paradigma lama bisa diselesaikan oleh calon
paradigma baru. Sekali lagi, hal ini bukan berarti paradigma lama tidak
mendapatkan tempat. Bagaimanapun paradigma lama tetap bernilai dan bermanfaat
di zaman dan tempatnya ketika ia masih jaya. Sedangkan, untuk zaman dan tempat
terbaru (sekarang ini) paradigma lama tersebut sebagian atau bahkan keseluruhan
darinya sudah tidak tepat untuk digunakan lagi. Meski banyak kasus, dapat
terjadi paradigma lama menginspirasi (menyemangati) lahirnya paradigma baru.
e.
Revolusi Ilmu Pengetahuan (revolutionary science/scientific
revolution)
Revolusi
ilmu pengetahuan (Rev) adalah
terjadinya lompatan-lompatan dan perubahan-perubahan secara drastis. Menurut
Kuhn proses revolusi ilmu pengetahuan hampir sama dengan proses terbentuknya “sejarah
ilmu pengetahuan” dan tentu “sejarah masyarakat” yang bersifat diskontinu.[22]
Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan apapun, Kuhn telah membuka lebar (open-ended) peluang terjadinya revolusi.
Di mana revolusi merupakan sesuatu yang sangat bernilai bagi terjadinya
perkembangan tersebut. Dengan kata lain, sesungguhnya perkembangan ilmu
pengetahuan itu tidak lepas dari proses revolusi.[23]
Selain dari pada itu, Kuhn menekankan bahwa revolusi ilmu pengetahuan
melibatkan revisi atas keyakinan (asumsi) dan praktek ilmiah yang ada.[24]
Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan adalah
manifestasi atau efek yang paling mentok dari ketidakselarasan antara paradigma
lama dengan paradigma baru. Yakni, ketika paradigma baru mampu eksis dan diterima
oleh sebagian atau bahkan seluruh kalangan ilmuwan. Dengan itu, maka dapat dikatakan
suatu revolusi telah terjadi. Namun kalau sebaliknya, maka paradigma lama tetap
digunakan atau akan digantikan oleh paradigma baru yang lainnya. Dengan kata
lain, dalam revolusi terjadi penjungkirbalikan paradigma yang ada (lama) oleh
paradigma baru yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya, baik itu isinya
maupun pada metodenya.[25]
Pada kategori revolusi ilmu pengetahuan ini sikap kritis, “kesadaran,” dan
usaha sungguh-sungguh individu dan masyarakat ilmiah untuk memecahkan masalah
sangat berperan penting.
Setalah itu, apabila ada kesepakatan maka akan
terjadinya perpindahan komunitas ilmiah, dari komunitas paradigma lama menuju
paradigma yang baru. Yakni, memungkinkan ilmuwan untuk mengekspolrasi persoalan
baru yang berbeda hasilnya jika tetap menggunakan paradigma lama. Hal ini
karena dengan menggunakan paradigma baru mereka seakan-akan ditransformasikan
ke wilayah lain. Meski kenyataannya tempatnya tetap pada yang lama. Akan
tetapi, karena paradigmanya (perlengkapan) berbeda dari yang lama maka wilayah
tersebut “tampak” berbeda pula dengan sebelumnya. Bahkan, dengan paradigma baru
tersebut ilmuwan mampu menyentuh “sesuatu” yang sebelumnya tidak pernah mereka sentuh.[26]
Dari sudut pandang lain, pernyataan tersebut dirasa terlalu kaku tatkala dibandingkan
dengan ungkapan Shuttleworth:
Kuhn originally
believed that a paradigm would make a sudden leap from one to the next, called
a shift, and he believed that the new paradigm could not
be built upon the foundations of the old. Probably the best example of this is
in physics. Newton's Laws were an example of a paradigm, and scientists worked
upon his principles for centuries. The discovery of the internal structure of
the atom started to find holes in the theory, and Einstein provided the 'out of
the box thinking' that dragged the paradigm in another direction. However, Kuhn
later conceded that the process might be more gradual. For example, Relativity
did not completely prove Newton wrong, but added to it and adapted it. Even the
Copernican revolution was a little more gradual before completely throwing out
Ptolemy's beliefs. Taking the Chinese researcher example, there is now a better
integration between eastern and western medical philosophies, so the paradigms
are merging.[27]
Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa
Khun awalnya meyakini bahwa pergeseran paradigma terjadi dengan adanya
“lompatan” secara tiba-tiba. Ia pun awalnya percaya bahwa paradigma baru tidak
bisa dibangun di atas dasar paradigma lama. Namun, Kuhn lantas mengakui bahwa
proses revolusi dimungkinkan terjadi dengan bertahap. Contoh yang paling mudah
adalah teori relativitas Einstein tidak sepenuhnya menjadikan (membuktikan)
bahwa teori Newton salah. Bagaimanapun, dalam
teori relativitas juga terdapat penambahan dan adaptasi dari teori Newton.
