Stertegi pembelajaran adalah
perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk
pencapaian tujuan pendidikan tertentu. Dengan kata lain strategi digunakan
untuk diperolehnya kesuksesan atau keberhasilan dalam pencapaian tujuan.
Sedangkan metode adalah upaya pengimplementasian rencana yang sudah disusun
dalam kegiatan yang nyata agar tujuan yang disusun tercapai secara optimal.
Dengan demikian metode digunakan untuk perealisasian strategi yang telah ditentukan. Artinya bisa terjadi
pada satu stertegi pembelajaran digunakan beberapa metode misalnya ceramah,
tanya jawab, diskusi dll.[1]
Sedangkan
Made Wena fokus dalam penitiktekanan strategi pembelajaran pada ‘cara’, yaitu
cara-cara yang berbeda untuk pencapaian hasil pembelajaran yang berbeda di bawah
kondisi pembelajaran yang berbeda pula. Secara detail menurutnya strategi
pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
1. Strategi
pengorganisasian (organizational strategy),
yaitu cara untuk menata isi suatu bidang studi, dan kegiatan ini berhubungan
dengan tindakan pemilihan isi/materi, penataan isi, pembuatan diagram, format,
dan semacamnya.
2. Strategi
penyampaian (delivery strategy),
adalah cara penyampaian pembelajaran pada mahasiswa dalam menerima serta
merespon masukan dari mahasiswa.
3. Strategi
pengelolaan (management strategy),
yakni cara dalam penataan interaksi antara siswa dengan variabel strategi
pengorganisasian dan strategi penyampaian. Ini berarti strategi pengelolaan
berhubungan dengan pemilihan tentang dua strategi tersebut yang mana harus
digunakan selama proses pembelajaran berlangsung. Misalnya dilakukan
penjadwalan, kontrol pembelajaran, pembuatan catatan kemajuan belajar, dan
motivasi.[2]
Penggunaan
strategi pembelajaran sangat penting sekali, baik bagi Dosen maupun mahasiswa.
Bagi pendidik strategi dapat dijadikan pedoman dan acuan dalam bertindak secara
sistematis. Sedang bagi mahasiswa sebagai pemermudah dan pemercepatan mahasiswa
untuk paham tentang isi atau materi pembelajaran yang telah disampaikan. Dapat
dikatakan setiap strategi pembelajaran dirancang sebagai pemermudah proses
pembelajaran oleh mahasiswa.[3]
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan strategi pembelajaran PAI merupakan
cara dalam perencanaan pembelajaran PAI yang dilandaskan pada sumber agama
Islam. Hal itu agar tercapai pembelajaran PAI yang mampu sebagai penarik,
penggugah mahasiswa untuk mempelajarinya, dan agar tercapai tujuan pembelajaran
secara efektif dan efisien. Dengan demikian segala strategi bisa digunakan
disertai berbagai inovasi pembelajaran dengan berbagai bentuk strategi
pembelajaran asal sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain strategi
pembelajaran Agama Islam tidak lagi relevan dengan jenis strategi yang menjaga
kemandekan inovasi PAI di PTU.
Sedang pada strategi penanganan mahasiswanya
biasanya pada awal kuliah mahasiswa merasa bingung karena belum pernah tahu
materi apa yang akan diajarkan atau bahkan sebaliknya mata kuliah PAI
diremehkan karena beberapa faktor. Untuk pencegahan terhadap keraguan dan
kebutaan mahasiswa tentang peta perjalanan mata kuliah PAI dari awal hingga
akhir semester maka lebih baik Dosen aktif dalam pendalaman serta penggalian
seberapa besar pengetahuan mahasiswa tentang PAI. Salah satu caranya dengan
digunakan strategi pembelajaran critical
incident (pengalaman penting) dengan cara mahasiswa dilibatkan untuk
berbicara tentang pengalaman pribadinya berkaitan dengan mata kuliah PAI.[4]
Dengan demikian dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan suatu bahan ajar atau materi bisa mudah dipahami dan masuk dalam
struktur kognitif apabila terkandung makna dan terkait dengan apa yang ada
dalam struktur kognitif mahasiswa. Namun pada kenyataannya struktur kognitif
tiap mahasiswa tidak sama, tergantung pada pengalaman yang dilihat dan
dipelajarinya. Oleh karena itu penyampaian materi PAI harus terkait dengan
pengetahuan yang dimiliki mahasiswa. Dalam ini
bisa berakibat mahasiswa lebih senang pada mata kuliah agama yang selalu
dikaitkan dengan bidang studinya (sesuai prodi). Maka perlu dibutuhkan
pendekatan kontekstual, walaupun pendekatan ini diperlukan Dosen PAI yang punya
wawasan dalam bidang studi (prodi) yang diminati mahasiswa. Masalah ini bisa
diminimalisir dengan penempuhan atau pengadaan pelatihan bagi Dosen PAI.[5]
1.
