Oleh: A. Rifqi Amin
Banjir Embun.com - Di negeri entah berantah telah terjadi pergelutan antara golongan ahli praktik dengan golongan ahli teori. Semuanya berawal dari satu di antara lain saling membanggakan diri. Bangga atas kemampuan yang mereka miliki serta bangga terhadap hasil yang telah mereka raih. Ahli praktik membanggakan hasil peran nyatanya di masyarakat seperti membangun masyarakat. Pembangunan tersebut telah dilakukan baik secara rohani maupun fisik. Sedang ahli teori tampak angkuh bersemayam di menara gading sambil merumuskan teori, konsep, atau gagasan sehingga berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dia merasa paling berperan dalam menuntun dan menyadarkan ahli praktik tentang bagaimana cara terbaik membangun masyarakat. Mereka semua satu sama lain berpendapat dirinya menjadi orang yang paling bermanfaat di masyarakat.
Usut punya usut, ternyata pertikaian dua golongan tersebut terjadi karena adanya provokasi. Hasutan tersebut berasal dari pihak ketiga yang masih galau. Kegalauan terjadi karena ia belum bisa menemukan jati diri dan menentukan jalan hidupnya. Lebih memilih menjadi praktisi (ahli praktik) atau teoritis (ahli teori). Ia bimbang antara keduanya manakah yang bisa membawa manfaat bagi masyarakat. Baginya praktisi lebih pantas untuk dipilih. Namun kenyataannya potensi dan peluang yang ada pada dirinya mengarah untuk menjadi teoritis. Akhirnya ia lebih mengutamakan untuk menjadi praktisi. Meskipun pada kenyataannya secara praktik ia sangat lemah sehingga kurang memuaskan menurut masyarakat.
Tidak hanya faktor kembimbangan yang membuatnya tega mengusik ketenengan ahli praktik dan ahli teori. Di dalam dirinya tertanam iri hati dan kesombongan terhadap dua golongan tersebut. Ia beranggapan dirinya telah menjadi manusia sempurna yang mampu memadukan antara praktik dengan teori. Padahal kenyataanya salah satu di antaranya ia tidaklah benar-benar ahli. Memang secara sekilas terlihat bisa melakukan keduanya secara bersamaan. Namun hasilnya kurang greget sehingga terkesan itu hanyalah basa-basi semata. Ia tak peduli hasilnya bisa membawa perubahan positif pada masyarakat atau tidak. Menurutnya yang terpenting adalah bisa dipandang masyarakat sebagai ahli di bidang keduanya. Akhirnya ia pun melakukan manipulasi di sana-sini bahkan memanipulasi dirinya sendiri agar bisa tampil di depan.
Kembali pada masalah pertikaian antara teoritis dengan praktisi. Pada pihak praktisi berpendapat bahwa meskipun kami bukan lulusan sarjana dan tidak ahli teori tapi kami bisa membangun desa. Kami bisa menghidupkan kebudayaan positif dan karakter unggul di masyarakat. Sementera di pihak teoritis bersikukuh bahwa teori telah memberikan pencerahan bagi kaum praktisi dalam berperan nyata di masyarakat. Tanpa melihat sudut pandang lain dengan hati bersih dan pikiran jernih secara membabi buta saling menjatuhkan. Kedua belah kelompok saling perang argumen dengan cara mematahkan dan melemahkan bahkan menganggap remeh kalangan lain. Akhirnya pihak penghasut pun bertepuk tangan sambil tersenyum puas melihat mereka saling bertikai.
Memang ironis, kedua belah kubu masing-masing mengatakan sebagai golongan yang paling bermanfaat di masyarakat. Kenyataannya mereka tidak lebih dari masyarakat umumnya (awam) yang mudah dibakar atau dipancing amarahnya. Mau diarahkan ke mana masyarakat yang mereka bina bila masih ada keinginan mengkotak-kotakan antara teoritis dengan praktik. Apakah masyarakat juga harus diprovokasi untuk mengunggulkan satu di antara yang lainnya? Supaya masyarakat semakin bingung dan hilang arah. Apakah cara memahami, mendekati, dan membina masyarsakat hanya cukup menggunakan salah satunya saja. Apakah teori tidak membutuhkan praktik atau sebaliknya praktik tidak membutuhkan teori? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa menjadi tugas berat untuk dijawab secara logis, etis, dan estetis bagi kaum pemisah antara teoritis dan praktisi.