Contoh lainnya adalah ketika peneliti China melakukan integrasi antara filsafat
medis Timur dengan Barat dengan cerdas, sehingga terjadi penggabungan paradigma.
Oleh karena itu, dalam revolusi ilmu pengetahuan suatu paradigma tidak harus
diganti seluruhnya. Akan tetapi sebagian saja sudah cukup bila dengan
“sebagian” paradigma yang diganti tersebut mampu “mengungguli” paradigma lama
dalam memecahkan masalah.
Dari semua pembahasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa dalam revolusi ilmu pengetahuan tidak ada “kematangan”
ilmu atau immatur science (IS). Hal ini karena setiap kali ilmu pengetahuan
berada pada posisi “matang” akan selalu rentan ditandingi oleh paradigma baru
yang lebih menjanjikan. Dengan kata lain, kematangan suatu ilmu dianggap
berlaku hanya di zaman (waktu) dan tempat (ruang) ketika ia masih jaya. Ilmu
tersebut tidak akan dianggap “matang” lagi di zaman dan tempat lain karena
paradigma baru ternyata lebih “matang.” Kenyataan ini terjadi disebabkan para
ilmuwan dari satu generasi ke generasi lainnya pada dasarnya ingin terus-menerus
mengadakan pengembangan. Bahkan, kadang sepenuhnya terjadi penolakan dari hasil
temuan ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Implikasinya, sebuah “kebenaran” yang diakui
oleh ilmuwan zaman sekarang belum tentu akan diakui sebagian atau seluruh
kebenerannya oleh ilmuwan masa mendatang.
2.
Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi berarti perubahan mendasar
dalam suatu bidang tertentu. Sedangkan kata “perkembangan” terkait erat dengan
kata “berkembang” yang salah satunya memiliki arti “menjadi bertambah sempurna”
tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Bisa juga diartikan
“menjadi banyak (merata, meluas, dsb).” Sedangkan ilmu pengetahuan artinya kumpulan berbagai
pengetahuan yang disusun secara logis dan tersistem dengan memperhitungkan
sebab serta akibat.[28]
Kata lain yang biasanya sebagai pengganti kata “ilmu pengetahuan” adalah sains. Di mana sains berarti pertama
ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan
sistematis tentang alam dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan
benda mati secara detail (ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan sistematis yang diperoleh dari observasi,
penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip
sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.[29]
Dalam
pembahasan buku ini disengaja tidak menggunakan kata “sains” sebagai pengganti
kata “ilmu pengetahuan.” Alasannya sederhana, karena kata “sains” lebih
cenderung pada lingkup kajian ilmu pengetahuan alam dan kurang menekankan ilmu
pengetahuan sosial. Adapun, kata “scientific”
dalam bukunya Kuhn yang paling terkenal berjudul “The Structure of Scientific Revoluions” memiliki arti “(secara)
ilmiah, pendekatan secara ilmiah.”[30]
Sedangkan kata “ilmiah” itu sendiri berarti “bersifat ilmu; secara ilmu
pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.”[31]
Oleh karena itu, untuk mempertegas diri dari kesan keperpihakan dengan “ilmu
alam”[32]
saja maka dalam buku ini sengaja menggunakan kata “ilmu pengetahuan” sebagai
pengganti dari kata sains.
Pembahasan
ini diawali dengan pernyataan Kuhn bahwa revolusi perkembangan ilmu pengetahuan
itu tidak terjadi secara kumulatif atau linier (kontinu), tapi terjadi secara
non kumulatif dan diskontinu.[33]
Hal ini menunjukkan perkembangan ilmu pengetahuan bukan berasal dari gabungan
beberapa ilmu pengetahuan yang telah ada. Lalu disimpulkan ilmu yang datangnya
paling akhir itu adalah yang benar atau yang paling matang. Namun, perkembangan
ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, terjadi perubahan secara
mendasar (terjadi pertentangan) antara paradigma lama dengan paradigma yang
baru.[34]
Di mana terdapat lompatan-lompatan yang tak teratur dalam proses kelahiran ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, mekanisme revolusi ilmu pengetahuan dapat
disamakan dengan revolusi sosial dan politik.