Strategi
dalam Pengelolaan Kelas
Strategi
pegelolaan kelas pada mata kuliah PAI di PTU masih ada yang berasaskan pada
prinsip keluwesan. Artinya kebijakan strategi yang dilakukan oleh Dosen
dilandaskan pada kondisi sosial mahasiswa, lebih detailnya mahasiswa dilibatkan
dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan kelas. Misalnya posisi tempat
duduk yang berbaur atau campur (tidak ada pemisahan) antara mahasiswa putra
dengan mahasiswa putri. Di mana kondisi jumlah mahasiswa biasanya sangat banyak
tidak sesuai dengan ukuran kelas, jumlah antara mahasiswa putra dengan putri
sangat tidak berimbang, dan tidak biasa diatur untuk duduk terpisah antara
putra dengan putri. Kenyataan tersebut nampak jauh berbeda dengan suasana kelas
yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan agama Islam.
Strategi
pengelolaan kelas sangat penting bagi keberlangsungan pembelajaran, hal ini
bersangkutan dengan motivasi mahasiswa untuk ikut proses pembelajaran. Dengan
asumsi jika kebijakan atau srategi pengelolaan kelas tidak sesuai dengan
harapan mahasiswa maka akan berdampak pada konflik antar mahasiswa dengan Dosen.
Bisa saja mahasiswa menganggap permasalahan tentang pemisahan tempat duduk
berdasarkan jenis kelamin ini sangat sepele atau tidak penting sehingga kebijakan
ini tidak perlu dilakukan. Masalah sensitif lain di PTU biasanya berkenaan
strategi pengelolaan kelas adalah tentang kewajiban mahasiswa putri untuk
memakai jilbab. Peraturan pemakaian jilbab dalam kelas merupakan salah satu
bentuk strategi pengelolaan kelas karena suasana kelas yang dikelola oleh Dosen
akan nampak berbeda secara kasat mata jika strategi itu diterapkan.
Strategi
pengorganisasian kelas merupakan salah satu komponen pembelajaran PAI yang
sangat penting, namun sangat sulit untuk diterapkan di perguruan tinggi umum
karena dibutuhkan kemampuan Dosen terutama dalam mempengaruhi mahasiswanya.
Oleh karena itu Dosen PAI di PTU idealnya mengadakan pendalaman terlebih dahulu
kepada mahasiswanya terkait latar belakang sekolah, kemampuan dasar keagamaan,
dan minatnya terhadap mata kuliah PAI pada pertemuan pertama di awal semester.
Tujuannya adalah untuk pemetaan kemampuan agama Islam mahasiswa yang ada di
kelas tersebut. Dengan demikian Dosen bisa memperkirakan dalam penentuan kebijakan
pengolaan kelas bagaimana yang akan dilakukannya.
Dengan
demikian apabila di PTU ditemui permasalahan seperti itu maka dalam pengelolaan
kelas Dosen PAI lebih cenderung mengutamakan tingkat kesadaran mahasiswa secara
penuh untuk berperilaku dan menata diri dalam kelas sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam. Hal ini juga sebagai alat tolak ukur bagi Dosen untuk diketahui sejauh mana
tingkat kompetensi akhlak mahasiswanya. Oleh karena itu idealnya strategi Dosen
dalam pengelolaan kelas hendaknya didasarkan pada peraturan atau tata tertib
ada pada kampus. Atau paling tidak sebelum mata kuliah PAI berlangsung (pada
pertemuan pertama di awal semester) terdapat kontrak belajar yang salah satunya
mewajibkan mahasiswa untuk duduk terpisah antara laki-laki dengan perempuan.
Hal ini tentu idealnya Dosen PAI terlebih dahulu sebelum kebijakan ini
ditawarkan pada mahasiswa dilakukan pemetaan kelas yaitu pengindraan tentang
karakter mahasiswa di dalam kelas dan kecenderungan mahasiswa arahnya ke mana.