Mereka tidak sadar bahwa masyarakat awam tidak butuh dialektika antara ahli teoritis dengan praktisi. Bagi mereka apapun itu yang penting hasilnya dapat dirasakan dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat. Mereka juga tidak sadar bahwa dalam memahami, mendekati, dan membina masyarakat butuh landasan teoritis maupun praktis. Landasan teoritis untuk membimbing praktisi. Asumsinya bahwa masyarakat merupakan entitas yang bersifat dinamis. Oleh sebab itu, selalu dibutuhkan metode terbaru yang sesuai perkembangan zaman untuk memahami, mendekati, dan membina mereka. Sedangkan landasan praktis untuk membimbing teoritis dalam menganalisis fenomana di masyarakat. Bisa dikatakan bahwa teori berasal dari praktik dan sebaliknya praktik bisa terinspirasi dari teori. Dengan kata lain teori membutuhkan praktik serta praktik juga membutuhkan teori.
Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa masyarakat dibagi menjadi dua yaitu pertama masyarakat akademis (kumpulan ahli teori atau calon ahli teori) yang berilmu pengetahuan, berpendidikan, pandai dalam menganalisa masalah, dan berwawasan global. Serta yang kedua masyarsakat awam (kumpulan ahli praktik atau calon ahli praktik) yang cenderung bertindak taktis. Tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya membina masyarakat, yang penting bisa merubah masyarakat menjadi lebih baik. Cakupan berpikir masyarakat awam cenderung lebih sempit, praktis, fanatis, dan bahkan bisa jadi pragmatis. Adapun masyarsakat akademis jangkauan berpikirnya cenderung luas, jauh ke depan, kritis, dan bisa dikatakan idealis. Keduanya memiliki wilayah garapan masing-masing yang satu sama lain tidak bisa diremehkan peran dan tanggung jawabnya.
Tanpa adanya teori suatu praktik akan bersifat statis, monoton, dan tidak relevan dengan zaman modern. Begitu pula tanpa melibatkan praktik maka suatu teori tidak bisa diujicobakan hingga dikembangkan. Oleh sebab itu, eloknya masyarakat berbagi tugas dan berbagi lahan garapan. Tidak semua tanaman cocok ditanam di semua tempat. Begitupun dengan ilmu praktik maupun teori yang kita miliki. Tidak bisa ditempatkan di sembarangan. Misalnya ahli praktik lebih cocok bergerak di akar rumput masyarakat yang perlu pencerahan. Sedang ahli teori terus menggali dan mendalami (meneliti) fenomena masyarakat kemudian merumuskan pemahaman baru tentang segala kondisi masyarakat.
Tidak hanya faktor kembimbangan yang membuatnya tega mengusik ketenengan ahli praktik dan ahli teori. Di dalam dirinya tertanam iri hati dan kesombongan terhadap dua golongan tersebut. Ia beranggapan dirinya telah menjadi manusia sempurna yang mampu memadukan antara praktik dengan teori. Padahal kenyataanya salah satu di antaranya ia tidaklah benar-benar ahli. Memang secara sekilas terlihat bisa melakukan keduanya secara bersamaan. Namun hasilnya kurang greget sehingga terkesan itu hanyalah basa-basi semata. Ia tak peduli hasilnya bisa membawa perubahan positif pada masyarakat atau tidak. Menurutnya yang terpenting adalah bisa dipandang masyarakat sebagai ahli di bidang keduanya. Akhirnya ia pun melakukan manipulasi di sana-sini bahkan memanipulasi dirinya sendiri agar bisa tampil di depan.
Kembali pada masalah pertikaian antara teoritis dengan praktisi. Pada pihak praktisi berpendapat bahwa meskipun kami bukan lulusan sarjana dan tidak ahli teori tapi kami bisa membangun desa. Kami bisa menghidupkan kebudayaan positif dan karakter unggul di masyarakat. Sementera di pihak teoritis bersikukuh bahwa teori telah memberikan pencerahan bagi kaum praktisi dalam berperan nyata di masyarakat. Tanpa melihat sudut pandang lain dengan hati bersih dan pikiran jernih secara membabi buta saling menjatuhkan. Kedua belah kelompok saling perang argumen dengan cara mematahkan dan melemahkan bahkan menganggap remeh kalangan lain. Akhirnya pihak penghasut pun bertepuk tangan sambil tersenyum puas melihat mereka saling bertikai.
