Dengan
adanya media massa dan teknologi informasi komunikasi yang canggih telah
menjadi penyebab masyarakat mudah terpengaruh terhadap tayangan, informasi,
berita, atau ‘ajaran’ yang ada di dalamnya. Hal tersebut terjadi karena begitu
sering dan mudahnya tayangan tersebut diaskes oleh siapapun hampir setiap hari.
Tidak mustahil semua itu bisa menjadi penyebab secara lambat laun adanya
perubahan budaya, etika, dan moral pada masyarakat dan tak terkecuali pada
mahasiswa. Masyarakat yang pada mulanya merasa asing dan tabu pada model-model
pakaian yang terbuka (porno), hiburan-hiburan yang berlebihan, dan sadisme yang
ditayangkan oleh media lama kelamaan karena tidak terbendung lagi menjadi
terbiasa. Bahkan karena seringnya menerima informasi itu selanjutnya mereka
menjadi bagian (pelaku) dari fenomena tersebut. Oleh karena itu pada kehidupan
masyarakat bahkan pada mahasiswa ditemui kehidupan yang kontroversial, dapat
dialami dalam waktu yang sama dalam individu pribadi yang sama. Misalnya dalam
satu pribada punya keseimbangan antara kesalehan dan keseronohan, kelembutan
dan kekerasan, antara korupsi dan dermawan, antara korupsi dan keaktifan
ibadah, dan antara kehidupan Masjid dengan mall. Di mana keduanya senantiasa
terus menerus berdampingan satu sama lain sehingga menjadi nilai atau gaya
hidup baru masyarakat. Hal inilah yang menjadi alasan diperlukannya kajian
keilmuan (penelitian) dalam bidang PAI sebagai penemuan jawaban atas
masalah-masalah seperti itu.[1]
Lebih detail menurut Arif Furqan peran PAI di PTU sangat strategis hal ini karena para mahasiswa
di PTU sebagian besar akan menjadi pemimpin dan praktisi di berbagai bidang
kehidupan. Baik dalam bidang politik, keuangan,
ekonomi, pertahanan, kesehatan, sosial, kebudayaan, pariwisata, dan lain sebagainya. Ketahanan mental
mereka amat diperlukan agar mereka dapat menjadi pemimpin dan praktisi yang
jujur, amanah, dan tahan godaan yang merusak tatanan sosial. Ketahanan mental yang didasari pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam yang mantap akan jauh lebih kokoh daripada
ketahanan mental yang dilandasi oleh norma sosial dan pengawasan aparat penegak
hukum. Namun
kenyataannya pembelajaran PAI di PTU belum terasa efektif di mana iman, taqwa, dan
akhlaq mulia lulusan PTU belum tampak sebagai akibat pembelajaran PAI di PTU. Masih banyak aliran
eksklusif di PTU,
sehingga dapat dikatakan PAI di PTU belum dibuahkan hasil sesuai harapan. Hal ini disebabkan karena kurikulum, Dosen, kepedulian pimpinan PTU,
lingkungan PTU yang kurang kondusif bagi PAI, serta kurangnya bahan
bacaan agama di perpustakaan PTU.[2]
Sebagaimana
menurut Arif Rahman yang dikutip oleh Soedarto diungkapkan tentang tantangan
yang dihadapi oleh PAI di PTU secara eksternal adalah terjadinya perubahan yang
dialami masyarakat dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Efeknya
adalah bisa terjadi pergeseran-pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu bentuk pergeseran menurut Arif Rahman adalah “agama
tidak dijadikan pegangan hidup yang sifatnya rutin dan dogmatis, agama tidak
hanya diterima melalui keyakinan dan masyarakat perlu penjelas yang bersifat
multi demensional”. Dengan demikian tugas berat PAI adalah bagaimana nilai
kandungan PAI bisa dirasionalisasikan agar bisa diterima oleh masyarakat yang
semakin cenderung rasionalis, lebih berpikir progesif, dan menjadi budak
teknologi.