Bagi Kuhn, penemuan teori tidak menjadi kekuatan
pendorong ilmu pengetahuan ke arah kemajuan. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan
bukanlah kumpulan kestabilan dan terus menerus ditambah dengan penemuan baru.
Akan tetapi, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian selingan yang dimulai dari
revolusi intelektual para pemikir. Setelah ada revolusi, konsep baru akan
menggantikan konsep ilmu pengetahuan lama, sehingga terjadi pergantian konsep
yang berbeda secara terus-menerus. Hal itu akan terus terjadi sepanjang kehidupan
sejarah manusia.[35]
Dengan demikian, senyampang para ilmuwan dari generasi ke generasi terus aktif
melakukan pengembangan dan pembaruan gagasan, selama itu pula peluang revolusi
perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung.
Kembali ditegaskan, perkembangan ilmu pengetahuan
merupakan proses yang tak menentu, sulit untuk ditebak, dan terjadi tanpa
keteraturan yang mana bisa terjadi sewaktu-waktu.[36]
Agar tercipta pemahaman yang jelas tentang mekanisme revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan maka perlu dipaparkan skema yang diberi nama Bukit Paradigma dari hasil analisis penulis sebagai berikut:
Keterangan:
P1 : Paradigma Pertama (ke-1)
IN : Ilmu Pengetahuan Normal
IS : Ilmu pengetahuan yang tak pernah
matang/mapan (immature science)
An : Keganjilan (anomali) yang ditemukan
pada IN
Kr : Krisis, kegagalan P dalam menjelaskan secara tepat tentang Anomali
Rev : Revolusi, meninggalkan paradigma lama
menuju paradigma baru
PP : Pertentangan antar Paradigma (paradigma
lama Vs paradigma baru)
P2 : Paradigma ke-2 (paradigma baru yang
berhasil menggantikan P1)
PG : Paradigma baru yang gagal menggantikan
paradigma lama
AP2 : Afirmasi (bangkitnya) paradigma lama (P2), paradigma baru gagal (PG) dalam merevolusi
P3 : Paradigma ke-3 (paradigma terbaru yang
berhasil menggantikan P2)
PPS : Pergeseran paradigma sebagian (tidak seluruhnya tergantikan
oleh paradigma baru)
Gambar
2.1 “Bukit Paradigma”: Skema
Diskontinuitas Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dari gambar di atas dapat disimpulkan, bahwa antar paradigma
secara luas tidak saling berhubungan, akan tetapi berdiri sendiri. Kendati
harus diaku sebagian dari “kaki” bukit paradigma terjadi keterkaitan antara
paradigma lama dengan paradigma penggantinya. Di sinilah letak revolusionernya,
karena paradigma bertugas membimbing jalannya perkembangan ilmu pengetahuan
secara terus-menerus. Dari hal tersebut, dapat dikatakan revolusi perkembangan
ilmu pengetahuan adalah perubahan mendasar tentang kumpulan-kumpulan paradigma
yang tersusun berdasarkan konteks masyarakat ilmiah (karena paradigma terbentuk
dari konteks masyarakat).[37]
Artinya, dalam revolusi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat unsur-unsur
perubahan secara mendasar bahkan saling bertolak belakang. Perubahan itu terjadi
secara undetermination (tidak tentu
arahnya) dan berjalan dengan mandiri. Hal itu disebabkan karena adanya
kegagalan paradigma (isi dan metodenya) yang lama dalam mempertahankan diri
dari paradigma baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisa dikatakan mengalami
perkembangan bila terjadi pergantian paradigma. Meski perlu ditekankan kembali bahwa
paradigma lama seringkali memberi inspirasi dan modalitas (nampak di kaki bukit
paradigma terutama pada “kolong” bagian Rev) bagi berkembangnya
paradigma baru.