Dalam
kajian ilmu Psikologi menurut Cage&Berliner yang dikutip oleh Rochmat Wahab
bahwa model dalam pengelolaan proses pembelajaran memiliki lima langkah, yaitu
dari penentuan tujuan hingga pendalaman terhadap karakteristik peserta didik.
Sedang yang lainnya adalah penentuan proses pembelajaran, cara pemotivasian
peserta didik, dan pemilihan strategi atau cara bagaimana pelaksanaan evaluasi
terhadap proses pembelajaran.[6]
Lebih spesifik pendapat Scoty yang dikutip oleh Kholidah bahwa penting dalam
peninjauan kapasitas intelektual mahasiswa dalam pengembangan moral keagamaan
di jenjang pendidikan tinggi. Mahasiswa yang mengikuti proses pembelajaran PAI
cenderung heterogen dari segi latar belakang pemahaman serta pengamalan agama
jika dibandingan pada masa pembelajaran dijenjang pendidikan menengah. Maka
pendekatan yang dipakai dalam pengelolaan proses pembelajaran PAI di PTU perlu
disesuaikan dengan karakter subjek pembelajaran.[7]
2.
Strategi
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran
yang diadakan oleh Dosen PAI di PTU dimungkinkan untuk dilaksanakan secara
kondisional dan luwes. Artinya, strategi yang digunakan dalam pemberian
tindakan dan pengambilan sikap Dosen saat proses pembelajaran di kelas
didasarkan pada situasi dan kondisi kelas maupun lingkungan masyarakat secara
luas. Dengan kata lain pembelajaran PAI untuk kemenarikan dan bernilai guna
secara nyata digunakan strategi pembelajaran kontekstual, yaitu pengaitan
tema-tema atau materi PAI yang tekstual dengan kenyataan yang ada di
masyarakat. Misalnya mahasiswa lebih cenderung biasa diajak untuk belajar dan
berfikir secara kontekstual dengan metode diskusi maupuan ceramah.
Strategi
ini dilakukan untuk menghindari mahasiswa bosan dengan materi-materi yang kaku
dan dogmatis, dan kadang tuntutan mata kuliah PAI tidak sebanding dengan
kemampuan mahasiswa. Dengan kata lain strategi tersebut dapat menjadi
penghindar kecemasan mahasiswa terhadap mata kuliah PAI. Selain juga tentu
untuk mengasah atau melatih kemampuan mahasiswa dalam menelaah permasalahan
terkini. Walaupun pada penerapannya strategi pembelajaran kontekstual dibutukan
daya rasional mahasiswa untuk menganalisis konteks-konteks permasalah terbaru
yang sedang terjadi di masyarakat.
Sebagaimana
menurut Rohmat Wahab ada dua macam pendekatan PAI di PTU, yaitu pendekatan
holistik dan kontekstual. Pendekatan holistik adalah cara pandang tentang
subjek bahwa organisme atau satu keseluruhan yang terpadu itu punya realitas
yang mandiri dan lebih besar dari sekedar kumpulan bagian-bagiannya. Oleh
karena itu masalah, gejala, atau masyarakat dipandang oleh pendekatan ini
sebagai suatu kesatuan organis. Dengan kata lain adalah terjadinya pembinaan
mahasiswa yang berkepribadian Muslim secara utuh, sehingga perlu pemahaman dan
penghayatan ajaran Islam secara utuh pula. Dengan demikian keutuhan antara
perngetahuan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama perlu diwujudkan dalam
proses perkuliahan sehingga pribadi mahasiswa berproses menuju kepribadian
muslim yang utuh pula. Sedangkan pendakatan kontekstual adalah keterkaitan
seluruh situasi, latar belakang, atau lingkungan yang relevan dengan beberapa
kejadian dan kepribadian. Pendekatan ini digunakan agar mahasiswa punya wawasan komperhensif dan
integral dalam pengambilan sikap terhadap masalah kehidupan seperti sosial,
ekonomi, politik, pertahanan, keamanan, dan kebudayaan.[8]
Dapat
disimpulkan PAI diharapkan tidak hanya sebagai ladang moralitas semata yang
semakin diacuhkan oleh masyarakat umum karena adanya pergesaran budaya, namun
juga sebagai cara berinvestasi untuk kepentingan dunia. Artinya didasarkan pada
prinsip teori human capital bahwa PAI
tidak hanya bisa dijangkau oleh mahasiswa yang sudah memiliki kesadaran dalam
beragama dan mempelajarinya. Melainkan juga diminati oleh mahasiswa lain yang
lebih cenderung pada pola fikir pragmatis. Oleh karena itu fungsi PAI dengan
fungsi mata kuliah lain sama yaitu sebagai alat investasi bagai mahasiswa dan
masyarakat.[9] Akibatnya
Dosen dituntut untuk menjadikan mata kuliah PAI berfungsi secara langsung dalam
kehidupan nyata salah satunya dengan strategi kontekstualisasi dengan IPTEK dan
kenyataan yang ada di masyarakat.