Sedangkan
tantangan internalnya menurut Malikhah
Towaf yang dikutip oleh Soedarto yaitu adanya pola fikir dikotomis yang terjadi
pada Dosen maupun mahasiswa. Seharusnya mahasiswa sebagai calon ilmuwan Islam
punya konsep filosofi tentang kesatuan ilmu pengetahuan. Artinya konsep dan
prinsip ketauhidan tidak hanya dipahami dari tinjauan teologis tentang keesaan
Allah saja namun juga kerangka berfikir tentang kesatuan ilmu pengetahuan,
penggalian, dan pengembangannya. Sedang tantangan lainnya di mana PAI merupakan
program pendalaman ilmu agama di PTU baik pada tatanan perencaan maupun
pelaksanaannya yang masih dipertanyakan perolehan hasil optimalnya.[3]
Dan tantangan yang berkaitan dengan mahasiswa adalah pembelajaran PAI
dihadapkan pada heterogenitas konidisi objektif raw input mahasiswa di PTU. Baik dari segi wawasan dan pengalaman
maupun ketaatan serta dari segi latar belakang yang meliputi sosio-kultural,
kondisi kehidupan kampus, kondisi lingkungan tempat tinggal (termasuk sekitar
kampus), status sosial mutakhir, dan banyaknya kekeluargaan (usrah) yang tumbuh di kampus.[4]
Adapun dari tinjauan organisasi sistem
pembelajaran PAI belum ada pengelolaan secara profesional, manajemen yang
dibangun belum berjalan secara modern, dan lemahnya pengawasan dari pihak lain.
Terlihat pada kenyataan umumnya pendidik PAI lebih cenderung bekerja secara
individu khususnya pada pemecahan masalah dalam pembelajaran. Ini berarti pada
diri pendidik ada pengkultusan dirinya sebagai kyai, ulama, dan ahli agama
Islam. Di mana tidak sembarang orang boleh kritis terhadapnya, aktif dalam
pemberian masukan, dan pemberian bantuan dalam pemecahan masalah terlebih lagi
masukan dari mahasiswanya.[5]
Jika paradigma seperti itu digunakan maka sebagaimana pembahasan sebelumnya
pembelajaran PAI bukan lagi sebagai mata kuliah keilmuan yang dinamis, tapi
nilainya tidak lebih dari sebuah materi ceramah keagamaan yang dogmatis dan
statis.
Lebih
spesifik tantangan-tantangan pelaksanaan PAI di PTU yang masih menjadi
kelemahan yaitu meliputi adanya upaya perombakan kerangka pikir dikotomis masih
dilakukan secara parsial (setengah-setengah). Artinya belum dilakukan secara
terpadu dan utuh dengan strategi yang jelas. Pendekatan masih lebih cenderung
normatif yaitu penggunaan norma-norma tanpa ilustrasi konteks sosial budaya
sehingga mahasiswa minim penghayatan pada nilai-nilai agama sebagai nilai hidup
keseharian. Tantangan lain adalah kurikulum yang dirancang nilai tawarnya masih minim kompetensi dan
minim informasi bagi mahasiswa. Ditambah lagi Dosen yang juga masih terpaku
pada kurikulum tersebut tanpa adanya pengembangan dan pengayaan kurikulum,
sehingga minimnya pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh. Selain itu
penggunaan metode pembelajaran yang dilakukan Dosen masih minimalis dampaknya
pembelajaran PAI dilakukan cenderung monoton.[6]
[1]Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan, 86.
[2]Arief Furqan, “Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Islam: Visi, Misi, dan Program.” Dalam http://ditpertais.net/visi.htm diakses pada tanggal 03 April 2013.
[3]Soedarto, “Tantangan, Kekuatan, dan
Kelemahan Penyelenggaraan PAI di PTU dalam menghadapai Globalisasi Informasi,”
dalam Dinamika Pemikiran Islam di
Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 74-75.
[5]Mastuhu,
“Pendidikan Agama Islam,” 32-33.
Challenge (Sumber gambar paymaster) |