[1]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
[2]Huruf “p” kapital
dengan font bold (cetak tebal) yang
berada dalam tanda baca kurung seperti berikut ini “(P)” merupakan singkatan
dari kata paradigma. Untuk pembahasan
selanjutnya masih terdapat huruf atau gabungan huruf yang cara penulisannya
berpola sama dengan singakatan tersebut. Salah satu contohnya “(IN)” yang
merupakan singkatan dari ilmu pengetahuan
normal. Teknik penyingkatan tulisan seperti itu dimaksudkan untuk
mempermudah penggambaran gagasan perkembangan ilmu pengetahuan ke dalam bentuk
gambar “bukit paradigma” yang akan dibahas pada halaman berikutnya.
[3]Zubaedi, Filsafat
Barat: Dari, hlm. 201.
[4]Dian Basuki, “Jejak Paradigma Kuhn,” dalam http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigma-kuhn,
05 September 2014, diakses tanggal 23 September 2014.
[5]Setiap komunitas
ilmiah pasti diselimuti atau dipengaruhi oleh paradigma, sehingga paradigma
dapat menjadi pemandu komunitas ilmiah dalam memahami segala sesuatu, termasuk
memandang fenomena.
[6]Basuki, “Jejak Paradigma Kuhn,” diakses tanggal 23
September 2014.
[7]Surjani Wonorajardjo,
Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains (Jakarta: Indeks,
2010), hlm. 123.
[8]“A paradigm, in Thomas Kuhn’s view,
“is not simply the current theory, but the entire worldvew in which it exists, and all of the
implications which come with it.” This view implies that developing or changing scentific paradigm is not
an overnight job for every researchers, because it
will take time for investigation, discussion, and dissemmination. It is also
not a simple process, because it will
involve and require social and political context and construction... It requires
long term commitment, intensive researches, and extensive
discussions, considering many opinions, and involving scholars of various disciplines. For this reason, a long term planning and
action plans will pave the way for thedevelopment of a unique paradigm for
Indonesian Islamic studies that can produce open minded
attitude and broad understanding of Islamic teachings. In a long term,
Azyumardi believes, such a paradigm will
develop and promote “moderate Islam (wasatiyyah Islam)” that can be a model for other Muslim countries.” Dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa sebuah paradigma dalam pandangan Thomas Kuhn, “adalah bukan
sekedar teori yang muncul saat ini, tetapi seluruh cara pandang (worldview) ilmuwannya di mana ia eksis
(berada), dan semua implikasinya yang datang dengannya.” Pandangan ini
mengimplisitkan bahwa mengembangkan atau mengubah paradigma lama bukanlah
pekerjaan semalam untuk setiap peneliti-peneliti, karena hal tersebut akan
memerlukan waktu untuk agenda penelitian, diskusi, dan penyebarannya. Hal itu
juga bukan proses yang simple, karena itu akan melibatkan dan memerlukan
konteks sosial dan politik... Serta memerlukan komitmem jangka panjang,
penelitian intensif, dan diskuksi yang luas, mempertimbangkan banyak opini, dan
melibatkan sarjana dari berbagai
disiplin ilmu. Untuk alasan ini, perencanaan jangka panjang dan tindakan
terencana akan membuka jalan untuk pengembangan paradigma yang unik pada studi
Islam di Indonesia yang dapat memproduk pola tingkah terbuka dan pemahaman
orisinil tentang pengajaran Islam. Dalam jangka panjang, Azyumardi percaya, paradigma
seperti itu akan berkembang dan menyebarkan “Islam moderat” yang dapat menjadi
model bagi negara-negara Muslim lainnya. Lihat, Muhammad Sirozi, “In Search of a Distinctive
Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,” dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal
23 Februari 2015.
[9]Anonim, “Thomas Kuhn,” dalam http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/,
13 Agustus 2011, diakses 23 September 2014.
[10]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[11]Wonorajardjo,
Dasar-dasar Sains:, hlm.123
[12]Yeremias Jena, “Thomas Kuhn Tentang Perkembangan
Sains dan Kritik Larry Laudan,” Jurnal
Melintas (Jakarta: Departement of
Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic University, 28 Februari, 2012), hlm.
161-181, dalam academia edu /4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sains_dan_Kritik_Larry_Laudan,
didownload tanggal 23 September 2014.
[13]Nurkhalis, “Konsep Epistemologi Paradigma Thomas Kuhn,” Jurnal Subtantia, vol. 14, No. 2, Oktober 2012 (Banda Aceh: IAIN
Ar-Raniry), hlm. 210-223, dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265995&val=7080&title=KONSEP%20EPISTIMOLOGI%20PARADIGMA%20THOMAS%20KUHN,
didownload tanggal 21 Desember 2014.