Keadaan
lain menurut Kholid Fathoni yang menjadikan pembelajaran kontekstual itu
penting adalah bahwa pembelajaran PAI yang waktunya sangat minim perminggunya
sering kali bagi sebagian mahasiswa mengalami kurang mendalamnya pemahaman
materi. Sehingga mahasiswa bisa dihadapkan pada suasana yang berbeda bahkan
cenderung berlawanan dengan materi-materi agama yang disampaikan dalam mata
kuliah. Oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu oleh Dosen PAI kepada
mahasiswa tentang penyebab dan alasan terjadinya disparitas suasana antara
materi kuliah dengan kenyataan. Penjelasan ini terutama diberikan kepada
mahasiswa baru yang belum terlatih untuk menggunakan rasionalnya dalam
berlogika sebagaimana mahasiswa lama. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan PAI
tidak hanya berhenti di bangku ruang kuliah saja namun di luarnya harus
terdapat sistem kegiatan lain yang mendukung tercapainya proses pembelajaran
PAI.[10]
Sedang
menurut Mastuhu bahwa kontekstualisasi PAI yang dikaitan dengan kondisi
mahasiswa setidaknya didasarkan pada muatan sebagai berikut:
1. Konsep
tentang manusia adalah makhluk yang berkebutuhan dan berkeinginan.
Kebutuhan jasmani adalah sifat mutlak
makhluk hidup yaitu bernafas, makan, dan minum. Sedang kebutuhan psikologis
adalah kebutuhan yang hanya dimiliki manusia yaitu pendidikan, pengakuan
sosial, dan kebutuhan agama yang salah satu tujuannya untuk tercapai
ketenangan.
2. Konsep
tentang manusia selalu dihadapkan pada dua pilihan, yaitu beragama atau tidak
beragama. Meskipun ada manusia yang tidak memilih keduanya maka secara otomatis
telah memilih salah satu di antara keduanya, sebab tidak ada alternatif di
luarnya. Pemilihan tersebut didasarkan melalui keputusan intuisi yaitu
pelibatan keputusan yang melampaui batas kekuasaan manusia.
3. Konsep
tentang manusia secara fitrah terlahir suci dan sakral. Namun manusia dalam
kelahirannya dimiliki juga pembawaan ‘kegelapan’ yang berpotensi berkembang
secara besar jika tidak ada pendidikan yang terarah. Oleh karena itu,
pendidikan Islam diupayakan mampu meredam potensi ‘kegelapan’ tersebut sehingga
yang berkembang adalah potensi ‘cahaya’ yang dimilikinya seoptimal mungkin.
4. Konsep
tentang corak dan muatan mata kuliah agama berbeda dengan mata kuliah lain yang
sekuler cenderung hanya untuk tujuan duniawi. Secara spesifik mata kuliah
sekuler tidak ada penjelasan bagaimana sebuah kehidupan itu dikontruksi supaya
lebih mudah diantisipasi oleh kekuatan manusia yang serba terbatas dan
spekulatif. Namun sebaliknya materi mata kuliah agama selain berdimensi
(muatan) IPTEK juga mampu dalam penjelasan hakekat dan makna hidup yang secara
transendental. Oleh karena itu wajar jika di dalam pendidikan agama terdapat
muatan-muatan doktrin dan nilai-nilai spirtual normatif yang absolut sekaligus
relatif. Sehingga mata kuliah agama harus mampu dalam penjangkauan kedua sisi
tersebut secara simultan, seimbang, dan dinamis.[11]
[2]Made
Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif
Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional (Jakarta: Bumi Aksara,
2001), 5-6.
[3]Ibid., 3.
[4]Zaini,
dkk. Strategi Pembelajaran Aktif, 2.
[5]Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik
Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 181.
[6]Anonim,
dalam Dinamika Pemikiran Islam di
Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 178.
[8]Wahab,
“Pembelajaran PAI di,” 168-169.
[10]Fathoni,
Pendidikan Islam dan, 42.
[11]Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999),
69-74.
Strategy (sumber gambar bernadmarr) |