Memang ironis, kedua belah kubu masing-masing mengatakan sebagai golongan yang paling bermanfaat di masyarakat. Kenyataannya mereka tidak lebih dari masyarakat umumnya (awam) yang mudah dibakar atau dipancing amarahnya. Mau diarahkan ke mana masyarakat yang mereka bina bila masih ada keinginan mengkotak-kotakan antara teoritis dengan praktik. Apakah masyarakat juga harus diprovokasi untuk mengunggulkan satu di antara yang lainnya? Supaya masyarakat semakin bingung dan hilang arah. Apakah cara memahami, mendekati, dan membina masyarsakat hanya cukup menggunakan salah satunya saja. Apakah teori tidak membutuhkan praktik atau sebaliknya praktik tidak membutuhkan teori? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa menjadi tugas berat untuk dijawab secara logis, etis, dan estetis bagi kaum pemisah antara teoritis dan praktisi.
Mereka tidak sadar bahwa masyarakat awam tidak butuh dialektika antara ahli teoritis dengan praktisi. Bagi mereka apapun itu yang penting hasilnya dapat dirasakan dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat. Mereka juga tidak sadar bahwa dalam memahami, mendekati, dan membina masyarakat butuh landasan teoritis maupun praktis. Landasan teoritis untuk membimbing praktisi. Asumsinya bahwa masyarakat merupakan entitas yang bersifat dinamis. Oleh sebab itu, selalu dibutuhkan metode terbaru yang sesuai perkembangan zaman untuk memahami, mendekati, dan membina mereka. Sedangkan landasan praktis untuk membimbing teoritis dalam menganalisis fenomana di masyarakat. Bisa dikatakan bahwa teori berasal dari praktik dan sebaliknya praktik bisa terinspirasi dari teori. Dengan kata lain teori membutuhkan praktik serta praktik juga membutuhkan teori.
Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa masyarakat dibagi menjadi dua yaitu pertama masyarakat akademis (kumpulan ahli teori atau calon ahli teori) yang berilmu pengetahuan, berpendidikan, pandai dalam menganalisa masalah, dan berwawasan global. Serta yang kedua masyarsakat awam (kumpulan ahli praktik atau calon ahli praktik) yang cenderung bertindak taktis. Tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya membina masyarakat, yang penting bisa merubah masyarakat menjadi lebih baik. Cakupan berpikir masyarakat awam cenderung lebih sempit, praktis, fanatis, dan bahkan bisa jadi pragmatis. Adapun masyarsakat akademis jangkauan berpikirnya cenderung luas, jauh ke depan, kritis, dan bisa dikatakan idealis. Keduanya memiliki wilayah garapan masing-masing yang satu sama lain tidak bisa diremehkan peran dan tanggung jawabnya.
Tanpa adanya teori suatu praktik akan bersifat statis, monoton, dan tidak relevan dengan zaman modern. Begitu pula tanpa melibatkan praktik maka suatu teori tidak bisa diujicobakan hingga dikembangkan. Oleh sebab itu, eloknya masyarakat berbagi tugas dan berbagi lahan garapan. Tidak semua tanaman cocok ditanam di semua tempat. Begitupun dengan ilmu praktik maupun teori yang kita miliki. Tidak bisa ditempatkan di sembarangan. Misalnya ahli praktik lebih cocok bergerak di akar rumput masyarakat yang perlu pencerahan. Sedang ahli teori terus menggali dan mendalami (meneliti) fenomena masyarakat kemudian merumuskan pemahaman baru tentang segala kondisi masyarakat.
Mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan sesuai dengan bidang kemampuan masing-masing. Jika merasa belum mampu maka cukuplah membantu. Paling tidak kita tidak menjadi perusuh di antara mereka.. Terima kasih telah membaca tulisan saya ini. Semoga membawa manfaat.
Teori atau Praktik??? (Sumber gambar: Seputar) |