[14]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[15]Thomas S. Kuhn, The
Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja
Rosdakarya Cet. VII, 2012), hlm. 52-53.
[16]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[17]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 155.
[18]Nurkhalis, “Konsep Epistemologi Paradigma,” Jurnal Subtansia, didownload 21 Desember 2014.
[19]Anonim, “The
Structure of Scientific Revolutions,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structure_of_Scientific_Revolutions,
diakses tanggal 23 September 2014.
[20]Mohammad Muslih, “Pendidikan Islam dalam Perspektif
Filsafat Ilmu,” Hunafa: Jurnal Studia
Islamika, Vol. 8, No. 1, Juni 2011: hlm. 53-80, ISID Gontor Ponorogo, dalam
http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/84/75,
diakses tanggal 21 Desember 2014.
[21]Basuki, “Jejak Paradigma Kuhn,” diakses tanggal 23
September 2014.
[22]Zubaedi, Filsafat
Barat: Dari, hlm. 181.
[23]Ibid.,
hlm.183-184.
[24]Anonim, “Thomas Kuhn,” diakses 23 September 2014.
[25]Wonorajardjo,
Dasar-dasar Sains:, hlm. 120.
[26]Sebagaimana
pernyataan Choudhury bahwa “with the change in paradigm and a newer way of looking at
the world, come about reorganizations and transformations. In such changes, new
rules, institutional structures, human convictions and instruments to enforce
the new ways of thinking arise.” Ia juga mengutip
pendapat Thomas Kuhn yang menyatakan “It
is rather as if the professional community had been suddenly transported to
another planet where familiar objects are seen in a different light and are joined by non-familiar ones as well.” Lihat, Masudul Alam Choudhury, The Universal Paradigm and the Islamic
Word-System: Economy, Society, Ethics, and Science (Singapore: World
Scientifc, 2007), hlm. 13.
[27]Martyn Shuttleworth, “What Is a Paradigm?,” dalam https://explorable.com/what-is-a-paradigm, diakses
tanggal 23 September 2014.
[28]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[29]Ibid.
[30]Echols dan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia, hlm. 504.
[31]“Kamus Besar Bahasa,” didownload tanggal 21 April 2014.
[32]Perkembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi salah satunya ada
ketidakpercayaan komunitas masyarakat ilmuwan (komunitas ilmiah) terhadap
teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan bisa terbentuk karena
senantiasa dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Implikasinya,
terdapatnya proses pengembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan disebabkan adanya
proses pengembangan teori-teori yang sudah ada. Tentunya, sebuah teori itu
dibangun berdasarkan dari hasil proses tindakan (penelitian) ilmiah. Dengan
demikian, pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara komprehensif.
Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek ilmu-ilmu alam (sains) atau metode
tertentu saja. Namun juga melihat “pengaruh” ilmu-ilmu sosial yang kemungkinan
mendominasi suatu “teori” tersebut.
[33]James A. Marcum, Thomas Kuhn’s Revolution: An Historical Philosophy of Science (New
York: Coontinum, 2005), hlm. 68, 75.
[34]Basuki, “Jejak Paradigma Kuhn,” diakses tanggal 23
September 2014.
[35]Wonorajardjo,
Dasar-dasar Sains:, hlm.119
[36]Anonim, “Pemikiran Karl Poper dan Thomas Kuhn
tentang ‘Science’. Apa Persamaan dan Perbedaannya?”, dalam http://www. wisnudewobroto com/ pemikiran-karl-popper-dan-thomas-kuhn-tentang-%E2%80%9Dscience%E2%80%9D-apa-persamaan-dan-perbedaannya/,
diakses tanggal 23 September 2014.
[37]Menurut Wittegenstein sebagaimana dikutip Maksum, arti
kebenaran bukan kesesuaian “teori” dengan data empiris. Namun, kebenaran
ditentukan oleh konteks, dalam bingkai linguistik (language-game) dan bingkai sosio-kultur (form of life). Penggunaan bingkai komunitarian ini kemudian dipakai oleh Thomas Kuhn. Bahkan,
menurutnya data empiris menjadi data empiris bila ada bingkai itu (theory-ladenness). Lihat, Ali Maksum, Pengantar
Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2008), hlm. 259.
Thomas S. Kuhn (sumber gambar thetls) |